Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan
salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala
klinik. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan
sehingga infeksi yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan
sinus paranasal.1
Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan
sinus paranasalis.2 Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering ditemukan
dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan
gangguan kualitas hidup sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis
lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode
diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini. Rinosinusitis ini sendiri di klasifikasikan
dalam 3 kriteria yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut dan rinosinusitis
kronis.3
Rinosinusitis kronis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus
paranasalis yang berlangsung lebih dari 12 minggu4. Rinosinusitis kronis secara
nyata akan menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi hidung dan iritasi,
gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek yang persisten5. Faktor
predisposisi timbulnya rinosinusitiskronik ialah obstruksi mekanik seperti deviasi
septum, hipertropi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di
dalam rongga hidung yang dibiarkan terus menerus tanpa penanganan
pengobatan. Faktor predisposisi lain seperti rangsangan yang menahun dari
lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering yang dapat mengakibatkan
perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktor-faktor fisik, kimia, saraf,
hormonal atau emosional dapat juga mempengaruhi mukosa hidung yang
selanjutnya dapat mempengaruhi mukosa sinus.
Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari
populasi orang dewasa. Menurut American Academy of Otolaringologykondisi ini

1
menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per tahun. Kasus
rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18
sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah 200.000 orang
dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya juga.6
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.Survei Kesehatan Indera Penglihatan
dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan
PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7
propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus
2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien dan 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai
indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai
kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di
Bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar dilaporkan tindakan BSEF
pada periode Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi rinoinusitis, 33
kasus pada polip hidung disertai rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan
tindakan septum koreksi atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rinosinusitis Kronis


Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat
dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa
hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu
sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan.3
Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu
maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.8

2.2 Anatomi Sinus Paranasalis


2.2.1. Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore yang telah ada saat lahir. Saat
lahir sinus bervolume 6-8 ml kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar
dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga terbalik. Dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis
yang terbesar.Letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia.Dasar dari anatomi sinus
maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1, P2, M1, M2 dan

3
M3, kadang-kadang juga gigi caninus bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius disekitar hiatus
semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.3

2.2.2. Sinus Etmoidalis


Sinus etmoidalis berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoiddan terletak diantara
konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus maksilaris
bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 ml
cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus
etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut
resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid.3
Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina
papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya
pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.9

4
2.2.3. Sinus Frontalis
Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi
di os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada
usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.
Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang
biasanya berada dekat garis tengah tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya
ke posterior sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus
frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-
kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk
salah satu sinus.9
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut
dengan tulang kompakta dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini.8

2.2.4. Sinus Sfenoidalis


Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid
posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7
cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis
dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak
di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Saat sinus berkembang pembuluh darah dan nervus dibagian lateral
os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis
di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk
oleh os sfenoidales. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri
karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus
sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini dan pasien dapat
mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding medial
dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus kiri dari

5
yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa serta
sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus 6

Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)

6
1. Sinus frontal

2. Sinus etmoid anterior

3. Aliran dari sinus frontal

4. Aliran dari ethmoid

5. Sinus etmoid posterior

6. Konka media

7. Sinus sphenoid

8. Konka Inferior

9. Hard palate

Gambar 2.3. Dinding lateral hidung 1

7
2.3 Fisiologi Sinus Paranasal
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)


Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan sebab
ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga
hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000). Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.Padahal
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa
hidung 3.

2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita


dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-
organ yang dilindungi 3.

3. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang


muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.3

4. Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara akan tetapi ada yang berpendapat posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif,
padahal tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan
tingkat rendah 3.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

8
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus 3.

6. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil


dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius.3

2.4 Etiologi Rinosinusitis Kronis


Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era
pra-antibiotik rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang
berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia,
saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum
rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi,
kelemahan tubuh yang tidak bugar dan penyakit umum sistemik perlu
dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-
faktor lingkungan misalnya dingin, panas, kelembapan dan kekeringan.Demikian
pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau dapat merupakan faktor
predisposisi.
Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap
infeksi sebelumnya misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti
rinitis alergika. Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi
penyakit rinosinusitis kronis berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi,
benda asing dan neoplasma.
Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana
virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti rinosinusitis,
faringitis dan sinusitis akut.
2.4.1 Virus
Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga meluas
ke sinus termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan parainfluenza

