Anda di halaman 1dari 31

Kecacatan Pada Mata

Oleh :
Ade Mutiara
Gatot Satrio
Joko Prasetyo
Tonka Wisabayu Kelana

Pembimbing:
Dr. Yunia Irawati Sp.M

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KERJA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
Jakarta, 2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Menghadapi era globalisasi, ketenaga-kerjaan semakin diharapkan konstribusinya
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang akan tercermin dengan
meningkatnya profesionalisme, kemandirian, etos kerja dan produktivitas kerja. Untuk
mendukung itu semua diperlukan tenaga kerja dan lingkungan kerja yang sehat, selamat,
nyaman dan menjamin peningkatan produktivitas kerja 1).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kepentingan pengusaha, pekerja
dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO, setiap tahun di seluruh dunia 2
juta orang meninggal karena masalah akibat kerja. Dari jumlah ini, 354.000 orang
mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang
mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja.
Tingkat kecelakaan-kecelakaan fatal di negara-negara berkembang empat kali
lebih tinggi dibanding negara-negara industri. Kebanyakan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja terjadi di bidang pertanian, perikanan, perkayuan, pertambangan dan
konstruksi.
Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea
menyebutkan bahwa kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang kerja,
yang seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila pekerja-pekerja
yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan dan kerugian laba sebesar 340 milyar
rupiah.
Bulan Januari 2003 menyebutkan bahwa kecelakaan di tempat kerja yang tercatat
di Indonesia telah meningkat dari 98,902 kasus pada tahun 2000 menjadi 104,774 kasus
pada tahun 2001. Dan selama paruh pertama tahun 2002 saja, telah tercatat 57,972
kecelakaan kerja.Meskipun tingginya angka kecelakaan kerja ini cukup memprihatinkan,
hal ini menyiratkan adanya perbaikan yang nyata dalam pelaporan dan penyebaran
informasi tentang kecelakaan kerja kepada masyarakat 1,2).

Salah satu efek yang buruk bagi manusia yang terjadi akibat proses industrialisasi
tersebut adalah gangguan pada mata. Risiko gangguan pada mata yang pada keadaan
terburuk dapat mengakibatkan terjadinya kecacatan mata. Kecacatan mata yang muncul
dapat berasal dari astenopia, gangguan refraksi, sampai trauma mata dapat terjadi
selama berada di tempat kerja.
Penelitian yang dilakukan di Amerika mendapatkan lebih dari setengah populasi
di Amerika Serikat memerlukan koreksi lensa dimana kelainan yang paling banyak
berupa myopia (25%) dan astigmatisma (50-60%) dan angka kejadian katarak pada usia
52-64 tahun sebanyak 40% dari populasi.

Kecacatan Pada Mata Page 2 from 31


1.2 Permasalahan
Dengan pesatnya perkembangan dunia industri di berbagai belahan dunia
termasuk di negara kita maka makin bertambah pula risiko kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja yang dapat mengakibatkan kecacatan pada mata. Hal ini tentunya dapat
menimbulkan masalah penurunan produktifitas, baik secara individu maupun pada unit
kerjanya dan selanjutnya pada industri yang bersangkutan secara lebih luas. Di sisi lain,
jika terjadi penyakit akibat kerja atau kecelakaan kerja yang berdampak pada
mata/penglihatan pekerja, perhitungan kompensasi yang diperoleh pekerja belum begitu
jelas. Kekurangjelasan bukan hanya dialami oleh pekerja yang bersangkutan, tetapi lebih
buruk lagi kadang-kadang pada pihak manajemen sehingga tidak jarang masalah yang
timbul pada mata/penglihatan pekerja yang berkaitan dengan pekerjaannya tidak
mendapatkan kompensasi yang seharusnya.

1.3 Tujuan
 Mengetahui kecacatan pada mata yang timbul akibat kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.
 Mengetahui uraian kecacatan mata dan perhitungan/penilaian tingkat kecacatan
mata.
 Mengetahui waktu dilakukannya perhitungan kecacatan mata.
 Mengetahui batas-batas dan besaran kompensasi yang dapat diterima pekerja
yang mengalami kecacatan pada mata akibat kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja sesuai dengan jaminan sosial tenaga kerja.

Kecacatan Pada Mata Page 3 from 31


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Penglihatan
Kita dapat melakukan beragam pendekatan dari berbagai sudut pandang pada
gangguan penglihatan. Aspek-aspek yang berbeda kadang digambarkan dengan nama-
nama yang berbeda pula. Terdapat empat aspek utama terjadinya gangguan penglihatan
seperti digambarkan pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Berbagai aspek hilangnya kemampuan melihat (vision loss).(4)

Variabel Organ Orang yang bersangkutan


Aspek- Perubahan Perubahan Keterampilan dan Konsekuensi
aspek struktural fungsional pada kemampuan ekonomik dan sosial
level organ individual
Istilah Impairment Disability Handicap
negatif
Istilah Kondisi Fungsi organ Aktivitas Partisipasi
netral kesehatan
Aplikasi Penyakit mata, “fungsi-fungsi “Functional vision” Kualitas hidup yang
pada gangguan, visual” yang yang dijelaskan berkaitan dengan
Penglihatan cedera diukur secara secara kualitatif kemampuan melihat
kuantitatif

Contoh- Corneal scar, Ketajaman Keterampilan Isolasi sosial,


contoh katarak, pandang, membaca, kehilangan
degenerasi lapangan mobilitas, pekerjaan,
retina, atrofi pandang, color keterampilan kehilangan
optik vision, adaptasi aktivitas hidup pendapatan
gelap sehari-hari

Dari sudut pandang rehabilitasi, yang berkaitan dengan masalah mata ini,
impairment didefinisikan sebagai perubahan-perubahan fungsional pada level organ
(fungsi-fungsi visual). Sebagai contoh, katarak adalah perubahan anatomis – impairment
yang dihasilkan adalah menurunnya ketajaman penglihatan. Namun, literatur lainnya
dapat memperluas pengertian impairment ini sampai kepada perubahan anatomis.
Impairment rating digunakan oleh AMA Guides untuk memperlihatkan dampak
impairment terhadap kemampuan melakukan keterampilan aktivitas sehari-hari
(functional vision). Disability, penggunaannya dihindari dalam ICF (International

Kecacatan Pada Mata Page 4 from 31


Classification of Functioning) karena dianggap istilah negatif dan dapat memiliki banyak
arti. Being disabled dapat diartikan adanya fakta bahwa seseorang tidak dapat
melakukan ADL (activities of daily living) tertentu. Being on disability dapat
mengindikasikan bahwa seseorang menerima beberapa keuntungan, yang merupakan
suatu konsekuensi sosial yang mungkin dari hilangnya kemampuan (ability loss).
Disablement adalah istilah yang digunakan dalam ICF untuk menghindari istilah
disability.

Definisi dan Berbagai Aspek Kecacatan


Hazard yang tidak terkendalikan yang terdapat di tempat kerja dapat
menyebabkan kelainan pada mata akibat pemajanan pada karyawan yang dapat
berdampak pada tajam penglihatan, lapangan pandang, binokularitas dan penglihatan
warna. Ini merupakan bentuk penyakit akibat kerja bidang penyakit mata, yang
selanjutnya juga dapat menyebabkan kecacatan.
Terdapat beberapa definisi yang merujuk pada kasus-kasus berkaitan dengan kecacatan
ini. Kita mengenal istilah impairment, disability, dan handicap. The International
Classification of Impairments, Disabilities, and Handicaps (ICIDH) dari WHO (1980)
menawarkan definisi dalam konteks kebijakan kesehatan, yang membedakan antara
ketiga hal ini:
 Impairment adalah adanya kehilangan atau abnormalitas dalam aspek psikologi,
fisiologi, atau struktur dan fungsi anatomis.
 Disability adalah adanya restriksi/keterbatasan atau kekurangan kemampuan
(akibat impairment) untuk melakukan aktivitas dalam kisaran cara-cara yang
dianggap normal bagi manusia.
 Handicap adalah disadvantage atau keadaan yang merugikan untuk seseorang,
akibat impairment atau disability, yang membatasi atau menghalangi
terpenuhinya peran yang normal (tergantung usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor
sosial dan budaya) untuk orang tersebut.

