Anda di halaman 1dari 25

RISK FACTOR (FAKTOR RISIKO) PADA ANAK

disusun oleh:
Afini Wirasenjaya 1306415466
Annisa Maulidya Chasanah 1306378552
Dariatus Sa’diah 1306378836
Izzatullail Arpin Lotusiana 1306378666
Shitta Mutyahara 1306458881

MATA KULIAH PSIKOPATOLOGI ANAK


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
DAFTAR ISI

I. Definisi ............................................................................................................................. 1

II. Kategori Risk Factor (Faktor Risiko) .............................................................................. 1

II.1 Karakteristik Individual (Sejak bayi, anak-anak, hingga remaja)


1. Pengaruh Lingkungan Selama Masa Pranatal .................................................... 2
2. Temperamen ...................................................................................................... 3
3. Attachment ......................................................................................................... 4

II.2 Karakteristik dalam Keluarga


1. Parental Psychopathology................................................................................... 5
2. Kehilangan Orangtua .......................................................................................... 6
3. Konflik Antar Orangtua ..................................................................................... 10
4. Child Physical Abuse ......................................................................................... 11
5. Child Sexual Abuse ............................................................................................ 14
6. Child Psychological Maltreatment .................................................................... 15

II.3 Karakteristik Komunitas dan Sekolah


1. Sumber Daya Pendidikan yang Tidak Memadai ................................................ 17
2. Kemiskinan dan Status Sosioekonomi Rendah ................................................. 18
3. Kekerasan dalam Komunitas (Violence within community) ............................. 19

III. Referensi

i
I. Definisi

Risk factor (faktor risiko) menurut Mash dan Wolfe (2010) adalah suatu variabel yang
dapat menghasilkan suatu hal yang berakibat negatif maupun meningkatkan kemungkinan
munculnya hal negatif. Faktor risiko yang akan dibahas dalam makalah ini, berfokus pada faktor
risiko yang dapat muncul pada usia kanak-kanak, sesuai dengan definisi Phares (2003), yang
menyebutkan bahwa faktor risiko adalah karakteristik, kejadian atau proses yang menempatkan
anak-anak dan/ atau remaja dalam risiko perkembangan psikologis yang abnormal.
Kekerasan dalam rumah tangga, perceraian orangtua, kemiskinan, gangguan kesehatan
mental pada orangtua, pola asuh yang tidak tepat, serta gangguan saat kehamilan dan melahirkan
merupakan beberapa contoh yang termasuk dalam faktor risiko. Faktor risiko yang berada di
sekitar anak maupun faktor risiko bawaan dapat membuat anak menjadi lebih rentan berkembang
secara abnormal. Akan tetapi, tidak semua anak yang memiliki atau berada dekat pada faktor
risiko tertentu menjadi berkembang secara abnormal. Predisposisi kepribadian yang berpengaruh
pada resiliensi anak menghadapi masalah, treatment, dukungan positif dan faktor protektif dari
lingkungan dapat memperkecil pengaruh faktor risiko pada perkembangan anak (Mash & Wolfe,
2010).

II. Kategori Risk Factor (Faktor Risiko)

Menurut Phares (2003), terdapat tiga kategori besar faktor risiko, yaitu:
1. Karakteristik individual sejak bayi, anak-anak, hingga remaja; yakni pengaruh lingkungan
selama masa pranatal, temperamen, serta attachment.
2. Karakteristik dalam keluarga; yakni parental psychopathology, kehilangan orang tua, konflik
antar-orangtua, child physical dan sexual abuse, serta child psychological maltreatment.
3. Karakteristik komunitas ataupun sekolah; yakni sumber daya pendidikan yang tidak
memadai, kemiskinan dan status sosial ekonomi bawah, serta kekerasan dalam komunitas.
Macam-macam faktor risiko yang ada pada setiap kategori akan dijelaskan secara lebih
spesifik pada poin berikutnya.

1
II.1 Karakteristik Individual (Sejak bayi, anak-anak, hingga remaja)

1. Pengaruh Lingkungan Selama Masa Pranatal

Selama masa pranatal, hal-hal dari lingkungan dapat memengaruhi tumbuh kembang
janin. Ibu merupakan pengaruh dan pemeran utama selama masa pranatal, karena tubuh ibu
merupakan lingkungan pranatal untuk bayi. Hal apapun yang terjadi pada ibu, baik kesehatan,
konsumsi makanan, hingga mood dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Salah satu hal yang dapat memengaruhi tumbuh kembang janin dalam kandungan ialah
teratogen. Teratogen merupakan agen lingkungan seperti virus, obat-obatan, atau radiasi yang
dapat mengganggu perkembangan pada saat masa prenatal (Papalia & Martorell, 2014). Akan
tetapi, tidak semua teratogen sama berbahayanya bagi setiap bayi. Hal tersebut bergantung pada
waktu terpaparnya bayi oleh teratogen tersebut, dosis dan durasi terpaparnya, juga interaksi
dengan faktor teratogenik lain (Papalia & Martorell, 2014).
Teratogen dapat menyebabkan psikopatologi pada anak. Misalnya kekurangan konsumsi asam
folat pada masa kehamilan diasosiasikan dengan kemungkinan terjadinya attention-
deficit/hyperactivity disorder (ADHD) pada usia 7-9 tahun (Schlotz et al., 2009 dalam Papalia &
Martorell, 2014). Selain itu, salah satu penyebab umum dari keterbelakangan mental (mental
retardation) ialah terpaparnya janin dengan alkohol. Fenomena ini disebut sebagai fetus alcohol
syndrome (FAS). Ibu yang mengkonsumsi alkohol pada masa kehamilannya akan memperbesar
resiko janin terkena FAS yang memiliki ciri pertumbuhan yang terlambat, cacat pada wajah dan
tubuh, serta gangguan pada sistem saraf pusat. Konsumsi tembakau pada ibu hamil juga dapat
memperbesar resiko anak mengalami hyperkinetic disorder (AAP Committee on Substance
Abuse; DiFranza et al.; Froehlich et al.; Hoyert, Matthews, et al.; Linnet et al.; Martin, Hamilton,
et al.; Shah, Sullivan, & Carter; Smith et al., dalam Papalia & Martorell, 2014).
Selain dari asupan yang dikonsumsi ibu, tingkat stres pada saat kehamilan juga dapat
memengaruhi bayi. Stres berat yang dialami ibu pada minggu ke 24 sampai minggu ke 28
berimplikasi pada autisme (Beversdorf et al., 2001 dalam Papalia & Martorell, 2014). Depresi
juga memiliki efek negatif yang serupa dalam perkembangan anak. Salah satu penelitian yang
dilakukan di Inggris menunjukan bahwa anak dari ibu yang mengalami depresi pada saat
kehamilan mengalami peningkatan level kekerasan dan perilaku antisosial pada saat remaja
(Hay, Pawlby, Waters, Perra, & Sharp, 2010 dalam Papalia & Martorell, 2014).

2
Langkah preventif yang dapat dijalankan ibu yang sedang hamil antara lain untuk tidak
mengkonsumsi obat-obatan yang tidak diperlukan dan apabila memang sangat diperlukan
pastikan mengonsumsi dengan izin dokter, tidak mengonsumsi alkohol, serta menjaga kondisi
agar tidak cepat mengalami stres. Ibu yang sedang hamil perlu juga berhati-hati ketika berada di
tempat yang licin dan bertangga, agar terhindar dari kecelakaan seperti jatuh (Papalia &
Martorell, 2014) .

