Anda di halaman 1dari 19

Referat Bedah Syaraf

MENINGOCELE

Oleh:

M. Arif Rakhman Hakim G99172105


Jessica Adriane G99172094
William Gani G991902058
Wincent Candra G991902059
Yufida Rachma G991905057

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB l

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Cacat bawaan adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik
fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum
kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa perinatal. Cacat
ini dapat akibat penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum
pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan
teratogenik).
Bila cacat bawaan terutama malformasi multipel disertai dengan
retardasi mental dan kelainan rajah tangan (dermataoglifi) memberikan
kecurigaan kelainan genetik (kromosomal). Penyakit genetik adalah penyakit
yang terjadi akibat cacat bahan keturunan pada saat sebelum dan sedang
terjadi pembuahan. Penyakit genetik tidak selalu akibat pewarisan dan
diwariskan, dapat pula terjadi mutasi secara spontan yang dipengaruhi oleh
lingkungan. Penyakit infeksi dalam kandungan, pengaruh lingkungan seperti
radiasi sinar radioaktif dan kekurangan/kelebihan bahan nutrisi juga dapat
menyebabkan cacat bawaan.
Kelainan bawaan pada neonatus dapat terjadi pada berbagai organ
tubuh. Diantaranya meningokel dan ensefalokel.
Meningokel dan ensefalokel merupakan kelainan bawaan di mana
terjadi pemburutan selaput otak dan isi kepala keluar melalui lubang pada
tengkorak atau tulang belakang.
Meningokel biasanya terdapat pada daerah servikal atau daerah torakal
sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam
korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Operasi akan
mengoreksi kelainan, sehingga tidak terjadi gangguan sensorik dan motorik
dan bayi akan menjadi normal.

BAB ll

PEMBAHASAN

1. Definisi Meningokel
Meningokel adalah kelainan kongenital berupa penonjolan selaput otak
dan cairan otak lewat defek (lubang) pada tulang kepala. Bila sebagian
jaringan otak ikut menonjol, disebut meningoensefalokel atau ensefalokel
(Istiadjid, 2004). Meningokel adalah salah satu dari tiga jenis kelainan bawaan
spina bifida. Spina bifida (sumbing tulang belakang) adalah suatu celah pada
tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa
vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh (Wafi Nur, 2010).
Kelainan ini merupakan bagian dari gangguan yang dinamakan defek tabung
saraf (neural tube defects, NTD’s) (Istiadjid, 2004).
Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla spinalis
melalui spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan.
Pembengkakan kistis ini ditutupi oleh kulit yang sangat tipis.
(Prinsip Keperawatan Pediatric, Rosa M. Sachrin, 2008).
Meningokel terbentuk saat meninges berherniasi melalui defek pada
lengkung vertebra posterior. Medulla spinalis biasanya normal dan menerima
posisi normal pada medulla spinalis, meskipun mungkin terlambat, ada
siringomielia, atau diastematomielia. Massa linea mediana yang berfluktuasi
yang dapat bertransiluminasi terjadi sepanjang kolumna vertebralis, biasanya
berada dipunggung bawah. Sebagian meningokel tertutup dengan baik dengan
kulit dan tidak mengancam penderita (Behrman dkk, 2000).

2. Etiologi

Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum diketahui.


Banyak faktor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam
terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah
konsepsi. Hal-hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar
vitamin maternalrendah, termasuk asam folat, mengonsumsi klomifen dan
asam valfroat, danhipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50%
defek tuba neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-
vitamin prakonsepsitermasuk asam folat.

Meningokel terjadi apabila terdapat kelainan pada lempeng neural.


Penyebab dari kelainan lempeng neural berupa multifactorial yang melibatkan
faktor genetik, ras, dan lingkungan salah satunya nutrisi, terutama kekurangan
asam folat pada ibu. Seorang ibu yang mempunyai anak dengan defek
lempeng neural mempunyai peluang resiko untuk mempunyai anak dengan
kelainan yang sama 1 dalam 20. Kira-kira separuh dari resiko ini dengan
ansefeli manakala separuh lagi dengan spina bifida. Wanita tersebut mepunyai
factor resiko mendapat bayi dengan defek lempeng neural sekiranya
mempunyai saudara yang mempunyai bayi dengan kelainan sama dan ansefali
atau spina bifida.
Hampir 10% dari janin dengan defek lempeng neural yang terdeteksi
pada awal gestasi, mempunyai kelainan pada kromosom termasuk trisomi 13
dan 18, triploidi serta single gene mutation.

