Disusun Oleh :
JULIANA ANGGRAINI P.
b. Epidemiologi
Prevalensi batu empedu meningkat seiring dengan perjalanan usia, terutama untuk
pasien diatas 40 tahun. Perempuan berisiko dua kali lebih tinggi mengalami batu empedu
dibandingkan dengan pria. Kejadian batu empedu bervariasi di negara berbeda dan di
etnis berbeda pada negara yang sama.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting dalam
pembentukan batu empedu. Prevalensi tinggi batu empedu campuran di negara Barat,
sedangkan di Asia umumnya dijumpai batu pigmen (Lee& Ko,2009).
Batu pigmen sering diasosiasikan dengan penyakit hemolitik dan sering dijumpai
di daerah endemik anemia hemolitik dan malaria. Batu pigmen hitam merupakan
penyebab batu empedu di negara barat sekitar 25% , terdiri dari polimer bilirubin tanpa
kalsium palmitat, sedikit kolesterol dan matriks dari bahan organik. Batu pigmen hitam
biasanya multipel, kecil, ireguler, dan berwarna hijau-kehitaman. Batu pigmen coklat
mengandung kalsium bilirubinat, kalsium palmitat, dan hanya sedikit jumlah kolesterol
yang terikat pada matriks bahan organik (Cuschieri, 2003; Debas, 2004). Faktor gaya
hidup , seperti obesitas, kurangnya beraktivitas, diet, dan obat-obatan juga berperan
penting dalam kejadian batu empedu baik simtomatik ataupun asimtomatik. Diet tinggi
karbohidrat, rendah protein nabati, dan rendah serat juga dihubungkan dengan batu
empedu simpomatik. Obat-obatan diuretik seperti thiazid dan terapi estrogen juga
meningkatkan resiko batu empedu (Lee& Ko,2009).
c. Patogenesis
1) Batu kolesterol : adanya ketidakseimbangan antara kolesterol, garam empedu, dan
fosfolipid yang menyebabkan terbentuknya empedu litogenik.
2) Batu bilirubinat : dikaitkan dengan hemolisis kronik, infeksi bakteri yang
memproduksi beta glukuronidase.
3) Batu campuran : dikaitkan dengan abnormalitas anatomi , stasis, riwayat operasi
sebelumnya, dan riwayat infeksi terdahulu (Cuschieri, 2003).
d. Manifestasi Klinis
Hanya 20-25% pasien dengan batu empedu yang menunjukkan gejala klinis. Biasa batu
empedu dijumpai ketika dilakukan pemeriksaan USG dan dijumpai asimtomatik pada
80% pasien(Paumgartner & Greenberger, 2006).
1) Kolik bilier
Kolik yang diakibatkan oleh obstruksi transien dari batu empedu merupakan
keluhan utama pada 70-80% pasien. Nyeri kolik disebabkan oleh spasme fungsional
di sekitar lokasi obstruksi. Nyeri kolik mempunyai karakteristik spesifik; nyeri yang
dirasakan bersifat episodik dan berat, lokasi di daerah epigastrium, dapat juga
dirasakan di daerah kuadran kanan atas, kuadran kiri, prekordium, dan abdomen
bagian bawah. Onset nyeri tiba-tiba dan semakin memberat pada 15 menit pertama
dan berkurang hingga tiga jam berikutnya. Resolusi nyeri lebih lambat. Nyeri dapat
menjalar hingga region interskapular, atau ke bahu kanan (Cuschieri, 2003).
2) Kolesistitis kronik
Diagnosis yang tidak pasti yang ditandai dengan nyeri perut atas kanan yang
bersifat intermiten, distensi, flatulens, dan intoleransi makanan berlemak, atau apabila
mengalami kolesistitis episode ringan yang berulang. (Cuschieri, 2003).
3) Kolesistitis obstruktif akut
Ditandai dengan nyeri konstan pada hipokondrium kanan, pireksia, mual , dapat
atau tidak disertai dengan jaundice, Murphy sign positif (nyeri di kuadran atas kanan),
leukositosis (Cuschieri, 2003).