Impairment secara umum didefinisikan sebagai kehilangan fungsi organ atau


suatu bagian tubuh dibandingkan dengan yang ada sebelumnya. Idealnya, impairment
dapat didefinisikan dan dijelaskan murni dalam istilah medis dan diukur sedemikian rupa
sehingga pengukurannya bersifat reproducible – sebagai contoh, severe restrictive lung
disease dengan total lung capacity sebesar 1,6 liter. Impairment juga dianggap sebagai
masalah-masalah dalam fungsi atau struktur tubuh sebagai suatu penyimpangan atau
kehilangan yang signifikan. Jadi, impairment ini mewakili suatu penyimpangan dari
standar-standar tertentu yang secara umum berlaku dalam masyarakat dalam hal
biomedical status dari tubuh dan fungsi-fungsinya, dan definisi dari unsur-unsur
pendukungnya ini terutama dilakukan oleh pihak-pihak yang berkualifikasi dalam
menentukan fungsi-fungsi fisik dan mental berdasarkan standar-standar tersebut.

Kecacatan Pada Mata Page 5 from 31


Impairment ini dapat bersifat sementara atau permanen; progresif, regresif, atau statis;
intermitten atau kontinyu. Deviasi dari norma populasi dapat ringan, dapat pula berat, dan
dapat berfluktuasi dalam suatu rentangan waktu. Impairment sifatnya lebih luas dan dan
scopenya lebih inklusif dibandingkan dengan disorders/gangguan penyakit.
Contohnya, kehilangan kaki merupakan impairment dari struktur tubuh, tapi bukan
merupakan suatu disorder atau suatu penyakit. Impairment diklasifikasikan dalam
kategori-kategori yang menggunakan kriteria identifikasi (misalnya ada atau tidaknya
berdasarkan thershold level). Kriteria ini sama untuk fungsi-fungsi dan struktur-struktur
tubuh : (a) loss or lack; (b) reduction; (c) addition or excess; dan (d) deviation.
Di sisi lain, disability biasanya didefinisikan dalam batasan dampak dari
impairment pada fungsi-fungsi sosial dan pekerjaan. Sehingga, disability evaluation
termasuk menilai kehilangan fungsi (impairment) dan tuntutan kerja pasien serta situasi
rumah yang bersangkutan. ADA mendefinisikan person with disability sebagai seseorang
yang memiliki keterbatasan secara substansial pada aktivitas-aktivitas hidup yang utama.
Seorang pekerja yang cedera sehingga tidak dapat mengerjakan apapun karena kondisi
medisnya dianggap totally disabled. Jika orang ini dapat bekerja tapi dengan beberapa
keterbatasan dan tidak dapat mengerjakan pekerjaannya yang biasa, ini disebut partial
disability. Dalam kondisi-kondisi kronis, dapat terjadi kesulitan dalam meyakinkan
hubungan antara pekerjaan dan penyakit. Definisi hukum mengenai penyebab dapat
bersifat less exacting dibandingkan dengan definisi medis, dan sebagian besar disability
systems mengacu pada legal standard. Satu definisi hukum mengenai work-related
conditions adalah suatu yang “timbul dalam masa kerja” atau “disebabkan atau diperberat
oleh pekerjaan”. Direkomendasikan agar penentuan “work-relatedness” oleh dokter
didasarkan pada bukti-bukti penyakit (melalui pemeriksaan-pemeriksaan obyektif),
riwayat pajanan, dan bukti-bukti epidemiologik mengenai hubungan pajanan dengan
penyakit.
Jika dikaitkan dengan medical and social models, dikatakan bahwa medical
model melihat disability sebagai problem dari seseorang, disebabkan langsung oleh
penyakit, trauma, atau kondisi kesehatan lainnya, yang menuntut penanganan medis yang
diberikan dalam bentuk penanganan individual dari tenaga profesional. Penatalaksanaan
disability ini ditujukan pada penyembuhan atau penyesuaian individual serta perubahan
perilaku. Di sisi lain, social model of disability melihat isu ini terutama sebagai masalah
yang tercipta dari masyarakat (socially created problem), dan pada dasarnya merupakan
kaitan integrasi penuh seseorang di dalam masyarakat. Dari sini kita melihat aspek
handicap.

Dari WHO Manual dibedakan antara disabilitas medik dan disabilitas legal :
 Disabilitas Medis adalah suatu impairment fisik berkaitan dengan ketidak
mampuan melaksanakan fungsi.

Kecacatan Pada Mata Page 6 from 31


 Disabilitas Legal adalah akibat penyakit/kelainan/trauma pada tubuh manusia
sehingga menjadi cacat. Disabilitias legal ini berhak mendapat layanan
rehabilitasi, santunan/jaminan sesuai presentase kecacatan yang dihitung dalam
persen (%).

Disability sebagai suatu legal category untuk penetapan ganti rugi


Sebagai aturan baku, disability atau kecacatan ditentukan oleh suatu otoritas
kompeten nasional dengan berdasar pada temuan-temuan setelah dilakukan pemeriksaan
pada kasus-kasus individual.
Oleh karenanya, tujuan untuk mana status kecacatan harus dikenali memainkan
peranan yang sangat penting – sebagai contoh, keadaan dimana penentuan adanya
kecacatan menjadi alasan mengajukan klaim untuk hak personal spesifik dan legal
benefits. Interest utama untuk memiliki definisi kecacatan yang cocok secara hukum
kemudian dimotivasi bukan karena alasan-alasan medis, rehabilitatif, atau statistik,
melainkan cenderung dari alasan-alasan yuridis.
Di banyak negara, orang-orang yang kecacatannya nyata dapat mengajukan klaim
akan hak untuk berbagai pelayanan dan regulatory measures (cara-cara atau fasilitas yang
diatur oleh perundang-undangan) dalam area-area kesehatan khusus dan kebijakan-
kebijakan sosial. Sebagai aturan dasar, regulasi ataupun aspek-aspek manfaat/benefits ini
dirancang untuk meningkatkan keadaan personal dan untuk mensupport mereka dalam
mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul akibat kecacatan.

PENYAKIT DAN KECACATAN PADA MATA

I. BATASAN
Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bidang mata adalah penyakit atau
kelainan pada mata akibat pemaparan antara lain faktor-faktor fisiko di tempat kerja
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan yang dapat mengurangi
kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan aktivitas normal.

Kelainan mata akibat kecelakaan kerja dan PAK yang terjadi dapat berupa:
1. Kelainan jaringan penunjang dan adneksa mata:
- Kelopak mata : laserasi atau ruptur kelopak mata akibat trauma
- Tulang orbita : fraktur dinding orbita akibat trauma
- Sistem air mata (lakrima): sumbatan sistem lakrima oleh trauma
- Konjungtiva : radang konjungtiva (konjungtivitis) akibat kontak iritan atau
bahan kimia, benda asing di konjungtiva
- Otot mata : kelumpuhan otot mata akibat trauma.

Kecacatan Pada Mata Page 7 from 31


2. Kelainan bola mata
- Kornea : ruptur kornea akibat trauma, trauma kimia asam dan basa, trauma
termal(panas atau dingin), trauma radiasi (misalnya akibat lampu ultraviolet,
ledakan nuklir, sinar-X atau radio-isotop), trauma akibat kontak dengan
serangga/tumbuhan, benda asing kornea, dan erosi/abrasi kornea, dry eye
syndrome
- Sklera : ruptur sklera akibat trauma
- Lensa : katarak traumatik, luksasi/subluksasi lensa
- Bilik mata depan : hifema akibat trauma
- Iris : iridodialisis, siklodialisis, ruptur iris akibat trauma, midriasis atau miosis
traumatik
- Badan kaca (vitreus) : perdarahan vitreus akibat trauma, benda asing dalam
vitreus, endoftalmitis pasca trauma
- Koroid : ruptur koroid akibat trauma
3. Kelainan saraf/jaras penglihatan
- Retina: edema makula, komosio retina, perdarahan retina dan/atau robekan
retina akibat trauma, retinopati toksik (terutama kloroquin), retinopati radiasi
(misalnya pada radioterapi), atau retinopati akibat cahaya (efek mekanik, termal
atau fotokimia, contohnya solar retinopathy pada pekerja las)
- Saraf optik : neuropati optik akibat kontak, inhalasi atau ingesti zat toksik atau
nutrisional (lihat tabel), neuropati optik akibat trauma, neuropati akibat radiasi
(>3000 rad), dan avulsi papil n.optik.

