Anda di halaman 1dari 32

54

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Lokasi Budidaya Rumput Laut

Rakit apung yang digunakan sebagai tempat penanaman rumput laut

diletakkan kurang lebih 100 meter dari garis pantai. Gelombang serta angin yang

tenang mendukung kegiatan budidaya rumput laut ini, dimana rakit apung dapat

bertahan lebih lama, selain itu pergerakkan air membantu dalam pembersihan

tanaman dari kotoran penempel. Kedalaman di lokasi mencapai 2 – 5 meter dari

permukaan air laut dengan dasar perairan karang berpasir. Lokasi budidaya tidak

terganggu oleh adanya kegiatan penangkapan ikan ataupun kegiatan perkapalan

lainnya. Hal ini berarti bahwa pencemaran perairan dari limbah perkapalan sangat

kurang bahkan dapat dikatakan tidak ada sumber limbah dari kapal. Lokasi yang

dipilih memiliki parameter kualitas perairan yang memenuhi persyaratan bagi

kehidupan dan pertumbuhan tanaman rumput laut Eucheuma cottonii yang

dibudidayakan, hal ini sesuai menurut Nonji (1987) dalam Imelda, 1992, selain itu

sesuai pula menurut (Ditjenkanbud, 2003). Dengan demikian lokasi budidaya rumput

laut di Kampung Nusi Babaruk, telah memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput

laut yang dibudidyakan.

Kualitas air perairan sangat berpengaruh terhadap tanaman rumput laut yang

kita pelihara, kualitas perairan yang kurang baik untuk pemeliharaan tanaman rumput

laut dapat menyebabkan tanaman rumput laut terserang penyakit yang berpengaruh

terhadap pertumbuhan thallus tanaman. Parameter kualitas air yang dimaksud

meliputi parameter kimia, fisik dan parameter biologi (Ditjenkanbud, 2003).


55

5.1.1 Arus Perairan

Arah arus di lokasi budidaya tidak teratur, karena dipengaruhi oleh letak

geografis lokasi perairan yang banyak terdapat daerah – daerah reff coral. arus yang

kuat dapat membawah kandungan nutrien pada perairan keluar dari areal budidaya

sehingga tanaman akan mendapat unsur hara untuk proses fotosintesis dalam jumlah

sedikit, selain mengurangi kandungan unsur nutrien perairan juga dapat merusak

tanaman rumput laut sehingga dapat menyebabkan laju pertumbuhan tanaman

menjadi lambat.

Gambar 3. Grafik kecepatan arus rata-rata di setiap stasiun selama 45 hari

Dari hasil pengamatan dilapangan (Gambar 3) didapat kecepatan arus harian di

setiap stasiun berbeda yaitu berkisar antara 28,15 – 31,13 cm/detik, dengan rata – rata

kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan untuk pagi, siang dan sore hari yaitu

29,13 cm/detik. Terutama untuk stasiun yang berada di bagian terluar Pulau Nusi,
56

kecepatan arusnya lebih cepat dari pada stasiun pengamatan yang berada berdekatan

dengan kawasan pantai di bagian tengah Pulau Nusi. Pada stasiun VI dan stasiun VII,

memilki kecepatan arus lebih lambat dan stabil yaitu 28,15 cm/det kemudian pada

stasiun III, IV, dan stasiun V yaitu 29,13 cm/detik dan stasiun VIII 29,15 cm/detik.

Untuk stasiun VI dan stasiun VII yang memilik kecepatan arus yang lambat,

dikarenakan letak masing – masing stasiunnya yang berada pada bagian tengah pulau

yang dapat menghalangi kuat arus, ombak, dan gelombang yang lebih kuat yang

berasal dari Samudera Pasifik selain pulau – pulau juga dihalangi oleh beberapa rakit

budidaya rumput laut yang berada di bagian luar yang berada disekitar stasiun I, II,

IX, dan stasiun X. Sedangkan untuk stasiun III, IV, V, dan stasiun VIII memiliki

kecepatan arus yang sedang, hal ini disebabkan karena akan letak dari masing –

masing stasiunnya yang berada pada bagian tengah pulau yang dapat menghalangi

kuat arus, ombak dan gelombang yang lebih kuat yang berasal dari samudera pasifik.

Namun, kecepatan arusnya lebih cepat dan karena tidak dihalangi oleh beberapa rakit

budidaya rumput laut seperti pada stasiun stasiun VI dan VII. Untuk stasiun IX dan X

kecepatan arus lebih cepat dari stasiun III, IV, V, VI, VII, dan VIII yaitu 30,13

cm/detik, namun kecepatan arusnya lebih lambat dibandingkan pada stasiun I dan II

yang dapat mencapai 31,13 cm/detik, hal ini dikarenakan letak stasiun IX dan X yang

berada pada bagian utara pulau Nusi yang mengarah kesamudera Pasifik kecepatan

arusnya masih dapat dihalangi oleh pulau – pulau diantaranya Pulau Pai, dan

P.Pakreki yang jarak masing – masing pulau tersebut terhadap Pulau Nusi sangat

berdekatan ± 1 km, sedangkan kecepatan arus yang paling cepat pada stasiun II, hal

ini dikarenakan letak stasiunnya berhadapan dengan Gugusan Pulau – Pulau (GPP)
57

Padaido bagian atas yang jaraknya sangat jauh dengan Pulau Nusi sehingga tidak

dapat menghalangi arus, ombak, dan gelombang yang berasal dari Samudera Pasifik.

Untuk lebih jelas mengeai hasil pengamatan kecepatan arus harian selama 45 hari di

sekitar areal budidaya rumput laut Kampung Nusi Babaruk dapat dilihat pada

Lampiran 2.