9
virus.Infeksi virus berulang merupakan faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya rinosinusitis kronik.
2.4.2 Bakteri
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan rinosinusitis akut. Namun karena rinosinusitis kronik biasanya
berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri
penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya baik anaerob maupun yang
aerob, proporsi terbesar penyebabnya adalah bakteri anaerob dan bakteri gram
negarif11. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain staphylococcus aureus,
streptococcus viridians, haemophilus influenzae, neisseria flavus, staphylococcus
epidermidis, streptococcus pneumonia dan escherichia coli. Sedangkan bakteri
anaerob antara lain peptostreptococcus, corynebacterium, bacteroide, dan
veillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali juga
terjadi. Pada kasus Rinosinusitis kronik akut eksaserbasi bakteri penyebab yang
terbanyak adalah bakteri anaerob. Bakteri gram negatif dan bakteri aerob
termasuk Pseudomonas Aeruginosa sering diisolasi pada pasien yang sudah
pernah melakukan operasi sinus.
2.4.3 Fungi
Infeksi jamur juga dapat menyebabkan rinosinusitis kronik walaupun jarang
terjadi. Jamur penyebab rinosinusitis kronik adalah Aspergillus, Cryptococcus
neoformans, Candida, Sporothrix Schhenckii, Alternaria, Misetoma. Sinusitis
jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik
atau metabolik seperti diabetes.
2.4.4 Deviasi septum
Variasi anatomi dan proses patologi dalam hidung dan sinus paranasal telah
banyak diteliti oleh para ahli. Banyak variasi anatomi menyebabkan penyakit
sinus kronis dengan menimbulkan obstruksi pada kompleks osteomeatal (KOM)
dan mempengaruhi pola transport mukosilier. Messerklinger seperti yang dikutip
oleh Chao3 telah mengidentifikasi perubahan pada dinding lateral hidung dan
konka media yang merangsang perubahan pada mukosa dan penurunan aerasi

10
sinus paranasal dan secara signifikan meningkatkan potensi penyakit sinus.2
Deviasi septum merupakan variasi anatomi yang sering ditemukan sedangkan
doubel concha merupakan variasi anatomi yang jarang ditemukan.3
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi
pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah
sehingga dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Bila
kejadian ini tidak menimbulakn gangguan respirasi maka tidak dikategorikan
sebagai keadaan yang patologis. Deviasi septum dapat merupakan predisposisi
obstruksi KOM yang dapat menimbulkan komplikasi rinosinusitis kronis.
Prosesus Unsinatus (PU) bukan hanya sebuah tonjolan pada dinding lateral
kavum nasi tetapi juga mempunyai peran penting dalam ventilasi kavum nasi dan
sinus paranasal anterior dari partikel bakteri dan alergen serta mengalirkan udara
inspirasi menjauh dari sinus paranasal. Deviasi PU dapat mengganggu fungsi
mukosilier sehingga mengganggu ventilasi dan drainase sinus maksila, sinus
etmoid dan sinus sfenoid. 7,9,10,12 Chao3menemukan 1 kasus (1%) pada 100 pasien
rinosinusitis kronis dengan double concha. Dua K dkk13 menemukan 6 % kasus (3
pasien) dari 50 pasien rinosinusitis kronis. Insiden ini sedikit lebih tinggi dari
kasus yang pernah dilaporkan Bolger (2.5%) dan Asruddin (2%) sedangkan Maru
melaporkan kasus yang lebih tinggi (9.8%).
2.4.5 Faktor Resiko Lain
Faktor resiko lain yang menyebabkan rinosinusitis adalah
1. Kelainan anatomik ( concha bullosa, deviasi dari proses uncinate, haller cels)
2. Rinitis alergika
3. Hipersensitifitas aspirin
4. Asthma
5. Polip nasi
6. Non alergi rinitis ( rinitis vasomotor, rinitis medica mentosa)
7. Gangguan clearens mocosiliar

11
8. Gangguan hormonal
9. Obstruksi yang disebabkan tumor
10. Gangguan imunologic
11. Cystic fibrosis
12. Primary ciliary dyskinesia, kartagner syndrome
13. Wegner granulomatosisinfeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang
berulang
14. Merokok
15. Environtment irritans dan pollutan
16. GERD
17. Periodontitis