4) Kolangitis
Ditandai dengan nyeri abdominal, demam tinggi, obstruktif jaundice (Charcot’s
triad), nyeri hebat pada kuadran atas kanan. (Cuschieri, 2003).
5) Jaundice obstruktif
Ditandai nyeri abdominal atas, warna feses pucat, urin berwarna gelap seperti teh
pekat, dan adanya pruritus. Jaundice obstruktif dapat berujung ke kolangitis bila
saluran bersama tetap terjadi obstruksi (Cuschieri, 2003).
e. Pemeriksaan
1) Ultrasonografi (USG): merupakan pemeriksaan yang banyak digunakan untuk
mendeteki batu empedu. USG memiliki sensitivitas 95% dalam mendiagnosis batu
kandung empedu yang berdiameter 1,5mm atau lebih.
2) Computed Tomography (CT) :berguna untuk mendeteksi atau mengeksklusikan batu
empedu, terutama batu yang sudah terkalsifikasi, namun lebih kurang sensitif
dibandingkan dengan USG dan membutuhkan paparan terhadap radiasi.
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Cholangiopancreatography (MRCP) : lebih
berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan saluran empedu yang terdilatasi.
4) Endocospic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) : lebih untuk mendeteksi
batu pada saluran empedu (Paumgartner & Greenberger, 2006)
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan non operatif untuk batu empedu yaitu terapi pengenceran
dengan asam empedu dan ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy).
Penatalaksanaan oral dengan asam empedu hanya dapat dilakukan untuk batu kolesterol,
namun tetap memiliki angka rekuren yang tinggi sehingga zaman sekarang jarang
digunakan. ESWL merupakan terapi yang cocok untuk pasien dengan batu soliter
berdiameter 0.5 -2 cm, dan angka rekurennya lebih rendah dibandingkan terapi oral.
Namun hanya sebagian kecil orang yang cocok dengan terapi ini. Tindakan operatif yaitu
kolesistektomi merupakan penalataksanaan yang telah menjadi baku emas untuk batu
empedu saat ini (Mullholland et al, 2006).
1) Kolesistektomi
Kolesistektomi atau pengangkatan kandung empedu merupakan salah satu
prosedur abdominal yang paling umum. Kolesistektomi adalah penatalaksanaan yang
definitif untuk batu empedu simtomatik (Chari & Shah, 2007).
Kolesistektomi terbuka merupakan penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk
kolesistitis akutdan kronik. Namun, dua dekade terakhir kolesistektomi laparoskopi
telah mengambil alih peran kolesistektomi terbuka, dengan prosedur minimal
invasive (Brunicardi, 2010).
Indikasi Kolesistektomi
Urgensi (dalam 24-72 jam)
Kolesistitis akut
Kolesistitis emfisema
Empiema kandung empedu
Perforasi kandung empedu
Riwayat koledokolitiasis
Elektif
Diskinesia biliaris
Kolesistitis kronik
Kolelitiasis simpomatik
2) Kolesistektomi Laparoskopi
Kontraindikasi untuk kolesistektomi laparoskopi antara lain pasien yang tidak
bisa menoleransi anestesi umum atau bedah mayor. Kondisi seperti koagulopati,
kehamilan dan sirosis tidak lagi dianggap sebagai kontraindikasi namun memerlukan
perhatian dan persiapan lebih dan evaluasi resiko beserta keuntungannya (Litwin &
Cahan, 2008).
Kolesistektomi laparoskopi merupakan pengangkatan total dari kandung empedu
tanpa insisi yang besar. Insisi kecil 2-3 cm dilakukan di umbilikus dan laparoskop
dimasukkan. Dokter bedah mengembangkan abdomen dengan cara memasukkan gas
yang tidak berbahaya, seperti karbon dioksida (CO2), agar tersedia ruang untuk
dilakukan operasi. Dua potongan kecil 0,5 – 1 cm dilakukan dibawah batas iga kanan.
