Anda di halaman 1dari 16

BAGAIMANA PRASANGKA SOSIAL ALLPORT DAN DINAMIKA

KEPRIBADIAN EYSENCK

Syahrul Handika (43040170093)

Bsyahrulhandika@gmail.com

+6285868162118

A. LATAR BELAKANG

Putra dan Wongkaren (2010) merangkum berbagai sebab prasangka, antara


lain dari penelitian Allport pada tahun 1954 disebabkan karena agama dan dari
penelitian Tajfel & Turner pada tahun 1979 disebabkan karena identitas. Penelitian
ini mencoba mengkaji ulang peran faktor agama (fundamentalisme dan religiusitas)
dan identitas (identitas sosial) terhadap prasangka sosial pada Nonmuslim. Dalam
Islam sendiri, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menghindari
prasangka. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya pada QS. Al- Hujurat ayat 12,
yang artinya,“Hai orang-orang beriman, jauhilah dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Nabi Muhammad SAW turut menegaskan dengan bersabda, “Hindarilah


prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohong ucapan. Jangan pula
mencari kesalahan. Jangan saling iri. Jangan saling membenci. Jangan
membelakangi. Jadilah hamba Allah yang bersaudara (HR Bukhori dan Muslim)”
(Nawawi, 2012).

Secara teoritis, hubungan antara agama dengan prasangka berawal dari


observasi Allport (dalam Altemeyer & Hunsberger, 1992) bahwa peran agama
bersifat paradoksial sehingga dapat memunculkan prasangka maupun
menghilangkan prasangka. Dalam konteks masyarakat Barat yang mayoritas
Nonmuslim, Wulff (dalam Altemeyer & Hunsberger 1992) menjelaskan bahwa
dengan menggunakan berbagai pengukuran afiliasi kesalehan dengan keagamaan,
kehadiran di gereja, ortodoksi doktrinal, penilaian akan pentingnya agama, dan lain-
lain, para peneliti secara konsisten menemukan adanya korelasi positif kesemua hal
tersebut dengan etnosentrisme, otoritarianisme, dogmatisme, jarak sosial,
kekakuan, intoleransi pada ambiguitas, dan bentuk prasangka yang spesifik,
terutama terhadap orang Yahudi dan orang kulit hitam.

Terkait dengan variabel fundamentalisme, Altemeyer dan Hunsberger


(1992) menemukan bahwa individu fundamentalis cenderung lebih berprasangka.
Brandt dan Reyna (2010) menjelaskan alasan fundamentalime dapat berkaitan
dengan prasangka sebagian disebabkan karena ideologi fundamentalis memberikan
rasa kepastian (sense of certainty) dan ketertutupan (closure). Outgroup yang
menantang kepastian epistemik (epistemic certainty) yang dihasilkan dari
fundamentalisme, akan ditolak dalam upaya melindungi kepastian ini.

Menurut Brandt dan Reyna (2010) dengan menolak outgroup, kaum


fundamentalis dapat mengabaikan dan menolak pertanyaan dan serangan terhadap
pandangan hidup mereka juga merendahkan kesahihan pandangan hidup yang
berlawanan. Alasan ini konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa
prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada anggota kelompok yang
melanggar norma dan tradisi dapat digunakan untuk mendukung pandangan hidup
seorang individu (Brandt & Reyna, 2010). Dengan cara yang sama, rasa kepastian
yang diberikan oleh pandangan hidup para fundamentalis dapat dilindungi melalui
prasangka. Altemeyer dan Hunsberger (1992) juga menjelaskan bahwa
fundamentalisme agama berfokus pada pikiran tertutup (closed-mindedness),
dimana individu merasakan kepastian bahwa keyakinan agamanya benar, dan
bahwa individu memiliki jalan menuju kebenaran mutlak.
B. STRUKTUR KEPRIBADIAN ALLPORT

Menurutnya kepribadian adalah organisasi dinamik dalam sistem psikofisik


individu yang menentukan penyesuainnya yang unik dengan lingkungannya. Suatu
fenomena dinamik yang memiliki elemen psikologik, yang berkembang dan
berubah, yang memainkan peran aktif dalam berfungsinya individu. Defenisi
kepribadian ini memiliki 3 unsur pokok:

1. Istilah dynamic organization: kepribadian terus menerus berkembang dan


berubah, dan di dalam diri individu ada pusat organisasi yang mewadahi
semua komponen kepribadian yang menghubungkan satu dengan lainnya.
2. Istilah psychophysical system menyiratkan bahwa kepribadian bukan hanya
konstruk hipotetik ( yang dibuat oleh pengamat) tetapi merupakan fenomena
nyata yang merangkum elemen mental dan neural, disatukan ke dalam
unitas kepribadian.
3. Istilah determine mempertegas kembali bahwa kepribadian adalah sesuatu
dan mengerjakan sesuatu, bukan sekedar konsep yang menjelaskan
tingkahlaku orang tetapi bagian dari individu yang berperan aktif dalam
tingkahlaku itu.

Allport juga mempertimbangkan untuk tidak memakai istilah karakter dan


tempramen sebagai sinonim personality. Menurutnya, karakter mengesankan suatu
aturan tingkah laku dengan mana orang atau perbuatannya akan dinilai : orang
sering di gambarkan memiliki karakter yang baik atau jelek. Karakter bersebrangan
dengan kepribadian yang menggambarkan deskriptif tingkah laku yang bebas dari
penilaian ( karakter adalah kepribadian yang menilai, dan kepribadian adalah
karakter yang menilai ). Tempramen mengacu ke disposisi yang berkaitan erat
dengan determinan biologik atau fisiologik. Jadi, hereditas memainkan peran dalam
tempramen, sebagai bahan baku bersama-sama kecerdasan dan fisik untuk
membentuk kepribadian.

Allport menganggap ciri-ciri kepribadian (personality traits) menjadi


kecenderungan untuk memberi respon yang sama terhadap berbagai jenis
rangsangan. Dengan kata lain, traits adalah cara yang konsisten untuk memberikan
reaksi terhadap lingkungan kita.

PRASANGKA SOSIAL

Kata prasangka dalam bahasa Inggrisnya” prejudice” berasal dari bahasa


Latin ”praejudicium, yang memiliki banyak arti. Allport (1954) menjelaskan tiga
tahapan perubahan makna kata prejudice, yaitu :

a. Di awal, praejudicium berarti sebuah preseden, keputusan yang


didasarkan kepada pengalaman dan keputusan masa lalu.

b. Selanjutnya dalam istilah bahasa Inggris, memerlukan makna dari


sebuah keputusan yang dibentuk oleh dasar penelitian dan pertimbangan
terhadap fakta yang prematur dan keputusan yang terburu-buru.

c. Akhirnya, istilah prasangka adalah kondisi emosional yang dirasakan


sebagai akibat kesukaan atau ketidaksukaan bahwa temannya
merupakan yang utama atau sebaliknya keputusan yang tidak
mendukung Kata prasangka dalam New England Dictionarry meliputi
prasangka positif (positive prejudice) ataupun juga prasangka negatif
(negative prejudice) diterjemahkan dengan : sebuah perasaan
menyenangkan ataupun tidak menyenangkan terhdap benda atau orang
yang tidak didasarkan kepada pengalaman yang aktual.

Allport (1954) mendefinisikan prasangka : Sikap berumusuhan atau


memalingkan muka terhadap orang orang yang memiliki kelompok, secara
sederhana disebabkan karena dia memiliki kelompok, maka mengira bahwa
memiliki kualitas yang dituju yang dianggap terhadap kelompok.

Dalam kamus ilmu sosial (Dictionary of the Social Sciences, 1964) and
Handbook of Social Psychology (1954) prasangka didefinisikan sebagai sikap yang
tidak menyukai etnik tertentu. Prasangka sosial membuat seseo-rang atau
sekelompok orang mengingkari adanya kesamaan dan persamaan hak (Koeswara,
1988).
Menurut Allport (1954) dengan prasangka, seseorang atau sekelompok
orang menganggap buruk atau memandang negatif orang lain secara tidak rasional.
Prasangka dianggap sebagai suatu predisposisi untuk mempersepsi, berpikir,
merasa dan bertindak dengan caracara yang menentang atau menjauhi dan bukan
menyokong atau mendekati orang lain. Dengan demikian prasangka menyangkut
kecenderungan untuk menjauhi orang dengan mengambil jarak dan tidak
berhubungan erat dengan mereka serta kecenderungan untuk merugikan dan tidak
membantu mereka (Newcomb, 1985)