2. Temperamen

Temperamen merupakan kecenderungan karakteristik atau gaya dalam menghadapi dan


bereaksi pada situasi tertentu (Papalia & Martorell, 2014). Temperamen bersifat cenderung
konsisten dan menetap, sehingga memengaruhi cara seseorang dalam meregulasi fungsi emosi,
mental, maupun tingkah lakunya (Rothbart, Ahadi, & Evans dalam Papalia & Martorell, 2014).
Temperamen terbagi menjadi tiga macam, yakni easy temperament, slow-to-warm up
temperament dan difficult temperament. Temperamen yang memiliki kemungkinan lebih besar
untuk memunculkan psikopatologi ialah difficult temperament, yakni anak yang sulit beradaptasi
dengan stimuli baru (makanan baru, suasana asing, dan lain-lain), tidak memiliki siklus tidur dan
makan yang teratur, serta cenderung lebih mudah marah sepanjang waktu (Phares, 2003).
Ada beberapa bentuk gangguan yang dapat muncul dari anak dengan difficult
temperament. Dalam penelitian Kagan, Snidman, Zentner, & Peterson (dalam Phares, 2003),
anak dengan difficult temperament menunjukkan kecenderungan cemas yang tinggi pada umur
tujuh tahun. Sementara pada penelitian Mesman & Koot (dalam Phares, 2003), difficult
temperament diasosiasikan dengan perilaku agresif pada laki-laki remaja.
Untuk meminimalisasi dampak faktor risiko pada anak-anak dengan difficult
temperament, diperlukan pemahaman bagaimana cara yang tepat dalam menghadapi anak
dengan baik, dari orangtua maupun pengasuh (Joyce, McKenzie, Luty, Mulder, Carter, Sullivan,
& Cloninger, 2003). Sangat penting untuk menghindari terjadinya konflik dengan anak yang
memiliki temperamen tipe ini. Tak hanya itu, meskipun orangtua dan pengasuh telah benar-benar
menghindari konflik terjadi, mereka juga harus dapat menerima bahwa akan ada kalanya di mana
anak episodenya (marah yang cukup ekstrim). Semakin besar anak tersebut, perlu juga diajarkan
bagaimana mengontrol diri dan temperamennya sendiri.

3
3. Attachment

Attachment merupakan hubungan emosional yang timbal balik antara anak dengan
pengasuh dan berperan dalam kualitas hubungan keduanya (Papalia & Martorell, 2014).
Attachment diklasifikasi menjadi secure attachment dan insecure attachment. Secure attachment
didefinisikan Papalia & Martorell (2014) sebagai pola di mana anak menangisi atau memprotes
kepergian pengasuhnya, dan secara aktif menghampiri pengasuhnya saat ia kembali. Anak yang
memiliki secure attachment biasanya fleksibel dan resilien terhadap stres. Sementara itu, anak
yang tidak menunjukkan pola ini kemudian dilabel memiliki insecure attachment. Walaupun
insecure attachment tidak bersifat psikopatologis, namun insecure attachment seringkali
mengarah kepada masalah-masalah psikopatologis anak.
Insecure attachment terbagi menjadi avoidant attachment, ambivalent attachment, dan
disorganized attachment (Papalia & Martorell, 2014). Avoidant attachment adalah salah satu tipe
attachment di mana anak tidak terpengaruh sama sekali dengan keberadaan pengasuh. Anak
jarang menangis saat berpisah dengan pengasuhnya, serta menghindari kontak dengan pengasuh
saat ia kembali. Selanjutnya ialah ambivalent attachment, yang merupakan tipe attachment di
mana anak merasa sangat cemas apabila pengasuh menjelang kepergian pengasuhnnya. Anak
dengan ambivalent attachment juga merasa sangat kesal saat sang pengasuh tidak berada di
dekatnya. Sementara itu, disorganized attachment adalah tipe attachment di mana anak justru
memunculkan perilaku yang kontradiktif dengan kehadiran pengasuh, misalnya dengan merasa
lebih nyaman dengan kehadiran orang asing.
Anak dengan insecure attachment menunjukkan beberapa masalah psikologis.
Diantaranya mengalami kesulitan beradaptasi di sekolah serta mengalami peer isolation, yakni
keadaan di mana seorang anak memiliki tingkat penerimaan yang rendah dari teman-teman di
sekitarnya (Gottman, Gonso & Rasmussen, 1975). Anak dengan insecure attachment juga
biasanya memiliki permasalahan emosi/ perilaku, serta lebih mudah terkena depresi serta
conduct problem (Campbell; Cichetti, Rogosh & Toth; Speltz, DeKlyen, & Greenberg, dalam
Phares, 2003). Conduct problem merupakan permasalahan yang dihadapi remaja yang
menunjukkan perilaku agresif, antisosial, melanggar norma sekitar dan/atau hak orang lain, yang
bersifat berulang dan bertahan untuk sekian waktu (Blissett, Church, Fergusson, Lambie,
Langley, Liberty, et al., 2009).

4
Faktor risiko yang muncul akibat attachment bertipe insecure ini sebenarnya terjadi
karena anak cenderung menyelesaikan masalahnya melalui metode emotion-focused coping
(Kotler, Buzwell, Romeo, & Bowland, 1994) di mana sebenarnya penggunaan metode ini hanya
dapat menghentikan masalah sejenak. Namun, inti dari permasalahan tersebut belum diselesaikan
sehingga di masa yang akan datang, masalah tersebut dapat muncul kembali bahkan lebih parah
dari sebelumnya. Oleh karena itu, perlu dukungan dari orangtua dan pengasuh untuk
mengajarkan anak secara bertahap bagaimana penyelesaian masalah yang baik menggunakan
metode problem-focused coping (Kotler, Buzwell, Romeo, & Bowland, 1994). Ajarkan pula
kepada anak mengenai pentingnya meminta bantuan pada orang-orang sekitar (Kotler, Buzwell,
Romeo, & Bowland, 1994) untuk membantu mengatasi masalahnya, sehingga masalah yang
dihadapi anak tidak dipendam sendirian.

II.2 Karakteristik dalam Keluarga

1. Parental Psychopathology
Parental psychopathology ialah keadaan di mana salah satu orang tua (ibu saja atau ayah
saja), atau bahkan kedua orangtua, memiliki riwayat psikopatologis. Situasi dimana kedua
orangtua memiliki riwayat psikopatologis cukup jamak terjadi. Hal tersebut disebabkan dengan
adanya fenomena assortative mating, yakni kecenderungan individu untuk memilih pasangan
yang memiliki karakteristik serupa dengan dirinya. Fenomena ini juga terjadi pada individu
dengan riwayat psikopatologi, di mana individu memiliki kecenderungan untuk memilih
pasangan dan memiliki anak dengan individu lain yang juga memiliki riwayat psikopatologi
(Phares, 2003).
Parental psychopathology merupakan faktor yang sangat berisiko dalam perkembangan
anak karena:
- Faktor genetik penyebab gangguan dapat diturunkan dari orang tua kepada anak
(Merikangas, Weissman, Prusoff & John, dalam Phares, 2003).
- Kecenderungan orangtua dengan gangguan psikologis untuk bersikap dan menerapkan pola
asuh negatif, seperti pemberian hukuman secara fisik maupun non-fisik (Vostanis, Graves,
Meltzer, Goodman, Jenkins, & Brugha, 2006).