Pada wanita dengan diabetes pre gestasi, resiko untuk mendapat anak
dengan kelainan pada system saraf pusat termasuk defek lempeng neural
adalah 2-10 kali lebih tinggi berbanding populasi umum. Mekanisme pasti
efek teratogenik ini masih belum jelas, namun terdapat hubungannya dengan
control metabolic maternal.

Selain itu, factor resiko lain termasuk obesitas maternal dan


hipertermia (demam atau penyakit febris). Penggunaan obat-obatan anti
epilepsy juga merupakan factor resiko yang telah diidentifikasi.

Suatu penelitian pada tahun 1980an menunjukkan koreksi defisiensi


asam folat merupakan satu langkah pencegahan yang efektif. Hampir setengah
dari kasus kelainan lempeng neural merupakan karena defisiensi asam folat
atau peningkatan kebutuhan, maka dapat dicegah.

Pada tahun 1992, US Public Health Service (USPHS)


merekomendasikan intake asam folat dengan dosis 0,4mg per hari untuk
semua calon ibu hamil. Pada tahun 1996, USPHS mengumumkan fortifikasi
asam folat dalam sereal gandum untuk meningkatkan intake asam folat pada
wanita usia reproduktif hampir 100mcg per hari. Program fortifikasi saat ini
diperkirakan mencegah hampir 22.000 kasus atau 9% dari kasus spina bifida
dan anencephaly yang terkait defisiensi asam folat.

3. Anatomi

Korda spinalis manusia memanjang dari foramen magnum hingga


setinggi vertebra lumbar pertama atau lumbar kedua. Rata-rata panjangnya 45
cm pada pria dan 42 cm pada wanita, memiliki bentuk seperti silinder pada
segmen servikal atas dan segmen thorakal, dan bentuk oval di segmen servikal
bawah dan segmen lumbar, yang merupakan tempat pleksus nervus brachial
dan nervus lumbosakral.
Gambar 1: Sum-sum Tulang Belakang dan Medulla Spinalis

Pada tahap awal pertumbuhan fetal, korda spinalis ini mengisi


sepanjang kanalis vertebra. Saat bayi lahir, korda spinalis ini memanjang ke
bawah sampai ke batas bawah dari vertebra lumbar III. Pada akhir dewasa
muda, korda spinalis mencapai posisi seperti orang dewasa, dimana ia berhenti
setinggi discus intervertebra lumbar I dan lumbar II. Tempat dimana korda
spinalis berakhir berubah seiring pertumbuhan karena kolumna vertebralis
bertumbuh lebih cepat dari pada korda spinalis. Panjang dari korda spinalis
secara keseluruhan adalah 70 cm. Korda spinalis mengalami pembesaran di
dua tempat, yaitu servikal (segmen C III- Th II) dan lumbar (segmen LI-SIII).
Ini merupakan tempat saraf yang menginnervasi ekstremitas atas dan bawah.
Ujung bawah korda spinalis meruncing membentuk konus medullaris.

Korda spinalis manusia terbagi atas 31 segmen (8 segmen servikal,


12 segmen thorakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacral, dan 1 coccygeal)
dimana dari masing-masing segmen, kecuali segmen servikal yang pertama,
memiliki sepasang root dorsal dan root ventral dan sepasang nervus spinalis.
Segmen servikal pertama hanya memiliki root ventral. Root ventral dan dorsal
bergabung di foramina intervertebralis untuk membentuk nervus spinalis.
Nervus spinalis meninggalkan kanalis vertebralis melalui foramina
intervertebralis: Servikal I muncul di atas atlas; servikal VIII muncul antara
servikal VII dan thorakal I. Nervus spinal lain keluar di bawah vertebra yang
berkesesuaian.