2.5 Patofisiologi Rinosinusitis Kronis


Terjadinya stasis dari sekresi mukus cavum nasi dipicu oleh adanya obstruksi
mekanis pada komplek ostiomeatal (KOM) yang berhubungan dengan kelainan
anatomi dan edema pada mukosa cavum nasi yang disebabkan oleh berbagai
etiologi (misalnya rinitis virus akut atau alergi).
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal
baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal
untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks
ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi.2,8
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting
bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang
cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM
merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi
terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang
berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada
mukosa sinus dan juga mukosa nasal. Stagnasi mukosa pada sinus membentuk

12
media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai patogen. Tahap awal sinusitis
sering merupakan infeksi virus yang umumnya berlangsung hingga 10 hari dan itu
benar-benar sembuh dalam 99% kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dapat
berkembang menjadi infeksi bakteri akut sekunder yang umumnya disebabkan
oleh bakteri aerobik (yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis). Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan
satu jenis bakteri aerobik. Dengan adanya infeksi yang persistensi, flora campuran
dari organisme dan kadang kala jamur berkontribusi terhadap patogenesis
rhinosinusitis kronis. Sebagian besar kasus sinusitis kronis disebabkan oleh
sinusitis akut yang tidak diobati atau tidak merespons pengobatan.2 Pemikiran saat
ini mendukung konsep bahwa rhinosinusitis kronik (RSK) sebagian besar
merupakan penyakit radang multifaktor.
Faktor pengganggu yang dapat menyebabkan peradangan adalah sebagai
berikut:
- Infeksi yang persisten- Alergi dan penyakit imunologis
- Faktor-faktor intrinsik saluran nafas atas
- Pengobatan infeksi jamur yang menginduksi peradangan eosinofilik
- Kelainan metabolik seperti peka sensitif terhadap aspirin
Semua faktor ini dapat berperan dalam terganggunya sistem transportasi
mukosiliar intrinsik. Hal ini karena adanya perubahan pada patensi ostia sinus,
fungsi siliaris, atau kualitas sekresi menyebabkan stagnasi sekresi, penurunan
kadar pH, dan menurunkan ketegangan oksigen di dalam sinus. Perubahan ini
menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri yang
selanjutnya berkontribusi terhadap peningkatan peradangan mukosa.8

2.6 Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis


Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau
1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Yang merupakan kriteria mayor dari
rinosinusitis kronis antara lain berupa:
a. Nyeri atau rasa tekan pada bagian wajah di daerah yang terkena merupakan
ciri khas atau refered pain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri

13
diantara atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid,
nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Sedangkan
pada sinusitis sfenoid nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola
mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke
gigi dan telinga.13
b. Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret di hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip).
c. Gejala faring yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rinoskopi anterior ditemukan
sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior sedangkan
pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.
e. Hyposmia atau anosmia.
f. Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
g. Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis (sering terjadi pada anak).
Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:
a. Nyeri atau sakit kepala.
b. Demam.
c. Halitosis.
d. Kelelahan (fatigue).
e. Sakit gigi (dental pain).
f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan
komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial
sehingga terjadi penyakit sinobronkial.
g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya
tuba eustachius.4

2.7 Pemeriksaan Fisik


- Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan

14
sebelumnya). Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga
hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka,
hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.11
- Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.11
2.8 Pemeriksaan Penunjang 3,11
- Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
- Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium
tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi
endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami
kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat
sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.
- Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan
merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi
sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.

2.9 PENATALAKSANAAN

2.9.1 Terapi Medikamentosa


Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis
kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu
dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka
cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu
memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin
dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium
sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.3,11

15
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik
antara lain: 3,11
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang
digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis
kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:11
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance
terhadap iritan dan nutrisi yang cukup.

2.9.2 Terapi Pembedahan


Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan
peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang
dilakukan untuk rinosinusitis kronik ialah:11
- Sinus maksila:

16
o Irigasi sinus (antrum lavage)
o Nasal antrostomi
o Operasi Caldwell-Luc
- Sinus etmoid:
o Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
- Sinus frontal:
o Intranasal, ekstranasal
o Frontal sinus septoplasty
o Fronto-etmoidektomi
- Sinus sfenoid :
o Trans nasal
o Trans sfenoidal
- FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali
oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
o Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
o Poliposis nasi
o Mukokel sinus paranasal
o Mikosis sinus paranasal
o Benda asing
o Osteoma kecil
o Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
o Dekompresi orbita / n.optikus
o Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
o Atresia koanae
o Dakriosistorinotomi
o Kontrol epistaksis
o Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

