Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH TENTANG TRANSPALANSI ORGAN,TRANSFUSI DARAH,DAN

EUTHANASIA MENURUT PANDANGAN ISLAM

Untuk Memenuhi Tugas Belajar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh:

NISA MEGA GUMILANG ; 180106010

RATRI WULANDARI : 180106011

1
FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA 2019

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa karena berkat rahmat-Nyalah kami
kelompok 3 dapat menyelesaikan tugas kami. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam menyumbang pemikiran
teori yang menunjang dalam pembuatan tugas ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga kami
membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan tugas kami
selanjutnya.

Wassalamualaikum.Wr.Wb.

Purwokerto,16 Januari 2019

3
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............……………………………………………………………....i

KATA PENGANTAR………………………….……………………………………….…...ii

DAFTAR ISI..............................……………………………………………………...……..iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang……………………………….………….……...................

Rumusan Masalah…………………………………………………………

Tujuan………………………………..………….…...................................

BAB II PEMBAHASAN

Perkembangan Seksualitas…………………………………………………

Definisi agama dan etnik…………………………………………………..

BAB III PENUTUP

Kesimpulan………..………………………………..………..............…..

Saran……………………...………………………………….…..............

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………................

4
BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Transplantasi adalah perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu
pada individu itu sendiri atau pada individu lainnya baik yang sama maupun berbeda spesies.
Saat ini yang lazim di kerjakan di Indonesia saat ini adalah pemindahan suatu jaringan atau
organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan pengertian bahwa
transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain
atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk
mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan organ lain yang masih
berfungsi dari pendonor.

Transfusi darah,Manusia merupakan makhluk sosial yang notabenenya mengharuskan seseorang


manusia itu untuk menolong manusia yang lain, apalagi itu terkait dengan masalah nyawa.
Tentunya hal itu dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tidak merugikan pihak manapun.
Tranfusi darah merupakan salah satu wujud kepedulian kita kepada sesama manusia. Secara
sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan donor darah untuk kepentingan pelaksanaan
transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan
ini perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian ilmiah. Masalah transfusi darah adalah
masalah baru dalam hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-
masa pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak
menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah ijtihadi guna
menjawab permasalahan mengenai hubungan pendonor dengan resepien, hukum menjual belikan
darah dan hukum transfusi darah dengan orang beda agama, karena untuk mengetahui
hukumnya diperlukan metode-metode istinbath atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip
umum agama Islam.

Euthanasia, Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin
pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan
etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah
Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga

5
melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan
kubu yang kontra.

Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan
Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan,
karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia
berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup
dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan perdata
beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had dan qisas termasuk
hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau
lembaga peradilan, nmaupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena
hidup dan mati ditangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik
terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan
diakhiri dengan kematian.Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu
yang masih mengandung misteri yang sangat besar.

)185:‫ اآلية (آل عمران‬...... ‫كل نفس ذائقة الموت‬

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum
berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai
akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun
yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu
kematiannya.

RUMUSAN MASALAH

Bagaimana hukum transpalasi organ menurut islam?

Bagaimana hukum Islam dalam transfusi darah?

Bagaimana syarat donor darah menurut ulama fikih?

Apa pengertian euthanasia?

Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?

Bagaimana hukum positif tentang euthanasia?

6
TUJUAN

Konsep transplantasi organ menurut islam

Konsep transfusi darah.

Macam transfusi darah.

Syarat melakukan transfusi darah dalam pandangan Islam.

Mengetahui hukum islam dalam melakukan transfusi darah.

Untuk mengetahui pengertian euthanasia

Untuk mengetahui hukum islam tentang euthanasia

Untuk mengetahui hukum positif tentang euthanasia

7
BAB 1I

PEMBAHASAN

TRANSPALANSI ORGAN

Pengertian transplantasi (pencangkokan) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan
baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan
hidupnya tidak ada lagi.

Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya :

Pertama, Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk
dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau terjadi kelainan.

Kedua, Resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain
hal, organ tubuhnya harus diganti.