Berdasarkan hasil pengamatan kisaran kecepatan arus di kawasan budidaya

rumput laut sekitar periaran Pulau Nusi yaitu 29,13 - 31,13 cm/detik, maka kecepatan

arus perairan di sekitar areal budidaya ruput laut di Kampung Nusi Babaruk, telah

memenuhi syarat untuk kesuburan dan pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan.

Hal ini sesuai menurut Meiyana, et al., (2001), dan Ditjenkanbud (2005), serta sesuai

pula menurut Indriani dan Sumiarsih (2003).

5.1.2. Kedalaman Perairan

Kedalaman akan berhubungan dengan beberapa faktor lingkungan seperti suhu,

salinitas, kecerahan, dan intensitas cahaya. Berdasarkan hasil pengamatan kedalaman

perairan pada kesepuluh stasiun pengamatan di lokasi budidaya tanaman rumput laut

dengan kedalaman yang berbeda – beda yang berkisar antara kedalaman 3 meter

hingga 5 meter pada pasang tertinggi dan berkisar antara 2 – 4 meter pada surut

terendah (data kedalaman perairan pada sepuluh stasiun yang berbeda dapat dilihat

pada Lampiran 4), dan berdasarkan hasil penelitian COREMAP Biak, pasang surut

air laut di sekitar perairan Padaido berikar antar 1,5 – 2 meter.

Alga yang hidup di dasar laut banyak terdapat disepanjang pantai, mulai dari

zone pasang surut sampai sedalam sinar matahari dapat tembus. Eucheuma spp,
58

secara alami didapati hidup dan tumbuh dengan baik pada kedalaman perairan sekitar

10 – 30 m pada surut terendah, hal ini sesuai menurut Nonji (1987) dalam Imelda

(1992). Selain itu kedalaman perairan di sekitar areal budidaya rumput laut telah

sesuai menurut Puji, at al. (2001). Maka berdasarkan hasil pengamatan kedalaman

perairan disekitar areal budidaya rumput laut di kampung Nusi Babaruk telah

memenuhi syarat untuk kesuburan dan pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan.

5.1.3 Suhu Perairan

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput

laut. Suhu perairan akan berpengaruh terhadap semua proses biokimia, fotosintesis

dan pertumbuhan thallus yang menentukan ketersediaan unsur hara dan faktor

ekologis lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan suhu perairan di sekitar areal

budidaya rumput laut kampung Nusi Babaruk, perbedaan suhu harian di setiap stasiun

berbeda – beda, namun tidak berbeda jauh antara stasiun pengamatan yang satu

dengan stasiun pengamatan yang lain, yaitu berkisar antara 27 – 31 oC. Sedangkan

suhu rata – rata di setiap stasiun berkisar antara 28,74 – 29,20 oC (lihat Gambar 4).

Berdasarkan hasil penelitian COREMAP Biak, bahwa suhu pada permukaan air

di perairan Padaido berkisar antara 28o – 30o C, dan pada kedalaman 50 meter berkisar

antara 26o – 28o C. Secara umum suhu perairan (suhu rata – rata di setiap stasiun) di

Kampung Nusi Babaruk yaitu 28,90 oC. Suhu tertinggi terjadi pada siang hari di

stasiun VI, hal ini dikarenakan pada stasiun VI sering terjadi pengendapan kotoran

karena sisa – sisa tanaman air yang mengalami dekomposis (penguraian oleh bakteri)
59

dan kecepatan arus yang merupakan alat pertukaran masa air yang sering lambat dan

stabil sehingga meyebabkan kenaikan suhu.

Gambar 4. Grafik suhu perairan rata-rata harian

Karena suhu mempengaruhi kehidupan organisme akuatik untuk pertumbuhan

dan proses fisika, kimia, dan biologi badan air, hal ini sesuai menurut Effendi (2003)

dan sesuai pula menurut Kordi (2000), Disamping itu temperatur air juga

mempengaruhi proses pertukaran zat (Purba dan Mayunar, 1990). Suhu yang lebih

tinggi (>45o C) peningkatkan suhu akan menurunkan kecepatan reaksi, karena diatas

suhu tersebut, enzim mengalami denaturasi sehingga tidak dapat manghasilkan

produk (Fujaya, 2004). Perbedaan suhu yang terjadi pada stasiun VI diakibatkan oleh

kehidupan biota akuatik dalam hal ini adalah bakteri pengurai (Nitrosomonas dan

Nitrobakter serta beberapa bakteri lain seperti Bacillus spp.) yang melakukan proses
60

penguraian (Nitrifikasi dan Denitrifikasi), hal ini sesuai menurut Boyd (1995).

Kenaikan temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus rumput laut akan berwarna

pucat kekuning – kuningan dan tidak sehat, hal ini sesuai menurut Ditjenkanbud

(2003). Temperatur air meskipun tidak berpengaruh mematikan tetapi dapat

menghambat pertumbuhan, hal ini sering terjadi pada perairan yang dangkal.

Tanaman rumput laut biasanya hidup dan tumbuh dengan baik di daerah atau perairan

yang mempunyai suhu yang berkisar antara 26 – 33 ºC, hal ini sesuai menurut

Afrianto dan Liviawati (1989) dalam Imelda (1992). Sedangkan suhu air laut yng

baik untuk pertumbuhan Eucheuma spp. Berkisar antara 27 – 30 oC. Berdasarkan

hasil pengamatan parameter suhu perairan di sekitar areal budidaya tanaman rumput

laut di kampung Nusi Babaruk telah memenuhi syarat untuk kesuburan dan

pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan.

