Anda di halaman 1dari 21

Makalah Farmasi

KEJANG DEMAM

DISUSUN OLEH :
William Gani
G991902058
Periode : 25 November 2019 – 8 Desember 2019

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit tropis yang masih menjadi masalah


kesehatan, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sumber
penularannya terutama berasal dari makanan yang tercemari bakteri Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi. Angka kejadian tifoid secara global mencapai
11-20 juta jiwa, dengan angka mortalitas berkisar antara 128.000-161.000 setiap
tahunnya (World Health Organization, 2018).
Kasus demam tifoid harus mendapat perhatian yang serius karena
permasalahannya yang kompleks. Permasalahan tersebut terutama mencakup
manifestasi klinis yang seringkali tidak spesifik dan menyerupai kasus infeksi
lain, komplikasi penyakit yang berbahaya, dan resistensi terhadap antibiotik yang
semakin meningkat. Permasalahan di atas berpengaruh pada upaya pengobatan
dan pencegahan yang kian menjadi sulit (Buckle et al, 2012).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI


Demam tifoid adalah penyakit infeksi tropis yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica serovar typhi dan parathypi. Penyakit ini bersifat
sistemik, dengan manifestasi umum berupa demam lebih dari 7 hari (Paul dan
Bandyopadhyay, 2017).
Di Indonesia, angka kejadian demam tifoid mencapai 81.7 per
100.000 kasus (Wain et al, 2015). Penyakit ini banyak dijumpai pada populasi
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan
dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena
demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan
peralatan makan yang sama, dan tidak tersedianya tempat buang air besar di
rumah (Setiati et al 2014).

B. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella enterica serovar
typhi dan paratyphi, merupakan bakteri gram enterik negatif. Keberadaan
flagella dan kemampuan bakteri untuk menjadi patogen intraselular fakultatif
menjadikan bakteri ini bersifat sangat invasif.
Port d’entry dari bakteri S. enterica adalah rute fecal-oral, seperti
melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagaian lagi lolos masuk de dalam usus dan bereplikasi.
Infectious dose dari S. typhi dan S. paratyphi untuk mampu menyebabkan
infeksi sistemik termasuk sangat kecil, yaitu 102 dan berkurang apabila
bakteri masuk bersama makanan. Selanjutnya, bakteri dapat menembus sel-
sel M menuju lamina propria. Di lamina propria, bakteri akan difagosit oleh
makrofag. Akan tetapi, S. typhi dan S. paratyphi dapat bertahan hidup dan
bereplikasi di dalam makrofag. Kemudian, oleh makrofag bakteri akan
dibawa ke plak peyeri ileum distal dan menuju lymphonodi mesenterica.

2
Dengan mengikuti aliran balik pembuluh limfe, bakteri akan mencapai
ductus thoracicus dan masuk ke sirkulasi darah (menyebabkan bakteremia
pertama yang bersifat asimptomatik). Selanjutnya, S. typhi dan S. paratyphi
akan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial terutama hepar dan lien.
Di organ-organ tersebut, bakteri akan meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian bereplikasi di luar sel untuk kemudian masuk lagi ke dalam
sirkulasi darah (bakteremia kedua) yang menandai onset dari manifestasi
klinis pada demam tifoid.
Setelah menginfeksi hepar, S. typhi dan S. paratyphi selanjutnya
dapat menginfeksi kandung empedu. Hal ini menyebabkan bakteri
disekresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri
dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi mengulang proses infeksi dengan
menembus sel M.
Respons imun terhadap S. typhi dan S. paratyphi menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator-mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan manifestasi klinis sistemik seperti demam, malaise, myalgia,
dan sakit kepala. Selain itu, endotoksin yang dikeluarkan S. typhi dan S.
paratyphi dapat menempel pada reseptor sel endotel kapiler menyebabkan
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernafasan dan gangguan organ lainnya.

