Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

TRAKEOSTOMI

PEMBIMBING:
dr. Dumasari Siregar, Sp.THT-KL

PENYUSUN:
Uray Annisya Defia
030.13.196

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 11 JANUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:


“TRAKEOSTOMI”

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Budhi Asih periode
10 Desember 2018 - 11 Januari 2019

Disusun Oleh
Uray Annisya Defia
030.13.196

Jakarta, Januari 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha
Kuasa, atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Trakeostomi” dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah Budhi Asih periode 10 Desember 2018 – 11 Januari 2019. Di samping itu,
juga ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada dr. Dumasari Siregar, Sp.THT-KL selaku pembimbing dalam
penyusunan referat ini di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit THT di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih serta berbagai pihak yang
telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan
informasi dan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, Januari 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii


KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 5


BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi ................................................................................... 7
2.2 Fisiologi .................................................................................... 9
2.3 Patofisiologi ............................................................................... 10
2.4 Definisi Trakeostomi ................................................................. 13
2.5 Indikasi Trakeostomi ................................................................. 14
2.6 Alat-alat Trakeostomi ................................................................ 15
2.7 Prosedur Trakeostomi ................................................................ 16
2.8 Perawatan Pasca Trakeostomi ................................................... 22
2.9 Dekanulasi ................................................................................. 22
2.10 Komplikasi ............................................................................. 23

BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 28

4
BAB I
PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan jalan nafas yang biasa ditandai dengan ventilasi yang


tidak adekuat dan adanya obstruksi jalan nafas merupakan keadaan gawat darurat
yang harus segera ditangani karena dapat menimbulkan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, sehingga perlu dilakukan penilaian dan penanganan yang
cepat, tepat dan benar. Tindakan untuk mengatasi keadaan tersebut dikenal dengan
tindakan trakeostomi atau trakeotomi, dalam arti yang lebih luas trakeotomi adalah
pembuatan lubang pada trakea yang bersifat sementara tanpa atau dengan diikuti
pemasangan kanul, lubang tersebut ditutup atau menutup kembali setelah kanul
diangkat.(1)
Trakeostomi merupakan tindakan pembukaan dinding anterior leher guna
mencapai trakea sebagai jlan pintas untuk bernafas sementara yang selanjutnya
diikuti dengan pemasangan kanul sehingga udara dapat masuk ke dalam paru-paru.
Prosedur trakeostomi dulu dikenal dengan istilah laringotomi atau bronkotomi.
Tindakan ini dimulai dengan insisi yang dilakukan pada trakea (trakeotomi)
sedangkan tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan
kanul trakea agar udara dapat masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan
jalan pintas jalan nafas bagian atas disebut dengan trakeostomi. Trakeostomi dapat
dibagi menurut waktu dilakukannya tindakan tersebut, yang pertama adalah
trakeostomi darurat yang harus segera dilakukan dengan keadaan dan persiapan
seadanya, jenis insisi vertikal yang memberikan keuntungan berupa pembukaan
lapangan operasi yang dibutuhkan bagi kontrol jalan nafas cepat sedangkan
trakeostomi elektif dilakukan dengan persiapan yang baik dan sarana yang cukup,
insisi yang dilakukan adalah insisi horizontal karena lebih menguntungkan
secara kosmetik selain itu trakeostomi dapat dibagi menurut letak insisinya yaitu
letak tinggi dan letak rendah yang dibatasi oleh cincin trakea ketiga.(1,2)
Keberhasilan tindakan trakeostomi ditentukan oleh berbagai faktor seperti
persiapan preoperatif, prosedur intraoperatif dan perawatan pasca operatif yang
baik dan benar, dengan trakeostomi diharapkan oksigenasi ke dalam jaringan akan

5
lebih baik, sehingga pasien menjadi lebih tenang dan dapat melanjutkan pengobatan
utamanya.(2)

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TRAKEA


Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago.
Trakea berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke
anterior pada esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua
bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar
dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar
tiroid terletak di atas trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di
sebelah anterior, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf
laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan
dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot supra sternal yang melekat
pada kartilago tiroid dan hyoid. (3)

Gambar 1. Anatomi Laring(2)

