Anda di halaman 1dari 28

Makalah Farmasi

KEJANG DEMAM

DISUSUN OLEH:
William Gani
G991902058
Periode: 25 November 2019 – 8 Desember 2019

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Kejang demam
terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Kejang demam
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam fokal, lebih dari 15
menit, atau berulang dalam 24 jam. Pada kejang demam sederhana kejang bersifat
umum, singkat, dan hanya sekali dalam 24 jam.
Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor
demam, usia, riwayat keluarga, riwayat prenatal (usia saat bu hamil), riwayat
perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat lahir rendah).
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Walaupun
prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
mengkhawatirkan bagi orang tuanya. Kejang demam juga dapat mengakibatkan
gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat
akademik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium1. Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan
– 5 tahun2. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam4. Kejang demam
harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang
tanpa demam3. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam1. Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang
demam4. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam 4.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistem susunan saraf pusat3.

B. Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat,
Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira
20 % kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam
timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23 bulan) kejang demam sedikit
lebih sering pada laki – laki2.

C. Etiologi

2
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi
saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi
saluran kemih2.

D. Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam 3. Ada
riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang
tua, menunjukkan kecenderungan genetik1,3. Selain itu terdapat faktor
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan
khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak mendapat kejang setelah
demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang
demam, dan riwayat keluarga epilepsi1,3.
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam
keluarga, lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam
kompleks1.

E. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak,
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru
dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler6. Jadi sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air6. Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl -).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan

3
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na
– K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel6. Keseimbangan potensial
membran ini dapat dirubah oleh adanya:
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan6.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %.
Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang6. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang6. Penelitian binatang
menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan mediator
penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia1.
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akibatnya terjadihipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat

4
disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yangmengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak6. Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi6.

F. Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang
demam6. Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam
sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh
kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada
radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila dalam riwayat
penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode - periode dimana
anak menderita suhu yang sangat tinggi akan tetapi tidak mengalami
kejang; maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati,
mungkin kejang yang ini ada penyebabnya2. Pada kejang demam yang
sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu sedang meningkat dengan
mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya
bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang tiba – tiba
merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang2. Kejang pada

5
kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik –
klonik seperti kejang grand mal; kadang – kadang hanya kaku umum atau
mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja,
dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada
kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang demam
sederhana masih mungkin2.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama lebih dari 15 menit.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % kejang demam 4. Kejang fokal adalah
kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial 4.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara
anak yang mengalami kejang demam4.

G. Manifestasi Klinik
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik,
klonik, fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Setelah kejang
berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beberapa
detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.
Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung
lama sering terjadi pada kejang demam yang pertama.

6
Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung beberapa menit sampai lebih
dari 30 menit, tergantung pada jenis kejang demam tersebut. Sedangkan
frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1 tahun sampai lebih dari 2 kali
sehari. Pada kejang demam kompleks, frekuensi dapat sampai lebih dari 4 kali
sehari dan kejangnya berlangsung lebih dari 30 menit.
Gejalanya berupa:
1. Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi
secara tiba-tiba)
2. Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi
pada anak-anak yang mengalami kejang demam)
3. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik)
4. Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit)
5. Lidah atau pipinya tergigit
6. Gigi atau rahangnya terkatup rapat
7. Inkontinensia (mengompol)
8. Gangguan pernafasan
9. Apneu (henti nafas)
10. Kulitnya kebiruan
Setelah mengalami kejang, biasanya:
1. Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1
jam atau lebih
2. Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)-sakit kepala
3. Mengantuk
4. Linglung (sementara dan sifatnya ringan)

7
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.
2. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitiskarena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
b. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
c. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara
klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang

8
tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun atau kejang demam fokal.
4. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan
(CT – scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Paresis nervus VI
c. Papiledema

I. Diagnosis Banding
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan
kejang, harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar
susunan saraf pusat (otak)6. Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan
klinis meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak
menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik
maka perlu pertimbangan pungsi lumbal3.

J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Saat Kejang4
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2 – 0,5
mg/kgBB perlahan – lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam
waktu 3 – 5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Obat yang praktis dan
dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal.