5
- Kedua orang tua yang memiliki gangguan psikologis memiliki kemungkinan yang tinggi
untuk berkonflik (interparental conflict), berpisah ataupun bercerai (Merikangas, Weissman,
Prusoff & John, dalam Phares, 2003).
- Anak dengan orangtua yang memiliki gangguan psikologis dikaitkan dengan oppositional
deviant disorder dan conduct disorder (Frick, Lahey, Loeber, Stouthamer-Loeber, Christ, &
Hanson, 1992)

Intervensi yang dapat dilakukan terhadap faktor risiko ini ialah dengan
menyelenggarakan Parent Management Training (PMT). PMT umumnya digunakan bagi
orangtua yang memiliki anak dengan oppositional deviant disorder dan conduct disorder. Tujuan
dari PMT ialah untuk memutus siklus koersif yang terjadi antara anak dengan orangtua, yang
terjadi karena orangtua, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, memberikan reinforcement
terhadap perilaku buruk anak. Sebaliknya, PMT berusaha untuk membuat orangtua belajar untuk
memberikan reinforcement pada perilaku anak yg baik, baik melalui reward sosial (pujian,
senyuman, dan lainnya), maupun reward konkret (Maliken & Katz, 2013; Kazdin, 2010).

2. Kehilangan Orangtua

2.1 Kehilangan Orangtua karena Kematian

Kehilangan orangtua saat masa kanak-kanak dan remaja dapat terjadi karena beberapa
hal, salah satunya karena kematian. Kematian orangtua merupakan faktor risiko yang sulit untuk
diprediksi dampaknya pada anak-anak dan remaja. Dampak yang diderita salah satunya
dipengaruhi kondisi dan situasi saat kematian orang tua terjadi. Situasi-situasi yang paling
mungkin meningkatkan masalah perilaku dan emosi pada anak dan remaja yang kehilangan
orangtua diantaranya (Clark, et.al, Dowdney; Parkes; dalam Phares, 2003): (a) kematian jamak
dalam satu waktu (melibatkan kedua orang tua, atau salah satu orang tua dengan saudara
kandung); (b) kematian orang tua yang mendadak; (c) kematian orang tua disebabkan
pembunuhan atau bunuh diri; (d) anak memiliki masalah perilaku bahkan sebelum terjadinya
kematian orangtua; (e) anak memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan orang tuanya, (f)
surviving parent tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencukupi kebutuhan anaknya;
serta (g) lingkungan rumah tangga yang tidak stabil setelah orang tua meninggal dunia. Anak-
anak yang berada pada situasi-situasi ini menunjukkan masalah emosional dan perilaku yang
lebih tinggi ketimbang anak-anak yang kehilangan orangtua pada situasi lainnya.

6
Namun, kematian orang tua tidak selalu menjadi prediktor terbentuknya psikopatologi
pada anak. Dalam penelitian Dowdney (dalam Phares, 2003) yang melibatkan anak-anak dan
remaja yang yang kehilangan orang tua karena meninggal dunia, terlihat bahwa mereka
menunjukkan grief reaction dan mengalami peningkatan masalah emosi ataupun perilaku. Akan
tetapi, diantara partisipan, hanya 20% yang terdiagnosis memiliki gangguan mental. Selain itu,
disebutkan bahwa: (a) anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik serta memiliki hubungan
yang baik dengan orangtua sebelum kematian orangtua; (b) anak yang memiliki cukup waktu
dalam mengatasi kematian orangtua; serta (c) anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang
stabil dan terawat; tidak menunjukkan potensi risiko masalah emosional/perilaku yang lebih
tinggi ketimbang anak lainnya (Phares, 2003). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kehilangan
orangtua berpotensi menjadi penyebab gangguan psikologis pada anak, namun tidak seluruh
anak yang mengalami situasi tersebut akan mengalami gangguan psikologis.

2.2 Perceraian dan Perpisahan Orangtua

Perceraian merupakan proses pemberhentian ikatan pernikahan secara hukum (Merriam-


Webster, n.d.). Perceraian orangtua dapat mengubah suatu keseimbangan kondisi yang ada
dalam keluarga. Tak jarang, perceraian menyebabkan timbulnya situasi buruk dan masalah pada
keluarga dan menimbulkan pengaruh buruk pada perkembangan anak. Perceraian dapat
berdampak buruk pada perkembangan anak karena digolongkan sebagai sebuah penyebab stres
yang memiliki pengaruh jangka panjang (Snyder, 2005).
Berbagai penelitian telah meneliti anak dan remaja yang berasal dari keluarga broken
home dengan melakukan beberapa asesmen psikologis, menemukan bahwa (dalam Snyder,
2005):
- Anak-anak yang berasal dari keluarga yang bercerai memiliki performa lebih buruk
ketimbang anak dari keluarga utuh, dengan laki-laki menunjukkan efek lebih negatif
dibandingkan perempuan (Guidubaldi & Perry).
- Perceraian berkaitan dengan distress akut; konflik orangtua, kecemasan dan depresi
(Wallerstein & Kelly).
- Anak laki-laki cenderung lebih sulit menyesuaikan diri di rumah dan sekolah; anak laki-laki
lebih rentan dengan ketiadaan figur laki-laki lainnya di rumah (Wallerstein & Kelly).
- Perempuan yang berasal dari keluarga yang bercerai memiliki ketakutan untuk mengulangi
kesalahan yang sama seperti orangtuanya (Wallerstein).

7
- Apabila dikaitkan dengan beberapa faktor lainnya, perceraian dapat meningkatkan tingkat
kenakalan remaja, mood disorder, dan penggunaan obat terlarang (Fergusson, Horwood, &
Lynskey).
- Anak-anak dari keluarga yang bercerai memiliki tingkat self-efficacy, self-esteem, dan
dukungan sosial yang lebih rendah; serta coping strategy yang kurang efektif (Kurtz).

Hasil dari beberapa penelitian di atas dapat dikelompokkan menjadi ke dalam empat
kategori (Grych & Fincham, 1992). Empat kategori efek yang dapat muncul akibat perceraian
atau perpisahan dari orangtua antara lain:
a. Externalizing problem. Externalizing problem merupakan permasalahan perilaku yang
muncul secara tampak (overt) dan dapat mencerminkan perilaku anak yang negatif pada
lingkungan (Campbell, Shaw, & Gilliom; Eisenberg et al.; dalam Liu, 2004). Externalizing
problem yang dapat muncul akibat perceraian antara lain perilaku mengganggu, hiperaktif,
agresif dan conduct disorder (Hinshaw dalam Liu, 2004). Permasalahan ini cenderung
menetap lebih lama pada anak laki-laki dibandingkan perempuan (Peterson & Zill dalam
Grych & Fincham, 1992).
b. Internalizing problem. Internalizing problem merupakan permasalahan yang cenderung lebih
memengaruhi diri anak secara psikologis dibandingkan pada lingkungan (Liu, 2004). Istilah
lain yang sering digunakan ialah neurotik ataupun overcontrolled. Depresi, kecemasan,
penarikan diri dari lingkungan merupakan internalizing problem yang banyak muncul pada
anak dengan orangtua yang bercerai (Grych & Fincham, 1992; Liu, 2004).
c. Masalah hubungan interpersonal. Permasalahan anak dalam berhubungan dengan orang lain
juga merupakan salah satu dampak dari perceraian dan pisahnya orangtua. Grych dan
Fincham (1992) menyebutkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga ini memiliki
kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain karena dianggap berperilaku buruk dan
memiliki tingkat perilaku prososial yang lebih rendah. Waktu yang dihabiskan dengan
teman-temannya pun lebih sedikit sehingga tak jarang anak-anak ini tidak terlalu disenangi
oleh teman sebayanya dan cenderung dihindari.
d. Masalah akademis. Anak dengan orangtua yang bercerai memiliki performa akademik yang
lebih rendah dibandingkan dengan anak dari keluarga yang utuh, meskipun tingkat
kemiskinan dan kemampuan intelegensi telah dikontrol dalam penelitian (Hetherington &
Elmore; McLanahan; Mulholland, Watt, Philpott, & Sarlin; dalam Connolly & Green, 2009).