5.1.4. Salinitas Perairan

Seperti halnya pengukuran parameter kualitas air lainnya, kisaran salinitas ini

diperoleh dari hasil pengukuran salinitas rata-rata perairan di sekitar kawasan

budidaya rumput laut di Pulau Nusi selama 45 (empat puluh lima) hari. Berdasarkan

hasil pengamatan salinitas perairan, kisaran nilai kadar salinitas perairan pagi, siang,

dan sore hari di setiap stasiun pengamatan berkisar antara 32,59 – 32,60 ppt.

Sedangkan nilai rata – rata untuk keseluruhan stasiun yaitu 32,59 ppt, nilai salinitas

selama penelitian sering stabil dan jika menurun tidak terjadi fluktuasi yang

mencolok yaitu antara 0,1 – 1 angka , hal ini diakibatkan karena kurangnya curah

hujan (untuk lebih jelas mengenai data pengamatan salinitas perairan harian pada
61

sepuluh stasiun dapat dilihat pada Lampiran 2). Sehingga berdasarkan hasil

pengamatan kadar salinitas perairan di Kampung Nusi Babaruk telah memenuhi

syarat untuk pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Sedangkan salinitas

perairan untuk pertumbuhan optimal Eucheuma spp, adalah sekitar 28 – 34 permil

dengan nilai optimal salinitas perairan yaitu 33 permil. Tanaman Eucheuma spp.

tumbuh di alam pada salinitas yang tinggi.

Gambar 5. Grafik parameter salinitas peraran rata-rata harian

Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar akan menyebabkan

pertumbuhannya terhambat atau tidak normal, sebaliknya lokasi budidaya jauh dari

mulut muara sungai yang debet airnya besar. Hal tersebut berguna untuk menghindari

turunnya kadar salinitas perairan yang tajam serta untuk menghindari endapan lumpur

(Ditjenkanbud, 2005).
62

5.1.5 Kadar Keasaman Perairan

Derajat keasaman suatu perairan menunjukkan tinggi rendahnya konsentrasi ion

hidrogen perairan tersebut. Dari hasil pengamatan terhadap parameter kadar

keasaman (pH) di perairan sekitar areal budidaya rumput laut di Pulau Nusi memiliki

rata – rata yaitu 8,20 (untuk lebih jelasnya mengenai data pengamatan harian

parameter pH perairan dapat dlihat pada lampiran 2).

Gambar 6. Grafik parameter pH perairan rata-rata tiap pada sepuluh stasiun stasiun

Berdasarkan Gambar 6, diketahui kisaran rata-rata salinitas perairan pada

kesepuluh stasiun pengamatan berkisar antara 8,21 – 8,23. Nilai pH tertinggi terjadi

pada stasiun VI, dan stasiun VII, hal ini dikarenakan terjadi pengendapan yang

disebabkan oleh kecepatan arus yang rendah, yang mengakibatkan terjadinya proses

dekomposisi oleh bakteri pengurai sehingga akan meningkatkan keasaman perairan


63

(pH). Tanaman rumput laut tumbuh pada kisaran pH 6 – 9, adapun pH yang optimal

bagi pertumbuhan tanaman rumput lau Eucheuma spp. Sekitar 7,5 – 8,0

(Ditjenkanbud, 2003). Berdasarkan hasil pengamatan kadar keasaman perairan di

sekitar areal budidaya rumput laut di Kampung Nusi Babaruk telah memenuhi syarat

untuk kesuburan dan pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan walaupun tidak

optimal.

5.1.6 Kecerahan Perairan

Dari hasil pengamatan perameter kecerahan perairan harian pada setiap

stasiun pengamatan, yaitu berkisar antara 1,5 – 1,7 meter, dan kisaran rata – rata

kecerahan perairan di setiap stasiun berkisar antara 1,51 – 1,56 meter (lihat pada

Gambar 7). Sedangkan, secara umum kecerahan perairan di sekitar areal budidaya

rumput laut Kampung Nusi Babaruk, yaitu 1,53 meter.

Gambar 7. Grafik parameter rata-rata kecerahan perairan harian


64

Berdasarkan hasil penelitian COREMAP Kabupaten Biak Numfor di perairan

Padaido kecerahan perairan berkisar pada nilai > 15 meter. Kegiatan budidaya rumput

laut tingkat kecerahan perairan yang tinggi sangat dibutuhkan, sehingga penetrasan

sinar matahari dapat masuk kedalam perairan. Intensitas sinar matahari yang diterima

secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis.

Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter cukup baik

untuk pertumbuhan rumput laut (Ditjenkanbud, 2005). Sedngkan cahaya matahari

dibutuhkan oleh tanaman laut dan kedalaman yang sudah tidak dapat cahaya

matahari, rumput laut tidak dapat hidup (Sugiarto, et al., 1978 dalam Imelda, 1992).

Dan daya tembus cahaya matahari dalam suatu perairan tergantung pada sudut

jatuh cahaya matahari, intensitas cahaya matahari, daya absorbsi, refraksi dan

kecerahan atmosfir (Odum, 1977 dalam Imelda, 1992). Maka berdasarkan hasil

pengamatan kecerahan perairan di sekitar areal budidaya rumput laut Kampung Nusi

Babaruk telah memenuhi syarat untuk kesuburan dan pertumbuhan tanaman rumput

laut yang dibudidayakan dengan menggunakan metode rakit apung.

5.1.7 Cuaca

Berdasarkan pengamatan dilapangan selama pemeliharaan rumput laut di

Kampung Nusi Babaruk, Kecepatan angin stabil hingga akhir bulan Mei, cuaca selalu

cerah, namun pada awal pemeliharaan yaitu pada minggu pertama terjadi penetrsan

matahari yang tinggi dan terjadi hujan hanya sesekali yaitu minggu kelima dan

keenam.
65

Cahaya matahari adalah faktor utama yang dibutuhkan oleh tanaman laut.