9
Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5
mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal
kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang
sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena. Bila kejang tetap belum berhenti
dilanjutkan dengan algoritme penatalaksanaan status epileptikus. Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi
terapi antikonvulsan profilaksis.
2. Penatalaksanaan Pada Saat Demam 4
a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali
sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan
sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada
saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 %
kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8
jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut cukup tinggi dan
menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % -
39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam
tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
3. Pemberian Obat Rumat 4
a. Indikasi pemberian obat rumat

10
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
2. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
3. Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15
menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis
tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakanindikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal
menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik.
b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan
bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka pendek.
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan
saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama
yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari
dalam 2 – 3 dosis, dan fenobarbital 3 – 4mg/kgBB/hari dalam 1 – 2
dosis.

11
K. Edukasi Pada Orang Tua 4
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.
Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.

L. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan
tidak menyebabkan kematian.
Kejang demam bisa juga berlanjut menjadi epilepsi. Faktor resiko
menjadi epilepsi adalah:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
2. Kejang demam kompleks.
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10 % - 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi
tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

12
BAB II
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. RJ
Umur : 17 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 20 Juni 2018
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. T
Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny. W
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Karangdowo Klaten
Tanggal masuk : 19 November 2019
No. RM : 0115xxxx

B. Anamnesis
Anamnesis diperoleh melalui aloanamnesis terhadap ibu pasien.
1. Keluhan Utama
Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSDM dibawa oleh orangtuanya dengan keluhan
kejang. Kejang terjadi kurang lebih 1 jam sebelum masuk rumah sakit,
pasien kejang, kejang terjadi seluruh tubuh. Tangan dan kaki pasien kaku,
mata melirik ke atas. Kejang berlangsung 1 kali selama 4 menit. Setelah
kejang berhenti, pasien menangis. Kemudian oleh keluarga, pasien dibawa
ke rumah sakit Dr. Moewardi. Di IGD pasien tidak kejang tetapi suhu
tubuh pasien panas. Buang air besar 1 kali/hari, lembek, berwarna kuning.
Buang air kecil warna kuning jernih terakhir 4 jam SMRS.

13
Orang tua mengaku kurang lebih 1 hari sebelum masuk rumah sakit,
pasien panas. Keluhan panas dirasakan mendadak tinggi. Panas tidak
disertai batuk. Keluhan tidak disertai pilek, sulit makan, suara serak, tidak
disertai muntah dan sesak napas.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kejang sebelumnya karena panas : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat kejang karena panas pada keluarga : (+) ayah
Riwayat epilepsi : (-)

5. Riwayat Kesehatan Keluarga


Ayah : sehat
Ibu : sehat

6. Pemeliharaan Kehamilan dan Prenatal


Pemeriksaan di : Bidan
Frekuensi : Trimester I : 1x/ 1 bulan
Trimester II : 2x/ 1 bulan
Trimester III : 2x/ 1 minggu
Keluhan selama kehamilan: tidak ada
Obat-obatan yang diminum selama kehamilan : vitamin dan tablet
penambah darah.

7. Riwayat Kelahiran :
Pasien lahir di bidan dengan berat badan lahir 3500 gram dan panjang 47
cm, lahir spontan, langsung menangis kuat segera setelah lahir, usia
kehamilan 38 minggu.

8. Riwayat Postnatal

14
Rutin ke puskesmas setiap bulan untuk menimbang badan dan mendapat
imunisasi.
9. Imunisasi
Jenis I II III IV
1. BCG 1 bulan - - -
2. DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan -
3. Polio 2 hari 2 bulan 3 bulan 4 bulan
4. Campak 9 bulan - - -
5. Hepatitis Lahir 2 bulan 3 bulan -
B
Kesimpulan : imunisasi dasar lengkap sesuai Depkes, tidak
sesuai IDAI 2010

10. Riwayat Petumbuhan dan Perkembangan


a. Motorik Kasar
Mengangkat kepala : 3 bulan
Tengkurap kepala tegak : 4 bulan
Duduk sendiri : 6 bulan
Berdiri sendiri : 11 bulan
Berjalan : 13 bulan
b. Bahasa
Bersuara “aah/ooh” : 2,5 bulan
Berkata (tidak spesifik) : 8,5 bulan
c. Motorik halus
Memegang benda : 3,5 bulan
d. Personal sosial
Tersenyum : 2 bulan
Mulai makan : 6 bulan
Tepuk tangan : 9 bulan
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan
sesuai usia