8
Apabila ditelusuri, penyebab anak dengan orangtua bercerai memiliki performa akademik
yang lebih buruk ialah kurangnya atensi, tingkat kecemasan tinggi, kesulitan dalam
melakukan refleksi, serta sering berbicara yang tidak terkait apa yang sedang dipelajari.
Kurangnya kontrol orangtua pada anak dalam belajar dan seringnya anak membolos sekolah
juga merupakan faktor pendukung masalah akademik anak yang disebabkan oleh perceraian
orangtua.

Ada beberapa intervensi yang dapat diterapkan pada anak yang terkena dampak
perceraian. Intervensi-intervensi yang dapat dilakukan antara lain:

a. Child-Focused Interventions (Grych & Fincham, 1992). Karakteristik dari intervensi jenis ini
ialah (1) intervensi dalam kelompok, (2) dilakukan di sekolah, dan (3) memiliki tujuan serta
strategi yang sejalan. Keuntungannya intervensi dalam kelompok ialah melatih komunikasi,
membangun supportive network, perasaan lebih nyaman untuk mendiskusikan masalah
dengan teman sebaya yang memiliki masalah serupa. Penggunaan sekolah sebagai tempat
intervensi ialah memudahkan segala pihak yang terkait untuk ikut serta. Contoh intervensi
tipe ini ialah Children of Divorce Intervention Program (CODIP) (NREPP, 2014). Intervensi
ini dikhususkan untuk anak-anak berumur 5 s.d. 14 tahun yang memiliki isu terkait
perceraian orangtua. Intervensi dilakukan secara berkelompok dengan 12 s.d. 15 sesi
pertemuan (@40-60 menit) dan disusun atas dasar cognitive behavior therapy (CBT) serta
teori perkembangan. Tiga fokus utama dari intervensi ini adalah perasaan anak terkait
perceraian orangtua, penemuan coping skills yang paling efektif, serta regulasi emosi. Cara
yang dilakukan ialah mengklarifikasi kesalahan pemahaman terkait perceraian melalui
pembagian/sharing apa yang dirasakan dengan dukungan buku, film, bermain peran, diskusi
kelompok, dan metode bermain lainnya. Intervensi ini difasilitasi oleh ahli dalam bidang
kesehatan mental dan pendampingnya.
b. Family-Focused Interventions (Grych & Fincham, 1992). Sama halnya seperti individual-
focused interventions, intervensi tipe ini juga dilakukan dalam bentuk kelompok, namun
dalam setting yang beragam. Terdapat dua macam tipe family-focused interventions yang
dapat diberikan pada orangtua, yakni fokus pada peran pola asuh orangtua dan penyesuaian
diri pada orangtua dalam menghadapi perceraian.
- Tipe intervensi yang fokus pada pola asuh orangtua bertujuan untuk mengetahui apa yang
dirasakan anak atas perceraian, meningkatkan kemampuan manajemen anak,

9
meningkatkan kemampuan mendengar dan pengawasan orangtua terhadap anak, serta
saling mendukung peran dari mantan pasangan sebagai orangtua. Salah satu intervensi
tipe ini bernama Parenting Alone Together.
- Tipe intervensi yang fokus pada penyesuaian diri untuk orangtua bertujuan untuk
mengetahui cara menghadapi perasaan yang dapat muncul akibat perceraian (marah,
sedih, dan bersalah), membangun support group network, training asertif, adaptasi
perubahan status, dan membangun hubungan baru. Intervensi ini juga memungkinkan
orangtua menjadi lebih efektif dalam menghadapi anak dan lebih memperhatikan
kesejahteraan anak. Salah satu intervensi tipe ini bernama Beyond Divorce Program.
c. System-Focused Interventions (Grych & Fincham, 1992). Intervensi ini lebih terkait dengan
pengaruh sistem perceraian dan lingkungan, diantaranya ialah divorce mediation (mediasi
perceraian), child custody (hak kepemilikan anak), dan child support (pihak yang membiayai
kebutuhan anak).

3. Konflik Antar Orangtua

Robinson (2009) mengemukakan bahwa konflik antar orangtua (interparental conflict


atau marital conflict) merupakan seluruh hal yang terkait dengan ketidaksepakatan, argumen, dan
perselisihan antara orangtua. Konflik antarorangtua merupakan faktor risiko yg konsisten dan
berlaku universal terhadap gangguan psikologis anak. Terdapat imbas yang cukup besar saat
orangtua berkonflik. Hal ini akan semakin parah apabila anak turut dilibatkan dalam konflik,
yang disebut sebagai triangulation (Margolin, Gordin & John; dalam Phares, 2003). Konflik
yang tidak terselesaikan atau penyelesaiannya tidak disaksikan anak juga memberikan dampak
yang buruk bagi anak (Cummings & Davies, dalam Phares, 2003).
Konflik orang tua memiliki dampak yang besar pada perkembangan anak. Bahkan
menurut penelitian, anak berfungsi lebih baik pada keluarga bercerai, namun tidak berkonflik,
dibandingkan dengan keluarga utuh namun terus bertengkar (Hetherington & Stanley-Hagan;
Kelly, dalam Phares, 2003). Meskipun demikian, apabila konflik terus berlangsung setelah
bercerai, maka anak yang berada dalam situasi perceraian cenderung dalam kondisi yang lebih
buruk dibandingkan anak dalam keluarga yang utuh (Amato; Hetherington & Stanley-Hagan,
dalam Phares, 2003). Anak yang berada dalam situasi konflik ini dihubungkan masalah eksternal,
internal, sosial maupun interpersonal (Cummings; Kelly, dalam Phares, 2003) (lihat pada poin

10
2.2 di halaman 7). Tak jarang juga orangtua yang sering berkonflik cenderung tidak memiliki
hubungan baik dengan anak (Robinson, 2009).
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah maupun mengatasi dampak dari
faktor ini, antara lain (Cummings & Davies, dalam Phares, 2003; Robinson, 2009);
a. Orangtua dapat memberikan pengertian kepada anak mengenai konflik yang sedang dialami
orangtua dengan menjelaskan bagaimana konflik tersebut diselesaikan. Dengan demikian,
anak dapat mempelajari model penyelesaian konflik yang baik.
b. Mengurangi intensitas dan frekuensi terjadinya konflik orangtua di depan anak.
c. Mengembangkan kemampuan komunikasi antara orangtua dengan pasangannya, serta
dengan anak.
d. Membuat peraturan untuk tidak menggunakan kata-kata kasar, ancaman, maupun makian.
e. Penggunaan humor untuk menyampaikan ketidaksetujuan juga baik untuk dilakukan.