Pada kedalaman yang sudah tidak dapat cahaya matahari, rumput laut tidak dapat

hidup, sedangkan daya tembus cahaya matahari dalam suatu perairan tergantung pada

sudut jatuh cahaya matahari, intensitas cahaya matahari, daya absorbsi, refraksi dan

kecerahan atmosfir (Odum, 1977 dalam Imelda, 1992).

Pada kegiatan budidaya rumput laut tingkat kecerahan yang tinggi sangat

dibutuhkan, sehingga penetrasan sinar matahari dapat masuk kedalam perairan.

Intensitas sinar matahari yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan

faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat

transparansi sekitar 1,5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut

(Ditjenkanbud, 2005), sedangkan kecerahan perairan di lokasi budidaya rumput laut

di Kampung Nusi Babaruk berkisar antra 2 – 5 meter, sehingga masih sesuai untu

pertumbuhan rumput laut.

Faktor cuaca dapat berpengaruh terhadap kualitas perairan diantaranya suhu,

salinitas, arus, dan kecerahan perairan, sedangkan kecerahan perairan dapat

mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Pada kecerahan yang tinggi tingkat

kelarutan unsur nitrat tidak tercukupi untuk keperluan fotosintesisa sehingga

berakibatkan terjadinya perubahan warna secara nyata. Penyakit ini dapat

ditanggulangi dengan cara menurunkan posisi tanaman lebih dalam dari posisi semula

untuk mengurangi penetrasan sinar matahari. Cara lain juga dapat dilakukan dengan

pemberian pupuk nitrogen. Akan tetapi saran ini masih perlu dikaji lebih lanjut

(Ditjenkanbud, 2005).
66

5.2. Persiapan Wadah Rakit Apung

5.2.1 Pembuatan Rangka Rakit

Rakit yang digunakan berukuran 5 x 5 meter (lihat Gambar 8), terbuat dari

bahan bambu ukuran diameter 8 – 10 cm. Untuk membuat satu buah rakit

memerlukan 4 buah bambu ukuran panjang 6 meter, untuk membentuk persegi empat

(rangka utama), dan 2 buah kayu bulat berukuran diameter 3 cm dan berukuran

panjang 1,5 meter, untuk kaki – kaki pengikat (patok) pada kedua sudut rakit yang

behadapan.

Langkah – langkah pembuatan rakit budidaya rumput laut adalah sebagai

berikut : keempat buah bambu berukuran panjang 6 meter, pada unjung – unjungnya

berukuran ± 10 cm dari unjung bambu dilubangi dengan ukuran berdiameter 3 cm,

keempat bambu diletakan membentuk segi empat dan tepat sejajar dengan lubang

yang telah dibuat. Pada keempat sudut petakan bambu yang telah dilubangi di pasang

patok kayu yang yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah patok dipasang, kemudian

keempat sudut petakan rakit diikat (simpul mati) dengan menggunakan tali poly etilen

(PE) 4 mm.

Penggunaan bambu sebagai bahan pembuatan rangka rakit untuk budidaya

rumput laut, dapat menekan biaya variabel. Hal ini sesuai menurut Sigit (1990) dan

menurut Pasaribu, et al., (1988). Sedangkan untuk ukuran rakit yaitu 5 x 5 m,

dimaksudkan agar rakit pada saat dipasang di perairan dan selama kegiatan

pemeliharaan budidaya rumput laut tidak mudah rusak apabila terhepas gelombang

dan arus. Bila rakit lebih panjang dari ukuran tersebut, maka tali nilon monofilamen
67

kurang teregang dengan baik, hal ini sesuai menurut Aslan (1991) dan Ditjenkanbud

(2005). Pembuatan rakit untuk budidaya rumput laut di Kampung Nusi Babaruk telah

sesuai untuk budidaya rumput laut yang baik

Gambar 8. Rakit budidya rumput laut

5.2.2 Pembuatan Tali Anak

Tali anak yang digunakan terbuat dari bahan plastik pembungkus es jumbo

(PPEJ). PPEJ yang dipanjangkan dengan cara ditarik pada kedua unjung - unjungnya

dengan menggunakan tangan hingga mencapai panjang ± 40 cm. Kedua unjung PPEJ

yang telah dipanjangkan kemudian disatukan atau diikat mati (simpul mati).

Penggunaan PPEJ sebagai tali anak memiliki kelebihan dan kekurangan,

kelebihannya dapat menekan biaya operasional, sedangkan kekurangannya yaitu


68

umur produktifnya singkat. Menurut masyarakat pembudidaya rumput laut setempat,

biasanya umur tali anak yang berasal dari PPEJ dapat bertahan 2 – 3 kali masa tanam.

Selain tidak tahan lama, bahan PPEJ dalam pembuatannya menjadi tali anak sering

menguras waktu dan tenaga. Maksud memanjangkan PPEJ sepanjang 40 cm adalah

untuk menghasilkan tali anak yang panjang sehingga pada saat bibit diikat dan selama

pemeliharaan di rakit, tali anak tidak mudah terlilit pada tali ris akibat arus atau

gelombang yang kuat, dan bila terlilit tidak sampai merusak bibit yang akan

menyebabkan thallus patah sehingga dapat memperkecil hasil panen.