PENYEBAB PRASANGKA SOSIAL

Berbagai pandangan dan konsep teoritis yang menyebabkan seseorang


memiliki prasangka sosial adalah sebagai berikut :

a. Allport (1954) dan Tajfel (dalam Turner & Giles,1985) memandang


munculnya prasangka karena adanya proses kategorisasi dalam diri
individu. Kepribadian adalah organisasi dinamik dalam sistem
psikofisiologik seorang yang menentukan model penyesuaiannya yang unik
dengan lingkungannya. Ditegaskan pula bahwa kategorisasi sosial
merupakan basis psikologis dari munculnya prasangka. Kategorisasi
tersebut mencakup etnisitas dan kecenderungan menjaga jarak sosial
dengan orang-orang yang dianggap outgroup.
b. Selain itu prasangka terkait dengan berbagai jenis kepribadian yang antara
lain; otoriter, konsep diri, self-esteem dan orientasi dominasi sosial.
Dalam salah satu teorinya Adorno (dalam Faturrohman, 1993) menyatakan
bahwa prasangka berhubungan dengan pola kepribadian seseorang.
Menurut Adorno individu yang memiliki prasangka yang tinggi
biasanya memiliki kepribadian otoriterisme. Hubungan positif antara self-
esteem dan identitas sosial yang dengan prasangka, dikemukakan oleh Fien
& Spencer (1995) bahwa ancaman terhadap identitas sosial dan self-esteem
mendorong untuk mengembangkan penilaian prasangka terhadap orang
lain. Orientasi dominasi sosial (social dominance orientation) adalah
seseorang yang berkeinginan untuk memiliki dominasi pada ingroup-nya
dan menjadi superior pada outgroup. Individu dengan dominasi sosial yang
tinggi cenderung bersikap negatif terhadap beberapa kelompok yang
marginal seperti etnis minoritas, feminist, kelompok homoseksual (Whitley,
1999).
c. Faktor lain berperan dalam terjadinya prasangka adalah hasil proses
belajar (social learning theory). Menurut teori ini prasangka pada dasarnya
dipelajari oleh individu dari perilaku individu lain di sekitarnya dan dari
norma-norma sosial yang terdapat di dalam masyarakat kebudayaannya.
Berbagai penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa orangorang Amerika yang berasal dari bagian selatanlebih
berprasangka dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Amerika Serikat,
karena sejarah dan kondisi sosial yang diwariskan pada mereka penuh
dengan kekerasan dan prasangka rasial. Kelas pekerja lebih berprasangka
daripada kelas menengah, karena lingkungan yang miskin dan kurang
berpendidikan membuat mereka lebih berprasangka. Selain itu orang tua
kulit putih lebih berprasangka daripada orang muda kulit putih, karena
mereka pernah hidup dalam zaman yang diskriminatif dan segregatif (Sears
dkk, 1991).

C. DINAMIKA KEPRIBADIAN MENURUT EYSENCK


Eysenck menemukan tiga dimensi tipe, yakni extraversion (E),
neuroticism (N), dan psychoticism (P). Masing-masing dimensi berbeda,
sehingga dapat berlangsung kombinasi antar dimensi berbeda, dan dapat
berlangsung kombinasi antar dimensi secara bebas. Trait dari extraversion
adalah: bersosialisasi, lincah, aktif, asertif, mencari sensasi, riang, dominan,
bersemangat, dan berani. Trait dari neuroticisme adalah: cemas, tertekan,
tegang, berdosa, harga diri rendah, irasional, maju, murung, dan emosional.
Trait dari psychoticism adalah: agresif, dingin, egosentrik, impersonal,
antisosial, tidak empatik, kreatif, dan keras hati (Pervin et.al. 2005).
Dinamika trait muncul sebagai satu klasifikasi trait. Bahasan mengenai
dinamika trait sebagai motivasi secara spesifik menganalisis asal muasal penggerak
trait dan saling hubungan subsidiasi antara sikap, sentiment dan sifat keturunan.
Beberapa hal yang terkait dengan dinamika adalah:

a. Sikap (Attitude)
Bukan merupakan pandangan tentang sesuatu, tetapi sikap lebih
menekankan pada konsep tentang tingkah laku spesifik (atau keinginan
untuk bertingkah laku tertentu) sebagai respon terhadap suatu situasi.
b. Dorongan pembawaan (Erg dari Ergon atau kerja)
Dorongan atau motif pembawaan oleh Cattell disebut sebagai Erg.
Semua dorongan primer yang dibawa bersama kelahiran disebut Erg seperti
contohnya seks, lapar, haus, rasa ingin tahu, marah, dan motif lain yang
biasanya tidak hanya dimiliki manusia, tetapi juga oleh primate dan mmlia
lainnya.
c. Sentiment
Sentiment merupakan sumber motivasi yang penting karena
kecenderungannya mengorganisir diri di sekitar institusi social yang
menonjol.
d. Kalkulus dinamik (Dynamic Calculus)
Dalam kalkulus dinamik, erg dan sentiment dipandang sebagi akar
dari semua motivasi yang dapat dipakai untuk meramalkan tingkah laku
seseorang. Persamaan itu memasukkan hubungan trait, erg dan sentiment
dengan situasi tertentu untuk menentukan bentuk respon seseorang.

KAITAN ANTARA PRASANGKA SOSIAL ALLPORT DENGAN


DINAMIKA KEPRIBADIAN EYSECNK

Menurut Gordon Allport dalam Carole Wade, tidak semua trait


memiliki tingkat dan derajat yang sama dalam kehidupan manusia. Selanjutnya
menurut Allport kebanyakan manusia memiliki lima sampai sepuluh trait utama
(central trait) yang merefleksikan cara khusus manusia dalam berperilaku,
dalam berhubungan dengan orang lain dan dalam bereaksi terhadap situasi baru.
Beberapa peneliti kepribadian menyimpulkan bahwa mereka telah
mengidentifikasi lima factor utama (the big five) dari kepribadian, yakni: cirri
bawaan yang menonjol, yang bisa mendeskripsikan dimensi utama dari
kepribadian, yaitu: openness, conscientiousness, extraversion, agreeableness,
dan neuroticism. Selanjutnya factor lima besar tersebut diuraikan sebagai
berikut:

a. Openness: imajinatif atau praktis, tertarik pada variasi atau rutinitas,


independen atau mudah menyesuaikan diri, dipenuhi rasa ingin tahu, selalu
mempertanyakan segala hal, keratif,

b. Conscientiousness: rapi atau tidak rapi, perhatian atau ceroboh, disiplin atau
impulsive, bertanggungjawab atau tidak bisa diandalkan, pantang menyerah
atau mudah menyerah, tegas atau tidak dapat menetukan pendapat,

c. Extraversion: terbuka secara sosial atau menyendiri, suka bersenang atau


bersedih, kasih saying atau sebaliknya, supel atau pemalu, banyak bicara atau
pendiam, ingin tampil di depan umum atau cenderung di belakang layar, suka
berpetualang atau waspada

d. Agreeableness: berhati lembut atau kasar, percaya atau curiga, membantu


atau tidak kooperatif, santai atau mudah terganggu

e. Neuroticism: tenang atau cemas, merasa aman atau tidak aman, puas pada diri
atau mengasihani diri sendiri. Ketidakmampuan mengontrol tegangan,
kecenderungannya merasakan emosi negative seperti kemarahan, rasa bersalah,
kebencian, dan penolakan. Sering mengeluh dan pembangkang.

Allport & Ross yang dikutip oleh Mawani (2001, hal. 16) mengidentifikasi
bahwa ada dua dimensi dasar religiusitas, yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Mereka
berdua menafsirkan religiusitas ekstrinsik sebagai pandangan melayani diri
sendiri dan menyediakan kenyamanan dalam keselamatan. Dalam dimensi
ekstrinsik ini yaitu ketika individu menggunakan agama untuk tujuan pribadi,
seperti status sosial, kepentingan pembenaran diri, dan sering selektif dalam
membentuk keyakinan agar sesuai dengan tujuan sendiri. Dengan demikian,
orientasi religius ekstrinsik adalah cara pandang seseorang dalam beragama
yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang
berpusat pada dirinya sendiri (Batson & Schoenrade, 1991)

Menurut Darviri, Galanakis, Avgoustidis, Pateraki & Vasdekis (2014, hal.