7
Gambar 2. Anatomi Trakea(3)
Trakea dari pinggir ke bawah cartilago cricoidea setinggi vertebra cervicalis
ke-6. Trakea merupakan tabung yang terdiri dari jaringan ikat dan otot polos,
dengan disokong oleh 15 – 20 kartilago berbentuk huruf “C”. Kartilago membentuk
sisi anterior dan lateral. Berfungsi melindungi trakea dan menjaga terbukanya jalan
udara. Dinding posterior tidak memiliki kartilago. Esofagus terletak langsung pada
dinding posterior yang tidak memiliki kartilago. Trakea dilapisi oleh epitel
kolumnar bersilia yang memiliki banyak sel Goblet. (2,3)
Dindingnya dibangun oleh sebaris tulang rawan yang bentuknya serupa dengan
huruf “C” dengan ujung-ujungnya yang terbuka lebar menuju ke belakang, cincin-
cincin trakea ini saling dihubungkan oleh suatu selaput elastis : Ligamentum
Annularium trakealis. Antara kedua ujung posterior yang terbuka terdapat dinding
selaput. Didaerah leher kita dapat menemukan ventral dan trakea: Isthmus glandula
tiroid setinggi cincin-cincin trakea ke-2, ke-3, ke-4 kemudian dibawahnya : valvula
tirodea inferior. Didalam toraks, trakea mempunyai hubungan dengan pembuluh-
pembuluh besar didalam mediastinum superior. Lateral sebelah kanan dari trakea
tampak nervus vagus dexter.(3)
Trakea terdiri dari 9 kartilago yang terbagi menjadi 6 kartilago berpasangan
yaitu kartilago aritenoid, kartilago kornikulatum dan katilago kuneiformis,
sedangkan 3 kartilago tidak berpasangan yaitu kartilago tiroid, kartilago krikoid,
dan epiglotis. Setiap kartilago ini terhubung satu sama lain dengan otot dan
ligamen.(3)

8
2.2 FISIOLOGI PERNAFASAN
Sistem pernapasan mencakup saluran pernapasan yang berjalan ke paru,
paru itu sendiri, dan struktur-struktur toraks (dada) yang terlibat menimbulkan
gerakan udara masuk-keluar melalui saluran pernapasan. Saluran hidung berjalan
ke faring (tenggorokan), yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem
pernapasan maupun sistem pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari
faring-trakea merupakan tempat lewatnya udara ke paru, dan esofagus merupakan
saluran tempat lewatnya makanan ke lambung.(4)
Laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk trakea memiliki
penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun (adam’s apple). Pita suara
merupakan dua pita jaringan elastik yang terentang di bukaan laring, dapat
diregangkan dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot laring. Pada saat
udara mengalir cepat melewati pita suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar
untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Pada saat menelan, pita suara
mengambil posisi rapat satu sama lain untuk menutup pintu masuk ke trakea.(4)

2.3 PATOFISIOLOGI OBSTRUKSI SALURAN NAFAS ATAS


Obstruksi saluran napas atas mengakibatkan hipoventilasi alveolus dan
menimbulkan tiga perubahan biokimiawi : hipoksi arterial (hipoksemi), retensi CO2
(hiperkapni) dan asidosis respirasi dan metabolik (penurunan serum). Asidosis
metabolic disebabkan oleh terbentuknya asam laktat dan penimbunan asam
karbonat. Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan asfiksia.(5)
Hipoksi menyebabkan gangguan fungsi seluler terutama pada sistem saraf
pusat. Badan karotis dan aorta merupakan reseptor kimiawi terpenting yang
mendeteksi perubahan O2. Hipoksemi pada tingkat tertentu akan meningkatkan
usaha pernapasan, takikardi, vasokonstriksi perifer dan hipertensi, peningkatan
resistensi pembuluh darah paru, peningkatan aktivitas adrenal, dan peningkatan
aktivitas korteks serebri akibat rangsangan reseptor kimia san sistem saraf simpatis.
Efek ini diperkuat oleh asidosis dan hiperkapni, yang biasanya menyertai hipoksemi
sebagai akibat hipoventilasi alveolus.(5)