Penggunaan bahan PPEJ sebagai tali anak dapat mempengaruhi laba/rugi dan

kelayakan usaha budidaya rumput laut, bahan PPEJ termasuk dalam komponen biaya

tidak tetap (biaya variabel) usaha rumput laut. Sehingga dengan penggunakan bahan

PPEJ sebagai tali anak dapat menekan biaya variabel, maka dapat meningkatkan laba

usaha. Hal ini sesuai menurut Sigit (1990) dan menurut Pasaribu et al., (1988). Arus

dan gelombang merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut,

arus dan gelombang yang baik dapat menghantarkan bahan – bahan nutrisi di perairan

yang dibutuhkan oleh tanaman rumput laut, selain itu dapat juga membersikan

tanaman rumput laut dari kotoran yang melekat pada thallus, Hal ini sesuai menurut

Meiyana (2001). Kecepatan arus yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan

tanaman tanaman rumput laut, berkisar antara 20 – 40 cm/detik (Indriani dan

Sumiarsih, 2003). Namun arus yang lebih kuat dapat merusak tanaman rumput laut

(Ditjenkanbud,2003). Teknik pembuatan dan pemasangan tali anak pada rakit untuk

budidaya rumput laut di Kampung Nusi Babaruk telah sesuai.


69

5.2.3 Pembuatan Tali Ris

Tali ris terbuat dari bahan Tali PE berdiameter 4 mm, dan panjang 6 meter. Pada

tali ris dipasang tali anak sebanyak 19 buah titk, dan untuk perakit dapat

menggunakan 19 tali ris. Sedangkan jarak antar tal ris pada rakit yaitu 20 cm. Cara

pemasangan tali anak pada tali ris yaitu salah satu unjung tali anak yang telah diikat

mati (menggunakan simpul mati) diselipkan pada lilitan tali ris hingga melewati tali

ris, kemudian tali anak diikat pada tali ris menggunakan simpul hidup. Jarak

pemasangan antar tali ris yaitu 20 cm pada setiap rakit, dimaksudkan agar pada saat

di pemeliharaan tanaman rumput laut di perairan tali ris akan tidak mudah terlilit bila

terhempas gelombang atau arus perairan. Selain itu dengan jarak pemasangan antar

tali ris 20 cm dapat menghindari terlilitnya thallus – thallus pada tanaman rumput laut

diantara tali ris. Hal ini sesuai menurut Aslan (1991). Berdasarkan hasil pengamatan

pembuatan dam pemasangan tali ris pada rakit budidaya tanaman rumput laut di

Kampung Nusi Babaruk telah sesuai untuk budidaya rumput laut yang baik.

5.2.4 Pembuatan Jangkar

Jangkar yang digunakan terbuat dari campuran bahan semen dan pasir laut,

yang dicetak pada ban mobil bekas. Berat perjangkar 30 kg, dan untuk satu rakit

rumput laut digunakan dua buah jangkar. Sedangkan tali untuk jangkar menggunakan

tali PE 10 mm, dan ukuran panjang tali jangkar yaitu tiga kali kedalaman perairan

pada saat pasang tertinggi di lokasi budidaya rumput laut.

Penggunaan jangkar berukuran berat 30 kg dan pemasangan jumlah jangkar

yang dipasang pada yaitu dua buah jangkar perakit, disebabkan karena arus dan
70

gelombang perairan di sekitar Pulau Nusi tidak kuat, sedangkan arus yang kuat dapat

merusak konstruksi rakit budidaya dan menghanyutkan rakit sehingga rakit dapat

berpindah dari posisi semula. Hal ini sesuai menurut (Sunaryat, et al.(2001) dan

Ditjenkanbud (2005). Panjang tali jangkar tiga kali kedalaman perairan budidaya

rumput laut saat pasang tertinggi, dimaksudkan agar pada saat gelombang atau arus

yang kuat tidak merusak kontruksi rakit budidaya rumut laut, karena dengan tali

jangkar yang panjang apabila terkena ombak, gelombang, atau arus yang kuat tidak

menegang (Sunaryat, et al., 2001). Berdasarkan pengamatan pembuatan dan

pemasangan jangkar pada rakit budidaya rumput laut di Kampung Nusi Babaruk telah

memenuhi syarat teknis budidaya rumput laut

5.3 Persiapan dan Penanaman Bibit

5.3.1. Persiapan Bibit

Bibit yang digunakan berasal dari alam di sekitar lokasi Kampung Nusi

Babaruk, namun sebelum dilaksanakan kegiatan pembesaran rumput laut, terlebih

dahulu dilakukan perbanyakan bibit dari alam melalui budidaya rumput laut sistem

rakit apung yang dipelihara selama 25 hari. Bibit yang ditanam sebanyak 4 rakit

menggunakan bibit seberat 36 kg/rakit dan 144 kg/4 rakit untuk menghasilkan 720 kg

rumput laut dengan asumsi bahwa untuk selama 25 hari pemeliharaan dapat dipanen

hasil lima kali berat awal bibit yang ditanam. Bibit rumput laut yang digunakan

memiliki ciri – ciri antara lain berumur mudah (Thallus baru), bercabang banyak dan

rimbun, bersih tidak terdapat bercak (terkelupas), dan hanya satu jenis yang ditaman
71

yaitu spesifik berwarna hijau (rumput laut Eucheuma cottonii berwarna hijau). Bibit

rumput laut yang ditanaman menggunakan berat awal 100 gram.