4. Child Physical Abuse

Kekerasan fisik pada anak atau child physical abuse merupakan perbuatan yang
berpotensi mengakibatkan bahaya fisik pada anak dan biasanya dilakukan oleh pengasuh (baik
ayah, ibu, atau orang terdekat anak) yang sebenarnya memiliki kontrol pada apa yang
diperbuatnya (WHO, dalam Wenar & Kerig, 2006). National Society for the Prevention of
Cruelty to Children (2009) mengemukakan juga bahwa kekerasan fisik ini merupakan perbuatan
yang dapat membahayakan anak dan injuries, serta secara sengaja dilakukan oleh orangtua
maupun pengasuh.
Anak-anak dengan karakteristik tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
menjadi korban kekerasan fisik ini (Wenar & Kerig, 2006). Anak yang paling rentan
mendapatkan kekerasan fisik ialah anak yang berkebutuhan khusus terutama anak dengan
gangguan mental dan perilaku. Persentase korban kekerasan pada anak berdasarkan variasi
umurnya, 51% terjadi pada anak tujuh tahun ke bawah, 26% anak tiga tahun, dan 20% terjadi
pada remaja. Berdasarkan jenis kelaminnya, anak laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar
mendapat kekerasan pada usia 4 s.d. 8 tahun dan anak perempuan pada usia 12 s.d. 15 tahun.

Wenar dan Kerig (2006) mengelompokkan empat akibat dari kekerasan fisik yang terjadi
pada anakpada anak, yaitu:

11
a. Biologis. Trauma yang terkait akibat maltreatment dan kekerasan berdampak buruk pada
perkembangan otak. Berdasarkan hasil scan MRI, ditemukan bahwa anak-anak yang
mengalami kekerasan memiliki volume otak, corpus callosum dan temporal lobe kanan yang
lebih kecil, serta massa white matter yang sedikit di prefrontal cortex. Kekurangan di bagian-
bagian tersebut dapat memengaruhi fungsi eksekutif anak, efisiensi komunikasi, dan
mengganggu perkembangan terkait regulasi emosi, kontrol impuls, serta penalaran. Semakin
kecil usia anak ketika menerima kekerasan, semakin buruk juga efek yang terjadi pada
perkembangan otak anak.
b. Kognitif. Anak yang mengalami kekerasan cenderung memiliki kesulitan dan keterlambatan
dalam perkembangan kognitif dan bahasanya, terutama pada bagian bahasa ekspresif.
Keterlambatan ini terjadi karena terganggunya temporal lobe kanan yang berperan besar
pada fungsi memori verbal (Shinoura, Midorikawa, Kurokawa, Onodera, Tsukada, Yamada,
Tabei, Koizumi, Yoshida, Saito, Yagi, 2011). Terbukti pula bahwa terjadi gangguan belajar
dan penurunan fungsi kognitif di mana skor IQ anak yang mengalami kekerasan fisik
memiliki rata-rata 20 di bawah skor anak yang tidak mengalami kekerasan. Pada remaja yang
mengalami kekerasan, terlihat bahwa pencapaian akademiknya di bawah rata-rata.
c. Emosional. Secara umum efek emosional pada anak yang mengalami kekerasan ialah
munculnya externalizing dan internalizing problem (lihat pada poin 2.2 di halaman 7). Efek
lain yang belum dijelaskan sebelumnya ialah anak yang mengalami kekerasan cenderung
memiliki tipe avoidant-attachment yang menyebabkan kebutuhan keamanan dan
kenyamanan tidak terpenuhi. Terdapat juga permasalahan self-esteem yang sangat rendah
sehingga mereka cenderung bereaksi negatif pada hampir berbagai hal. Anak yang
mengalami kekerasan juga mengalami poor internal state lexicon di mana mereka kesulitan
untuk mendeskripsikan emosi yang dirasakan, sehingga regulasi emosi pun terganggu yang
menyebabkan mereka mergulasi dengan overcontrol dan undercontrol.
d. Sosial. Anak yang mengalami kekerasan cenderung bereaksi takut ataupun menunjukkan
agresi fisik apabila dihadapkan pada permasalahan dengan teman sebayanya. Mereka juga
lebih reaktif pada provokasi yang diterimanya, sehingga tak jarang mereka disebut memiliki
conduct disorder. Penyelesaian masalah interpersonal pun juga sulit bagi mereka,
menyebabkan sulitnya anak untuk bersosialisasi dan cenderung dihindari oleh teman

12
sebayanya. Pada remaja yang mengalami kekerasan fisik, terdapat kecenderungan yang
cukup besar untuk melakukan kekerasan yang sama pada pasangannya.

Ada beberapa intervensi yang dapat dilakukan terhadap faktor risiko ini. Jenis intervensi
yang dilakukan tergantung dengan siapa yang akan diintervensi. Jenis-jenis intervensi yang dapat
dilakukan diantaranya ialah:
a. Korban. Intervensi pada korban kekerasan fisik dan psikologis difokuskan berdasarkan tiga
bagian perkembangan yang paling terkena dampak negatifnya, yakni attachment, regulasi
emosi, serta persepsi diri (self-perception).
- Attachment. Intervensi dilakukan untuk mengubah pola diferensiasi yang buruk pada diri
dan orang lain, kecenderungan bertindak sebagai korban, rasa tidak percaya pada orang
lain, serta persepsi semu terkait orang lain. Tujuan terapis adalah untuk mengubah
pandangan negatif korban terhadap orang lain dengan memisahkan dan memberitahu
batasan yang sebenarnya melalui cara yang hangat dan dapat dipercaya.
- Regulasi emosi. Teknik yang digunakan untuk mengurangi adanya emosi negatif dan
memperbaiki regulasi emosi ialah dengan memberikan anak kontrol pada proses terapi
(seperti kapan waktu yang tepat untuk membicarakan apa yang ia alami) serta
memberikan cara tertentu untuk mengurangi rasa cemas (seperti latihan relaksasi).
- Persepsi diri. Terapis melatih anak dengan memahami terlebih dahulu apa yang dirasakan
dalam diri anak dan mendorong anak untuk mengambil langkah progresif dengan
menghilangkan pandangan buruk dari diri mereka. Anak juga akan dilatih untuk melihat
kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya.
b. Pelaku (Orangtua). Strategi intervensi yang dapat dilakukan diantaranya ialah dengan
edukasi pola asuh yang baik, pelatihan penyelesaian masalah dan cara mengurangi stres,
diskusi kelompok, dan terapi individual. Terapi cognitive-behavioral (CBT) juga dapat
membantu untuk meluruskan kembali pemahaman orangtua terkait kekerasan.
c. Pencegahan. Memberikan asistensi pada masa kehamilan dan kelahiran, bantuan dalam
mengedukasi orangtua terkait kebutuhan mendasar anak dan pola asuh, meningkatkan
kualitas dan hubungan orangtua-anak. Salah satu program pencegahannya dikenal dengan
home-based intervention.