Ketiga, Tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor
kepada resipien.

8
Berkenaan dengan donor, transplantasi dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe, yaitu :

1. Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam tipe ini perlu adanya seleksi yang cermat dan
harus dilakukan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik
terhadap donor maupun terhadap resipien (penerima), demi menghindari kegagalan transplantasi
yang disebabkan penolakan tubuh resipien dan sekaligus menghindari dan mencegah resiko bagi
donor. Sebab menurut data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal, dan si donor juga merasa was-
was dan merasa tidak aman, karena dia menyadari, misalnya bila dia donor ginjal, dia tak akan
memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.

2. Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan
meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan
penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat
penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ
tubuhnya. Hanya, kriteria meninggal secara medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan
tegas dan tuntas, apakah kriteria itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan,
atau ditandai dengan berhentinya fungsi otak.

3. Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan dicangkokkan
diambil ketika donor telah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis, juga harus
diperhatikan daya tahan organ yang akan diambil untuk transplantasi, apakah masih ada
kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel jaringannya telah mati,
sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.

Berdasarkan uraian diatas, maka muncul suatu pertanyaan: “Bagaimanakah pandangan hukum
Islam tentang transplantasi organ tubuh, baik donor dalam keadaan sehat, dalam keadaan koma,
maupun dalam keadaan meninggal?”. Inilah yang menjadi pokok masalah dalam tulisan ini, yang
mana dalam pembahasannya berpedoman pada hukum Islam (Quran dan Hadits) secara eksplisit,
serta mengaitkan hal tersebut pada qaidah fiqhiyyah yang benar.

Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat

Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat,
maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :

a. Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :

َ َ‫َوالَ ت ُ ْلقُ ْوا بِأ َ ْي ِد ْي ُك ْم إ‬


‫لى التَّ ْهلُ َك ِة‬

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.

Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan
sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri
9
donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur.
Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang
memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari
orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu
donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan
karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash), maka tidak boleh
memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu
dari orang lain.

Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain, ia
akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal
secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila
ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya,
menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini
tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:

َّ ِ‫الض ََّر ُر الَ يُزَ ا ُل ب‬


‫الض‬

“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.

b. Qaidah Fiqhiyyah

ِ‫صا ِلح‬ ِ ‫لى َج ْل‬


َ ‫ب اْل َم‬ َ ‫دَ ْر ُء اْل َمفا َ ِس ِد ُمقَدَّ ٌم َع‬
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.

Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan,
daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal,
akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya
dalam melaksanakan ibadah.

Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma

Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram,
walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat
mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan
‘euthanasia’ atau mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan
transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya
berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter,

10
bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada
juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis,
pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup.

Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak boleh menurut Islam
dengan alasan sebagai berikut :

a. Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-
Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin
al-Shamit :

‫ار‬ ِ َ‫ض َر َر َوال‬


َ ‫ض َر‬ َ َ‫ال‬

“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat
pada orang lain”.

Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat haram
hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat
kematiannya, yang disebut euthanasia.

b. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan


hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh
mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan
oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.

Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal

Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis
dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :

Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya
bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis
maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :

‫ت‬ ُ ْ‫الض َُّر ْو َراتُ ت ُ ِب ْي ُح اْل َمح‬


ِ ‫ظ ْو َرا‬

“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.

Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :

‫الض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬

11
“Bahaya itu harus dihilangkan”.

Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi
penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu
harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia
meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.

Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam
kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah
meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam
dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin
keluarga/ahli waris.

Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi
Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup
jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei
1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut
beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.

Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh, antara
lain:

a. Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195

yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa
berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang
memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.

b. Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:

َ َّ‫َو َم ْن أَحْ ياَهَا فَ َكأَن َّما َ أَحْ يَا الن‬


‫اس َج ِميْعا‬

“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia


memelihara kehidupan manusia semuanya”.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai
oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.

c. Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan berbuat
baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

12
Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam
kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.

Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam
memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia
walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya
memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih
hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).

Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan
walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang
sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan
transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.Hal ini
didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :

ِِ‫ب أَ َخ ِِّف ِه َما‬


ِ ‫ارتِكَا‬
ْ ِ‫ض َررا ب‬ َ ‫ي أَ ْع‬
َ ‫ظ ُم ُه َما‬ َ ‫ت َم ْف‬
َ ‫سدَتا َ ِن ُر ْو ِع‬ ْ ‫ض‬ َ َ‫إذَا تَع‬
َ ‫ار‬

“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan
yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling
ringan madharatnya dari dua madharat”.

d. Hadits Nabi saw.

‫اح ٍد اْل َه َر ُم‬ َ ‫ض ْع دَاء ِإالَّ َو‬


ِ ‫ض َع لَهُ دَ َواء َغي َْر دَاءٍ َو‬ َ َ‫تَدَ ُاو ْوا ِعبَادَ هللاِ فَإ ِ َّن هللا َلَ ْم ي‬

“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu
penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu
penyakit tua”.

(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)

Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan
tidak melanggar norma ajaran Islam.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula :

“Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh atas izin
Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).

TRANSFUSI DARAH

Pengertian Transfusi darah

13
Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis produk dari satu orang ke
dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi darah dapat menyelamatkan jiwa dalam
beberapa situasi, seperti kehilangan darah besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk
menggantikan darah yang hilang selama operasi.

Transfusi darah juga dapat digunakan untuk mengobati anemia berat atau trombositopenia yang
disebabkan oleh penyakit darah. Orang yang menderita hemofilia atau penyakit sel sabit
mungkin memerlukan transfusi darah sering. Awal transfusi darah secara keseluruhan digunakan,
tapi praktek medis modern umumnya hanya menggunakan komponen darah.

Tranfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya kemahraman antara pendonor dan
resipien.sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 23:

Artinya: ”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan


saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-
saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui
kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjual belikan darah sebagaimana
sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah
manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis
yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan pupuk. Menurut
madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya
seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah
manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang
memerlukan transfusi darah. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah
manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan
karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan,
karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata,
guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Rasulullah bersabda dalam hadist Ibnu Abbas ra :
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah
akan haramkan harganya”.

Macam Transfusi Darah

14
Transfusi sel darah merah

Istilah “transfusi darah” seringkali diartikan secara luas oleh dokter jika yang dimaksudkan
mereka adalah transfusi sel darah merah. Keluhan terhadap kelemahan linguistik ini adalah
bahwa darah seringkali ditransfusikan tanpa perhatian yang cukup pada kebutuhan spesifik
penderita atau terhadap kemungkinan efek membahayakan dari transfusi.

Transfusi trombosit dan granulosit

Transfusi trombosit dan granulosit diperlukan bagi penderita trombositopenia yang mengancam
jiwa, dan neutropenia yang di sebabkan karena gagal sumsum tulang. Transfusi darah dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis utama tergantung pada sumber mereka:

'Transfusi homolog, atau transfusi darah yang disimpan menggunakan orang lain. Ini sering
disebut ''Allogeneic bukan homolog.

''Autologus transfusi”, atau transfusi menggunakan darah pasien sendiri disimpan.

Syarat Melakukan Transfusi Darah

Sekalipun ulama fikih sepakat menyatakan bahwa menyumbangkan darah itu hukumnya boleh,
namun mereka mengemukakan beberapa syarat bagi pihak donor

Persyaratan dibolehkannya tranfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah
agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi karena adanya kaidah-kaidah hukum Islam sebagai
berikut:

‫الضرريزال‬Artinya bahaya itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus
dihindari dengan berobat dan sebagainya. Pihak donor tidak dirugikan ketika transfusi darah
dilaksanakan. Artinya, setelah transfusi darah itu orang yang memberikan darah tidak
menanggung risiko apa pun akibat donor darah tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang
menyatakan bahwa “suatu kemudaratan tidak dihilangkan jika menimbulkan kemudaratan lain”,
kemudian “menghilangkan kemudaratan itu sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan”. Oleh sebab
itu, diperlukan ketelitian para ahli medis untuk menentukan bisa atau tidaknya seseorang menjadi
donor darah.