9
Jika hipoksia berlangsung beberapa hari terjadi penyesuaian fisiologik dan
perbaikan gejala. Peningkatan aliran darah dan polisitemia memperbaiki
oksigenisasi jaringan. Hiperkapni dapat merangsang langsung SSP (merangsang
pernapasan). Umumnya dapat meninggikan frekuensi pernapasan dengan akibat
lainnya berupa sakit kepala, peka terhadap rangsangan, bingung, gatal, lemas dan
lesu. Hiperkapni berat menyebabkan pasien tidak sadar, reflex menurun, kaku,
tremor, dan kejang. (5)
Ion H+ merupakan stimulan pernapasan spesifik untuk pusat pernapasan di
medulla. Tetapi H+ dalam cairan serebrospinal tidak dapat menembus sawar darah
– otak dengan baik, sedangkan CO2 dapat dengan cepat memasukinya. Kadar CO2
yang meningkat menyebabkan asidosis cairan serebrospinal dan stimulasi
pernapasan. Oleh karena CO2 harus berdifusi dalam cairan serebrospinal yang tidak
mempunyai sistem buffer maka kadar ion H+ abnormal dalam cairan serebrospinal
akan timbul secara bertahap tetapi berlangsung lebih lama dan lebih hebat daripada
kelainan darah perifer.(5)
a. Sumbatan Laring
Penyebab terjadinya sumbatan laring dapat disebabkan oleh adanya
adang akut dan radang kronik, masuknya benda asing, terjadi trauma
akibat kecelakaan dan tindakan medik, terdapat tumor laring, baik
berupa tumor jinak atau pun tumor ganas, kelumpuhan nervus rekuren
bilateral. Sumbatan laring dapat menimbulkan beberapa gejala dan
tanda seperti suara serak (disfoni), sesak napas (dispnea), stridor (napas
berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.(6)
Stridor merupakan suara nafas bernada rendah saat insipirasi yang
disebabkan oleh udara yang melewati saluran nafas yang menyempit
pada saluran nafas atas yang biasanya memiliki saluran yang besar.
Sering terjadi akibat sumbatan pada laring dan trakea bagian atas.
Terdapat cekungan pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula, dan interkostal. Cekungan ini terjadi sebagai upaya dari
otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.(6)

10
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium
dengan tanda dan gejala: (6,)
- Stadium 1 : Cekungan tampak waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada
waktu inspirasi dan pasien masih tenang.
- Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin
dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium.
Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar waktu inspirasi.
- Stadium 3 : Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga
terdapat di infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan
dispnea. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
- Stadium 4 : Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat
gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung
terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena
hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.
b. Penanggulangan Sumbatan Laring
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab
sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin
ventilasi. Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan
supaya jalan napas lancar kembali.(7)
Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi,
antibiotika, serta pemberian oksigen inttermitten dilakukan pada sumbatan laring
stadium 1 yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resursitasi untuk
membebaskan saluran napas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea
melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea),
membuat trakeostoma atau melakukan krikotirotomi. Intubasi endotrakea dan
trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring stadium 2 dan 3,
sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium 4. Tindakan
operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasar análisis gas darah (pemeriksaan
Astrup).(7)

11
2.4 DEFINISI TRAKEOSTOMI
Trakeotomi dapat menyelamatkan jiwa penderita yang mengalami obstruksi
jalan napas di atas trakea dan tidak dapat diatasi dengan cara lain, misalnya intubasi.
Trakeostomi juga dilakukan pada penderita yang memerlukan bantuan pernapasan
buatan untuk waktu lama dan yang memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk
waktu lama dan yang memerlukan pertolongan pembersihan jalan nafas secara
memadai.. Pertama kali dikemukakan oleh Aretaeus dan Galen pada abad pertama
dan kedua sesudah masehi. Walaupun teknik ini dikemukakan berulang kali setelah
itu, tetapi orang pertama yang diketahui secara pasti melakukan tindakan ini ialah
Antonio Brasavola pada tahun 1546. Dari tahun 1546 hingga tahun 1833 hanya 28
tindakan trakeostomi yang berhasil dilakukan dan semua dengan tujuan untuk
melapangkan jalan nafas yang diakibatkan oleh penyumbatan.(2,8)
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian
atas. Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan
tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul trakea
agar udara dapat masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas jalan
nafas bagian atas disebut dengan trakeostomi. Istilah trakeotomi dan trakeostomi
dengan maksud membuat hubungan antara leher bagian anterior dengan lumen
trakea, sering saling tertukar. Definisi yang tepat untuk trakeotomi ialah membuat
insisi pada trakea, sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada trakea.(2,8)
Dapat disimpulkan, trakeostomi adalah tindakan operasi membuat jalan
udara melalui leher dengan membuat stoma atau lubang di dinding depan/ anterior
trakea cincin kartilago trakea ketiga dan keempat, dilanjutkan dengan membuat
stoma, diikuti pemasangan kanul. Bertujuan mempertahankan jalan nafas agar
udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan nafas bagian atas saat pasien
mengalami ventilasi yang tidak adekuat dan gangguan lalulintas udara pernapasan
karena obstruksi jalan nafas bagian atas.(8)