2.10 Komplikasi Rinosinusitis Kronis


Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis kronis dengan

17
eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses
subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan kelainan paru.
Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang dikelilingi
pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial dan maksilaris
di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat meluas untuk
melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis, tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Selain itu juga semua sinus mempunyai hubungan sirkulasi di
mata melalui pembuluh pterigodea serta cabang-cabang arteri yang mempunyai
nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan berdampingan dengan vena
yang menghubungkannya dengan mata. Seperti cabang sfenopalatina dari arteri
maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan septum.
Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai
sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris
diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis
serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis dari arteri
maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk
suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini
terlihat nyata di atas konka media dan inferior serta bagian bawah septum di mana
ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika,
fasialis anterior dan sfenopalatina, seperti pada vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Untuk persarafannya yang terlibat langsung adalah termasuk juga
divisi oftalmikus misalnya bagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari
nervus nasolabialis yang berasal dari nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula

18
timbul gejala pada mata tetapi hanya karena hubungannya dengan sinus
kavernosus tempat lewatnya saraf otak ketiga (okulomotorius), keempat
(troklearis), kelima (trigeminus) dan keenam (abdusens) (Hilger, 1997). Kelainan
yang dapat timbul antara lain:
a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata
yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses
orbita juga proptosis yang makin bertambah.
d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa:
a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan seperti lewat
dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat
sistem sel udara etmoidalis.
b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid
atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

19
Sedangkan untuk kelainan paru berupa bronkitis kronik dan bronkiektasis,
selain itu dapat pula timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

2.11 PROGNOSIS
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya.
Namun, sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam
kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut
membaik secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus
adalah 98 %.Pasien dengan sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang
tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah
pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon dalam
waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali.

20
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Niken
Umur : 16 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Muara Panas
Agama : Islam
No. MR : 19907719

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Seorang pasien perempuan berusia 16 tahun kiriman dari poli klinik THT-
KL dr. Elfahmi, Sp. THT-KL datang ke RSUD M.Natsir Solok pada tanggal 30
Desember 2019 untuk keperluan operasi dengan diagnosa Rinosinusitis Kronik.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang untuk melakukan operasi Rinosinusitis Kronik dengan
keluhan hidung terasa penuh atau tersumbat sejak ± 1 bulan yang lalu, dan
meningkat sejak ± 1 minggu yang lalu. Pasien mengeluh hidung juga berair.
Hidung terasa penuh atau tersumbat apabila malam hari dan terkadang jika pasien
sedang beraktivitas. Keluhan disertai dengan telinga terasa penuh , mata berair
dan nyeri kepala. Keluhan terasa berkurang apabila pasien beristrihat. Demam (-),
batuk (-), mata berair (+), mata bengkak (-), telinga berdenging (-), telinga terasa
penuh (+), sulit menelan (-), post nasal drip (-), sakit kepala (-), gangguan
penghidu (+), gangguan pendengaran (-), gangguan keseimbangan (-).

Riwayat Pengobatan Dahulu :


Pasien sudah berobat ke spesialis THT sebelumnya , tetapi pasien lupa
nama obat, obat diminum sampai habis namun keluhan tidak berkurang.

21
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien sudah ada keluhan yang sama sekitar 1 bulan yang lalu, dan pasien
juga memiliki amandel
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat penyakit yang sama dengan keluarga (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (+) tante pasien

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan :


Seorang pasien perempuan berusia 16 tahun dengan pekerjaan seorang
pelajar, pasien mengaku mempunyai kebiasaan memakan makanan pedas dan
meminum minuman yang dingin.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umun : Tampang sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 74 x/i
Frekuensi Nafas : 20 x/i
Suhu : 36,7 ◦C

22
STATUS LOKALIS THT
TELINGA
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Kel. Congenital Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada


Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Daun Telinga
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
tragus
Cukup lapang (N) Cukup lapang (N) Cukup lapang (N)
Sempit - -
Dinding Liang Hiperemi Tidak ada Tidak ada
Telinga Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Bau Tidak ada Tidak ada
Warna kekuningan kekuningan
Sekret/serumen Jumlah Sedikit Sedikit
Jenis Lunak Lunak

Membran timpani
Warna Putih mutiara Putih mutiara
Reflex cahaya + +
Utuh Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Jumlah perforasi - -
Jenis - -
Perforasi Kuadran - -

23
Pinggir - -
Tanda radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Mastoid Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Tes Garpu Tala