15
‫ الضرر اليزال بالضرر‬Artinya bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain [lebih besar
bahayanya] .misalnya seorang yang memerlukan tranfusi darah karena kecelakaan lalu lintas,
atau operasi, tidak boleh me-nerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatang-
kan bahaya yang lebih besar/berakibat fatal. Pihak donor tidak menderita penyakit, yang apabila
darahnya diberikan kepada orang lain penyakitnya itu akan berpindah kepada penerima darah.

‫ الضرر وال ضرار‬Artinya tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula
membuat mudarat kepada orang lain, misalnya seorang pria yang impotent atau terkena AIDS
tidak boleh kawin sebelum sembuh. Perbuatan menyumbangkan darah itu dilakukan dengan
suka- rela, tanpa paksaan dan tanpa bayaran.

Apabila terdapat padanya maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan yang dapat
membahayakan dirinya, maka donor darah tidak terlarang. Bahkan padanya terdapat pahala dan
keutamaan, sebagaimana yang termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. QS 99:78,
“Barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kebaikan maka dia akan melihatnya, dan
barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kejelekan maka dia akan melihatnya”.

Hukum Transfusi Darah Menurut Islam

Menurut ulama fikih, kendati darah memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup
manusia, pemindahan darah seseorang ke tubuh orang iain tidak membawa akibat hukum apa
pun dalam Islam, baik yang berkaitan dengan masalah perkawinan maupun yang berkaitan
dengan masalah warisan. Dalam hubungan perkawinan, yang saling mengharamkan nikah itu
hanya disebabkan adanya hubungan nasab (keturunan), hubungan musaharah (persemendaan),
dan hubungan rada’ah (susuan).

Pandangan ulama terdahulu

Pandangan Ulama terdahulu mengenai transfusi darah yakni memanfaatkan anggota badan
adalah haram baik dengan cara jual beli ataupun dengan cara lainnya.

Memanfaatkan anggota badan manusia tidak diperbolehkan. Ada yang beralasan karena:

Najis

Merendahkan, alasan kedua adalah alasan yang benar (Al-Fatwa Al-Hidayah). “Tidak
diperkenankan menjual rambut manusia ataupun memanfaatkannya. Karena manusia itu
terhormat bukan hina” (Al Murghinani)

Adapun tulang dan rambut manusia tidak boleh dijual, bukan karena najis atau suci, tetapi karena
menghormatinya. Menjualnya berati merendahkannya” (Al Kasani) Menjual air susu wanita

16
(BOLEH). Karena susu itu suci dan bermanfaat sehingga Alloh memperbolehkkan untuk
meminumnya walaupun tidak dalam keadaan terpaksa (Madzhab, Maliki, Hambali dan Syafi’I)
Menjual air susu (HARAM). Karena susu adalah bagian dari anggota badan (Mazhab Hanafi)
Ulama terdahulu sangat berhati hati dalam hal perlakuan terhadap anggota badan manusia
(manusia merupakan mahluk terhormat dalam pandangan Islam) Pada saat itu belum terpikirkan
perkembangan Ilmu kedokteran yang sepesat sekarang.

Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya adalah keumuman hadits Nabi menganjurkan kita
untuk membantu saudara kita dan meng-hilangkan beban penderitaan mereka. Rasulullah
bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk memberikan manfaat kepada
saudaranya maka hendaknya dia melakukannya.” (HR. Muslim 4/1476).

Hadits ini berisi anjuran untuk memberikan manfaat kepada saudara kita, sedangkan donor darah
sangat bermanfaat bagi orang yang membutuhkannya. Dengan demikian, barang siapa yang
mampu untuk donor darah tanpa mencelakai dirinya maka hal itu dianjurkan. Syaikh Muhammad
al-Buhairi berkata, “Manfaat apa yang lebih besar dibandingkan engkau menyelamatkan
saudaramu dengan beberapa tetesan darahmu tanpa membahayakan dirimu.”