15
11. Riwayat Makan Minum Anak
1. Usia 0-6 bulan : ASI diselingi dengan ASB, frekuensi minum ASI
dan ASB tiap kali bayi menangis dan tampak kehausan, sehari
biasanya lebih dari 8 kali dan lama menyusui 10 menit, bergantian
kiri kanan.
2. Usia 6-8 bulan : bubur susu 2-3 kali sehari satu mangkok kecil,
dengan diselingi dengan ASI jika bayi lapar. Buah pisang/pepaya
sekali sehari satu potong (siang hari).
3. Usia 8-12 bulan : nasi tim 3 kali sehari satu mangkok kecil dengan
sayur hijau/wortel, lauk ikan /tempe, dengan diselingi dengan ASI
jika bayi masih lapar. Buah pepaya/pisang sehari 2 potong.
4. Usia 1 tahun - sekarang : diperkenalkan dengan makanan dewasa
dengan sayur bervariasi dan lauk ikan, ayam /tempe, porsi
menyesuaikan, 3 kali sehari. ASI masih tapi hanya kadang-kadang.
Buah pepaya/pisang/jeruk jumlah menyesuaikan.
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup

12. Riwayat Keluarga Berencana :


Ibu penderita tidak mengikuti program KB

13. Pohon Keluarga

II

III An. R. J, ♂,
17 bulan, 10 kg, 76 cm

Pasien merupakan anak pertama. Ayah dan ibu menikah satu kali.
Riwayat keluarga dengan riwayat kejang demam (+) pada ayah pasien.

16
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan umum : sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Status gizi : kesan gizi baik
2. Tanda vital
BB : 10 kg
TB : 76 cm
Nadi : 120 x/menit, reguler, isi tegangan cukup
Pernafasan : 32x/menit, tipe thorakoabdominal
Suhu : 38,2º C (per axiler)
3. Kulit : Warna sawo matang, kelembaban cukup, ujud
kelainan kulit (-)
4. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut hitam sukar dicabut,
distribusi merata, UUB sudah menutup, LK= 49 cm (-2 SD < LK < 0 SD)
5. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+)
6. Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret
(-/-)
7. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
8. Telinga : Bentuk normal, sekret (-).
9. Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T1-T1, faring
hiperemis (-)
10. Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak
membesar
11. Lymphonodi : Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
12. Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan
kiri
13. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

17
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Kanan atas : SIC II LPSD
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC IV LMCS
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
14. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan =kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Batas paru-hepar : SIC V kanan
Batas paru-lambung : SIC VI kiri
Redup relatif di : SIC V kanan
Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-)
15. Abdomen
Inspeksi : dinding dada setinggi dinding perut
Auskultasi : peristaltik (+) meningkat
Perkusi : tympani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, turgor kembali cepat.
16. Urogenital : dalam batas normal
17. Ekstremitas :
Akral dingin - - Sianosis
- -
- - - -
Oedem Wasting
- - - -
- - - -

ADP teraba kuat


CRT <2”

18
18. Pemeriksaan Neurologis
Motorik : Koordinasi baik, kekuatan +4 +4
+4 +4
Sensorik : Belum dapat dinilai
Reflek Fisiologis :
R. Biseps : (+2/+2)
R. Triseps : (+2/+2)
R. Patella : (+2/+2)
R. Archilles : (+2/+2)
Reflek Patologis :
R. Babinsky :(-/-)
R. Chaddock :(-/-)
R. Oppeinheim :(-/-)
Meningeal Sign :
Kaku kuduk :(-)
Brudzinsky I :(-)
Brudzinsky II :(-)
Kernig sign :(-)

19. Perhitungan Status Gizi (secara antropometris)


BB : 10 kg
TB : 76 cm
Status gizi :
BB/U : 10/10,7 x 100 % = 93,45 % (-2 < BB/U < 0 SD)
TB/U : 76/81 x 100 % = 93,82 % (TB/U=-2SD)
BB/TB : 10/9,5 x 100 % = 105,2 % (0SD< BB/TB <1SD)
Kesan : Gizi baik secara antropometri (WHO, 2010)

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium darah tanggal 19 November 2019
Hematologi Rutin
Hb : 11,1 g/dL

19
Hct : 34 %
AE : 4,27.106/μL
AL : 10,2.103 /μL
AT : 300.103 /μL
Golongan Darah :O
GDS : 138 mg/dl
N : 136 mmol/L
K : 4,0 mmol/L
Cl : 102 mmol/L
Indeks Eritrosit
MCV : 79,0 /um
MCH : 26,0 Pg
MCHC : 32,9 g/dl
RDW : 11,7 %
MPV : 7,2 Fl
PDW : 16 %
Hitung Jenis
Eosinofil : 1,00 %
Basofil : 0,10%
Netrofil : 64.80 %
Limfosit : 28,10 %
Monosit : 6,00 %