Karena ketersediaan bibit di alam sekitar perairan Kampung Nusi Babaruk

dalam jumlah yang sedikit, sehingga dilakukan perbanyakan bibit melalui budidaya

rumput laut metode rakit selama 25 hari menggunakan bibit yang berasal dari alam

tersebut, hal ini sesuai menurut Sunaryat, et al. (2001). Dengan mengunakan bibit

dari alam sekitar lokasi, maka secara langsung dapat menekan biaya tetap (variabel

cost) usaha budidaya rumput laut karena dengan mendatangkan bibit dari luar,

misalnya dari Jawa, Bali, NTB, Sulawesi dan Maluku, maka perlu pengeluaran untuk

biaya transportasi bibit (Sigit, 1990 dan Pasaribu, et al., 1988). Selain dapat

meningkatkan biaya tetap, juga dapat menghindari menurunnya kualias bibit rumput

laut akibat perlakuan peking dan transportas bibit (Mubarak, et al., 1990). Bibit

tanaman rumput laut yang dibudidayakan menggunakan bibit monospesies yaitu E.

cottonii, yang memiliki ciri – ciri antara lain mudah, bercabang banyak dan rimbun,

bersih tidak terdapat bercak (terkelupas), dan hanya satu jenis yang ditaman yaitu

yang spesifik berwarna hijau (rumput laut Eucheuma cottonii berwarna hijau),

sehingga akan lebih mudah menyerap makanan dan melakukan proses fotosintesis,

hal ini sesuai menurut Kahar (1992) selain itu sesuai juga menurut Indriani dan

Sumiarsih (2003), bahwa bobot awal tanaman berhubungan dengan populasi rumput

laut dalam persatuan luas lahan, populasi rumput laut akan menentukan bobot kering

atau produksi dari rumput laut. Bobot awal yang rendah akan mengurangi jumlah

populasi dalam persatuan luas lahan sehingga pemanfaatan lahan jadi berkurang dan

secara ekonomis juga memberikan hasil yang tidak baik. Pertumbuhan rumput laut
72

secara vegetatif dengan unjung – unjung dari thallus akan membentuk percabangan

yang baru. berat bibit rumput laut yang digunakan yaitu 100 g, hal ini bertujuan untuk

mempercepat waktu panen, semakin berat bibit awal, maka unjung – unjung thallus

tanaman akan semakin banyak sehingga pertumbuhan rumput laut dapat lebih

meningkat, hal ini sesuai menurut Indriani dan Sumiarsih (2003), sesuai juga menurut

Afrianto dan Liviawati, (1993) dalam Meiyana, et al., (2001), dan sesuai juga

menurut Runtuboy, et al., (2001). Penggunaan bibit dengan memperhatikan bobot

awal, karasteristik bibit, kebersihan bibit, dan lain – lain pada budidaya rumput laut di

Kampung Nusi Babaruk telah memenuhi syarat.

5.3.2. Penanaman Bibit

Setelah bibit rumput laut disiapkan kemudian bibit ditanaman atau diikat pada

rakit yang telah disiapkan. Bibit berjumlah 19 rumpun/tali ris dengan jara tanam antar

tali anak yaitu 20 cm, bibit rumput laut diikat pada tali anak yang telah dipasang pada

tali ris (lihat Halaman 66 dan Gambar 8) secara perlahan – lahan sehingga bibit tidak

mudah patah akibat perlakuan yang kasar. Bibit tidak diikat mati tetapi menggunakan

simpul hidup tetapi ikatannya kuat, sehingga pada saat tumbuhan mengalami

pertumbuhan yang semakin besar, maka tidak akan mengalami patahan pada cabang

(thallus) karena ikatan tali yang semakin erat akan mengikat tanaman yang semakin

bertumbuh membesar dan akan menyebabkan thallus mengalami luka dan kemudian

patah bila terhempas arus atau gelombang. Setelah mengikat bibit dengan tali anak

pada tali ris, kemudian tali ris diikat pada rakit yang telah dipersiapkan dengan jalur

dan arah yang sama untuk seluruh tali ris yang berjumlah 19 buah tali ris, sedangkan
73

jarak antar tali ris yang satu dengan yang lain ± 30 cm, yang bertujuan untuk

menghindari terlilitnya tali ris yang satu dengan yang lain pada sebuah rakit, apabila

terkena hempasan ombak atau arus yang kuat. Hal ini sesuai menurut Aslan (1991)

dan Kahar (1992).

Bibit ditanaman pada saat cuaca teduh atau saat penetrasi cahaya matahari tidak

memancar dengan kuat. Bibit yang akan ditanam adalah thallus yang masih muda.

Saat yang baik untuk penanaman bibit adalah pada saat cuaca mendung dan yang

paling baik adalah pada pagi hari atau sore hari menjelang malam (Aslan, 1991).

Berdasarkan pengamatan penanaman bibit rumput laut di Kampung Nusi Babaruk

telah memenuhi syarat teknis.

5.4 Pemeliharaan

Selama pemeliharaan kegiatan yang dilakukan yaitu pengamatan kualitas air

perairan, pengamatan dan pengontrolan hama dan penyakit, pengamatan

pertumbuhan, dan pengontrolan terhadap konstruksi rakit. Hal ini bertujuan agar

tanaman rumuput laut yang ditanam dapat dipelihara dengan baik, terkontrol, dan

teratur. Sehingga dapat menghindari tanaman dari serangan hama atau penyakit, dan

kualitas perairan di sekitar lokasi budidaya yang tidak memenuhi syarat pertumbuhan

rumput laut yang baik, dan mempercepat pertumbuhan tanaman rumput laut yang

dibudidayakan (Aslan, 1991).

5.4.1. Pengontrolan Hama dan Penyakit

Selain faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya rumput

laut seperti pemilihan lokasi, seleksi bibit, metode budidaya, dan musim tanam, juga
74

perlu diperhatikan faktor hama dan penyakit yang menyerang tanaman rumput laut

yang dibudidayakan. Hama dan penyakit yang ditemukan di lokasi tidak banyak,

diataranya dari jenis :

5.4.1.1 Hama

Dari hasil pengamatan di lokasi, hama yang ditemukan tidak banyak hanya

beberapa jenis saja, yaitu :

a. Ikan baronang (Sigannus spp.)