3
S. typhi atau S.
paratyphi masuk
melalui rute oral

Lambung
(sebagian Lolos Lumen Usus Lamina propia Plaque
dimusnahkan oleh halus (difagosit Peyeri
asam lambung) makrofag)

Aliran darah KGB


Dcktus
(Bakterimia I mesenterica
thoracicus
asimptomatik)

Seluruh organ RE
(terutama hati dan Hati
lien)

Kandung
Aliran darah empedu
(Bakterimia II dengan
simptomatik)

Lumen usus

Lamina propia Feses


(proses sama seperti
di atas)

Makrofag sudah
teraktivasi

Reaksi hiperplasia
Erosi pembuluh
darah 
perdarahan saluran Hiperaktif
cerna hingga
perforasi

Melepas mediator
inflamasi  gejala
reaksi inflamasi
sistemik

Gambar 2.1 Perkembangan bakteri Salmonella enterica dalam tubuh manusia

4
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi berlangsung 10 – 14 hari. Selain itu, gambaran
penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang asimptomatis sampai gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi.
Minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi
akut pada umumnya, yaitu demam (suhu tubuh meningkat pada sore dan
malam hari), nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif, lidah khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
(coated tongue) serta tremor), hepatomegali, splenomegali, rasa perut
kembung, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

C. DIAGNOSIS
Secara klinis, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis
kerja demam tifoid dapat ditegakkan dengan kriteria Zulkarnaen yaitu:
1. Febris >7 hari, naik perlahan (step ladder), disertai dengan
gangguan defekasi (diare atau konstipasi)
2. Terdapat 2 atau lebih dari: leukopenia, tidak menderita
malaria, tidak ada kelainan urin
3. Terdapat 2 atau lebih dari: penurunan kesadaran, rangsal
meningeal (-), perdarahan usus (+), bradikardi relative,
hepatomegali dan/ atau splenomegaly
Untuk menegakkan diagnosis definitif dari demam tifoid, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang menjadi gold standar
adalah kultur bakteri. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan antibody IgM
anti S. typhi dan S. paratyphi dengan uji typhidot atau uji tubex. Sementara itu,
Uji Widal sudah mulai ditinggalkan karena rendahnya spesifitas yang
menyebabkan hasil positif palsu, terutama di daerah endemis tifoid.

5
G. DIAGNOSIS BANDING
 Demam Berdarah Dengue
 Malaria
 Leptospirosis
 Hepatitis A
 Infeksi Saluran Kemih

H. KOMPLIKASI
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi
demam tifoid antara lain :
1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang
disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari
delirium sampai koma.
2. Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia
yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti
tekanan darah turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral
dingin.
3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga
diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini
ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos
abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas
dalam rongga perut.
4. Hepatitis tifoid
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.
5. Pankreatitis tifoid

6
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan
amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.
6. Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto
polos toraks.

I. TERAPI
1. Terapi Suportif
a. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas pada demam tifoid dengan
manifestasi klinis yang berat. Mobilisasi pasien dilakukan secara
bertahap.
b. Menjaga kecukupan asupan cairan yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita
yang sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang
sulit makan.
c. Diet saring TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein) rendah serat,
konsistensi lunak sampai 7 hari bebas panas lalu ganti bubur kasar,
dan setelah 7 hari ganti dengan nasi. Pemberian bubur saring
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus/ perforasi
usus.

2. Terapi Simptomatik
a. Antipiretik, untuk menurunkan demam. Misalnya, dengan pemberian
Paracetamol dengan dosis 3 x 500-1000 mg sehari atau Ibuprofen
dengan dosis 3 x 400 mg.
b. Antiemetik, diperlukan bila penderita ada keluhan mual muntah

3. Terapi Definitif / Kausatif


Penyebab dari demam tifoid adalah bakteri S. typhi dan S.
paratyphi sehingga perlu diberikan terapi definitif berupa pemberian
antibiotik sesuai dengan bakteri penyebabnya.

7
Untuk saat ini, drug of choice untuk pengobatan demam tifoid
pada kelompok umur dewasa adalah golongan fluoroquinolone yaitu
Ciprofloxacin. Selain itu, Chloramphenicol terkadang masih menjadi
pilihan terutama digunakan pada daerah-daerah dimana tidak tersedia
fluoroquinolone. Untuk kasus demam tifoid pada pada anak dan wanita
hamil, karena penggunaan quinolone dan chloramphenicol tidak
dianjurkan, maka antibiotik golongan cephalosporine generasi ke tiga
menjadi pilihan utama.