12
Gambar 3. Trakeostomi(2)

2.5 INDIKASI TRAKEOSTOMI


Terdapat berbagai indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi mulai dari
yang bersifat darurat maupun elektif. Sejumlah referensi menjelaskan prosedur
trakeostomi namun pada dasarnya semua mengharuskan adanya persiapan pasien
dan alat yang baik, tindakan trakeostomi diindikasikan pada pasien yang
memerlukan ventilasi mekanis dalam jangka panjang, keganasan kepala dan leher
yang akan dilakukan reseksi yang sulit dilakukan intubasi, trauma maksilofasial
disertai dengan resiko sumbatan jalan nafas, sumbatan jalan nafas akibat dari
trauma, luka bakar atau keduanya, gangguan neurologis yang disertai dengan risiko
sumbatan jalan nafas, cedera kepala dan leher, severe sleep apnea yang tidak dapat
dilakukan intubasi.Trakeostomi tidak boleh dilakukan pada pasien dengan obstriksi
laring oleh tumor ganas.(2,8)
Disamping indikasi trakeostomi dapat dilakukan untuk tujuan terapi atau
sebagai suatu prosedur berencana. Trakeostomi untuk terapi perlu dilakukan pada
tiap kasus insufisiensi pernafasan yang disebabkan oleh hipoventilasi alveolus
untuk memintas sumbatan.Tujuan terapi dari tindakan trakeostomi yaitu mengatasi
obstruksi laring, mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian
atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring sehingga dengan adanya
stoma maka seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru,
mempermudah penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pasien koma, untuk memasang
respirator (alat bantu pernapasan).(2,9)

13
Beberapa pertimbangan untuk melakukan tindakan trakeostomi ialah agar
sekresi sekret jauh lebih mudah lewat suatu pipa trakeostomi, dan kemungkinan
terjadinya obstruksi pipa lebih kecil, intubasi lama endolaring menimbulkan
ulserasi mukosa yang akhirnya dapat menjadi granuloma, adhesi, dan stenosis
laring, trakeostomi kurang menyebabkan rangsangan refleks batuk, yang mungkin
penting pada pasien dengan kelainan saraf dan pasca bedah.(2)

2.6 ALAT-ALAT TRAKEOSTOMI


Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalah
trakeostomi set yang terdiri dari Drapping, Scalpel, Klem arteri bengkok (minimal
2 buah), Gunting 1 buah, Pinset 1 buah, Hook langenbeck 1 pasang, Needle holder.
Selain itu dibutuhkan bahan habis pakai seperti Kassa, antiseptik, Lidokain, Sulfa
atropin, Suction kateter, Pisau bisturi, Disposible spuit, Benang jahit, Kanul
trakea.(10)
Dalam pemeilihan kanul tergantung pada usia, kondisi anatomis, dan
kebutuhan medis. Jenis kanul trakeostomi yang ideal harus cukup kaku untuk
mempertahankan jalan nafas namun cukup fleksibel untuk membatasi kerusakan
jaringan dan memberikan kenyamanan. Kanul trakeostomi dapat terbuat dari metal
(silver atau stainless steel) atau plastik (poliyvinyl chloride atau silicone), kanul
dengan atau tanpa cuff, unfenestrated atau fenestrated. Standart Panjang kanul
trakeostomi berdasarkan Jackson 60-90mm (dewasa), 39-56mm (anak-anak) dan
30-36mm (neonatus). Diameter luar dari kanul tdak melebihi 2/3-3/4 dari diameter
lumen trakea, hal ini dapat menghindari kontak kanul dengan dinding trakea yng
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding trakea.(10)