Karena perbedaan tingkat pertumbuhan dari korda spinalis dan


kolumna vertebralis, segmen korda spinalis tidak sesuai dengan kolumna
vertebranya. Ditingkat servikal, ujung spinal vertebra sesuai dengan tingkat
kordanya; tapi tulang servikal VI sesuai dengan tingkat korda spinalis VII.
Pada regio thorakal atas, ujung spinal berada dua segmen di atas korda
spinalis yang berkesesuaian, jadi thorakal IV sesuai dengan korda segmen ke
VI. Pada regio thorakal bawah dan lumbar atas, beda antara tingak vertebra
dan korda adalah tiga segmen, jadi spinal thorakal X sesuai dengan lumbar I.
Kumpulan akar saraf lumbosakral di filum terminale disebut cauda equina.

Embriologi
Proses pembentukan embrio pada manusia melalui 23 tahap
perkembangan setelah pembuahan setiap tahap rata-rata memakan waktu
selama 2 -3 hari. Ada dua proses pembentukan sistem saraf pusat. Pertama,
neuralisasi primer, yakni pembentukan struktur saraf menjadi pipa, hal yang
serupa juga terjadi pada otak dan korda spinalis. Kedua, neuralisasi sekunder,
yakni pembentukan lower dari korda spinalis, yang membentuk bagian lumbal
dan sakral. Neural plate dibentuk pada tahap ke 8 (hari ke17-19), neural fold
terbentuk pada tahap ke 9 (hari ke 19-21) dan fusi dari neural fold terbentuk
pada tahap ke 10 (hari ke 22-23). Beberapa tahap yang sering mengalami
gangguan yakni selama tahap 8 – 10 (yakni, ketika neural plate membentuk
fold pertamanya dan berfusi untuk membentuk neural tube) hal ini dapat
menyebabkan terjadinya craniorachischisis, yang merupakan salah satu
bentuk yang jarang dari neural tube defect (NTD).

Pada tahap ke 11 (hari ke 23-26), saat ini terjadi penutupan dari bagian
rostral neuropore. Kegagalan pada tahap ini mengakibatkan terjadinya
anencephaly. Mielomeningocele terjadi akibat gangguan pada tahap 12 (hari
ke 26-30), saat ini terjadi penutupan bagian caudal dari neuropore.
Gambar 2: Perbandingan proses embriologi spinal cord normal dan
spinal cord pada spina bífida

Gambar. 3 Meningokel posterior servikal.

Penelitian pada embrio tikus telah memperoleh beberapa teori unifying


yang dapat menjelaskan anomali yang terjadi pada NTD. Defek yang terjadi
bersamaan seperti hidrosefalus dan malformasi otak bagian belakang seperti
malformasi Chiari II adalah salah satu contohnya. McLone dan Naidich, pada
tahun 1992, mengajukan proposal tentang teori unifying dari defek pada
neural tube yang menjelaskan anomali pada otak bagian belakang dan anomali
pada korda spinalis. Berdasarkan penyelidikan tersebut, diketahui bahwa
kegagalan lipatan neural untuk menutup sempurna, menyebabkan defek pada
bagian dorsal atau myeloschisis. Hal ini menyebabkan CSF bocor mulai dari
ventrikel sampai ke kanalis sentralis dan bahkan mencapai cairan amnion dan
mengakibatkan kolaps dari sistem ventrikel.

Kegagalan dari sistem ventrikel untuk meningkatkan ukuran dan


volumenya menyebabkan herniasi ke bawah dan ke atas dari otak kecil.
Sebagai tambahan, fossa posterior tidak berkembang sesuai dengan ukuran
yang sebenarnya, dan neuroblas tidak bermigrasi keluar sesuai dengan normal
dari ventrikel ke korteks.

Adapun teori yang lain yang menjelaskan terjadinya spina bifida yakni
teori defisiensi asam folat. Resiko melahirkan anak dengan spina bifida
berhubungan erat dengan kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada
awal kehamilan.