E. Diagnosis Banding
Kejang Demam Sederhana dd Infeksi Intrakranial

F. Diagnosis Kerja
Kejang Demam Sederhana

G. Penatalaksanaan
1. Tujuan Terapi
a. Mencegah kejang demam berulang
b. Mencegah status epilepsi
c. Mencegah epilepsi dan / atau retardasi mental
d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

2. Terapi
a. Inj. Diazepam 5 mg IV → jika kejang
b. Paracetamol 120 mg per oral 3x1
c. IVFD NaCl 0.9% 10 tpm

20
3. Edukasi
Kompres hangat jika panas dan menerangkan kondisi pasien
terhadap orang tua pasien

4. Penulisan Resep
dr. William Gani
SIP 20201116172037
Jl. Kartika 1, Jebres, Surakarta
19 November 2019
R/ NaCl 0.9% fl cc 500 No. I
cum 3 way catheter No. I
infus set No. I
Abbocath no.22 No. I
IV 3000 No. I
S i.m.m 20 tpm
R / Paracetamol syr 120mg/5ml No. I
S 4 dd cth I
R / Diazepam amp 10mg/2cc No. I
cum spuit cc 1 No. I
S 1 cc p.r.n kejang

21
Pro : An. RJ (17 bulan, BB 10kg)
Alamat : Karangdowo, Klaten

H. Prognosis
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia

22
BAB III
PEMBAHASAN OBAT TERKAIT KASUS

A. Diazepam
Diazepam merupakan obat yang sering digunakan sebagai terapi lini
pertama untuk penatalaksanaan kejang, terutama kejang demam dan status
epileptikus. Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine yang merupakan
sedatif yang berhubungan erat dengan depresi sistem saraf pusat.
Benzodiazepin berguna untuk terapi kecemasan, insomnia, kejang, dan
spasme otot.7,8 Berdasarkan waktu paruh eliminasi senyawa aktif
benzodiazepine, diazepam termasuk kedalam golongan long acting.
Kerja utama diazepam yaitu potensiasi inhibisi neuron.. Diazepam
berikatan dengan reseptor-reseptor stereospesifik benzodiazepin di neuron
postsinaptik asam gamma-aminobutirat (GABA) pada beberapa sisi di dalam
sistem saraf pusat (SSP).7,9 Ikatan dengan reseptor ini menyebabkan
peningkatan frekuensi pembukaan channel klorida menyebabkan
hiperpolarisasi membran, yang menghambat eksitasi seluler.
Diazepam secara cepat terdistribusi dalam tubuh karena bersifat lipid-
soluble, volume distribusinya 1,1L/kg, dengan tingkat pengikatan pada
albumin dalam plasma sebesar (98-99%) menyebabkan efeknya sangat
singkat. Diazepam diabsorbsi dengan baik di saluran cerna. Secara oral
onsetnya 30 menit, dengan waktu puncak 1-2 jam dan durasi 2-3 jam. Secara
Intra Vena onsetnya 1-5 menit, waktu puncaknya 15 menit dan durasi 15-60
menit. Pada pemberian intramuskular onsetnya 15 menit, waktu puncaknya
30-90 menit dengan durasi yang sama 30-90 menit. Plasma konsentrasi dari
diazepam adalah 0,02-1,01 microgram/ml. Pada pemberian oral atau per
rectal, konsentrasi plasma rata-rata 76% dan 81%. Diazepam utamanya
dimetabolisme di hati, menghasilkan menghasilkan tiga metabolit aktif.
Diazepam diekskresikan melalui urin.
Pemberian diazepam harus dihindarkan untuk pasien dengan depresi
napas, kelemahan neuromuskular pada saluran napas termasuk unstable

23
myastenia gravis, insufiensi paru akut, sindroma sleep apnea, gangguan hepar
berat, tidak boleh digunakan secara tunggal pada depresi atau pada
kecemasan yang disertai depresi.10
Efek samping pada sistem saraf pusat sering terjadi termasuk
mengantuk, kepala terasa ringan pada hari berikutnya, kebingungan dan
ataksia (terutama pada lanjut usia); amnesia; ketergantungan; peningkatan
pada agresi; kelemahan otot; terkadang : sakit kepala, vertigo, gangguan
saluran cerna, gangguan penglihatan, disartria, tremor, perubahan libido,
inkotinensia, retensi urin; gangguan darah dan kuning/jaundice; reaksi kulit;
peningkatan enzim hati, terasa nyeri dan tromboemboli pada injeksi
intravena.6,11