2.7 PROSEDUR TRAKEOSTOMI


Sebelum melakukan trakeostomi diperlukan bebrapa prosedur yang harus
dipersiapkan seperti persiapan pasien yang meliputi penjelasan operasi dan
kemungkinan komplikasi yang terjadi, izin operasi, izin pembiusan dan konsul
(anestesi, anak, ipd, kardiologi), pemeriksaan laboratorium (Analisa gas darah,
pemeriksaan darah lengkap, PT/APTT, SGOT/SGPT, Ureum dan kreatinin,

14
Elektrolit, GDS, Gol darah, dan HbsAg), pemeriksaan radiologi, medikamentsosa
preoperasi dan puasa 6 jam sebelum operasi.(11)
A. Trakeostomi elektif
Pada kebanyakan kasus trakeostomi dilakukan di Intensive Care
Unit atau di kamar operasi. Pada lokasi tersbut pasien terus dimonitor
dengan pulse oxymetri dan elektrokardiogram. Anestesiologis biasanya
melakukan gabungan antara medikasi intravena dan anestesi lokal.(11)
Teknik trakeostomi ditentukan sampai batas tertentu oleh keadaan
yang memerlukan tindakan tersebut. Yang terpenting ialah memperoleh
udara pernafasan secepat dan seefisiensi mungkin dengan menhindari
trauma pada laring, trakea, dan struktur yang berdekatan. Bila mungkin,
dilakukan intubasi endotrakea sebelum trakeostomi terapi, terutama pada
anak. Jika tidak mungkin melakukan intubasi, ventilasi dan oksigenasi
melalui kantong dan masker sangat membantu. Jika udara pernafasan telah
terkontrol, dapat dilakukan trakeostomi dengan lebih cermat dan trauma
minimal.(2,11)
Prosedur yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
 Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada sendi atlanto oksipital.
 Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak
digaris median dekat permukaan leher.
 Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip aseptik dan antiseptik dan
ditutup dengan kain steril.
 Obat anestetikum (novokain) disuntikkan di pertengahan krikoid dengan
fossa suprasternal secara infiltrasi.
 Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dari bawah
krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal
dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa
suprasternal atau kira-kira 2 jari dari bawah krikoid orang dewasa.
 Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira 5 cm

15
 Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya
dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul
sampai tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin-cincin
tulang rawan yang berwarna putih
 Pembuluh darah vena jugularis anterior yang tampak ditarik lateral.
 Ismus tiroid yang ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas
terlihat. Jika tidak mungkin, ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan
dipotong ditengahnya.
 Sebelum klem ini dilepaskan ismuth tiroid diikat kedua tepinya dan
disisihkan ke lateral.
 Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat.
 Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara
cincin trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik.
 Buat stoma dengan memotong cincin trakea ke tiga dengan gunting yang
tajam.
 Kemudian pasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai.
 Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka operasi ditutup
dengan kasa.

Gambar 4. Letak kanul(2)

16
B. Trakeostomi Darurat
Pada keadaan darurat, trakeostomi harus dapat dilakukan dalam 2 – 3 menit,
dimana anoksia akan terjadi dalam 4 – 5 menit. Pada trakeostomi darurat lebih baik
dilakukan insisi secara vertikal, yang dimulai pada level kartilago krikoid, lanjutkan
ke inferior sekitar 2,5 – 3,75 cm. Gunakan tangan kiri untuk menstabilkan laring
dan mengekstensi leher bila tidak ada kontraindikasi (seperti cedera servikal).
Sementara tangan kanan digunakan untuk membuat insisi. Jari telunjuk tangan kiri
dapat digunakan untuk mendorong ismus tiroid ke inferior dan mempalpasi trakea.
Insisi kulit secara vertikal ini sangat krusial dalam keadaan darurat, karena tindakan
dapat dilakukan lebih cepat dan kurangnya resiko trauma terhadap struktur leher
yang lain. (2)
Trakeostomi darurat harus dihindari, bagian terbesar kesalahan pada
trakeostomi disebabkan oleh trakeostomi darurat. Komplikasinya meliputi trauma
arteria inominata, pembuluh darah tiroidea inferior, esofagus, nerfus laringeus
rekuren dan pleura. Tindakan tersebut dapat menyebabkan perdarahan.
Pneumomediatinitis dan pneumotoraks. Osbtruksi saluran pernafasan pada awal
fase paskah bedah bisa timbul akibat tersumbatnya pipa secara tidak disengaja.
Intubasi endotrakea tidak bebas dari komplikasi obtruksi ekstubasi atau
pneumotoraks. Pneumotoraks dapat terjadi akibat batuk untuk mengatasi obstruksi
pipa endotrakea oleh sekresi. Mungkin terjadi ekstubasi secara tidak disengaja.
Problema utama pemasangan pipa endotrakea jangka lama adalah trauma pada
laring.(11)
Untuk sementara trakeostomi menyebabkan pasien sulit berbicara, tetapi
bila saluran pernafasan diatas trakeostomi masih mempunyai sisa patensi, pasien
dapat berbicara dengan menutup pipa dengan jarinya sewaktu ekspirasi.(2)