Perret et al mengemukakan teori bahwa lesi ini berkembang dari


septum posticum dari Schwalbe, sejenis membran araknoid yang
membahagikan bagian tengah (midline)servikal posterior dan ruangan
subaraknoid torakal. Tetapi masalah dengan teori ini adalah kerana kista
araknoid primer juga diidentifikasi pada bagian anterior medulla spinalis.
Fortuna et al juga menyarankan inkarserasi granulasi araknoid bisa
menghasilkan cairan serebral spinal yang terperangkap dalam diverticula
araknoid. Kantung yang terisi cairan yang berasingan ini akan menyebabkan
gangguan aliran pulsasi normal cairan serebrospinal yang seterusnya meluas
dan berkembang menjadi kista

Tabel 1: Malformasi Sistem Saraf Pusat

Kehamilan hari ke - Kejadian Anomali


0 – 18 Pembentukan ektoderm, Kematian atau efek yang
mesoderm dan endoderm, tidak jelas
dan lempeng saraf
18 Pembentukan lempeng Defek midline anterior
saraf
22 – 23 Penampakan optik vessel Hidrosefalus
24 – 26 Penutupan neuropore Anencephaly
anterior

26 – 28 Penutupan neuropore Spina bifida sistika dan


posterior Spina bifida okulta
32 Sirkulasi vaskular Mikrosefali
33 35 Splitting dari Holoproensefalon
proensefalon untuk
membentuk telensefalon
70 – 100 Pembentukan korpus Agenesis korpus kalosum
kalosum

4. Klasifikasi
a. Kranium Bifidum

Kranium bifidum diklasifikasikan kedalam dua jenis: kranium bifidum


okultum dan kranium bifidum sistikum. Kranium bifidum okultum tidak
berkaitan dengan herniasi dura, karenanya tak terdeteksi hingga dewasa bila tak
bergejala.

Kranium bifidum sistikum pula dapat dibagi menjadi lima subkelompok, sesuai isi
dari sefalokel:

1) Meningokel: hanya berisi CSS didalam sefalokel.


2) Ensefalomeningokel atau meningoensefalokel: berisi baik CSS maupun
jaringan otak didalam sefalokel.
3) Ensefalokel: berisi hanya jaringan otak didalam sefalokel.
4) Ensefalosistokel: penonjolan jaringan otak mengisi ruang yang berhubungan
dengan ventrikel.
5) Meningoensefalosistokel, atau ensefalosistomeningokel: berisi 'ventrikel' dan
jaringan otak plus dilatasi ruang CSS disefalokel.
Eksensefali adalah protrusi otak yang tidak ditutupi kulit.
Meningoensefalokel dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok secara umum
berdasarkan lokasinya: meningoensefalokel posterior atau oksipital dan
meningoensefalokel anterior atau frontal.5 Klasifikasi yang lebih jelas berdasarkan
lokasinya terdapat : (1) tempurung kepala (oksipital, interfrontal, parietal, fontanel
anterior/posterior, temporal), (2) frontaletmoidal (nasofrontal, nasoetmoidal,
nasoorbital), (3) basis kranii/basalis (transetmoidal, sfenoetmoidal, transfenoidal,
frontosfenoidal/sfenoorbital).

b. Spina Bifida

Spina bifida terbagi diatas dua :

1) Spina bifida okulta


2) Spina bifida aperta

Gambar 4 : Klasifikasi Spina Bifida

Gambar 4 : Klasifikasi Spina Bifida

1) Spina Bifida Okulta

Bentuk ini merupakan spina bifida yang paling ringan. Kelainan seperti ini
biasanya terdapat didaerah sacrolumbal, sebagian besar ditutupi oleh kulit dan
tidak tampak dari luar kecuali adanya segumpal kecil rambut diatas daerah yang
dihinggapi. Pada keadaan seperti ini medula spinalis dan saraf-saraf biasanya
normal dan gejala-gejala neurologik tidak ditemukan. Spina Bifida Okulta sering
didiagnosis secara tidak sengaja saat seseorang mengalami pemeriksaan X-ray
atau MRI untuk alasan yang lain. Pada neural tube defek (NTD) jenis ini, tidak
terjadi herniasi dari menings melalui defek pada vertebra. Lesi yang terbentuk
terselubung atau tersembunyi di bawah kulit. Pada tipe ini juga tidak disertai
dengan hidrosefalus dan malformasi Chiari II.