Insisi keempat di abdomen bagian atas dekat dengan tulang dada. Insisi ini dilakukan
untuk memasukkan instrument seperti gunting dan forsep untuk mengangkat dan
memotong jaringan. Klip surgikal ditempatkan pada duktus dan arteri yang menuju
kandung empedu untuk mencegah kebocoran ataupun perdarahan. Kandung empedu
kemudian diangkat dari dalam abdomen melalui salah satu dari insisi tersebut. Bila
batu yang dijumpai berukuran besar, maka insisi dapat diperlebar. Pada beberapa
keadaan, dapat juga dilakukan X-ray yang disebut kolangiogram bila dicurigai
terdapat batu di saluran empedu. Operasi umumnya berlangsung 30 hingga 90 menit,
tergantung dari ukuran kandung empedu, seberapa berat inflamasinya, dan tingkat
kesulitan operasi (Soonawala, 2012).
3) Kolesistektomi terbuka
4) Serum Transaminase
Transaminase atau aminotransferase, adalah sekelompok enzim yang berperan
dalam glukoneogenesis dengan mengkatalisir transfer amino dari asam aspartat atau
alanin menjadi asam ketoglutarat untuk menghasilkan asam oksaloasetat dan asam
piruvat (Brunicardi, 2010). ALT (Alanine Aminotransferase) atau SGOT (Serum
Glutamic-Oxaloacetic Transaminase) dan AST (Aspartate Aminotransferase) atau
SGPT (Serum Glutamic-pyruvic Transaminase) ditemukan utamanya pada hati,
namun juga ditemukan di sel darah merah, sel jantung, sel otot, dan organ lainnya,
seperti pankreas dan ginjal. Pengukuran serum transaminase berperan penting untuk
membantu menegakkan diagnosis pada penyakit hati. Nilai normal di darah adalah 5-
40 U/L untuk AST dan 5-35 U/L untuk ALT (Huang et al, 2006).Alanine
Aminotransferase (ALT) utamanya ditemukan di sitosol hepatosit, sehingga
peningkatannya lebih spesifik untuk penyakit hati. Selain di hati, ALT juga
ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada ginjal, jantung dan otot skeletal (Kim et
al, 2007). Aspartate Aminotransferase (AST) ditemukan di hati, otot jantung, otot
skeletal, ginjal, otak, pankreas, paru, dan sel darah merah oleh sebab itu kurang
spesifik unyuk penyakit hati (Huang et al, 2006).
Ketika jaringan tubuh atau organ seperti liver atau jantung rusak atau terluka,
AST dan ALT akan dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan
serum enzim transaminase ketika dilakukan pengukuran (Huang et al, 2006). .
Penyebab kenaikan enzim aminotransferase secara umum mencakup hepatitis
viral, penggunaan alkohol, obat-obatan, kelainan genetic (Wilson’s disease,
hemochromatosis, dan alpha1-antitrypsin deficiency), atau penyakit autoimun.
Besarnya peningkatan serum transaminase dapat menunjuk pada etiologi dari
kerusakan hepar, walaupun peningkatan enzim ini tidak berkorelasi dengan seberapa
parah penyakit hati tersebut. Peningkatan ringan dari enzim transaminase biasa
dijumpai pada non-alcoholic fatty liver disease, infeksi virus kronis, ataupun akibat
dari obat-obatan. Peningkatan sedang umumnya dijumpai pada hepatitis viral akut.
Peningkatan hebat dapat terjadi pada kondisi seperti iskemik, keracunan (misalnya:
asetaminofen), dan hepatitis fulminant (Brunicardi, 2010).
4. TEHNIK INSTRUMENTASI
a. PERSIAPAN LINGKUNGAN:
1) Menata ruangan dan mengatur penempatan kursi,mesin couter, mesin suction, meja
instrument, troley, waskom, meja mayo.
2) Memastikan mesin suction, mesin ESU, dan lampu operasi dalam keadaan baik.
3) Mengatur suhu ruangan.
4) Memberi alas underpad dan linen pada meja operasi.
b. PERSIAPAN PASIEN
1) Pastikan ketepatan identifikasi pasien
2) Cek informed consent pembedahan dan anestesi
3) Cek penandaan area operasi
4) Cek kelengkapan data lain sesuai checklist lembar serah terima pasien
5) Menanggalkan semua perhiasan yang digunakan pasien (bila ada) dan diserahkan
pada keluarga pasien.