1558), pada orientasi religius ekstrinsik penekanan diberikan pada penampilan
luar dari agama, aspek-aspek yang dapat diraba, berupa ritual dan terlembaga
dari agama yang banyak dianggap sebagai tanda ketaatan dalam kebudayaan.
Orang-orang yang berorientasi religius secara ekstrinsik mempunyai
kecenderungan besar menggunakan religiusitasnya untuk mencapai tujuan
pribadi mereka, dan bukanlah berupa motif pengarah atau motif pemandu, tetapi
lebih ke motif pelayanan motif-motif yang lain.

Alport (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) kemudian memberikan


penekanan pada pengaruh kehadiran orang lain pada pikiran, perasaan dan
perilaku individu. Seseorang dapat disebut psikolog sosial jika dia ʺberupaya
memahami, menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, pera‐ saan, dan
tindakan individu‐individu dipe‐ ngaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindak
antindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannyaʺ
Interaksi kedua elemen tersebut di atas, stimulus sosial dalam hal ini
lingkungan, dan persepsi individu terhadap lingkungannya, dirumuskan sangat
menarik dalam dinamika perilaku individu oleh Kurt Lewin (dalam Koentjoro,
2005): B = f (P,E). Perilaku (behavior) adakah fungsi dari individu (person) dan
lingkungan (environment). Mempelajari perikaku yang adalah objek dan fokus
psikologi tak dapat melepaskan ataupun mengkotakkan individu dan
lingkungan. Keduanya berinteraksi secara dinamis dan berkesinambungan
dalam membentuk perilaku. Lewin (dalam Nurrachman, 2005), mengatakan
bahwa kita akan memperoleh pengetahuan yang berguna tetapi tidak lengkap
bila kita hanya melihat apa yang ada di dalam diri individu sebagai jawaban.
Hal yang sama akan terjadi kalau kita hanya melihat apa yang ada dalam
lingkungan individu. Kita harus melihat apa yang ada di dalam dan di luar
individu, mengakui bahwa adalah kombinasi atau interaksi dari kedua variabel
inilah yang menentukan bagaimana dan mengapa seseorang berperilaku
(Krupat, 1994)

Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai


psikolog sosial jika dia ”berupaya memahami, menjelaskan, dan memprediksi
bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu dipengaruhi oleh
pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau
bahkan hanya dibayangkannya”. Teori-teori awal yang dianggap mampu
menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1)
perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis – lalu
dikenal dengan penjelasan ”nature” - dan (2) perilaku bukan diturunkan
melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka – dikenal
dengan penjelasan ”nurture”. Penjelasan ”nature” dirumuskan oleh ilmuwan
Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya
dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink
yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog
cen derung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada
pandangan ini (instinktif). Namun banyak analis sosial yang tidak percaya
bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James,
seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang
mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah
kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang
kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan ”nurture explanation”. Tokoh lain
yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita
tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara
terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - ”situasi kita” – termasuk
tentunya orang lain. Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua
pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai perspektif dalam
psikologi sosial - seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa
dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami
perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives)
,kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan
interaksionis (interactionist perspectives).

D. ANALISIS

Analisis yan didapat pada uraian tentang prasangka sosial Allport suatu
organisasi dinamis didalam individu sebagai sistem psychophysis yaitu,
menentukan cara khas dalam menyesuaikan diri dan lingkungan sekitar. Dan
juga tentang dinamika kepribadian pada Eysenck, dapat dijelaskan bawa
seseorang dilihat dengan kesadaran penuh melaksanakan interaksi dan
berprilaku sesuai dilakukan dengan cara mengategorikan menjadi sebuah Circle
yang membentuk kepribadian yang dimana kepribadian tersebut akan otomatis
menjadi kategori didalam kepribadian. Interaksi yang timbul dari dalam
dirinya, bukan karena ada dorongan dari luar, status sosial, atau ingin mencapai
pengakuan dari orang lain.

Trait dari extraversion adalah: bersosialisasi, lincah, aktif, asertif,


mencari sensasi, riang, dominan, bersemangat, dan berani. Dalam analisis
tersebut dapat dijadikan pedoman bahwa orang yang memiliki trait tersebut
lebih dominan kedalam Mudah bergaul, aktif, talkative, person-oriented,
optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat. extraversion ditandai
dengan kecenderungan percaya diri, dominan, aktif, dan mencari
kesenangan. Extraverts memperlihatkan emosi positif, frekuensi yang lebih
tinggi dan intensitas interaksi personal, dan kebutuhan yang lebih tinggi
untuk stimulasi. Selain itu, extraversion adalah pada umumnya terkait
dengan kecenderungan untuk bersikap optimis (Costa & McCrae, 1992) dan
kecenderungan untuk menaksir masalah secara positif.
Trait dari neuroticisme adalah: cemas, tertekan, tegang, berdosa, harga
diri rendah, irasional, maju, murung, dan emosional. ciri-ciri neuroticism yang
mengklasifikasikan dimensi ini adalah takut, marah, rendah diri, kecemasan
sosial, dan ketidakberdayaan (dalam Baker & Karen, 2002).