Dilokasi praktek sering ditemukan tanaman rumput laut yang terserang hama

ikan beronang dari jenis Siganus doliatus (lihat Lampiran 6c) dan jenis Siganus

vermiculatus (lihat Lampiran 6f), namun hanya dalam jumlah kecil dan tidak

menyerang terus – menerus. Dari hasil wawancara dengan petani budidaya rumput

laut, hama ini sering menyerang tanaman rumput laut yang ditanamn pada perairan

yang dangkal atau menyerang tanaman rumput laut yang ditanaman dengan

menggunakan metode rawai dasar. Sedangkan untuk metode rakit apung, tanaman

rumput laut hanya diserang oleh ikan yang berukuran besar dan terjadi hanya sekali –

kali saja. Tanaman rumput laut yang terserang hama ikan baronang ini akan terlihat

tampak luka – luka bekas gigitan ikan (lihat Lampiran 6d), akibatnya tanaman yang

terlukan akan mudah patah dan jatuh kedalam dasar perairan jika terhempas arus dan

gelombang yang kuat, sealin itu luka bekas gigitan ikan akan mudah terjadi infeksi

sekunder oleh bakteri yang akan menyebabkan bagian tersebut menjadi putih dan

rapuh, dan jaringan menjadi lunak atau terserang penyakit ice – ice. Untuk budidaya

rumput laut yang menggunakan metode rakit apung serangan hama ikan baronang

dapat dicegah dengan memasang pagar menggunakan jaring mengelilimgi rakit di


75

bagian sisi samping dan pada bagian bawah rakit. Hal ini sesuai menurut

(Ditjenkanbud, 2003).

a. Ikan Dascyllus aruanus

Tanda – tanda tanaman rumput laut jika terserang hama ikan ini hampir sama

dengan tanda– tanda tanaman rumput laut yang diserang oleh hama ikan baronang

(lihar Lampiran 14a, gambar ikan Dascyllus aruanus), namun penyerangannya tidak

serlalu parah dibandingkan dengan serangan hama ikan baronang, karena pada

tanaman rumput laut ini diserang oleh jenis ikan yang berukuran kecil ± 2 cm, hal ini

sesuai menurut Sulistyo (1988).

c. Tanaman rumput laut yang tumbuh di sekitar lokasi

Jenis hama tanaman yang ditemukan berada atau hidup dominan yaitu jenis

Sargasum.sp (lihat Lampiran 6b), yang bersaing dengan tanaman rumput laut yang

dibudidayakan untuk mendapatkan penetrasan sinar matahari, kandungan nutrisi

perairan sebagai sumber energi, dan persaingan dalam pemakaian kandungan oksigen

terlarut di perairan (Ditjenkanbud, (2005).

5.4.1.2. Penyakit

Penyakit yang ditemukan pada areal budidaya, yaitu penyakit ice – ice.

Penyakit ini terjadi jika tanaman terkena air tawar (air hujan) atau salinitas perairan

yang rendah (gambar tanaman yang terserang penyakit ice-ice dapat dilihat pada

Lampiran 6c). Gejala dari tanaman yang terserang penyakit ini yaitu tanaman akan

berwarna putih dan tekstur thallus – nya akan terasa lunak jika diraba. Selain terkena

perairan yang besalinitas rendah, juga diakibatkan karena terkena penetrasan sinar

matahari yang kuat. Namun, Berdasarkan pengamatan di setiap stasiun dari awal
76

penanaman hingga pemeliharaan sebulan terlihat tanaman yang terkena penyakit ice –

ice terjadi di stasiun VI pada penamatan minggu pertama, dikarenakan tanaman

terkena penetrasan matahari yang berlebihan, karena posisi rakit yang dekat dengan

permukaan perairan dan terjadi arus dan gelombang perairan yang kuat yang

mnghepaskan rakit hingga posisinya berdeketan dengan permukaan perairan

(Meiyana et al,.2001). sealin itu diakibatkan oleh kecerahan perairan yang tinggi.

Pada kondisi ini tingkat kelarutan unsur nitrat tidak tercukupi untuk keperluan

fotosintesisa sehingga berakibatkan terjadinya perubahan warna secara nyata

(Ditjenkanbud, 2005). Pencegahan penyakit ini yaitu dengan menenggelamkan

tanaman kedalam perairan ± 10 cm dari permukaan perairan, kemudian cabang

tanaman yang terserang penyakit dipotong dan tanaman yang tidak terserang

dibiarkan untuk tumbuh, hal ini sesuai menurut, Penyakit ini dapat ditanggulangi

dengan cara menurunkan posisi tanaman lebih dalam dari posisi semula untuk

mengurangi penetrasan sinar matahari, cara lain juga dapat dilakukan dengan

pemberian pupuk nitrogen. Akan tetapi saran ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Selain itu apat pula menggantikan metode budidaya dari metode rakit menjadi metode

long line (Ditjenkanbud (2005).

5.4.2. Pengontrolan Konstruksi Rakit

Pengontrolan kontruksi rakit budidaya dilakukan setiap minggu sekali terutama

bisa terjadi angin dan gelombang air perairan yang kuat. Dari hasil pengamatan

bagian –bagian konstruksi rakit budidaya rumput laut yang sering mengalami

kerusakan yaitu pada bagian – bagian rakit yang diikat dengan tali, antara lain bagian
77

sudut – sudut rakit, dan pada bagian tulang tengah rakit. Selain pada ikatan rakit

sering juga terjadi patahan dan terbelahnya bambu, akibat luka bekas potongan, hal

ini sesuai menurut Aslan (1991).