13
5. Child Sexual Abuse

Child sexual abuse merupakan keterlibatan anak dalam aktivitas seksual dimana anak
tersebut tidak memahami konsep tersebut, tidak dapat diberikan informasi mengenai hal tersebut,
tidak siap secara perkembangan, ataupun melanggar hukum dan norma sosial yang berlaku di
masyarakat (WHO, 2003). Sexual abuse dapat berupa cumbuan, hubungan seksual, pemaparan
yang terlalu dini dari aktivitas seksual, maupun keterlibatan anak dalam pornografi. Jika dilihat
dari karakteristik gendernya, secara umum anak perempuan lebih rentan menjadi korban
dibanding anak laki-laki. Pelecehan juga umumnya terjadi pada anak-anak usia remaja.
Sedangkan untuk pelaku pelecehan biasanya dilakukan oleh anak yang lebih tua dari korban atau
orang dewasa, baik oleh orang asing yang sama sekali belum dikenal maupun pengasuh yang
sudah dipercaya. Konteks kejadiannya pun beragam, dari pelecehan secara tiba-tiba dan kasar
maupun keterlibatan anak dalam periode penggodaan yang cukup lama (Kerig & Wenar, 2005).
Namun pelecehan pada anak-anaknya seringnya dilakukan secara bertahap, dalam waktu yang
cukup lama, dengan pelaku terlebih dahulu membangun kepercayaan pada anak sehingga anak
tidak merasa bahwa ia sedang dilecehkan secara seksual (WHO, 2003).
Finkelhor dan Browne (1988, dalam Kerig & Wenar, 2005) menyampaikan dampak-
dampak dari pelecehan seksual pada anak. Ketika anak secara berulang diberikan kasih sayang
maupun hadiah-hadiah, hal tersebut akan disalahpahami oleh anak sebagai cara-cara untuk
mendapatkan hal-hal yang mereka inginkan. Dengan begitu traumatic sexualization dapat terjadi,
dimana anak menganggap seks memiliki arti penting, kebingungan anak antara seks dan
perhatian, dan juga asosiasi negatif pada seks dan keintiman. Tingkah laku yang ditunjukan anak
dapat berupa perilaku seksual anak yang agresif, terobsesi pada seks, maupun disfungsi seksual
dan menghindari keintiman atau seks. Selain itu anak juga bisa merasakan pengkhianatan, baik
dari pelaku maupun dari keluarganya. Pada pelaku, anak akan merasa bahwa orang yang ia
percaya ternyata dapat menyakiti mereka. Di sisi lain, anak akan merasa kecewa pada anggota
keluarga ketika keluarga tidak dapat melindungi atau percaya pada mereka ketika mereka
mengakui telah dilecehkan secara seksual. Anak bisa menjadi sangat manja dalam usaha untuk
memperoleh kembali kepercayaan dan keamanan dari orang lain. Mereka juga bisa mengalami
depresi dan duka yang mendalam atau menunjukan kemarahan dan kebencian. Selanjutnya anak
menjadi sulit percaya pada orang lain dan bisa mengakibatkan kesulitan saat ia dewasa dalam
mempercayai atau menilai orang lain.

14
Anak juga bisa merasakan ketidakberdayaan. Keadaan ini terjadi akibat anak secara
terus-menerus diminta melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan. Hal ini dapat menyebabkan dua
dampak yang berbeda. Anak bisa saja merasa cemas dan merasa diri sebagai korban, atau
menjadi lebih agresif dan kasar. Lebih ekstremnya anak bisa saja menjadi antisocial atau
menjadi pelaku pelecehan seksual pada anak lainnya. Bentuk ketidakberdayaannya bisa
ditunjukkan dengan mimpi-mimpi buruk, phobia, gangguan makan, serta kabur dari rumah.
Terakhir adalah stigmatisasi pada anak yang biasa dikaitkan pada tingkah laki mereka. Tingkah
laku yang buruk, malu, dan perasaan bersalah yang berkonotasi negatif yang keluar dari pelaku
pelecehan atau lingkungannya dapat mempengaruhi self-image anak juga memberikan tekanan-
tekanan tertentu sehingga menurunkan self-esteem-nya
Pada kasus seperti ini hal preventif yang dapat dilakukan adalah mengedukasi orang tua
seperti memberikan informasi mengenai ciri pelecehan seksual pada anak dan mendorong
terjadinya diskusi antara anak dan orang tua mengenai pelecehan seksual dengan maksud
mengedukasi anak akan hal tersebut. Disamping itu perlu juga dilakukan edukasi dalam lingkup
sekolah dan lingkungan anak bergaul. Pada bagian ini yang dapat dilakukan adalah mengedukasi
anak dengan informasi-informasi mengenai pelecehan seksual dan kemampuan-kemampuan
tertentu agar anak dapat menghindari pelecehan yang akan terjadi.

6. Child Psychological Maltreatment

Psychological abuse atau emotional abuse pada dasarnya dapat terjadi di setiap bentuk
pelecehan maupun penganiayaan pada anak. Sehingga dampak spesifik dari pelecehan ini juga
menjadi sulit dideteksi (Kerig & Wenar, 2005; Glaser, 2011; Wolfe & McIsaac, 2011, dalam
Mash & Wolfe, 2013). Hart, Germain, dan Brassard (1987, dalam Kerig & Wenar, 2005)
mencoba mendefinisikan psychological abuse menjadi tindakan yang dinilai merusak secara
psikologis. Tindakan-tindakan yang membawa pesan bahwa anak tersebut tidak berguna, tidak
berharga, tidak dicintai, dan hanya berguna ketika ia menjadi pemenuh kebutuhan bagi orang
lain. Tindakan tersebut dapat berupa penolakan, penghinaan, teror, pengucilan,
pengeksploitasian, dan penolakan terhadap tanggung jawab emosi.
Neglect dapat diartikan sebagai kegagalan pengasuh dalam menyediakan kesehatan fisik
dan mental anak, termasuk edukasi, nutrisi, tempat bernaung, dan kondisi kehidupan yang aman
(WHO, 1999 dalam Kerig & Wenar, 2005). Mash dan Wolfe (2013) mengatakan terdapat tiga

15
hal yang dilalaikan, yaitu dari sisi fisik, edukasi, dan emosi. Physical neglect dapat berupa
keterlambatan dalam perawatan kesehatan anak, pengusiran dari rumah, penelantaran, maupun
pengawasan yang tidak memadai. Educational neglect terjadi apabila pengasuh membiarkan
anak bolos sekolah terus menerus, tidak mendaftarkan anak ke sekolah setelah usia sekolah, dan
kegagalan dalam menyediakan edukasi khusus yang dibutuhkan anak. Sedangkan emotional
neglect berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan psikologis anak, misalnya kegagalan dalam
memberikan kasih sayang, pemaparan kekerasan antara orang tua dihadapan anak, dan izin
penggunaan alkohol atau narkoba pada anak. Umumnya perilaku neglect dari pengasuh
merupakan sebuah kelalaian, bukan sesuatu yang secara sengaja dilakukan (Kerig & Wenar,
2005).
Anak yang mengalami neglect akan menunjukan tipe avoidant attachment dalam
berhubungan dengan orang lain. Ia juga akan tubuh menjadi anak yang pasif. Erickson dan
Egeland (2002, dalam Kerig & Wenar, 2005) mengatakan bahwa anak yang mengalami neglect
tidak mengharapkan kebutuhan terpenuhi ketika berhubungan dengan orang lain, maka dari itu ia
tidak akan berusaha untuk mencari perhatian atau kasih sayang. Ia juga tidak berharap untuk bisa
menjadi seseorang yang berhasil, maka dari itu ia tidak akan berusaha menjadi orang yang
sukses.