Menurut Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta. Hukum asal dalam pengobatan,
hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang diperbolehkan menurut syari’at. Namun, jika
tidak ada cara lain untuk menambahkan daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan
darah orang lain, dan ini menjadi satu-satunya usaha menyelamatkan orang sakit atau lemah,
sementara para ahli memiliki dugaan kuat bahwa ini akan memberikan manfaat bagi pasien,
maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mengobati dengan darah orang lain. Para
ulama pada zaman sekarang telah ber-sepakat tentang bolehnya donor darah dan tidak ditemukan
perselisihan dalam hal ini. Dr. Muhammad Ali al-Barr berkata, “Ahli fatwa pada masa ini telah
bersepakat tentang bolehnya donor darah sesuai persyaratannya.”

Oleh karena lembaga-lembaga fatwa di negara-negara Islam menfatwakan bolehnya donor darah
seperti Lajnah Daimah Saudi Arabia dalam Fatwa mereka no. 2308, Lajnah Fatwa Mesir
sebagaimana dalam Majalah al-Azhar tahun 1368 H, dan masih banyak lagi lainnya.

Menurut ulama sekarang

Mengenai akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien

Menurut Ust. Subki Al-Bughury, adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa
transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor
dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh
Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab.
Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb. Karena adanya

17
hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan
istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan,
misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang
yang sesusuan dan sebagainya.

Serta pada (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23
di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa
transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien.
Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.

Mengenai Hukum menerima transfusi darah dari non-muslim

Menurut ust. Ahmad sarwat pada hakikatnya tubuh orang kafir bukan benda najis. Buktinya
mereka tetap dibolehkan masuk ke dalam masjid-masjid mana pun di dunia ini, kecuali masjid di
tanah haram. Kalau tubuh orang kafir dikatakan najis, maka tidak mungkin Abu Bakar minum
dari satu gelas bersama dengan orang kafir. Kalau kita belajar fiqih thaharah, maka kita akan
masuk ke dalam salah satu bab yang membahas hal ini, yaitu Bab Su'ur.

Di sana disebutkan bahwa su'ur adami (ludah manusia) hukumnya suci, termasuk su'ur orang
kafir. Maka hukum darah orang kafir yang dimasukkan ke dalam tubuh seorang muslim tentu
bukan termasuk benda najis. Ketika darah itu baru dikeluarkan dari tubuh, saat itu darah itu
memang najis. Dan kantung darah tentu tidak boleh dibawa untuk shalat, karena kantung darah
itu najis.

Namun begitu darah segar itu dimasukkan ke dalam tubuh seseorang, maka darah itu sudah tidak
najis lagi. Dan darah orang kafir yang sudah masuk ke dalam tubuh seorang muslim juga tidak
najis. Sehingga hukumnya tetap boleh dan dibenarkan ketika seorang muslim menerima transfusi
darah dari donor yang tidak beragama Islam.

C. EUTHANASIA

A. Pengertian Euthanasia

18
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos
yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-
maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang
dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang
yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

Menurut Dr. H.Ali Akbar, Euthanasia mempunyai pengertian :

1. Kematian yang mudah dan tanpa sakit

2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk
mempercepat kematiannya.

3. Keinginan untuk mati dalam arti yang baik

Dari penegrtian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa euthanasia adalah


usaha dan bantuan yang dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang yang menurut
perkiraan sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan 1meringankan atau membebaskannya
dari penderitaannya.

Euthanasia dapat dibagi dua macam, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia
aktif (positif) adalah apabila seorang dokter melihat pasiennya dalam keadaan penderitaan yang
sangat berat karena penyakitnya yang sangat sulit disembuhkan dan menurut pendapatnya penyakit
terssebut akan mengakibatkan kematian dan karena rasa kasihan terhadap si penderita ia
melakukan penyuntikan untuk mempercepat kematiannya.