Berbagai Zat yang dapat menyebabkan Neuropati Optik Toksik.


------------------------------------------------------------------------------------------------------
 Metanol
 Etilen glikol (antifreeze)
 Kloramfenikol
 Isoniazid
 Etambutol
 Digitalis
 Klorokuin
 Streptomisin
 Amiodaron
 Kuinin
 Vinkristin and metotreksat
 Sulfonamides
 Melatonin dengan Zoloft dalam diet protein tinggi
 Karbon monoksida
 Timah

Kecacatan Pada Mata Page 8 from 31


 Merkuri
 Talium
 Malnutrisi dengan defisiensi vitamin B-1
 Anemia pernisiosa (fenomena malabsorpsi vitamin B-12)
 Arsenik pentavalen
 Nitrobenzol
 Karbon disulfida
 Disulfiram
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
- Korteks penglihatan : akibat trauma kepala atau intoksikasi, misalnya oleh metil
merkuri

Beberapa ketentuan dalam penilaian kecacatan kerja


 Penilaian tingkat cacat dilakukan setelah upaya pengobatan selesai dan
pengobatan telah diupayakan secara maksimal.
 Penilaian didasarkan pada penurunan kemampuan untuk melakukan pekerjaan.
Cacat pada wajah – misalnya -- yang tidak menurunkan kemampuan kerja secara
langsung, tidak mendapatkan santunan cacat.
 Tingkat cacat yang bersifat anatomis dan cacat fungsi diatur dalam lampiran II
Peraturan Pemerintah No. 14 thn. 1993. Apabila tidak terdapat ketentuan
mengenai prosentase tingkat cacat tersebut, maka dokter penasehat menetapkan
derajat cacat sesuai dengan keilmuan yang telah diatur sebagai referensi.
 Cara penentuan kecacatan total : Apabila seorang pekerja mengalami cacat
anatomis/fungsi pada beberapa angota/bagian tubuh yang berbeda maka tingkat
cacatnya merupakan penjumlahan dari tingkat cacat masing-masing
anggota/bagian tubuh, tetapi tidak lebih dari 70 %.
 Cara penentuan cacat yang bersifat anatomis : Apabila prosentase cacat telah
diatur secara tegas dalam peraturan, maka yang digunakan adalah sesuai
ketentuan. Bila belum ada maka ketentuan persentase dengan membandingkan
cacat anatomis yang telah ada aturannya serta seberapa besar pengaruhnya
terhadap kemampuan melaksanakan pekerjaan.
 Cara penentuan cacat fungsi : Cacat fungsi 10 % nilainya sama dengan cacat
anatomis (kehilangan anggota tubuh). Penentuan cacat anatomis lebih mudah
karena bisa mempergunakan ketentuan yang ada.
 WHO menganjurkan dalam menentukan cacat bisa dipergunakan Panduan
Evaluasi Impermen Fisik Permanen.
 Dasar hukum di Indonesia : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor Per.25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan penilaian cacat
karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Kecacatan Pada Mata Page 9 from 31


Derajat kecacatan secara umum meliputi :
1. Cacat sebagian : adalah cacat yang mengakibatkan sebagian atau beberapa bagian
dari anggota tubuh hilang (cacat anatomis) Akibat Kecelakaan Kerja.
2. Cacat fungsi : adalah cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi sebagian
atau beberapa bangian dari anggota tubuh Akibat Kecelakaan Kerja.
3. Cacat total : adalah cacat yang mengakibatkan Tenaga Kerja tidak dapat lagi
melakukan pekerjaan baik fisik maupun mental.

Diagnosis kecacatan meliputi :


A. Diagnosis Medis, yang mencakup
 diagnosis klinis
 diagnosis etiologis
 diagnosis anatomis/lokasi lesi
 diagnosis patologis
1
B. Diagnosis Rehabilitasi/Fungsi, yang terdiri atas
 penentuan impairment
 penentuan disability
 psikologis
 aktivitas/potensi vokasional

II. DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan mata akibat kerja harus dilaksanakan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan oftalmologis yang baik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat.

Penentuan Diagnosis Penyakit Mata Akibat Kerja


Tujuh langkah diagnosis penyakit akibat kerja yaitu :
a. Penegakan diagnosis klinis kelainan pada mata
b. Penentuan pajanan yang dialami di tempat kerja (meninjau dan menilai berbagai
hazard di tempat kerja)
c. Penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit (studi literatur)
d. Penentuan intensitas atau lamanya pajanan tersebut terjadi (riwayat dan masa
kerja)
e. Penentuan ada tidaknya faktor lain yang mempengaruhi

Kecacatan Pada Mata Page 10 from 31


f. Penentuan kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab (pajanan di
rumah atau pajanan ketika melakukan hobi tertentu).
g. Penentuan diagnosis penyakit akibat kerja

A. Anamnesis:
1. Umur penderita.
2. Jenis pekerjaan
3. Apa keluhan okular yang dirasakan pasien? Perlu dirinci: penglihatan buram,
mata merah, nyeri pada mata, keluar darah dari mata, melihat ganda/ diplopia,
floaters, atau fotopsia, dll
4. Apakah terdapat trauma? Bila ya, kapan terjadinya trauma?
5. Bagaimana perjalanan penyakit (misalnya: akut atau kronik)?
6. Apakah terdapat risiko di lingkungan kerja? (termasuk : iritan/polutan, tidak
adanya sarana proteksi, dsb)
7. Berapa lama terpapar faktor risiko?
8. Dicari apakah terdapat penyakit sistemik, penyakit dalam keluarga atau
riwayat penyakit mata sebelumnya.

B. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
2. Pemeriksaan oftalmologis
a. Pemeriksaan tajam penglihatan, baik monokular maupun binokular
b. Pemeriksaan mata luar, meliputi pemeriksaan terhadap:
- kelopak mata
- konjungtiva
- sklera
- kornea
- bilik mata depan
- iris
- pupil
- lensa
Pemeriksaan menggunakan loupe dan senter atau biomikroskop slit lamp di
tingkat rujukan. Semua kelainan yang dicatat harus dideskripsikan secara
sistematis. Pada kasus trauma, jenis' luka (tajam/tembus atau tumpul atau
trauma kimia) harus dideskripsikan.
c. Pemeriksaan refleks pupil. Dilakukan dengan menyinari mata dengan senter
dicari kelainan pupil seperti anisokoria atau afferent pupillary defect.
d. Posisi (alignment) dan gerakan bola mata; dinilai secara binokular ke 8 arah
(cardinal gaze). Pada pemeriksaan posisi bola mata dicari tanda-tanda
strabismus (esotropia, eksotropia, dan hipertropia). Pada pemeriksaan
gerakan bola mata dicari tanda-tanda hambatan gerak.
e. Pemeriksaan lapang pandang. Cara paling sederhana yang dapat dilakukan
layanan primer adalah tes Konfrontasi, namun pemeriksaan di tingkat
rujukan adalah dengan kampimetri Goldmann.
f. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop. Dilakukan penilaian terhadap
bagian; dalam mata meliputi badan kaca, retina dan pupil saraf optik.
g. Pemeriksaan khusus, antara lain meliputi:
- Tonometri: mengukur tekanan intraokular (TIO). Nilai normal adalah
10-21 mmHg; peningkatan TIO dapat ditemukan pada glaukoma.
- Penglihatan warna : menilai kemampuan melihat warna, mendeteksi buta
warna.
- Binokularitas : menilai kemampuan kedua mata saat melihat secara
bersamaan. Dinilai adakah penglihatan ganda, dan apakah kedua mata
melihat secara stereoskopis.
Berdasarkan Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah
No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah
No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
paramater gangguan mata akibat kerja adalah tajam penglihatan, lapang
pandang, penglihatan warna dan binokularitas. Pemeriksaan terhadap
keempat parameter ini akan dibahas dalam uraian di bawah.