Tabel 2.1 Antibiotik dan Dosis Penggunaan untuk Tifoid


Antibiotik Dosis Kelebihan dan Kekurangan
Fluoroquinolone Ciprofloksasin 500 mg Kelebihan:
setiap 12 jam (PO) atau  Efektif mencegah relaps dan
400 mg setiap 12 jam (IV) karier
selama 7 hari Kekurangan:
 Anak < 18 tahun tidak
dianjurkan karena efek
samping pada pertumbuhan
tulang
 Tidak boleh diberikan untuk
wanita hamil
Cefixime Anak : 20 mg/kgBB/hari, Kelebihan :
per oral, dibagi 2 dosis,  Lebih aman terutama untuk
setiap 12 jam selama 14 anak dan wanita hamil
hari
Chloramphenicol Dewasa: 500 mg setiap 8 Kelebihan :
jam selama 14 hari

8
Tiamphenicol Dewasa: 500 setiap 6 jam  Dapat dipakai untuk anak
hingga 5-7 hari bebas dan dewasa
demam  Cost effective karena harga
murah
Kekurangan :
 Bersifat hematotoksik
 Perbaikan klinis lebih lambat
 Kasus relaps lebih banyak

J. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis
pada stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya
sedikit penyulit yang terjadi. Secara keseluruhan, prognosis penyakit ini
adalah bonam (baik), namun dari segi kesembuhan (ad sanationam) dubia ad
bonam karena penyakit ini cenderung dapat terjadi berulang/ relaps.

9
BAB II
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. H
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Ahli IT
Alamat : Jebres, Surakarta
Agama : Islam

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Demam sejak 7 hari yang memberat dalam 20 jam terakhir
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan demam yang memberat sejak 20 jam yang lalu.
Demam sudah dirasakan oleh pasien sejak 7 hari SMRS. Demam tidak muncul
secara tiba-tiba dengan parah, namun bersifat progresif. Demam bersifat terus
menerus dan meningkat di malam hari. Kadang-kadang pasien merasa menggigil
pada malam hari. Pada pagi hari, pasien merasa demam menurun tapi tetap tidak
mencapai suhu normal. Pasien sudah mengonsumsi obat penurun panas yang
dibeli di apotek, namun demam masih belum sembuh.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak 7 hari SMRS. Muntah
tidak disertai darah, tidak berwarna kemerahan maupun kehitaman. Pasien merasa
pusing sejak 7 hari SMRS dan mengeluhkan kadang timbul nyeri kepala terutama
di daerah belakang kepala yang bersifat cekot-cekot. Nyeri kepala cekot-cekot
dirasakan hilang timbul namun pusing dirasakan terus menerus. Pasien juga
mengeluh nyeri pada persendian lutut. Nyeri betis disangkal
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 3 hari yang lalu. Pasien adanya
riwayat BAB kehitaman, maupun BAB disertai darah atau lendir. Pasien tidak

10
mengeluhkan adanya anyang-anyangan, nyeri saat berkemih, maupun sulit
berkemih. Riwayat frekuensi BAK 4-6 kali dalam sehari. Urin berwarna bening
dan tidak keruh. Urin berwarna seperti teh disangkal.
Pasien menyangkal adanya riwayat mimisan, gusi berdarah, ruam, maupun
bintik-bintik dan bercak kemerahan pada kulit. Pasien juga menyangkal adanya
batuk pilek maupun sesak napas. Keberadaan banjir maupun paparan dengan
genangan air disangkal oleh pasien. Pasien tidak memiliki kontak dengan tikus
atau binatang lain dalam satu bulan terakhir. Riwayat berpergian ke daerah
endemis malaria disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat mondok karena penyakit serupa (-)
 Riwayat alergi obat, makanan, udara dingin (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat penyakit hepar (-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Riwayat penyakit serupa (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat DM (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS
E4V5M6
2. Tanda Vital
 Tensi : 100/80 mmHg
 Nadi : 85x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
 Frekuensi nafas : 18x/menit, abdominothorakal
 Suhu : 39,1 0C
 VAS :3
3. Status gizi :
 BB : 56 kg
 TB : 165 cm
 BMI : 20.57 kg/m2
 Kesan : gizi cukup

11
4. Kulit : warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi
(-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik
(-),
ekimosis (-), pucat (-), rash (-)
5. Kepala : distribusi rambut normal, rambut mudah rontok
(-), luka (-)
6. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), conjunctival suffusion (-), pupil isokor
dengan diameter 3mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)
7. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri
tekan tragus (-), membran timpani hiperemis (-)
8. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Sianosis (-), luka pada sudut bibir (-), gusi
berdarah (-), oral thrush (-). Lidah kotor dan
tremor saat dijulurkan (+), papil lidah atrofi (-).
10. Leher : JVP 5 + 2 cm, trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
limfonodi cervical (-), leher kaku (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan sama dengan kiri, retraksi intercostal (-),
sela iga melebar (-)
12. Jantung
 Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
 Palpasi : ictus kordis teraba tidak kuat angkat di SIC V linea
midclavicularis sinistra
 Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea sternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC IV linea midclavicularis
sinistra
- Kesan : batas jantung normal
 Auskultasi :bunyi jantung I-II, intensitas normal, reguler, bising (-),
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar

12
- Dinamis : pengembangan dada kanan sama dengan kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis : pergerakan dinding dada kanan sama dengan kiri,
fremitus raba kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : sonor
- Kiri : sonor
 Auskultasi
- Kanan : suara dasar: vesikuler (+), suara tambahan (-)
- Kiri : suara dasar :vesikuler (+), suara tambahan (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : pengembangan dada kanan sama dengan kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis : pergerakan dinding dada kanan sama dengan kiri,
fremitus raba kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
 Auskultasi
- Kanan : suara dasar: vesikuler, suara tambahan (-)
- Kiri : suara dasar: vesikuler, suara tambahan (-)
14. Abdomen
 Inspeksi : dinding perut = dinding dada, distended (-), scar (-),
striae (-), caput medusa (-)
 Auskultasi : bising usus (+) 10 x/menit
 Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-),
hepatomegaly (-)
 Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar teraba membesar dengan
tepi lancip, konsistensi kenyal, nyeri tekan hepar (+)
splenomegaly (+)
15. Ekstremitas
Akral dingin Edema
- -
- -

13
Maculopapular rash (-), petechiae (-) palmar eritem (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Darah Rutin
Hemoglobin : 14 g/dL
Hematokrit : 41 %
Leukosit : 4.9 ribu/ul
Eritrosit : 4.70 juta/ul
Trombosit : 220 ribu/ul
Kimia Klinik
SGOT : 25 u/l
SGPT : 54 u/l
Kreatinin : 0.8 mg/dl
Ureum : 24 mg/dl

Elektrolit
Natrium darah : 130 mmol/L
Kalium darah : 3.5 mmol/L
Chlorida darah : 95 mmol/L

Imunoserologi
TUBEX IgM Salmonella typhi : Reaktif (8)

E. DIAGNOSIS
Demam tifoid

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi
 Mengeradikasi bakteri S.typhi atau S.paratyphi penyebab demam tifoid
 Mengatasi keluhan utama pasien (demam) dan keluhan penyerta (mual
dan muntah)

14
 Mencegah komplikasi
1. Non Medikamentosa
 Bed rest sampai 7 hari bebas panas (mobilisasi bertahap dari duduk
sampai pulih kekuatan)
 Diet TKTP lunak, rendah serat sampai 7 hari bebas panas. Kemudian
diganti bubur kasar selama 7 hari, setelah itu diganti nasi.
2. Medikamentosa
 Ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 7 hari → drug of choice
 Ibuprofen 3 x 400 mg → antipiretik
 Metoclopramid 10mg → antiemetik

Penulisan Resep

dr. Yohanes Aditya Adhi Satria


SIP 20201116172037
Jl. Kartika 1, Jebres, Surakarta
27 Oktober 2019
R / Ciprofloxacin tab mg 500 No. XIV
S omni 12 hora

R/ Ibuprofen tab mg 400 No. XX


S p.r.n 1-3 dd tab 1 p.c
R/ Metoclopramid tab mg 10 No. X
S p.r.n 1-3 dd tab 1 a.c

Pro : Tn. H (25 tahun)


Alamat : Jebres, Surakarta

G. PROGNOSIS
Ad fungsionam : bonam
Ad sanatioam : dubia ad bonam

15
Ad vitam : bonam

16
BAB III
PEMBAHASAN OBAT TERKAIT KASUS

A. CIPROFLOXACIN
Antibiotik yang dipilih pada kasus ini adalah Ciprofloxacin. Obat ini
termasuk ke dalam golongan fluoroquinolone. Ciprofloxacin bersifat
bactericidal dan bekerja dengan cara menghambat enzim DNA gyrase dan
topoisomerase yang menghambat stabilisasi kromosom dan mencegah
replikasi DNA bakteri. Antibiotik ini terutama aktif terhadap bakteri gram
negative. Ciprofloxacin menggantikan Chloramphenicol sebagai pilihan
antbiotik pada kasus demam tifoid karena keunggulannya dalam beberapa
aspek; yaitu efek samping lebih sedikit, lebih cepat dalam eradikasi bakteri,
dan lebih efektif untuk mencegah terjadiya relapse atau carrier.
Dengan pemberian peroral, absorpsi Ciprofloxacin mencapai 80-99%.
Intake dari sucralfate serta logam divalent dan trivalent seperti aluminium,
magnesium, besi, kalsium, atau zinc dapat mengurangi absorpsi obat.
Ciprofloxacin terdistribusi baik. Karena konsentrasinya yang tinggi di
beberapa organ terutama feses, empedu, dan dalam intrasel makrofag, maka
antibiotik ini sangat efektif untuk terapi demam tifoid. Waktu paruh obat
adalah sekitar 5 jam dengan jalur ekskresi utama adalah via renal.
Efek samping berupa tendinitis terutama terjadi pada pasien dengan
usia >60 tahun. Selain itu, 3%-15% pasien yang mengonsumsi Ciprfloxacin
mengalami gangguan saluran cerna ringan seperti mual dan muntah. Sekitar
1-10% pasien dilaporkan mengalami efek samping berupa nyeri kepala dan
pusing.