Kejadian neglect pada anak umumnya dilakukan oleh orang tua anak tersebut,
disebabkan oleh tingginya tingkat stress orang tua, rendahnya dukungan sosial, penggunaan
obat-obatan terlarang, maupun keimpulsifan. (Kerig & Wenar, 2006). Karakteristik lainnya
adalah orang tua memiliki pandangan negatif terhadap sebuah hubungan serta beberapa ciri
seperti rendahnya self-efficacy, self-preoccupation, depresi dan memiliki ekspektasi yang tidak
wajar pada anak-anak (Crittenden, 1993, dalam Kerig & Wenar, 2006).
Dengan lingkungan yang lebih banyak terjadinya kasus psychological maltreatment atau
psychological abuse adalah dalam keluarga, maka intervensi yang dilakukan adalah pemberian
pengetahuan pada orang tua seperti yang telah dijelaskan pada bagian intervensi dalam kasus
physical abuse. Ketika orang tua sudah memiliki pengetahuan mengenai perawatan pada anak,
perkembangan pada anak, dan hubungan keluarga yang sehat, kemungkinan terjadinya kasus
physical abuse maupun neglect dapat dikurangi (McCoy & Keen, 2013).
Intervensi untuk kasus psychological maltreatment atau psychological abuse dapat
dilihat pada bagian intervensi physical abuse (lihat halaman 13)

16
II.3 Karakteristik Komunitas dan Sekolah
1. Sumber Daya Pendidikan yang Tidak Memadai
Faktor risiko pertama yang melibatkan lingkungan sosial yaitu faktor risiko yang terjadi
dalam setting sekolah. Ada banyak subfaktor risiko yang dapat terjadi dalam sekolah yang
memiliki sumber daya pendidikan yang tidak memadai. Pertama yaitu transisi sulit yang dialami
anak-anak dan remaja saat masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya, terutama dari SD ke SMP
(Holmbeck & Saphera, dalam Phares, 2003). Transisi antarjenjang sekolah dihubungkan dengan
meningkatnya risiko munculnya gangguan emosi atau perilaku (Felner, Ginter & Primavera,
dalam Phares, 2003). Hal ini juga berlaku pada transisi dari SMA ke perguruan tinggi, di mana
remaja harus menghadapi sistem akademik dan sosial yang kompleks di perguruan tinggi, yang
mungkin dapat menimbulkan stres (Holmbeck & Saphera, dalam Phares, 2003).
Faktor lainnya yang dapat menimbulkan risiko yaitu kurangnya school connectedness
(Jacobson & Rowe, dalam Phares, 2003). School connectedness adalah suatu keadaan di mana
anak merasa bahwa guru di sekolah menghargai mereka, kebijakan yang dibuat oleh sekolah adil,
serta lingkungan sekolah aman dan nyaman. Koneksi antara anak dan sekolah merupakan faktor
yang sangat penting dalam perkembangan anak. Hal ini ditunjukkan dalam studi yang dilakukan
oleh Jacobson & Rowe (dalam Phares, 2003). Jika anak merasa kurang memiliki koneksi dengan
sekolahnya dan semakin merasa terpinggirkan di sekolah, maka semakin mungkin anak tersebut
untuk mengalami masalah emosi atau perilaku.
Pengaturan sekolah yang kurang optimal juga berpotensi menimbulkan risiko pada anak
(Luthar, dalam Phares, 2003). Sekolah yang buruk biasanya memiliki terlalu banyak murid, rasio
guru-murid yang rendah, memiliki sumber daya pendidikan dasar dan pengayaan yang kurang
memadai, serta guru memiliki ekspektasi yang rendah terhadap prestasi akademik siswanya
(Luthar, dalam Phares, 2003). Risiko yang muncul biasanya yaitu gangguan emosi atau perilaku
serta prestasi akademik yang buruk. Anak yang terpapar dengan lingkungan sekolah yang buruk
juga biasanya terpapar dengan kemiskinan, status sosioekonomi rendah, serta kekerasan di
lingkungannya.
Beragamnya dampak yang dapat terjadi akibat tidak memadainya sarana belajar di sekolah perlu
menjadi perhatian dari berbagai pihak yang terkait. Rekomendasi yang dapat diberikan terkait
permasalahan ini antara lain (Olaniyan, Damilola, & Israel, 2013);

17
a. Pemerintah memberikan suntikan dana untuk perbaikan fasilitas sekolah beserta pengecekan
dan perbaikan secara berkala,
b. Guru dan murid perlu bekerja sama dalam menjaga fasilitas sekolah agar fasilitas tersebut
dapat digunakan lebih lama, salah satunya ialah dengan membuat peraturan,
c. Ketika murid sedang melakukan suatu aktivitas, perlu ada pengawasan yang cukup baik oleh
guru maupun pihak sekolah,
d. Pemerintah dapat meningkatkan suntikan dana pada area pendidikan serta bekerja sama
dengan pihak swasta untuk kemajuan dunia pendidikan.

2. Kemiskinan dan Status Sosioekonomi Rendah

Stasus sosioekonomi adalah konstruk yang menggambarkan kelas atau posisi sosial
seseorang dalam suatu kelompok, yang diukur dari pencapaian pendidikan, pendapatan, serta
status kepegawaian (APA, n.d.). Dampak dari status ekonomi bervariasi, tergantung dari
persistensi, kedalaman (depth), dan timing dalam kemiskinan (Duncan & Brooks-Gunn, dalam
Wicks-Nelson & Israel, 2014). Kemiskinan yang tetap dalam jangka waktu yang lama, cukup
parah, dan muncul di awal kehidupan anak memiliki efek yang paling negatif.
Kemiskinan dan status sosioekonomi yang rendah dapat memengaruhi perkembangan
anak secara langsung. Contohnya, bayi dan balita yang terpapar timbal berisiko untuk memiliki
gangguan perilaku dan belajar pada masa kanak-kanak awal atau early childhood. Umumnya,
anak-anak terpapar timbal dari cat berbahan timbal yang mengelupas dari dinding rumah yang
sudah tua. Anak-anak dari keluarga dengan status sosioekonomi rendah terpapar cat berbahan
timbal dengan jumlah yang sangat besar karena kebanyakan dari mereka tinggal di rumah yang
sudah tua dan bobrok. Akibatnya, tingkat keracunan timbal dan gangguan neurologis lebih
banyak pada anak-anak dengan status sosioekonomi rendah (Dilworth-Bart & Moore dalam
Weis, 2013).
Kemiskinan dan status sosioekonomi yang rendah juga dapat memengaruhi
perkembangan anak secara tidak langsung. Dalam kasus ini, faktor tersebut dapat membuat
orangtua tidak dapat memberikan kasih sayang secara optimal kepada anak-anak mereka. Kasih
sayang yang kurang optimal ini dapat menyebabkan gangguan emosi dan perilaku. Conger, Ge,
Elder, Lorenz, dan Simons (dalam Weis, 2013) menemukan bahwa tingkat pertengkaran
orangtua mengenai masalah finansial berhubungan dengan tingkat tingkah laku kasar atau hostile

18
dan penuh ancaman yang ditunjukkan kepada anak-anak mereka. Orangtua dari keluarga yang
memiliki status sosioekonomi rendah juga digambarkan cenderung lebih kasar dan kurang
sensitif dan responsif pada anak (Burchinal., et all, 2006; Evans, 2004).Tingkah laku orangtua
yang kasar dan penuh ancaman tersebut dapat menyebabkan munculnya gangguan perilaku pada
anak-anak mereka.
Selain masalah keluarga, status sosioekonomi juga dapat memengaruhi performa anak di
sekolah. Anak yang keluarganya berstatus sosioekonomi rendah biasanya mengalami kesulitan
dalam mendapatkan sumber daya pembelajaran yang dibutuhkan. Selain itu, anak dari latar
belakang ini juga memiliki risiko yang lebih tinggi dalam keterlambatan perkembangan,
kesulitan dalam belajar (learning disabilities), kegagalan di sekolah, dan masalah-masalah
perilaku dan psikologis lainnya (van Oort et al., dalam Wicks-Nelson & Israel, 2014). Namun,
hal ini bisa diatasi salah satunya dengan program learningames curriculum (Brooks-Gunn &
Duncan,1997) yang dapat membantu anak meningkatkan pengalaman belajar. Melalui program
tersebut, orangtua diberikan instruksi, bahan, peran dan material yang dibutuhkan untuk
meningkatkan pengalaman belajar anak.