C. Pemeriksaan terhadap parameter gangguan fungsi penglihatan.


1. Pemeriksaan tajam penglihatan
a. Pemeriksaan tajam penglihatan jauh Dasar pemeriksaan:
- buah titik akan terlihat terpisah bila kedua titik sudah membentuk 1
(satu) menit busur derajat sudut penglihatan mata.
Peralatan yang digunakan:
o Kartu Snellen (Snellen Chart) dan Kartu Kipas Astigmatisme.
o Alat tersebut dapat tersedia baik di pelayanan mata tingkat primer,
sekunder maupun tersier.
1) Untuk penilaian tajam penglihatan jauh:
- Setiap huruf tertentu pada jarak tertentu akan membentuk 5 menit
busur derajat sudut penglihatan
- Besar huruf pada kartu untuk dapat dilihat, telah diatur
- Warna huruf/angka hitam dengan dasar putih; dan warna huruf/angka
putih di atas dasar hitam
- Pencahayaan latar belakang sebesar 50 lux, sedangkan pencahayaan
pada Kartu Snellen (yang menggunakan lampu) adalah sebesar 500
lux
- Jarak baca 6 meter, atau setidaknya 3 meter dengan menggunakan
cermin. Pada jarak ini dianggap mata yang diperiksa tidak lagi
berakomodasi
- Kedua mata diperiksa bergantian, dengan cara menutup satu mata
bergantian
- Pada orang buta huruf dapat digunakan kartu E atau kartu Landolt
dengan prinsip yang sama
2) Refraksi dengan set lensa dan bingkai coba (trial lens dan trial frame)
Lensa coba yang tersedia naik bertahap sebesar minimal 0.5 dioptri
dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri. Kekuatan lensa silinder bertahap
naik sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri
dan tersedia minimum sampai 3 dioptri.

Teknik pemeriksaan:
- Pemeriksaan dilakukan dalam jarak 6 meter
- Dipasang bingkai coba, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan
occluder
- Penderita diminta untuk membaca sampai baris terkecil yang masih
dapat dibaca olehnya.
- Hasil yang didapat merupakan tajam penglihatan sebelum koreksi.
- Apabila hasil tajam penglihatan yang didapat tidak mencapai
penglihatan normal (6/6), dilakukan koreksi kacamata.
- Dicoba dengan lensa negatif/positif terkecil dan bila tajam
penglihatan menjadi lebih baik ditambah kekuatannya
periahan-lahan hingga dapat membaca huruf pada baris terbawah.
- Apabila dengan penambahan lensa negatif/ positif belum juga dapat
mencapai tajam penglihatan normal, dilakukan pemeriksaan melalui
lubang intip (pinhole). Apabila dengan teknik ini tidak terdapat
kemajuan tajam penglihatan, maka penglihatan tidak bisa diperbaiki
lebih lanjut (kelainan retina/saraf optik).
- Apabila terdapat kemajuan tajam penglihatan maka diperiksa
kemungkinan adanya astigmatisme.
- Dengan lensa negatif/positif yang memberi hasil terbaik pada masa
tersebut ditambahkan lensa positif yang cukup besar (kira-kira 5+3
dioptri), membuat kekaburan penglihatan, kemudian diminta untuk
melihat kartu kipas astigmat.
- Ditanyakan adanya garis pada kipas yang paling jelas terlihat (yang
paling hitam dan tajam gambarannya). Apabila belum terlihat
perbedaan tebal garis kipas astigmat, maka lensa 5+3.0 dioptri
diperlemah sedikit demi sedikit, hingga penderita dapat menentukan
perbedaan garis yang terjelas dan terkabur.
- Lensa silinder negatif dipasang dengan sumbu sesuai dengan garis
terkabur pada kipas astigmat.
- Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit hingga semua
garis terlihat sama tebalnya pada kipas astigmat tersebut.
- Pembacaan kartu Snellen dilanjutkan sampai baris terkecil,
dengan pengurangan lensa positif yang terpasang atau
penambahan lensa negatif.
- Diperiksa mata sebelahnya, seperti di atas.

Penilaian:
- Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan dengan pembilang
merupakan jarak pemeriksaan (biasanya 6 meter) dan penyebut
adalah angka yang terkecil yang masih dapat dibaca.
Contoh:
- Tajam penglihatan 6/12 berarti penderita tersebut hanya dapat
membaca dalam jarak 6 meter huruf/gambar yang seharusnya dapat
dibaca oleh orang normal pada jarak 12 meter.
- Tajam penglihatan normal adalah 6/6
- Hasil koreksi kacamata sesuai dengan ketentuan lensa negatif/positif,
dengan /tanpa lensa silinder negatif pada sumbu terpasang.
- Apabila penderita tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu
Snellen, maka dilakukan hitung jari (counting fingers = CF). Tajam
penglihatan pada tes hitung jari diberi simbol angka 1/60 hingga
5/60. Pembilang merupakan jarak yang masih dapat dilihat oleh
penderita dalam satuan meter.
- Apabila penderita tidak juga dapat menghitung jari, maka dilakukan
tes gerakan tangan (hand movement = HM). Tajam penglihatan pada
tes ini diberikan simbol angka 1/300.
- Apabila penderita hanya dapat membedakan gelap dan terang, tajam
penglihatannya diberikan simbol 1/~ (light perception = LP).
Ditentukan pula kemampuan menentukan arah sumber cahaya
(proyeksi baik atau salah)
- Bila sama sekali tidak dapat menerima langsung rangsang cahaya
dinyatakan tajam penglihatan nol (no light perception = NLP)

b. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Dekat


Dasar : sama dengan dasar penglihatan jauh.
Daya akomodasi yaitu kemampuan mata untuk menambah daya bias lensa
dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan
kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda akan
terfokus di retina
Peralatan dan persyaratan:
Besar huruf bervariasi dalam ukuran 0.5 mm hingga 19.5 mm, dan
dinyatakan dalam tingkat Jaeger 1 sampai dengan Jaeger 20. Pencahayaan
minimal 100 footcandles pada kartu.

Teknik Pemeriksaan:
- Penderita diperiksa terlebih dahulu penglihatan jauhnya, kemudian
diberikan ukuran kacamata yang sesuai.
- Mata yang tidak diperiksa ditutup.
- Jarak baca 30-40 cm,
- Penderita diminta untuk membaca huruf terkecil yang masih bisa dibaca
pada kartu baca

Penilaian .
Tajam penglihatan dekat normal adalah Jaeger 1
Kriteria klinik ini dapat dilihat kuantifikasinya secara fungsional sebagai
Efisiensi Penglihatan.

2. Pemeriksaan Lapang Pandang


Lapang pandang adalah bagian dari ruang di mana semua objek dapat dilihat
secara serentak pada waktu mata berfiksasi ke suatu arah.
Dasar:
- Retina perifer mempunyai kemampuan melihat yang berbeda dengan retina
sentral
- Perimetri merupakan metode klinis untuk mengukur fungsi penglihatan di
luar daerah sentral (fovea).
- Perimetri mampu mendeteksi berbagai kelainan fungsi penglihatan akibat
kelainan saraf optik maupun retina.

Peralatan :
- Pada pelayanan mata tingkat primer dan sekunder, pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara sederhana, yaitu tes konfrontasi di mana tidak
diperlukan alat.
- Perimeter Goldmann tersedia di pelayanan mata tingkat rujukan/tersier.

Tes Konfrontasi:
Dasar : membandingkan lapang pandang penderita dengan lapang pandang
pemeriksa. Pemeriksa harus mempunyai fungsi mata yang baik, sehingga lapang
pandangnya dianggap normal.