2) Spina Bifida Aperta

Tipe ini merupakan salah satu bentuk dari spina bifida yang kehilangan
lamina vertebranya dan seluruh isi dari kanalis vertebralis mengalami prolaps
membentuk sebuah defek dan defek tersebut membentuk kantung pada menings
yang berisi CSF, defek yang terbentuk inilah yang disebut dengan meningocele.
Sedangkan bila berisi korda spinalis dan akar saraf disebut mielomeningocele.
Korda spinalis tersebut biasanya berasal dari bentuk primitif, yakni lempeng
neural yang belum mangalami lipatan, hal ini disebut open myelomeningocele atau
rachischisis. Dan pada closed myelomeningocele, yakni apabila lempeng neural
telah terbentuk sempurna dan tertutup oleh membran dan kulit, meskipun tetap
terlihat arkus posterior dari vertebra.

a) Meningokel
Spina bifida jenis ini mengalami simpel herniasi dari menings
melalui defek pada vertebra. Korda spinalis dan akar saraf tidak ikut
mengalami herniasi melalui bagian dorsal dari dural sac. Lesi yang
timbul pada meningokel sangat penting untuk dibedakan dengan
mielomeningokel karena penanganan dan prognosisnya sangat berbeda.
Bayi yang lahir dengan meningokel biasanya pada pemeriksaan fisis
memberikan gambaran yang normal. Bayi yang lahir dengan meningokel
tidak memiliki malformasi neurologik seperti hidrosefalus dan Chiari II.
Jenis ini merupakan bentuk yang jarang terjadi.
Meningokel spinal adalah penonjolan dura mater dan membrane
araknoid yang terjadi dengan defek pada kolum spinal, dengan medulla
spinalis masih intak didalam kanalis spinalis (spinal canal) . Meningokel
jarang terjadi dan terdiri dari kelompok lesi kistik heterogen yang
diklasifikasian kepada 5 lokasi; posterior sacral dan lumbal, posterior
torakal, posterior servikal, anterior sacral dan anterolateral lumbal, torakal
dan servikal. Namun terdapat dua lokasi yang sering ditemukan

 Meningokel posterior sacral dan lumbal


Disrafisme atau defek fusi pada midline apabila diaplikasikan pada
tulang spinal digolongkan dengan beberapa istilah yang boleh
mengelirukan. Contohnya bayi baru lahir yang lahir dengan
mielomeningokel atau meningokel selalunya diklasifikasikan
sebagai spina bifida cystica.
Insiden , factor genetic dan etiologi defek lempeng neural yang
tertutup secara umumnya dan secara khusus meningokel tidak
dikenal disebabkan definisi dari meningokel sendiri masih
diperdebatkan dan meningokel sering dikelompokkan dengan
mielomeningokel. Sangat sukar untuk mengetahui insiden dari
meningokel dengan kemungkinan frekuensi kejadiannya kurang
dari satu per dua puluh di bandingkan dengan frekuensi
mielomeningokel. Pencegahan defek lempeng neural terbuka
melalui pemberian suplemen asam folat sebelum dan semasa
kehamilan dan juga sepanjang skrining prenatal telah
mengurangkan insiden defek lempeng neural terbuka yang
mempengaruhi rasionya kepada meningokel.

 Meningokel sacral anterior


Meningokel sacral anterior merupakan lesi yang tersembunyi
kerana tidak kelihatan abnormalitas. Lesi ini juga lebih jarang
terjadi daripada meningokel posterior disepanjang aksis spinal.
Lesi ini disebabkan oleh gangguan embriologi yang melibatkan
massa sel kaudal dan selalunya dikaitkan dengan anomaly rektal
(termasuk anus imperforata), malformasi uterus dan vagina,
duplikasi pelvis renal atau ereter, tulang pelvik dan anomali
vertebral, dermoid dan teratoma dikaitkan dengan kista.
Abnormalitas embriologis pada elemen anterior sacral
menyebabkan herniasi dura mater yang mengakibatkan
perkembangan terjadinya meningokel sacral anterior. Kelainan ini
sering disertai dengan defek lempeng neural yang lain.