C. TRAKEOSTOMI PADA BAYI DAN ANAK


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan ukuran dan
konsistensi trakea pada bayi dan anak. Pada semua kasus trakeostomi seharusnya
hanya dilakukan setelah bronkoskop, pipa enotrakea atau kateter dimasukkan untuk
memperbaiki saluran udara pernafasan dan memberi kekakuan pada trakea,

17
sehingga memudahkan diseksi dan identifikasi trakea. Pada anak kecil, sangan
mudah melakukan diseksi yang terlalu dalam dan lateral dari trakea, sehingga
merusak nervus laringius rekuren, arteri karotis komunis atau apeks pleura. Saat
melakukan insisi pada dinding trakea, harus hati – hati agar pisau tidak masuk
terlalu dalam dan merobek dinding posterior. Dengan bronkoskop dalam trakea
dapat membantu untuk terhindar dari komplikasi ini.(12)
Kesulitan lain pada anak ialah pipa trakeostomi sering keluar dari trakea,
karena leher bayi yang pendek dan sering gemuk, terutama bila leher dalam keadaan
fleksi. Dapat juga dilakukan jahitan dengan benang sutra pada tepi insisi trakea
untuk menandai dan benang ini dilekatkan ke leher untuk mencegah hilangnya
lumen trakea jika pipa bergeser. Trakea harus diperiksa setelah pipa dimasukkan,
untuk menjaga agar tidak terjadi lipatan ke dalam dari cincin trakea yang dipotong,
yang dapat menyebabkan pergeseran pipa dan obstruksi pada saat dekanulasi.(10)
Sering terjadi kesulitan untuk mendapatkan pipa trakeostomi yang sesuai.
Pipa yang terlalu panjang dapat masuk ke karina atau salah satu bronkus,
menyebabkan atelektasis paru sisi lain. Jika lengkung pipa terlalu panjang, akan
menekan trakea pada batas atas insisi trakea, sedangkan ujung bawah pipa
menempel pada dinding anterior trakea, dan lengkung yang terlalu tumpul dapat
menyebabkan ulserasi dinding posterior trakea dan esofagus. Oleh karena itu harus
dibuat foto Rontgen leher dan dada pasca bedah pada bayi.(12)

2.8 PERAWATAN PASCA TRAKEOSTOMI


Hal-hal penting pada perawatan trakeostomi adalah fiksasi harus aman dan
pada penggunaan kanul trakeostomi harus dilakukan pembersihan kanul. Frekuensi
pembersihan kanul dalam tergantung dari banyaknya sekret serta kekentalan dari
sekret tersebut(13)
Pada sekitar stoma sering timbul banyak sekret. Hal ini dapat memicu
terjadinya eksoriasis pada kulit dan infeksi luka operasi sehingga perlu diletakkan
kassa di sekitar stoma untuk menyerap sekret dan menghalangi kanul bersentuhan
langsung dengan kulit. kassa umumnya diganti sehari sekali namun dapat lebih dari
sekali jika kassa terlihat basah.(13)