Teknik pemeriksaan :
- Penderita dan pemeriksa berhadapan muka dengan jarak kira-kira 75 cm
(dua kali jarak baca).
- Mata kiri pemeriksa dan mata kanan penderita ditutup.
- Mata yang terbuka saling berpandangan; sebuah objek (misalnya tangan
pemeriksa) pada jarak yang sama dari pemeriksa-penderita (bidang tengah)
digerakkan dari tidak terlihat ke arah tengah pada 8 meridian.
- Penderita diminta menyebutkan dengan segera, pada saat objek (benda,
warna) terlihat.
- Dibandingkan luasnya lapang pandang antara pemeriksa dan penderita
- Cara lain adalah dengan menyuruh penderita menghitung jari pemeriksa
pada ke-empat kuadran yaitu superotemporal. Inferotemporal, superonasal
dan inferonasal.
- Pemeriksaan dilakukan pada mata sebelahnya

Penilaian
- Lapang pandang dianggap normal apabila sama luasnya dengan pemeriksa.
- Lapang pandang dianggap menyempit apabila lebih kecil dari lapang
pandang pemeriksa.
- Apabila penderita tidak dapat menghitung jumlah jari di salah satu kuadran
atau lebih, dianggap sebagai abnormal
- Pada tingkat rujukan (pelayanan mata tingkat tersier) dilakukan pemeriksaan
lapang pandang dengan Perimeter Goldmann

Perimeter Goldmann:
Berupa mangkuk besar berwarna putih (kepala pasien dihadapkan pada alat
tersebut, dengan pemeriksa di balik mangkuk tersebut). Pencahayaan 10
apostilb, diameter objek target 64 mm, persegi (V), pencahayaan objek 1000
apostilb (4) dan warna objek target putih.

Teknik pemeriksaan:
- Perlu diterangkan terlebih dahulu perlunya kerjasama pada pemeriksaan
dan perlunya fiksasi terus menerus, serta penderita diminta untuk
bereaksi cepat bila sudah melihat sinar yang datang dari arah pinggir.
- Penderita duduk di depan perimetri dengan dagu pada bantalan dagu,
mata sebelah ditutup.
- Mata yang terbuka diberi koreksi penglihatan jauh dan adisi penglihatan
dekatnya, lalu diminta berfiksasi pada target yang terletak 33 cm di
depan matanya.
- Obyek yang bercahaya digeser dari pinggir (tidak terlihat), ke arah
sentral (daerah terlihat) daerah fiksasi.
- Penderita diminta segera memberitahu bila melihat cahaya, dengan cara
memencet bel yang tersedia, kemudian dicatat pada kartu lapang
pandang. Bila ditemukan defek lapang pandang, pemeriksaan diulang
- Hal ini dilakukan pada 18-20 meridian
- Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya diplopia
(diplopia chart)

Penilaian :
- Gambaran normal adalah apabila batas lapang pandang di daerah
temporal 85o, daerah nasal 60o, superior 45o, dan inferior 65o.
- Hasil pemeriksaan dengan ukuran objek IV atau V dan pencahayaan
objek 4 pada alat perimetri.
- Hasil perhitungan dapat menyatakan hilangnya persentase lapang
pandang
- Bentuk defek lapang pandang umumnya menunjukkan lokasi kelainan
pada jarak penglihatan.
Contoh: neuropati optik akibat intoksikasi akan memberikan skotoma (defek
lapang pandang) sekosentral atau sentral

3. Pemeriksaan binokularitas
Penglihatan binokular terdiri atas beberapa gradasi yaitu :
a. Penglihatan serentak (simultaneous perception), yaitu keadaan di mana
kedua mata dapat melihat sekaligus.
b. Fusi, yaitu keadaan di mana kedua mata dapat bekerja sama
c. Stereopsis, yaitu kemampuan untuk membedakan ruang.

Pemeriksaan terhadap binokularitas dapat dilakukan dengan:


Tes Worth Four-Dot
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya supresi, deviasi,
ambliopia dan fusi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di pelayanan mata baik
tingkat primer, sekunder maupun tersier.

Dasar:
Melalui suatu filter berwarna hanya dapat dilihat benda dengan warna
filternya.
Warna putih akan berubah oleh filter sesuai dengan warna filternya
Peralatan :
- Kacamata filter merah (pada mata kanan)
- Kotak hitam dengan 4 lubang (diameter 2-3 cm), susunan ketupat; 2
lubang lateral atau horizontal berwarna hijau, lubang di atas berwarna
merah dan lubang bawah berwarna putih. Kotak berjarak 6 meter dari
tempat pemeriksaan.
- Kotak hitam di atas dapat digantikan oleh slide Worth Four-Dot Test,
yang umumnya termasuk dalam proyektor Snellen yang dapat tersedia di
pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier.

Teknik pemeriksaan :
- Penderita memakai kacamata koreksi diberikan sesuai kacamata dan
diberi kaca filter merah pada mata kanan dan filter hijau pada mata kiri.
- Penderita diperiksa pada jarak 6 meter dan 30 cm
- Kepala penderita harus dalam posisi tegak dan melihat lurus ke depan.
- Penderita diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata,
sewaktu melihat "Wolth Four Dot"

Penilaian :
Bila terlihat :
- 4 sinar berarti ada fusi (melihat dengan 2 mata)
- 2 merah atau 3 hijau saja, berarti penderita hanya melihat dengan salah
satu matanya dan mata lain dalam keadaan tersupresi.
- Sumber cahaya putih kadang-kadang berwarna merah dan berganti
menjadi hijau, berarti pada setiap saat penderita hanya melihat dengan
satu mata, berganti-ganti.
- Bila terlihat 5 titik berarti terdapat diplopia.

Catatan:
- Penilaian ini hanya bermakna apabila tajam penglihatan mata terburuk
minimal 6/8
- Penilaian ini harus ditunjang dengan pemeriksaan objektif untuk menilai
adanya juling.
- Bila terdapat diplopia dianggap kehilangan satu mata dengan tajam
penglihatan terburuk.
- Dinilai adanya diplopia pada penglihatan jauh dan penglihatan dekat.
- Pemeriksaan ini hanya untuk posisi primer, keluhan pada posisi lain
harus diperiksa di tingkat rujukan.

4. Penglihatan Warna
- Orang normal memiliki kemampuan untuk membedakan warna sinar yang
masuk berdasarkan fotoreseptor dan reaksi fotokimia retina yang berbeda.
Warna dasar yang terlihat adalah hitam-putih, hijau-merah dan kuning-biru.

Tes Ishihara:
Dasar : dipakai untuk mengenal adanya cacat warna merah-hijau
Peralatan : Kartu Ishihara

Teknik pemeriksaan :
- Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang cukup
- Penderita diminta melihat kartu dan menentukan gambar yang terlihat
dalam waktu tidak lebih dari 10 detik
Penilaian :
- Ditentukan ada atau tidaknya buta warna hijau merah. Orang normal
dapat mengenali warna gambar dalam waktu 3-10 detik, bila terdapat
kelambatan atau kesalahan dalam pengenalan gambar berarti terdapat
kelainan penglihatan warna.
- Dari aspek kompensasi cacat penglihatan penilaian ini hanya bermakna
apabila keadaan sebelumnya diketahui, tajam penglihatan 6/6 (dengan
koreksi), dan lapang pandang normal.

III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT

Perhitungan kecacatan dilakukan adalah setelah semua usaha medis yang optimal telah
dilakukan, berdasarkan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (baik dengan
kacamata, lensa kontak maupun lensa intraokular). Perhitungan kecacatan dilakukan
dalam waktu 3 bulan setelah usaha medis optimal selesai dilakukan.

Penghitungan tingkat cacat dilakukan dengan menilai komponen -komponen fungsi


penglihatan. Komponen ini dinilai masing-masing mata dan kemudian diberikan nilai
dalam fungsi binokular.