b) Mielomeningokel
Mielomeningokel adalah keadaan di mana terjadi herniasi korda
spinalis dan akar saraf membentuk kantung yang juga berisi
menings. Kantung ini berprotrusi melalui vertebra dan defek
muskulokutaneus. Korda spinalis sering berakhir pada kantung ini dan
terbuka keluar disertai ekspose dari kanalis sentralis. Pembukaan dari
struktur saraf tersebut disebut neural placode. NTD tipe ini adalah bentuk
yang paling sering terjadi. Gangguan neurologis seperti hidrosefalus dan
malformasi Chiari II seringkali menyertai mielomeningokel. Sebagai
tambahan, mielomeningokel memiliki insidens yang tinggi sehubungan
dengan malformasi intestinal, jantung, dan esofagus, dan juga anomali
ginjal dan urogenital. Bayi yang lahir dengan mielomeningokel memiliki
orthopedic anomalies pada extremitas bawah dan anomali pada urogenital
melalui keterlibatan akar saraf pada regio sakral.
Tampak benjolan digaris tengah sepanjang tulang belakang.
Kebanyakan mielomenigokel berbentuk oval dengan sumbu panjangnya
berorientasi vertikal. Lokasi terbanyak adalah di daerah torakolumbal dan
frekuensi makin berkurang kearah distal. Kadang mielomeningokel
disertai defek kulit atau permukaan yang hanya dilapisi oleh selaput tipis.
Kelainan neorologik bergantung pada tingkat, letak, luas dan isi kelainan
tersebut, karena itu dapat berupa paraplegia, paraparesis, monoparesis,
inkotinensia urin dan alvi, gangguan sensorik serta gangguan refleks.
Gambar 5: Meningokel dan Mielomeningokel
5. Pathway
Genetik, Lingkungan,
Kongenital

Gagal menyatukan lumina vertebrata


& Kolumna spinalis

Penonjolan medula spinalis dan


pembungkusnya

Penurunan/gangguan fungsi pada


bagian tubuh yang dipersarafi

Ketidakmampuan mengontrol Kelumpuhan/kelemahan pada Orang tua cemas Peningkatan Abnormal Sel
pola berkemih ekstremitas bawah
Kurang informasi tentang TIK
Imobilisasi penyakit

MK : Inkotinensia Urine MK : Resiko Kerusakan MK : Kurang Pengetahuan MK : Gangguan Perfusi


Integritas Kulit Jaringan
6. Tanda dan Gejala
Gejalanya bervariasi, tergantung pada beratnya kerusakan pada korda
spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan
atau tanpa gejala, sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada
daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis atau akar saraf yang terkena.
Gejala pada umumnya berupa penonjolan seperti kantung di punggung
tengah sampai bawah pada bayi baru lahir. Kelumpuhan/kelemahan pada
pinggul, tungkai atau kaki, penurunan sensasi, inkontinesia uri maupun
inkontinensia tinja. Korda spinalis yang tekena rentan terhadap infeksi
(meningitis).
1) Gangguan persarafan
2) Gangguan mental
3) Gangguan tingkat kesadaran

7. Manifestasi Klinis
Gejala bervariasi tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda
spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan
atau tanpa gejala, sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada
daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.
Gejalanya dapat berupa :
a) Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi
baru lahir.
b) Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya.
c) Kelumpuhan / kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki.
d) Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
e) Lekukan pada daerah sakrum.

8. Pemeriksaan Penunjang
1) Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
2) USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda
spinalis maupun vertebra.
3) CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan
lokasi dan luasnya kelainan.

9. Penatalakasanaan
Tujuan dari pengobatan awal meningokel adalah mengurangi
kerusakan saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi), serta
membantu keluarga dalam menghadapi kelainan ini.
Pembedahan dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah ruptur.
Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi
hidrosefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan kulit diperlakukan
bila lesinya besar. Antibiotik profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis.
Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya disfungsi dan
berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai system tubuh.
Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk
memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati dan mencegah meningitis, infeksi
saluran kemih dan lainnya diberikan antibiotik. Untuk membantu
memperlancar aliran kemih bias dilakukan penekanan lembut diatas kandung
kemih. Pada kasus yang berat kadang harus dilakukan pemasangan kateter.
Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa membantu
memperbaiki fungsi saluran pencernaan.
Untuk mengatasi gejala muskulo skeletal (otot dan kerangka tubuh)
perlu campur tangan dari ortopedi (bedah tulang) maupun terapi fisik.
Keleinan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis dan luasnya gangguan
fungsi yang terjadi. Kadang-kadang pembedahan shunting untuk memperbaiki
hidrosefalus.
Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat mengurangi
kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek korda spinalis.