B. Parasetamol
Parasetamol adalah drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat
antipiretik/analgesik. Parasetamol utamanya digunakan untuk menurunkan
panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya.
Disamping itu, parasetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala
nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Parasetamo; memiliki aktivitas
antiinflamasi rendah, sehingga termasuk ke dalam kategori obat non steroid
antiinflamatory drug (NSAID). Hingga saat ini mekanisme kerja dari
parasetamol belum sepenuhnya diketahui, tetapi diduga karena penghambatan
enzim siklooksigenase (COX).
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentras tertinggi dalam plasma dicapai dalm waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Adanya makanan dalam lambung akan sedikit
memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat. Parasetamol
terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh jaringan tubuh. Lebih kurang
25% parasetamol dalam darah terikat pada protein plasma. Parsetamol
dimetabolisme utamanya di hati, 3 jalur yang diketahui yaitu,
glucoronidation (40%), sulfonition (20-40%), N-hidroxylation dan GSH
conjugation (15%), Semua tiga jalur menghasilkan produk akhir yang sudah

24
tidak aktif. Pada jalur ketiga, terdapat produk NAPQI yang bisa beracun. Bila
pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik
NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan
segera dikeluarkan melalui ginjal. Namun apabila pasien mengkonsumsi
parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit beracun ini menjadi
jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Paracetamol diekskresikan
melalui urin.
Obat parasetamol tidak boleh digunakan pada orang dengan alergi
parasetamol atau acetaminophen, gangguan fungsi hati dan penyakit hati
gangguan fungsi ginjal serius, syok, overdosis acetaminophen, gizi buruk
Efek samping parasetamol jarang dijumpai, namun jika itu terjadi maka
ditandai dengan ruam atau pembengkakan (bisa jadi tanda dari reaksi alergi),
Hipotensi ketika diberikan di rumah sakit dengan infus, kerusakan hati dan
ginjal jika overdosis. Dapat muncul juga efek samping parasetamol yang
serius seperti mual, sakit perut, dan kehilangan nafsu makan, air seni
berwarna gelap, tinja berwarna tanah liat, jaundice (menguningnya kulit atau
mata), diare, keringat berlebihan, kehilangan nafsu makan, mual atau muntah,
kram perut atau nyeri, pembengkakan, atau nyeri di perut atau perut daerah
atas.
C. Natrium Klorida
Natrium Klorida (NaCl) kira-kira memiliki komposisi berupa cairan
ekstraseluler tubuh. Kira-kira 0,9% larutan NaCl memiliki tekanan osmotik
yang sama dengan cairan tubuh. Natrium Klorida memberikan suplemen
elektrolit. Natrium memberikan kation utama dalam cairan ekstraseluler dan
berfungsi mengatur distribusi air, keseimbangan cairan dan elektrolit dan
tekanan osmotic cairan tubuh. Natrium juga bekerjasama dengan klorida dan
bikarbonat dalam keseimbangan regulasi asam basa. Klorida merupakan anion
utama dalam cairan ekstraseluler, mengikuti disposisi fisiologik natrium dan
mengubah keseimbangan asam basa dalam tubuh dengan fisiologik natrium
dan mengubah keseimbangan asam basa dalam tubuh dengan cara mengubah
konsentrasi serum klorida.

25
BAB V
PENUTUP

Simpulan
1. Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
2. Tujuan terapi kejang demam adalah untuk mencegah kejang demam berulang,
mencegah status epilepsi, mencegah epilepsi dan / atau retardasi mental dan
normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Saran
Kejang demam membutuhkan penatalaksanaan dengan segera untuk
mencegah berlanjutnya penyakit menjadi status epileptikus, untuk itu diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang yang tepat
untuk menegakkan diagnosis dengan tepat.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985
3. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson,
Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000;
4. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta.
Cermin Dunia Kedokteran No. 27.1982
5. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006.
6. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006
7. Couper FJ, Logan BK. Diazepam in Drugs and Human Performance Fact
Sheets (electronic version). Washington DC, National Highway Traffic Safety
Administration (NHTSA), 2004.
8. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba
Medika, 2002.
9. Gunawan SG. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
10. Tim Editor. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 9. Jakarta : Bhuana
Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), 2009.
11. Prasad K, Al-Roomi K, Krishnan PR. Anticonvulsant therapy for status
epilepticus. Br J Clin Pharmacol, 2005;63(6):640.

27

Anda mungkin juga menyukai