18
2.9 DEKANULASI
Dekanulasi hanya dilakukan jika pasien dalam kondisi klinis yang stabil,
yaitu tidak ada sumbatan jalan napas atas, tidak memerlukan lagi alat bantu napas
seperti ventilator dan tidak bahaya retensi sputum yaitu telah mampu mengeluarkan
dahaknya sendiri. Dekanulasi dapat dilakukan dengan cara penurunan ukuran kanul
trakeostomi (downsizing) atau dengan cara penutupan kanul secara bertahap. Pada
downsizing, umumnya digunakan kanul tanpa balon.(14)
Sebelum dekanulasi umumnya dilakukan proses penutupan kanul bertahap.
Tahap pertama dilakukan penutupan kanul dari pagi hingga soree hari kecuali
malam hari; jika tidak ada keluhan saat penutupan kanul maka dapat dilanjutkan
dengan tahap berikutnya yaitu dengan tahap berikutnya yaitu penutupan kanul
selama 24 jam. Jika pada saat penutupan kanul selama 24 jam tidak ada keluhan
maka dekanulasi aman dilakukan.(14)

2.9 KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI


Terdapat beberapa komplikasi dari trakeostomi yaitu komplikasi cepat dan
komplikasi lambat. Komplikasi cepat dapat berupa perdarahan yang terjadi saat dan
pasca tindakan trakeostomi, perdarahan primer saat trakeostomi umumnya akibat
cedera pada vena jugularis anterior saat diseksi terutama saat prosedur darurat atau
isthmus tiroid saat mobilisasi dari dinding anterior trakea . perdarahan juga dapat
terjadi akibat laserasi pembuluh darah besar di leher selama prosedur.(15)
Selain itu pada pasien dewasa, komplikasi pneumotorak umumnya timbul pada
trakeostomi darurat akibat rupturnya pulmonary bleb pada pasien sesak berat
yang sedang berusaha kuat untuk bernapas, gasping atau batuk-batuk kuat
selama prosedur dengan anestesi lokal. Pneumotorak sering timbul pada pasien
anak karena letak apek pleura di leher lebih tingggi pada anak dibandingkan pada
dewasa sehingga mudah cedera dan lebih rentan lagi pada trakeostomi letak
rendah.(16)
Komplikasi yang umum ditemukan ialah obstruksi tube dalam post trakeostomi
dan paling sering ialah hasil dari lendir. Sekret lendir, cairan di dalam dan sekitar

19
tube trakeostomi dapat membentuk kerak-kerak (plug) yang menjadi besar sehingga
menyumbat lumen tabung. Terdengarnya aliran udara dan adanya kesulitan
melewati suction kateter melalui tube adalah tanda-tanda akan terjadinya obstruksi
tube. Tindakan irigasi, frekuensi suction yang berulang, dan pembersihan kanula
dapat membantu mengurangi risiko penyumbatan dan obstruksi tube. (17)
Selanjutnya komplikasi lambat yang dapat terjadi ialah infeksi Infeksi stoma
dapat bermanifestasi sebagai infeksi yang ringan, selulitis ringan atau jaringan
granulasi. Infeksi yang serius pada stoma mencakup mediastinitis, fasitis, abses dan
osteomielitis pada klavikula. Jika infeksi berlanjut maka dapat mengakibatkan
trakeitis, perikondritis, stenosis trakea, hilangnya jaringan trakea, kebocoran pada
trakea dan perdarahan. Area peristoma dapat dengan cepat terbentuk kolonisasi
kuman dan ditemukan kuman pseudomonas .(17)
Selain itu dapat terjadi fistula trakeoesofagus yang biasanya timbul pada pasien
yang hipotensi dan telah menjalani intubasi yang lama dengan tube bermanset dan
ventilasi terkontrol. Pasien demikian memerlukan tube nasogastric, namun
seringkali meninggal akibat penyakit primernya ataupun pneumonia aspirasi lewat
fistula. Perbaikan bedah amat kompleks dan melibatkan penempatan otot-otot leher
di antara trakea dan esophagus setelah perbaikan primer pada fistula.(17)
Komplikasi lambat yang sering ditemukan adalah stenosis trakea, frekuensi
komplikasi ini semakin meningkat karena pasien seringkali memerlukan ventilasi
terkontrol jangka lama dengan tube bermanset. Bilamana terdapat granulasi diatas
stoma atau kartilago dalam lumen, maka masalah dapat diatasi dengan eksisi
endoskopik atau memasang stent pada jalan nafas. Tube bermanset menyebabkan
obstruksi mukosa sirkumferensial dalam beberapa jam. Manset harus
dikembangkan dan kemudian sejumlah udara dilepaskan hingga menimbulkan
bunyi. Manset bertekanan rendah juga bersifat protektif. Perbaikan stenosis trakea
menjadi semakin sulit bilamana sikatriks makin panjang.(17)