Penatalaksanaan:
1) Sebelum dioperasi, bayi dimasukkan ke dalam inkubator dengan kondisi
tanpa baju.
2) Bayi dalam posisi telungkup atau tidur jika kantungnya besar untuk
mencegah infeksi.
3) Berkolaborasi dengan dokter anak, ahli bedah dan ahli ortopedi, dan ahli
urologi, terutama untuk tidakan pembedahan, dengan sebelumnya
melakukan informed consent
Lakukan pengamatan dengan cermat terhadap adanya tanda-tanda
hidrosefalus (dengan mengukur lingkar kepala setiap hari) setelah dilakukan
pembedahan atau juga kemungkinan terjadinya meningitis (lemah, tidak mau
minum, mudah terangsang, kejang dan ubun-ubun akan besar menonjol).
Selain itu, perhatikan pula banyak tidaknya gerakan tungkai dan kaki, retensi
urin dan kerusakan kulit akibat iritasi urin dan feses.
10. Komplikasi
1. Hidrosefalus
2. Meningitis
3. Hidrosiringomielia
4. Intraspinal tumor
5. Kiposkoliosis
6. Kelemahan permanen atau paralisis pada ekstermitas bawah
7. Serebral palsy disfungsi batang otak
8. Infeksi pada sistem organ lain
9. Sindroma Arnold-Chiari
10. Gangguan pertumbuhan

BAB III
KESIMPULAN

Meningocele adalah ekstrusi mening yang melewati defek pada tulang


cranium atau vertebrae. Meningokel terjadi apabila terdapat kelainan pada
lempeng neural. Penyebab dari kelainan lempeng neural berupa multifactorial
yang melibatkan factor genetik, ras, dan lingkungan salah satunya nutrisi,
terutama kekurangan asam folat pada ibu. Defek tuba neuralis terbagi diatas
cranium bifida dan spina bifida. Meningokel pada kranial merupakan bagian
daripada kranium bifidum sistikum. Meningokel pada spinal, seperti pada kranial,
jarang terjadi dan terdiri dari kelompok lesi kistik heterogen yang diklasifikasian
kepada 5 lokasi; posterior sacral dan lumbal, posterior torakal, posterior servikal,
anterior sacral dan anterolateral lumbal, torakal dan servikal.

Penegakan diagnosis meningokel tidak hanya dari pemeriksaan klinik


yang baik, malah memerlukan pemeriksaan penunjang yang membantu dalam
menegakkan diagnosis. Pemilihan modalitas pencitraan yang paling tepat untuk
defek tuba neuralis dipengaruhi banyak faktor . Cara terbaik untuk gambar
anomali tengkorak dan rangka adalah dengan cara radiografi biasa, mungkin
dikombinasikan dengan tomografi konvensional , meskipun modalitas ini
sekarang telah lebih diganti oleh penggunaan CT-scan. Apabila diduga terdapat
kelainan tulang belakang , penyelidikan kanal tulang belakang dan isinya
sebaiknya dilakukan dengan MRI . MRI memberikan informasi lebih akurat dari
CT atau myelography dalam mendefinisikan anatomi korda spinalis dan anatomi
tengkorak.

Penatalaksanaan meningokel adalah berdasarkan posisi dari kelainan.


Tujuan utama dari penatalaksaan adalah untuk mengembalikan meninges kedalam
kanalis spinalis supaya tidak terjadi komplikasi. Pada meningokel kranial, di mana
kantung tidak mengandung jaringan saraf, hasil dari pembedahan hampir selalu
baik. Tetapi pada meningoensefalokel yang berisi jaringan otak biasanya diakhiri
dengan kematian dari anak. Penanganan pasien memerlukan kerjasama semua
bidang, kombinasi dari neurosurgery, ortopedi, urologi, pediatrik, radiologi dan
fisioterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rukiyah Y et al (2010). Asuhan neonatus bayi dan anak balita.


Jakarta: CV Trans Info Media.
2. Istiadjid M (2004). Luas Defek Meningokel Berhubungan dengan
Kadar Transforming Growth Factor β1 (tgf-β1) dan Insuline-Like
Growth Factor-1 (IGF-1) Dalam Tulang. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. XX, No. 3,
3. Dewi L, Nanny V (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.
Jakarta: Salemba Medika.
4. Wafi NM (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta:
Fitramaya.

Anda mungkin juga menyukai