A. Tajam penglihatan
Pada pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, dilakukan koreksi kacamata
yang terbaik.
Dilakukan konversi ke dalam nilai kehilangan penglihatan.
1. Persentase kehilangan penglihatan jauh (dengan koreksi terbaik)
---------------------------------------------------------------------------------------------
Efisiensi
Tajam Penglihatan Tajam Penglihatan % Kehilangan
---------------------------------------------------------------------------------------------
6/6 100 0
6/7,5 95 5
6/12 85 15
6/15 75 25
6/24 60 40
6/30 50 50
6/48 30 70
6/60 20 80
3/60 10 90
1/60 5 95
--------------------------------------------------------------------------------------------

2. Persentase kehilangan tajam penglihatan dekat (dengan koreksi terbaik)


---------------------------------------------------------------------------------------------
Efisiensi
Tajam Penglihatan Tajam Penglihatan % Kehilangan
---------------------------------------------------------------------------------------------
Jaeger 1 100 0
Jaeger 2 100 0
Jaeger 3 90 10
Jaeger 6 50 50
Jaeger 7 40 60
Jaeger 11 15 85
Jaeger 14 5 95
---------------------------------------------------------------------------------------------

3. Persentase kehilangan tajam penglihatan


Jumlah aljabar penglihatan jauh dan dekat dibagi 2. Nilai kehilangan
penglihatan jauh dan penglihatan dekat adalah sama.
Contoh:
penglihatan jauh 6/24 --> efisiensi penglihatan 40%;
penglihatan dekat Jaeger 6 ---> efisiensi penglihatan 50%.
berarti orang ini mempunyai kehilangan tajam penglihatan sebesar :
------------------------------------------------------------------------------------
(% kehilangan X.P.jauh) + (% kehilangan X.P. dekat)
-----------------------------------------------------------------------------------
2
= 40% + 50% = 45%
-----------------
2
-------------------------------------------------------------------------------------

4. Perhitungan Efisiensi Tajam Penglihatan


Rumus:
Efisiensi penglihatan = 100 % - % kehilangan penglihatan
Efisiensi tajam penglihatan pada contoh di atas adalah 100 - 45 = 55%

B. Lapang Pandang
1. Lapang pandang dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan perimeter
Goldman
2. Dihitung luasnya lapang pandang yang hilang
3. Dihitung luas pandang yang masih ada

Uji lapang pandangan dilakukan dengan memakai objek pemeriksaan dilakukan


pada setiap 8 kali 45 derajat meridian. Jumlah derajat meridian dibagi dengan 485
merupakan presentase efisiensi lapang pandangan.
Contoh:

Lapang pandang Lapang pandang


normal (derajat) mengecil (derajat)
Temporal 85 45
Temporal bawah 85 25
Bawah 55 30
Nasal 55 25
Nasal bawah 50 25
Nasal atas 55 25
Atas 45 25
Atas temporal 55 35
Jumlah 485 235

% efisiensi lapang pandangan 235 x 100% = 46%


485

C. Binokularitas
1. Dilakukan pemeriksaan "Worth Four Dot" atau dengan perimeter Goldmann
2. Bila terdapat diplopia pada posisi utama dan konvergensi (penglihatan dekat)
dianggap telah kehilangan satu mata terburuk
3. Pada pemeriksaan dengan perimeter Goldman, diplopia pada daerah 20 derajat
berarti kehilangan penglihatan 100%.
4. Bila tidak ada diplopia, angka motilitas dalam rumus dapat dihilangkan.

D. Penglihatan warna
1. Hanya berlaku apabila keadaan penglihatan warna sebelumnya diketahui
2. Dilakukan pemeriksaan Ishihara
3. Dinilai ada tidaknya kehilangan penglihatan warna merah-hijau
4. Pada kehilangan penglihatan warna, dianggap kehilangan efisiensi penglihatan
sebesar 10%
Efisiensi penglihatan satu mata
Menggunakan rumus efisiensi tajam penglihatan.
Efisiensi penglihatan dua mata
------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Efisiensi penglihatan terbaik x 3) + (Efisiensi penglihatan terburuk X 1)
------------------------------------------------------------------------------------------------------
4
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

- Hasil yang didapat dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan dua mata
(Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun
2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja)

Bila Kehilangan efisiensi penglihatan hanya terjadi pada satu mata, maka penilaian
tingkat cacat didasarkan pada rumus efisiensi penglihatan satu mata.

Perhitungan kecacatan mata menurut Dewan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja


Nasional ( DK3N ):

a. Efisiensi penglihatan satu mata


Rumus yang dipakai adalah :

Efisiensi tajam penglihatan x efisiensi lapangan pandang x motilitas


 Persentase efisiensi tajam penglihatan didapat dari hasil pemeriksaan tajam
penglihatan jauh dan dekat, dengan konversi sesuai 22table.
 Efisiensi lapangan pandang dihitung dari kisi Esterman pada gambaran kampus
perimeter.
 Angka motilitas didapat dari pemeriksaan Binokularitas :
 Bila tidak terdapat diplopia, angka motilitas dihilangkan dari perhitungan
rumus
 Bila tidak terdapat diplopia, maka efisiensi penglihatan satu mata menjadi:

Efisiensi tajam penglihatan x efisiensi lapangan pandang

Hasil yang diperoleh dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan satu mata
(lampiran PP No. 14 tahun 1993).

b. Untuk hal ini digunakan rumus sebagai berikut :


(Efisiensi penglihatan terbaik x 3) + (Efisiensi penglihatan terburuk x 1)
4

Hasil yang diperoleh dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan dua mata
(lampiran PP No. 14 tahun 1993). Bila kehilangan efisiensi penglihatan hanya terjadi
pada satu mata, maka penilaian tingkat cacat didasarkan pada rumus efisiensi
penglihatan satu mata.

Beberapa Aspek Kompensasi Berdasarkan Jamsostek

Dari Lampiran II Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993


tentang Besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja, besarnya jaminan tersebut meliputi
santunan, biaya pengobatan dan perawatan, biaya rehabilitasi, santunan penyakit
akibat kerja dan ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat kejadian kecelakaan
kerja ke rumah sakit. Dengan menyesuaikan komponen biaya-biaya di bawah ini
dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2002, rinciannya sebagai berikut :

1. Santunan
a. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) 4 bulan pertama 100% X
upah sebulan, 4 bulan kedua 75% X upah sebulan dan bulan seterusnya 50%
X upah sebulan.
b. Santunan cacat
o Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan sekaligus
(lumpsum) dengan besarnya % sesuai tabel X 70 bulan upah
o Santunan cacat total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus
(lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah :
1. Santunan sekaligus sebesar 70% X 70 bulan upah
2. Santunan berkala sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) selama
24 bulan.
o Santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus (lumpsum)
dengan besarnya santunan adalah :
% berkurangnya fungsi X % sesuai tabel X 70 bulan upah.
c. Santunan kematian ,Dibayarkan sekaligus (lumpsum) dan secara berkala
dengan besarnya santunan adalah :
 Santunan sekaligus sebesar 60% X 70 bulan upah, sekurang-kurangnya
sebesar jaminan kematian.
 Santunan berkala sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) selama 24
(dua puluh empat) bulan.
 Biaya pemakaman sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
2. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya
dokter, obat, operasi, röntgen, laboratorium, perawatan puskesmas dan rumah
sakit umum kelas I, gigi, mata, jasa tabib/sinshe/tradisional yang telah mendapat
ijin resmi dari instansi yang berwenang. Biaya yang dikeluarkan untuk satu kali
peristiwa kecelakaan tersebut dibayarkan maksimum Rp. 6.400.000,- (enam juta
empat ratus ribu rupiah).

3. Biaya rehabilitasi
Berupa penggantian pembelian alat bantu (orthose) dan atau alat pengganti
(prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang
ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Profesor Dokter Suharso Surakarta dan
ditambah 40% (empat puluh persen) dari harga tersebut.

4. Santunan untuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Besarnya santunan
dan biaya pengobatan/perawatan sama dengan nomor 1 dan 2.

5. Ongkos pengangkutan tenaga kerja dari tempat kejadian kecelakaan kerja ke rumah
sakit diberikan penggantian biaya sebagai berikut :
a. Bila hanya menggunakan jasa angkutan darat, sungai maksimum sebesar
Rp.150.000,-
b. Bila hanya menggunakan jasa angkutan laut maksimum sebesar Rp. 300.000,-
c. Bila hanya menggunakan jasa angkutan udara maksimum sebesar Rp.
400.000,-

Tabel Persentase Santunan Tunjangan Cacat Tetap Sebagian yang berkaitan dengan
mata (dikutip dari Lampiran II Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 1993)
adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Persentase santunan tunjangan cacat berkaitan dengan mata.(16)

Macam Cacat Tetap Sebagian % X Upah


Kedua belah mata 70
Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat 35
Kehilangan sebagian fungsi penglihatan 7
Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi
penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi penglihatan
binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan:
(3 X % ef.peng.terbaik) + % ef.penglhatan terburuk.
Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10% 7
Kehilangan penglihatan warna 10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7

Dalam Peraturan Menakertrans Nomor KEP-236/MEN/2003 tentang petunjuk teknis


pendaftaran kepesertaan, pembayaran iuran, pembayaran santunan dan pelayanan
jaminan sosial tenaga kerja pasal 27 ayat 3 dinyatakan bahwa :

a. Peserta yang mendapat resep kacamata dari dokter spesialis mata dapat
memperoleh kacamata di optik dengan ketentuan :

1. Biaya untuk frame dan lensa sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah).
2. Penggantian lensa dua tahun sekali sebesar Rp. 60.000,- (enam puluh ribu
rupiah).
3. Penggantian frame tiga tahun sekali sebesar Rp. 90.000,- (sembilan puluh ribu
rupiah).

b. Peserta yang memerlukan prothese mata dapat diberikan atas anjuran dokter
spesialis mata dan diambil di Rumah Sakit atau perusahaan alat kesehatan dengan
biaya penggantian maksimum Rp.300.000-,(tiga ratus ribu rupiah).