3. Kekerasan dalam Komunitas (Violence within the community)

Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan sering menyaksikan tindak kekerasan atau
menjadi korban tindak kekerasan. Menyaksikan tindak kekerasan dalam komunitas diasosiasikan
dengan berbagai gangguan emosi dan perilaku. Menurut Luthar (dalam Phares, 2003), setelah
terpapar pada tindak kekerasan dalam komunitas, balita dan anak kecil cenderung memiliki
gangguan tidur, sifat pemarah, konsentrasi yang buruk, depresi, dan kecemasan. Anak-anak yang
lebih dewasa dan remaja juga menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada depresi, agresi, dan
PTSD jika terpapar pada tindak kekerasan. Paparan terhadap perkelahian fisik pada jumlah yang
berlebihan juga dapat membuat anak-anak berisiko memiliki internalized dan externalized
problem (Fitzpatrick dalam Phares, 2003).
Kekerasan dalam keluarga juga memiliki dampak yang buruk. Phares (2003),
mengemukakan bahwa paparan terhadap kekerasan dalam rumah tangga diasosiasikan dengan
meningkatnya gangguan emosi dan perilaku juga risiko menjadi korban kekerasan fisik serta
penurunan self-esteem. Risiko munculnya psikopatologi empat kali lebih besar pada anak-anak
yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga mereka dibandingkan dengan anak-anak yang tidak

19
menyaksikan kekerasan dalam keluarga mereka. Selain dalam keluarga dan komunitas, anak-
anak sering terpapar pada kekerasan yang terjadi pada masa perang. Dalam sebuah studi pada
anak-anak Palestina yang mengalami trauma perang, sebagian besar dari mereka memiliki PTSD
(Thabet & Vostanis dalam Phares, 2003). Semakin besar jumlah paparan terhadap kekerasan
yang terjadi pada masa perang diasosiasikan dengan semakin banyak jumlah gejala PTSD.
Secara keseluruhan, dampak dari anak-anak menyaksikan tindak kekerasan dapat
menjadi intens dan bertahan lama. Dampak tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain
seperti seberapa besar paparannya, bagaimana orang dewasa di lingkungan anak tersebut
menangani paparan terhadap kekerasan, dan faktor risiko selain kekerasan yang terpapar pada
anak (Luthar dalam Phares, 2003).
Tindakan preventif untuk permasalahan tersebut ialah berfokus pada mengurangi akses
ke senjata api dan tajam. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik pada anak dan
keluarga mereka juga sangat penting untuk diperhatikan (Group for the Advancement of
Psychiatry dalam Phares, 2003).

20
III. Referensi:

American Psychological Association. (n.d.). Socioeconomic status. Retrieved from


http://www.apa.org/topics/socioeconomic-status/

Blissett W, Church J, Fergusson DM, Lambie I, Langley J, Liberty K, et al. (2009). Conduct
problems best practice report 2009. Retrieved from
https://www.msd.govt.nz/documents/about-msd-and-our-work/publications-
resources/research/conduct-problems-best-practice/conduct-problems.pdf
Brooks-Gunn, J., & Duncan, G. J. (1997). The effects of poverty on children.The future of
children, 55-71.
Joyce, P. R., McKenzie, J. M., Luty, S. E., Mulder, R. T., Carter, J. D., Sullivan, P. F., &
Cloninger, C. R. (2003). Temperament, childhood environment and psychopathology as
risk factors for avoidant and borderline personality disorders. Australian and New Zealand
Journal of Psychiatry, 37, 756-764.
Connolly, M. E., & Green, E. J. (2009). Evidence-based counseling interventions with children
of divorce: Implications for elementary school counselors. Journal of School Counseling,
7, 1-37.
Frick, P. J., Lahey, B. B., Loeber, R., Stouthamer-Loeber, M., Christ, M. A. G., & Hanson, K.
(1992). Familial risk factors to oppositional defiant disorder and conduct disorder:
parental psychopathology and maternal parenting. Journal of consulting and clinical
psychology, 60, 49.

Gottman, J., Gonso, J., & Rasmussen, B. (1975). Social interaction, social competence, and
friendship in children. Child development, 709-718.
Grych, J. H., & Fincham, F. D. (1992). Interventions for children of divorce: Toward greater
integration of research and action. Psychological Bulletin, 111, 434.
Kazdin, A. E. (2010). Problem-solving skills training and parent management training for
oppositional defiant disorder and conduct disorder. Evidence-based psychotherapies for
children and adolescents, 211-226.
Kerig, P., & Wenar, C. (2006). Developmental psychopathology: From infancy through
adolescence (5th ed.). Boston, Mass, Mass: McGraw Hill.
Kotler, T., Buzwell, S., Romeo, Y., & Bowland, J. (1994). Avoidant attachment as a risk factor
for health. British Journal of Medical Psychology, 67, 237-245.

21
Liu, J. (2004). Childhood externalizing behavior: theory and implications. Journal of child and
adolescent psychiatric nursing, 17, 93-103.

Maliken, A. C., & Katz, L. F. (2013). Exploring the impact of parental psychopathology and
emotion regulation on evidence-based parenting interventions: a transdiagnostic approach
to improving treatment effectiveness.Clinical child and family psychology review, 16,
173-186.
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2013). Abnormal child psychology (5th ed.). USA: Wadsworth.
Merriam-Webster. (n.d.). Divorce. Retrieved from http://www.merriam-
webster.com/dictionary/divorce
McCoy, M. L., Keen, S. M. (2013). Child abuse and neglect (2nd ed.). New York: Psychology
Press.

National Society for the Prevention of Cruelty to Children. (2009). Physical abuse at a glance.
Retrieved from http://www.nspcc.org.uk/preventing-abuse/child-abuse-and-
neglect/physical-abuse/

Olaniyan, O. D., & Israel, A. K. Effect of inadequate school plant on academic performance of
nigerian secondary school students. International Journal of Humanities and Management
Sciences, 1, 198-200.

Papalia, D.E. & Martorell, G. (2014). Experience human development (13th International ed.).
New York, NY: McGraw-Hill.
Phares, V. (2003). Understanding abnormal child psychology. John Wiley & Sons Inc.
Robinson, J. H. (2009). Interparental conflict and child adjustment: The role of child optimism.
Theses and Dissertations, 424.
Shinoura, N., Midorikawa, A., Kurokawa, K., Onodera, T., Tsukada, M., Yamada, R.,& Yagi, K.
(2011). Right temporal lobe plays a role in verbal memory. Neurological resear, 33, 734-
738.
Snyder, J. (2005). Loss: Divorce, separation, and bereavement. In W.M. Klykylo & J.L. Kay
(Eds.), Clinical child psychiatry (pp. 507-520). New Jersey, NJ: John Wiley & Sons.
Vostanis, P., Graves, A., Meltzer, H., Goodman, R., Jenkins, R., & Brugha, T. (2006).
Relationship between parental psychopathology, parenting strategies and child mental
health. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiolo 41, 509-514.

22
Weis, R. (2013). Introduction to Abnormal Child and Adolescent Psychology (2nd ed.).
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Wicks-Nelson, R., & Israel, A. C. (2009). Abnormal child and adolescent psychology. Upper
Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall.
World Health Organization. (2003). Guidelines for medico-legal care for victims of sexual
violence. Retrieved from whqlibdoc.who.int/publications/2004/924154628X.pdf

23

Anda mungkin juga menyukai