6) Persiapan psikologis pasien.
a) Linen set
b) Sarung tangan sesuai ukuran
c) Desinfektan 70%, providone iodine , NS 0,9%
d) Mess no.10 1
e) Selang suction 1
f) Kasa steril 20
g) Benang Silk 2/0 (Multifilament, non absorbable) 1
h) Benang Safil 2 (Multifilament, absorbabale) 1
i) Benang Cromic 2/0 (Monofilament, absorbable) 1
j) Benang Monosin 3/0 (Monofilament, absorbable) 1
k) Supratul 1
l) Underpad 1
m) NGT no 8 dan spuit 10cc 1/1
d. PERSIAPAN PASIEN
a) Persetujuan operasi
b) Alat-alat dan obat-obatan
c) Puasa
d) Sign in, pasien diberi narkose
e) Mengatur posisi supinasi
e. PROSEDUR
a) Perawat asisten/instrumen cuci tangan.
b) Perawat asisten/instrumen memakai baju steril dan sarung tangan .
c) Atur instrumen di meja mayo sesuai kebutuhan dan siapkan set digestive sebagai
set penunjang. Hitung kasa dan hitung instrumen
d) Siapkan duk sedang dan kecil untuk draping.
e) Berikan klem dan deper desinfektan untuk desinfeksi lapangan operasi.
f) Operator cuci tangan.
g) Beri dan pakaikan baju operasi, sarung tangan pada operator.
h) Time out, operator memimpin doa.
i) Berikan operator mess dan pinset sirurgis untuk melakukan insisi
j) Berikan pinset sirurgis ke 2 dan klem bengkok dengan kasa pada asisten untuk
membantu operator. Dan berikan suction pada asisten 2
k) Jika sudah terinsisi berikan handpise pada operator untuk membuka jaringan dalam
l) Operator melakukan insisi secara bertahap lapis demi lapis jaringan
m) Jika jaringan peritonium sudah terbuka berikan operator durm duk basah untuk
memudahkan penyerapan cairan dalam rongga abdomen dan melindungi organ
dalam abdomen.
n) Berikan asisten 2 hak defers kecil, namun jika hak defers kecil masih kurang untuk
membuka maka ganti dengan hak defers besar
o) Saat abdomen sudah terbuka berikan operator sponge holder forceps yang sudah
mengklem kasa untuk memilah organ abdomen
p) Identifikasi lesi / kelainan pada organ empedu. Bila didapatkan keganasan
dilakukan staging pada operasi
q) Berikan handpise kouter / pisau tajam untuk insisi organ empedu yang ada batunya
dan berikan pinset anatomis panjang untuk mengambil batu empedu
r) Jika batu empedu sudah terangkat. Berikan benang silk 2/0 (Multifilament, non
absorbable) untuk menutup luka yang di insisi tadi
s) Cuci dengan NaCl, untuk pembersihan dan mengevaluasi perdarahan
t) Prosedur sign out
u) Berikan operator Benang Safil 2/0 (Multifilament, absorbable) untuk menjahit
jaringan peritoneum dan fasia. Benang Chromic 2/0 (Monofilament, absorbable)
untuk menjahit jaringan subcutis dengan teknik simpul dalam. Benang Monosin 3/0
(Monofilament, absorbable) untuk menjahit sub kutikuler
v) Jika sudah selesai hecting berikan kasa lembab dan kering pada asisten untuk
membersihkan luka dan mengeringkan luka
w) Berikan sufratul, kasa kering dan hepafix untuk menutup luka
x) Pre cleaning bersihkan instrumen yang terpakai, lepas jas operasi dan hand scoun.
y) Kirim instrumen ke ruang cuci instrumen
z) Rapikan dan bersihkan ruangan operasi.
f. EVALUASI
a) Kelengkapan instrumen
b) Proses operasi
c) Bahan pemeriksaan