20
BAB III
KESIMPULAN
Trakeostomi merupakan tindakan membuat lubang (stoma) yang
selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul sehingga udara dapat masuk ke dalam
paru-paru. Trakeostomi dapat dibagi menurut waktu dilakukannya tindakan
tersebut, yang pertama adalah trakeostomi darurat yang harus segera dilakukan
dengan keadaan dan persiapan seadanya trakeostomi elektif dilakukan dengan
persiapan yang baik dan sarana yang cukup, selain itu trakeostomi dapat dibagi
menurut letak insisinya yaitu letak tinggi dan letak rendah yang dibatasi oleh cincin
trakea ketiga.
Keberhasilan tindakan trakeostomi ditentukan oleh berbagai faktor seperti
persiapan preoperatif, prosedur intraoperatif dan perawatan pascaoperatif yang
baik dan benar, dengan trakeostomi diharapkan oksigenasi ke dalam jaringan akan
lebih baik, sehingga pasien menjadi lebih tenang dan dapat melanjutkan pengobatan
utamanya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Jacob Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan


Leher. Jilid 1. Edisi ketiga belas. Jakarta : Binarupa Aksara, 1997. p.435 – 56.
2. Novialdi, Azani S. Trakeostomi dan Krikotirotomi. Jurnal Kesehatan Andalas.
2012;1;1-9.
3. Stell PM, Bickford BJ. Anatomy of the Larynx and Tracheobrochial Tree. In :
Ballantyne J, Grove J, Editors. Scott’s-Brown’s Disease of the Ear, Nose ad
Throat. 4th Ed. London: Butterworths.1984. p 385-91
4. Sherwood L. Sistem Pernapasan. In: Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 8th
Ed. Jakarta: EGC.2014.p.410-23
5. Kevin K, Motamedi, Andrew C, McClary, Ronald G, Amadee. Obstructive
Sleep Apnea : A Growing Problem. The Ochnser Journal. 2009: 9:149-153
6. Andrew H, Mike T, Guri S. Exercise – Induced Laryngeal Obstruction. British
Journal of General Practice. 2016; e 683-685
7. James H, Vibake B, Peter G, Stephen. Assasement and Management For the
Clinican. Am J Respir Crit Care Med. 2016; 9:1062-1072
8. Nora H, Lena M. Tracheostomy : Epidemiology, Indication, Timing, Technique
and Outcomes. Respir Care. 2014;59(6):895-919
9. Weissler C, Johnson, Jonas T; Newlands Shawn D. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 4th Edition;782-795
10. Jevuska. Trakeostomi: Indikasi, Prosedur, Jenis dan Komplikasi. Accesed on
Dec, 30 2018. Available at:https://www.jevuska.com/2010/06/11/trakeostomi/.
11. Liliana C, Ricardo M, Sara J. Ugent Tracheostomy : Four Year Experince In a
Tertiary Hospital. World J Emerg Med. 2016; 7(3) 227-230
12. Ellen S. Tracheostomy: Pediatric Consideration. Respir Care. 2010;55 (8) 1082-
1090.

22
13. Khan MK. Tracheostomy Tubes. 2013 [cited 2019 Maret]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/2044774
14. Engels PT, Bagshaw SM, Mejer M, Brindley PG. Tracheostomy: from Insertion
to Decannulation. Can J Surg. 2009;52(5):427-33
15. Praveen C, Martin A. A Rare Case of Fatal Haemorrhage After Tracheostomy.
Ann R Coll Surg Engl. 2007;89(8):6-8.
16. Tokur M, Kurkcuoglu IC, Kurul C, Demircan S. Synchronous Bilateral
Pneumothorax as a Complication of Tracheostomy. Turkish Respir J.
2006;7(2):84-5.
17. Bove MJ, Morris LL. Complication and Emergency Procedures In: Morris LL,
Afifi MS, editors. Tracheostomies: The Complete Guide. New York: Springer
Publishing Company; 2010. p. 277-99.

23

Anda mungkin juga menyukai