FREKUENSI RINNE WEBER SCHWABACH
(Lateralisasi)
R + - Sama dg pemeriksa
L + - Sama dg pemeriksa

Kesan : Normal

HIDUNG
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kel. Congenital Tidak ada Tidak ada
Hidung luar Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada

Sinus paranasal :
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Transluminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

24
Rinoskopi Anterior :
Vibrise Ada Ada
Vestibulum Radang Tidak ada Tidak ada
Cavum nasi Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Lapang - -
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Jenis - -
Sekret Jumlah - -
Bau - -
Ukuran - -
Warna Pucat Pucat
Konka inferior Permukaan Licin Licin
Edema + +
Ukuran - -
Warna Pucat Pucat
Konka media Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Cukup lurus/deviasi Cukup lurus Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Septum Spina Tidak ada Tidak ada
Kripta Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk - -
Ukuran - -
Massa Permukaan - -

25
Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh - -
vasokonstriktor

Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Cukup lapang (N)

Koana Sempit

Lapang

Warna

Mukosa Edema

Jaringan granulasi

Ukuran

Konka superior Warna

Permukaan

Edema

Adenoid Ada /tidak

Muara tuba Tertutup sekret


eustachius
Edema mukosa

Lokasi

26
Ukuran

Massa Bentuk

Permukaan

Post nasal drip Ada/tidak

Jenis

OROFARING DAN MULUT


Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Lembab/tidak Lembab Lembab
Bibir Warna Coklat kehitaman Coklat kehitaman
Edema Tidak ada Tidak ada
Gigi Karies/Radiks Tidak ada Tidak ada
Kesan Hygine mulut
baik
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Simetris Simetris
Lidah Deviasi - -
Massa - -
Mobilitas - -
Simetris/tidak Simetris Simetris
Palatum durum,
Warna Merah muda Merah muda
palatum mole,
Edema - -
arkus faring
Bercak/eksudat - -
Ukuran T2 T2
Warna Merah muda Merah muda
Tonsil
Permukaan Licin Licin
Muara kripti - -

27
Detritus - -
Tonsil
Eksudat - -
Warna Merah muda Merah muda
Peritonsil
Abses - -
Edema - -
Uvula
Bivida - -
Warna Merah Muda Merah muda
Dinding Faring
Permukaan Licin Licin
Lokasi - -
Bentuk - -
Massa Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -

Laringoskopi Indirek

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Bentuk Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Epiglotis Edema Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pinggir rata/ tidak Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Massa Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Edema Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Aritenoid Massa Tidak dilakukan Tidak dilakukan

28
Gerakan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ventricular band Edema Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Massa Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Plika vokalis Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gerakan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pinggir medial Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Massa Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sinus piriformis Massa Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sekret Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Valekula Massa Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sekret (jenisnya) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan kelenjar getah bening leher


Inspeksi : Tidak terlihat tanda pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Hasil Pemeriksaan Laboratorium :


 Darah Rutin :
- Hb : 13,4
- Ht : 38,9
- Leukosit : 10.400
- Trombosit : 345.000

29
Diagnosis Kerja
Rinosinusitis Kronis

Pemeriksaan Anjuran
- Darah lengkap

Terapi
- Bed rest total
- Pembedahan

Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungtionam : Bonam
Quo ad Sanam : Bonam

30
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung
yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.
Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara
epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris.
Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat diserai dengan nyeri/rasa
tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip).Tatalaksana berupa terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika
telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista
maka dibutuhkan tindakan operasi. Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan
dini mengenai sinusitis dapat memberikan prognosis yang baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,


hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2012
2. Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji
Adam Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun
2013
3. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran,
Ed.3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106
4. . Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga,hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012
5. . Snell, Richard S. Anatomi Klinik Edisi 7. Jakarta:EGC. 2010
6. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Dalam : Rachman
LY,editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :EGC ; 2008
7. Posumah, AH . Gambaran Foto Waters Pada Penderita Dengan dugaan
Klinis Sinusitis Maksilaris Di Bagian Radiologi Fkunsrat/Smf Radiologi
Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Jurnal e-Biomedik (eBM),
Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 129-134
8. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC;1994.h.173-240
9. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyposis.Rhinology,Supplement 20, 2007; www.rhinologyjournal.com;
www.eaaci.net.
10. Katzung, B.G., 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik. 6th ed. Jakarta:
Appleton and Lange.
11. Gunawan, S. G dkk. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5. Departemen
Farmakologi Dan Terapeutik FKUI. 2007

32

Anda mungkin juga menyukai