Euthanasia pasif (negatif) adalah apabila dokter tidak memberikan bantuan secara aktif
untuk mempercepat proses kematian si pasien. Jika seorang pasien menderita penyakit dalam
stadium terminal, yang menurut dokter sudah tidak bisa lagi disembuhkan, maka kadang-kadang
pihak keluarga tidak tega melihat seorang anggota kelurganya berlama-lama menderita dirumah
sakit, lalu meminta kepada dokter untuk menghentikan pengobatannya. Akibatnya sipenderita
meninggal.

1 As’ad, Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus

19
B. Macam Macam Euthanasia

Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:

1. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan


memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan
penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit
yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan
akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

2. Euthanasia Pasif

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan
dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya.

20
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam
praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter
terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien
Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik
kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana
di negara mana pun.

C. Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.

1. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori


pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman
Allah SWT :

)151:‫(األنعام‬.‫ اآلية‬....‫ و ال تقتلوا النفس التي حرم هللا إال بالحق‬.......

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

)92 :‫ (النساء‬.‫ اآلية‬....‫و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إال خطأ‬

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

)29 :‫ (النساء‬.‫ اآلية‬....‫و ال تقتلوا أنفسكم إن هللا كان بكم رحيما‬.......

21
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia
aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan


mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

)178 :‫(البقرة‬.‫ اآلية‬....‫يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى‬

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-
Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan


memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT :

)178 :‫(البقرة‬.‫ اآلية‬.... ‫ فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان‬.......

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam
keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah)
berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i. Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau
dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar =
4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram
perak).

22
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini
hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia
aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-
Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan
duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu.
Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman :
hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan
surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).

2. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik


menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada
pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut
Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.

23
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah
SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

‫األصل في األمر للطلب‬

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada
dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-
hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan
(epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku
tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi
(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya,
hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam
hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka
jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter
berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.

24
Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan
yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya
masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena
organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien
–setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi
setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa
dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).

D. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia

1. Menurut Aspek Medis

Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan


seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan
atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi
pembu2nuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan
seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death).

Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari

2 Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer


Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

25
bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis
lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan
untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban
dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran,
dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami
kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara
keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik
harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara
keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang
berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas
hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.

2 Menurut Aspek Hukum

Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal
khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi
“barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis
(euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:

“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam


keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara....”.

Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa
dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu,

26
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau
orang itu jadi bunuh diri.”3

3 http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/

27
3. Analisa

Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal ini
menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat menentukan
kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan manusia dan
Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk menentukan dan
mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.

Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan
karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak
mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jualah
yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak
percaya Tuhan. Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat bertahun-tahun dan sangat
menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan karena merasa
kasihan dan mengambil tindakan yang menurut mereka baik agar orang tersebut tidak lagi hidup
dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan yaitu meminta tolong
dokter atau para medis untuk ‘membunuh’nya, hal itu juga dipicu karena orang ini sudah terlalu
menyusahakan keluarganya.

Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan
mengtuhankan diri kita sendiri sebagai ‘Tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya orang
ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, beranggapan bahwa
setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan
hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan
dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan
permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan pola pikir yang salah
dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak
memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan
mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.

Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga
merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan
membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa

28
dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena
kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan
kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau digunkan
oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk mati. Jadi
selama si pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup mengapa orang lain justru ingin
mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan tak bisa
diukur dengan nilai apapun.

Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya
tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin melakukan
euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena
ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia
untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan semakin
parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu tidaklah
dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan cara
membunuh.

Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang
fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut
harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut? Alat-alat yang
dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan membunuhnya,
sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut
untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan
jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia,
karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit,
sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk
memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah dokter belum bertanggungjawab
atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan
dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga. Untuk mengurangi hal-hal
seperti ini, pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat
pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum

29
selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya, administrasi bisa
dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak
bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa
tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan tersebut
sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi beban
penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini melanggar
hak asasi si pasien. sPengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah termasuk dalam
kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter seharusnya
berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya. dalam
kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan kepandaian dan
kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tetapi tidak dengan cara
mengakhiri hidup si pasien.

30
31

Anda mungkin juga menyukai