Contoh Kasus

Seorang pekerja yang bekerja pada sebuah industri kimia mengalami kecelakaan kerja
berupa terkena percikan asam kuat pada kedua mata. Setelah diberi pertolongan pertama
di klinik K3 perusahaan, pekerja tersebut segera dibawa ke RS terdekat yang berjarak ±
10 km dengan menggunakan taksi. Pekerja tersebut mengeluh penglihatannnya kabur
pada kedua mata. Dalam pemeriksaan diperoleh keadaan klinis berupa udem pada
kelopak mata yang disertai dengan kekeruhan pada kornea. Dokter memberikan pekerja
istirahat selama 1 bulan untuk kontrol perawatan mata. Dari pemeriksaan mata
didapatkan tajam penglihatan menurun sampai 6/60 untuk mata kanan dan 6/15 untuk
mata kiri (tajam penglihatan jauh) sedangkan untuk tajam penglihatan
dekat diperoleh hasil mata kanan Jeager 11 dan mata kiri Jaeger 3. Hitung besarnya
kompensasi yang dapat diperoleh pekerja tersebut.

Jawaban
Kompensasi yang dapat diperoleh pekerja tersebut dapat terdiri dari :
a. Santunan sementara tidak mampu bekerja selama 1 bulan (100% x gaji sebulan)
b. Santunan cacat kekurangan fungsi yang menetap (% kekurangan fungsi x %
sesuai tabel x 70 bulan upah)
c. Biaya pengobatan dan perawatan
d. Biaya transportasi ke rumah sakit

Misalkan gaji pekerja tersebut adalah Rp. 1.000.000,- , maka besarnya kompensasi yang
diterima adalah :

1. Santunan sementara tidak mampu bekerja = 100% x Rp. 1.000.000,-

2. Santunan cacat kekurangan fungsi yang menetap

 Penilaian tingkat kecacatan mata


 Mata kanan : visus 6/60. % penurunan 80% (lihat tabel) , Jaeger 11. % penurunan
85% (lihat tabel)
 Mata kiri : visus 6/15. % penurunan 25% (lihat tabel), Jaeger 3. % penurunan
10% (lihat tabel)

 Perhitungan :
 Mata kanan
(% kehilangan E.P jauh+%kehilangan E.P dekat) : 2
(80% + 85%) : 2 = 82.5%
 Mata kiri
(% kehilangan E.P jauh+%kehilangan E.P dekat) : 2 (25%+10%) : 2 = 17.5%
 Efisiensi penglihatan sisa Mata kanan
= 100% - 82.5% = 17.5% Mata kiri = 100% - 17.5% = 82.5%
 Efisiensi penglihatan kedua mata
[(% E.P terbaik x 3) + (% E.P terburuk x 1)] : 4 [(82.5%x3) + (17.5%x1)] : 4
[ 247.5% + 17.5%] : 4 66.25%
 Total kompensasi (lihat tabel)
(66.25%:10%) x 7% x 70 bulan upah = Rp. 32.462.500,-

3. Biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit


Misalnya total biaya pengobatan dan perawatan = Rp.2.500.000,-

4. Biaya transportasi ke rumah sakit = Rp. 40.000,-

Jadi total biaya kompensasi yang diterima oleh pekerja adalah sebesar :
(Rp.1.000.000 + Rp. 32.462.500 + Rp. 2.500.000 + Rp. 40.000) = Rp.36.002.500,-
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam penatalaksanaan kasus-kasus penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja


yang juga dapat bermuara pada kecacacatan mata, seorang dokter perlu memahami
prinsip-prinsip medis mulai dari hal-hal mendasar tentang anatomi dan fisiologi mata,
pemeriksaan-pemeriksaan oftalmologi dasar, neuro-oftalmologi mata, dan aspek-aspek
hukum ketenagakerjaan, khususnya masalah-masalah benefit & compensation bagi
karyawan yang mengalami masalah dengan mata/penglihatannya yang berkaitan dengan
pekerjaan.
Hazards dengan segala akibatnya yang dapat terjadi jika tidak ada upaya proteksi
dan penanggulangan yang adekuat seperti dicontohkan di atas, dapat menyebabkan
terjadinya impairment, disability, dan handicap. Dari sudut rehabilitasi medik, aspek-
aspek kecacatan ini diartikan sebagai berikut :
 Impairment : setiap kehilangan atau kelainan struktur dan/atau fungsi baik secara
fisiologis maupun anatomis.
 Disability : setiap pengurangan kemampuan untuk melakukan kegiatan yang
dianggap wajar, untuk orang normal
 Handicap : Impairment yang secara substansial membatasi satu atau lebih
aktifitas hidup seseorang. Dengan kata lain, ketidak mampuan melakukan fungsi
sosial yang normal.

Beberapa aspek kecacatan perlu diperhatikan dalam mengevaluasi kecacatan pada


mata antara lain :
 Perubahan anatomis dan struktural mata , Aspek ini menjelaskan gangguan-gangguan
yang mendasari atau penyakit-penyakit pada tingkat organ. Hanya menjelaskan
penyimpangan dari nilai normal merupakan pendekatan yang negatif.
 Fungsi-fungsi visual , Aspek ini menjelaskan perubahan-perubahan fungsional pada
tingkat organ. Ini tidak hanya terbatas pada tajam penglihatan dan lapang pandang,
namun termasuk fungsi lainnya seperti : sensitivitas kontras, penglihatan warna,
adaptasi gelap, dan binokularitas. Istilah impairment umum digunakan untuk
menjelaskan aspek ini. Penting disadari bahwa pengukuran fungsi penglihatan
memiliki 2 kegunaan : selain digunakan untuk mendiagnosis penyebab kelainan, juga
untuk memperhitungkan konsekuensi fungsional yang terjadi yaitu dampaknya pada
aktivitas sehari-hari.
 Penglihatan fungsional , Aspek ini menjelaskan kemampuan dan keterampilan
perorangan yaitu seberapa baik individu tersebut melakukan aktivitas-aktivitas
tertentu. Dalam bidang penglihatan, istilah penglihatan fungsional digunakan untuk
membedakan aspek ini dengan fungsi-fungsi visual. Setiap deskriptor untuk aspek ini
harus memiliki dua komponen yakni satu menetukan aktifitas, satu lagi menentukan
kemampuan untuk melakukannya.
 Konsekuensi-konsekuensi sosio-ekonomi , Aspek ini merujuk pada kualitas hidup
seseorang. Gangguan atau kehilangan kemampuan dalam beraktivitas berdampak
pada sosio-ekonomi individu tersebut. Apakah kualitas hidup seseorang dianggap
memuaskan atau tidak sebagian bergantung pada harapan-harapan dan tuntutan-
tuntutan personal dan sosial.