Trait dari psychoticism adalah: agresif, dingin, egosentrik, impersonal,


antisosial, tidak empatik, kreatif, dan keras hati

Seperti hasil penelitian Saroglou (2002:15-25) yang membuktikan


bahwa tipe kepribadian neurotisisme berpengaruh negatif pada agama pada
umumnya. Masih dari hasil penelitian Saroglou (2002:15-25) menemukan
bahwa kepribadian neurotisisme positif mempengaruhi religiusitas ekstrinsik.
Selain itu, neurotisme berkorelasi positif dengan fundamentalisme agama.

Hasil penelitian Mijares & Espinosa (2014, hal. 108) menemukan


bahwa religiusitas berhubungan dengan tipe kepribadian agreeableness,
conscientiousness, dan honesty. Hasil penelitian ini juga menujukkan bahwa
tipe kepribadian extrovert, agreeableness dan open to experience berkorelasi
positif dengan orentasi religiusitas. Artinya bahwa semakin individu
mempunyai tipe kepribadian extrovert, agreeableness dan open to experience,
individu kecenderungan mempunyai orentasi religiusitas yang internal. Adanya
hubungan positif antara tipe kepribadian extrovert dengan orentasi religiusitas,
dikarenakan tipe kepribadian extraversion mempunyai kecenderungan ramah
saat berada di sekitar orang, dan menikmati kegembiraan dan stimulasi.
Individu dengan tipe kepribadian extraversion yang tinggi cenderung tegas,
aktif, banyak bicara, energik, optimis, dan toleransi sehingga pada individu
dengan tipe ini menginternalisasi keyakinan agamanya secara total, bukan
sekedar kehadiran di tempat ibadah. Individu dengan kepribadian
agreeableness cenderung mempunyai perilaku prososial di mana termasuk di
dalamnya adalah perilaku yang selalu berorientasi pada altruisme, rendah hati
dan kesabaran. Individu dengan tipe kepribadian ini selalu memandang individu
lain sebagai orang yang jujur dan memiliki iktikad yang baik terhadapnya.
Individu memiliki kerendahan hati, yang akan ditunjukkan dengan sikap dan
perilaku yang sederhana dan memandang orang lain lebih mampu dari padanya.
Individu selalu berterus terang terhadap lingkungan sekitarnya dan selalu
berusaha untuk mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri
sendiri. Pada pribadi ini cenderung memiliki kemauan yang besar dalam
memberikan pertolongan pada orang lain dan tulus dalam melakukannya yang
berkaitan ada perilaku berusaha sungguh-sungguh untuk menghayati ajaran dan
mengikuti petunjuknya secara penuh. Pada individu dengan kepribadian
openness to experience cenderung memiliki ketertarikan terhadap bidang-
bidang tertentu secara luas dan mendalam. Individu yang memiliki minat lebih
terhadap sesuatu tertentu melebihi individu lainnya, keterbukaan yang tinggi
terhadap pengalaman dan pada umumnya, individu memiliki kemauan yang
tinggi untuk menciptakan minat yang lebih luas terhadap segala aspek
kehidupan, memiliki ketertarikan yang tinggi untuk mendalami hal yang baru
yang diharapkan mendatangkan pengetahuan yang baru. Dikarenakan
mempunyai individu dengan tipe openness to experience terbuka terhadap
pengalaman menjadikan orentasi beragamanya dengan mengedepankan
komitmen terhadap agama dengan seksama dan memperlakukan komitmen
tersebut dengan sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir

Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya seperti


hasil penelitian Saroglou (2002, hal. 15-25) melakukan meta-analisis
hubunganantara religiusitas dan lima tipe kepribadian. Tipe kepribadian
extrovert dan open to experience mempunyai hubungan negatif dengan
keberagamaan yang fundamental.