B. IBUPROFEN
Pada kasus ini, pasien mengalami keluhan utama berupa demam,
sehingga perlu dilakukan penurunan suhu tubuh dengan antipiretik.
Antipiretik yang dipilih adalah Ibuprofen. Ibuprofen termasuk dalam kelas
Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) dengan mekanisme

17
menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase enzymes (COX-1 dan COX-2).
Dalam kasus ini penggunaan Ibuprofen memiliki beberapa keunggulan dari
paracetamol; yaitu ibuprofen memiliki efek antiinflamasi sistemik, ibuprofen
tidak bersifat hepatotoksik, dan pada beberapa infeksi termasuk demam tifoid,
ibuprofen lebih efektif dalam mengurangi durasi febris (Laurence et al,2018;
Vinh et al, 2004).
Dengan pemberian oral, ibuprofen terabsorpsi dengan cepat.
Ibuprofen mengalami metabolisme di hepar dan ekskresi via renal dengan
waktu paruh obat sekitar 2 jam. Iritasi gaster terjadi pada 5%-15% pasien.
Ibuprofen dilaporkan lebih aman jika dibandingkan dengan NSADs jenis lain.

C. METOCLOPRAMIDE
Pada kasus ini, pasien juga mengalami keluhan mual dan muntah.
Untuk mengurangi keluhan tersebut dan juga untuk memperbaiki intake
nutrisi pasien, maka perlu diberikan terapi farmakologis untuk mengurangi
keluhan. Obat yang dipilih adalah Metoclopramide yang memiliki efek
antiemetik dan prokinetik. Mekanisme kerja Metoclopramide kompleks dan
meliputi antagonis reseptor dopamin di chemoreceptor trigger zone (CTZ)
brainstem, antagonis respons vagal, dan sensitisasi dari reseptor muscarinic.
Metoclopramide diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral,
mengalami metabolisme konjugasi oleh hepar, dan diekskresikan via renal.
Obat ini memiloki waktu paruh 4-6 jam. Efek samping utama dari
Metoclopramide adalah gejala ekstrapiramidal.

18
BAB V
PENUTUP

Simpulan
1. Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica serovar typhi dan paratyphi.
2. Prinsip farmakoterapi pada demam tifoid meliputi terapi definitif untuk
mengeradikasi bakteri dan terapi simptomatis.

Saran
Demam tifoid membutuhkan penatalaksanaan antibiotik dengan segera,
untuk itu diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang yang tepat untuk menegakkan diagnosis dengan tepat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Brunton, L., Knollmann, B. and Hilal-Dandan, R. (2018). Goodman & Gilman's


Pharmacology Basis of Therapeutics. New York, N.Y.: McGraw-Hill
Education LLC

Buckle GC, Walker CL, Black RE. Typhoid fever and paratyphoid fever:
systematic review to estimate global morbidity and mortality for 2010. J
Glob Health 2012; 2: 10401.

Clark MA, Finkel R, Rey JA, Whalen K. (2016). Lippincott's illustrated reviews.
Pharmacology. Baltimore, MD : Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams
& Wilkins.

Manson, P., Cooke, G. and Zumla, A. (2014). Manson's Tropical Diseases.


[Edinburgh]: Saunders Elsevier.

Murray, P., Pfaller, M. and Rosenthal, K. (2016). Medical microbiology.


Philadelphia, PA: Elsevier

Paul, U., & Bandyopadhyay, A. (2017). Typhoid fever: a review. International


Journal of Advances in Medicine, 4(2), 300-306.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2014:769-775.

Wain, Hendriksen, Mikoleit ML, Keddy KH, Ochiai RL. Typhoid fever. Lancet.
2015 Mar 21;385(9973):1136-45. doi: 10.1016/S0140-6736(13)62708-7.

Word Health Organization. (2018). Typhoid Key Facts


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/typhoid [diakses pada
27 Oktober 2019]

20

Anda mungkin juga menyukai