Beberapa ketentuan dalam penilaian kecacatan kerja :

o Penilaian tingkat cacat dilakukan setelah upaya pengobatan selesai dan pengobatan
telah diupayakan secara maksimal.
o Penilaian didasarkan pada penurunan kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Cacat
pada wajah – misalnya -- yang tidak menurunkan kemampuan kerja secara langsung,
tidak mendapatkan santunan cacat.
o Tingkat cacat yang bersifat anatomis dan cacat fungsi diatur dalam lampiran II
Peraturan Pemerintah No. 14 thn. 1993. Apabila tidak terdapat ketentuan mengenai
prosentase tingkat cacat tersebut, maka dokter penasehat menetapkan derajat cacat
sesuai dengan keilmuan yang telah diatur sebagai referensi.
o Cara penentuan kecacatan total : Apabila seorang pekerja mengalami cacat
anatomis/fungsi pada beberapa angota/bagian tubuh yang berbeda maka tingkat
cacatnya merupakan penjumlahan dari tingkat cacat masing-masing anggota/bagian
tubuh, tetapi tidak lebih dari 70 %.
o Cara penentuan cacat yang bersifat anatomis : Apabila prosentase cacat telah diatur
secara tegas dalam peraturan, maka yang digunakan adalah sesuai ketentuan. Bila
belum ada maka ketentuan persentase dengan membandingkan cacat anatomis yang
telah ada aturannya serta seberapa besar pengaruhnya terhadap kemampuan
melaksanakan pekerjaan.
o Cara penentuan cacat fungsi : Cacat fungsi 10 % nilainya sama dengan cacat
anatomis (kehilangan anggota tubuh). Penentuan cacat anatomis lebih mudah karena
bisa mempergunakan ketentuan yang ada.
o WHO menganjurkan dalam menentukan cacat bisa dipergunakan Panduan Evaluasi
Impermen Fisik Permanen.
o Dasar hukum di Indonesia : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor Per.25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan penilaian cacat karena
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
o Derajat kecacatan secara umum meliputi :
o Cacat sebagian : adalah cacat yang mengakibatkan sebagian atau beberapa bagian
dari anggota tubuh hilang (cacat anatomis) Akibat Kecelakaan Kerja.
o Cacat fungsi : adalah cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi sebagian atau
beberapa bangian dari anggota tubuh Akibat Kecelakaan Kerja.
o Cacat total : adalah cacat yang mengakibatkan Tenaga Kerja tidak dapat lagi
melakukan pekerjaan baik fisik maupun mental.

langkah-lagkah pemeriksaan yang harus dilakukan untuk mengevaluasi kecacatan


mata adalah :

1. Pemeriksaan tajam penglihatan Jauh


Pada pemeriksaan ini, menggunakan kartu Snellen yang merupakan kartu yang
memiliki ukuran huruf yang berbeda-beda. Pemeriksaan ini menentukan huruf terkecil
yang masih dapat dilihat di kartu baca pada jarak 6 meter atau 20 kaki.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dekat, dengan menggunakan kartu Jaeger.
3. Pemeriksaan lapang pandang
a. Tes konfrontasi
b. Pada tingkat rujukan menggunakan perimeter Goldman dan kisi Esterman
4. Pemeriksaan binokularitas
Penglihatan binokularitas terdiri atas beberapa gradasi yaitu :
a. Penglihatan serentak dimana kedua mata dapat melihat sekaligus.
b. Fusi dimana kedua mata dapat bekerjasama
c. Stereopsis yaitu kemampuan untuk membedakan ruang
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk menilai penglihatan binokular tunggal
seperti tes “Worth four dot”, tes dengan menggunakan perimeter Goldman dan tes
kartu TNO.
5. Pemeriksaan penglihatan warna
Pemeriksaan ini menggunakan tes Ishihara untuk menentukan ada atau tidaknya buta
warna hijau merah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1 Dalam penatalaksanaan kasus-kasus penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja yang
juga dapat bermuara pada kecacacatan mata, seorang dokter perlu memahami prinsip-
prinsip medis mulai dari hal-hal mendasar tentang anatomi dan fisiologi mata,
pemeriksaan-pemeriksaan oftalmologi dasar, neuro-oftalmologi mata, dan aspek-
aspek hukum ketenagakerjaan, khususnya masalah-masalah benefit & compensation
bagi karyawan yang mengalami masalah dengan mata/penglihatannya yang berkaitan
dengan pekerjaan.
2 Terdapat banyak kemungkinan timbulnya penyakit maupun kecelakaan yang
kemudian dapat menyebabkan kecacatan dari aktivitas kerja sehari-hari. Di antaranya
adalah luka bakar kimiawi akibat pajanan basa dan asam kuat, cedera akibat radiasi,
dan yang paling umum adalah cedera mekanis yang menyebabkan masuknya benda
asing ke mata dengan berbagai konsekuensinya. Dapat terjadi penyakit akibat kerja
atau bahkan kecacatan yang menimpa mata yang menyebabkan terjadinya
impairment, disability, dan handicap. Misalnya seorang pekerja yang terkena
percikan las pada kedua matanya karena berada di dekat seorang rekannya yang
sedang melakukan pengelasan sedangkan dia sendiri tidak menggunakan safety
glasses, mengalami cedera di kedua kornea sampai menyebabkan kekeruhan pada
kornea. Dalam kasus ini dia mengalami impairment berupa kerusakan struktur
anatomis kornea sehingga terjadi disability pada fungsi penglihatannya yang
selanjutnya akan mengganggu aktivitas kesehariannya. Dalam hal ini dia mengalami
handicap.

Saran
1 Perlu diberikan lebih banyak contoh kasus untuk dijadikan sebagai latihan di ruang
kuliah mengenai penyakit-penyakit dan kecelakaan pada mata untuk ditinjau dari
sudut pandang kedokteran okupasi, terutama dalam hal menghitung kompensasi dari
setiap kasus.
2 Besaran-besaran nilai kompensasi yang ditetapkan dalam undang-undang perlu
direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman karena besaran-besaran
nilai kompensasi pada undang-undang/Kepmen seperti pada buku Kumpulan
Peraturan Perundangan Jamsostek sudah tidak sesuai dengan situasi saat ini, apalagi
dengan berlarut-larutnya krisis global saat ini.

Daftar Pustaka
1. Perdana, GP. Kampenye Kecelakaan nol Untuk Meningkatkan Keselamatan dan
kesehatan Kerja (K3) di Stasiun Kereta Api. Surakarta, 2009.
2. Markkanen, PK. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indoneia.
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_120561.pdf. ILO, April 2004.
3. Momm W, Geiecker O. In: Momm W, Ransom R,editors. Disability: concepts and
definition. In: Encyclopaedia of occupational health and safety. Fourth edition.
Geneva: International Labour Organization; 1998. vol I. p.17.2-6.
4. Himmelstein JS, Pransky GS, Sweet CP. Ability to work and the evaluation of
disability. In: Levy BS, Wegman DH, editors. Occupational health recognizing and
preventing work-related disease and injury. Fourth edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2000; p.258-9.
5. WHO. Body function and structures and impairments. International Classification of
Functioning, disability and health. Geneva. 1999; p.12-3.
6. WHO. Model of functioning and disability. International Classification of
Functioning, disability and health. Geneva. 1999; p.20.
7. Karjalainen A. Diseases of the eye and adnexa. International statistical classification
of diseases and related health problems (ICD-10) in occupational health. Geneva:
WHO, 1999; p.19.
8. Marsetio M, Gondhowiardjo TD, Hadisujono, Tanzil M. Bidang penyakit mata.
Pedoman diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Edisi kedua. Jakarta: Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, 2007; p.77-
89.
9. Baharudin, Rizal. Makalah Oftalmologi Kecacatan. Magister Kedokteran Kerja
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2008.
10. Wikipedia. Eye examination. [homepage on the internet].Nov 16 2008 [cited 2008
Nov 18]. Available from http://en.wikipedia.org/wiki/Eye_examination
11. Wikipedia. Visual field. [homepage on the internet].Nov 16 2008 [cited 2008 Nov
18]. Available from http://en.wikipedia.org/wiki/Eye_examination
12. Lindsell L, Lowther G. Eye examination [homepage on the internet].Nov 16 2008
[cited 2008 Nov 18]. Available from http://www.opt.indiana.edu/ clinics/pt_educ/
iexam/main.htm
13. PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kumpulan peraturan perundangan jamsostek.
Jakarta: PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja, 2005; hal.86-9.
14. Roestam AW. Presentasi kuliah penilaian kecacatan kerja. IKK FKUI. Jakarta; 2008.
15. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Per.25/MEN/XII/2008
tentang Pedoman Diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit
akibat kerja.

Anda mungkin juga menyukai