E. KESIMPULAN

Dari hasil uraian dan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan


mengenai prasangka sosial menurut Allport dan dinamika kepribadian Eysenck
adalah Trait Menurut Allport sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang
menggambarkan unit/dimensi dasar dari kepribadian. Trait menggambarkan
konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe
adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Trait merupakan disposisi
untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang tercermin dalam perilaku
seseorang pada berbagai situasi.
1. Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan
yang membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:
 Trait relatif stabil dari waktu ke waktu
 Trait konsisten dari situasi ke situasi

2. Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama


kehidupan, namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
 ada proses adaptif
 adanya perbedaan kekuatan, dan
 kombinasi dari trait yang ada
Tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga
masa dewasa.

Sedangkan Trait Menurut Eysenck, yaitu kumpulan kecenderungan


kegiatan, koleksi respon yang saling berkaitan atau mempunyai persamaan
tertentu. Ini adalah disposisi kepribadian yang paling penting dan permanen.
Trait adalah elemen dasar dari kepribadian yang berperan vital dalam usaha
meramalkan tingkah laku. Menurutnya, kepribadian adalah struktur kompleks
yang tersusun dalam berbagai kategori yang memungkinkan prediksi tingkah
laku seseorang dalam situasi tertentu, mencakup seluruh tingkah laku baik yang
konkrit atau yang abstrak.
DAFTAR PUSTAKA

Amman 2007. International Journal Of Psychology. Jordan

Agustiani, Hendriati. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan.


Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Universitas
Padjadjaran. Bandung.

Agus, Novel Mukholis. 2015. Dinamika Kepribadian Dan


Aktivitas Ritualistik Pelaku Sufisme Perkotaan.
Tulunggagung

Calvin, S, Hall & Lindzey Gardner. 1993. Psikologi Kepribadian:


Teori-Teori Psikodinamik ( Klinis) Terj. Theories Of
Personality, Kanisius. Yogyakarta.

Hakim, M. A. 2018. Psikologi Sosial: Pengantar Dalam


Teori Dan Penelitian. Jakarta.

Hasanah, Muhimmatul. 2015. Dinamika Kepribadian Menurut


Psikologi Islami. Jurnal Ummul Qura Vol Vi, No 2,
September 2015.

Hidayat, Dede Rahmat. 2015. Faktor-Faktor Penyebab Kemunculan


Prasangka Sosial (Social Prejudice) Pada Pelajar. Jurusan
Bimbingan Dan Konseling, FIP Universitas Negeri Jakarta.

Khasinah, Siti. 2013. “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan


Barat”, dalam: Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, volume XIII
nomor 2, 296-317, 2013 Banda Aceh: UIN Ar-Raniry

Mu’min, Sitti Aisyah. 2014. Variasi Individual Dalam Pembelajaran.


Jurnal Al-Ta’dib. Jurusan Tarbiyah Stain Sultan Qaimuddin
Kendari Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2014.
Mustafa, Hasan. 2011. Perilaku Manusia Dalam PerspektifPsikologi
Sosial. Jurnal Administrasi. Jurusan Ilmu Administrasi
Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas
Katolik Parahyangan, Fisip – Unpar

Reza, Alwin Muhammad. 2017. Pengaruh Tipe Kepribadian Dan


Harapan Terhadap Penyesuaian Diri Anak Didik
Pemasyarakatan. Jurnal Psikologi Insight Departemen
Psikologi. Vol. 1, No. 1, April 2017. Universitas Pendidikan
Indonesia.

Riadi , Edi. 2013. Pengaruh Kepribadian, Kecerdasan Emosional,


Dan Perilaku Kewargaan Organisasi Terhadap Kinerja
Kepala Sekolah Menengah Atas Dan Kejuruan. Skripsi
Tangerang

Soeparno, Koentjoro. 2011. Jurnal Social Psychology: The Passion Of


Psychology. Volume 19, No. 1, 2011: 16 – 28. Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Suminta, Rini Risnawita. 2016. Hubungan Antara Tipe Kepribadian


Dengan Orientasi Religiusitas. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah
Dan Studi Keagamaan. Volume 4 Nomor 2, 2016.

Wood, Wendy. 2000. Attitude Change: Persuasion And Social


Influence Psychol. 51:539–570 Department Of Psychology,
Texas A&M University, College Station, Texas

Anda mungkin juga menyukai