5.4.3. Pengontrolan Pertumbuhan

Kisaran pertumbuhan diperoleh dari hasil pengukuran persentase pertumbuhan

harian berat tanaman rumput laut yang dibudidayakan di perairan sekitar Pulau Nusi

selama 6 kali (6 minggu) pengamatan atau selama 45 hari pemelihaan (untuk lebih

jelas mengenai data pengukuran peresentase pertumbuhan harian setiap pengamatan

pada kesepuluh stasiun dapat dilihat pada Lampiran 5). Gambar 9 berikut

menggambarkan tentang hasil pengamatan presentase pertumbuhan harian rata-rata

setiap titik sampel rumput laut pada kesepuluh stasiun selama 6 kali (6 minggu).

12,61
12,88
13,12
11,07
12,8
13,51 11,11
11,07
12,78 11,38
13,07 11,19 8,36
12,89 9,148,4
11,13 7
14 11,19 9,14
12,31 9,15 7,01 6,03
11,13 7,28
Persentase Pertumbuhan

9,18 6,04
12 11,89 11,02 9,46 7,28 6,2 4,91
11,21 7,29 4,9
9,19 6,08
7,3 5,01
10 6,08 5,02
7,29 6,42
8,27 5,02
Harian (%)

7,29
8,31 6,08 5,15
8 6,87 6,05 5,02
6,9 5,90 5,02
6 6,05
4,82
4,81
4

0
1 2 3 4 5 6

Minggu Ke -

Sta I Sta II Sta III Sta IV Sta V Sta VI Sta VII Sta VIII Sta IX Sta X

Gambar 9. Grafik presentasi pertumbuhan harian


78

Berdasarkan Gambar 9. Kisaran persentase pertumbuhan harian dari hasil

pengamatan antara 4,81 % hingga 13,51 %, dari asil pengamatan ini pertumbuhan

tercepat terjadi pada awal pemeliharaan, sedangkan nilai tertingi terjadi di stasiun VI

pada pengamatan minggu pertama, hal ini di karenakan posisi rakitnya berdekatan

dengan permukaan perairan sehingga lebih banyak menerima penetrasan sinar

matahari untuk melakukan fotosintesis. Sedangkan nilai persentase pertumbuhan

terendah terjadi di stasiun 6 pada pengamatan minggu pertama, hal ini dikarenakan

tanaman terserang penyakit ice – ice. Untuk nilai persentase pertumbuhan harian di

setiap stasiun pengamatan pada akhir pemeliharaan (minggu keenam), berkisar antara

4,81 % - 5,02 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Kahar (1992) dan juga sesuai

menurut Mubarak, et al., (1990). Hal ini karena dengan menggunakan metode rakit

apung, maka sinar matahari yang diperoleh tanaman cukup untuk proses fotosintesis

serta pergerakan air yang memadai cocok untuk kegiatan budidaya yang memacu

pertumbuhan tanaman rumput laut (Mubarak, et al., 1990).

Selain itu juga apabila hama yang menyerang usaha budidaya rumput laut

dalam skala besar maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan rumput laut tidak terasa,

sedangkan apabila menyerang pada usaha skala kecil maka pengaruhnya terhadap

pertumbuhan akan sangat terasa. Selain itu semakin sempitnya ruang gerak yang

mengakibatkan kecilnya pergerakkan arus disela – sela tanaman. Dengan pengelolaan

yang lebih intensif khususnya penanggulangan terhadap hama dan penyakit yang

menyerang tanaman, maka pertumbuhan rumput laut masih dapat ditingkatkan

(Aditya dan Ruslan, 2004).


79

5.5 Panen dan Pascapanen

Panen dilakukan apabila rumput laut yang dibudidayakan telah berumur 45

hari. Panen dilakukan secara serempak. Sedangkan hasil panen (berat akhir

pemeliharaan) dari kesepuluh stasiun pengamatan yaitu mencapai 327990,16 gr/10

rakit atau 328 kg/10 rakit basah, sedangkan setelah dipisahkan untuk bibit sebanyak

36 kg/10 rakit, maka didapat hasil panen basah bersih yaitu 292 kg/10 rakit. Setelah

rumput laut dipanen dan rumput laut untuk bibit dipisahkan, kemudian rumput laut

dijemur menggunakan metode kering asal, yaitu setelah rumput laut dipanen tanpa

direndam kedalam siang hari, sedangkan pengeringan asal yaitu pengeringan

(pengurangan kandungan air pada rumput laut hasil panen) yang dilakukan tanpa

petendaman kedalam air tawar sebelumnyam. Namun, langsung rumput laut hasil

panen dikeringkan menggunakan pencahayaan matahari (dikeringkan) hingga

mencapai kadar garam 30 %, pengeringan rumput laut dengan metode kering asal

berdasarkan pengamatan rumput laut hasil panen dapat mencapai kandungan air 30 %

yaitu pada hari keempat, hal ini dikarenakan cuaca yang mendung dan hanya terjadi

cuaca cerah hanya yang tidak lama sekitar 3 – 4 jam pada siang . Sedamhkan hasil

rumput laut kering yang dicapai yaitu 87,6 kg/rakit. Setelah rumput laut dijemur

kering, kemudian dikemas pada karung plastik.

Panen dilakukan setelah rumput laut yang dibudidayakan telah berumur 45 hari.

Hal ini dikarena pada umut 45 hari rumput laut jenis Eucheuma cottonii telah

mengandung keragenan yang maksimal Panen dilakukan secara serempak, hal ini

sesuai menurut Runtuboy, et al. (2001). Setelah dipanen rumput laut perlu

dibersihkan dari kotoran, hal ini sesuai menurut Runtuboy, et al. (2001). Dan setelah
80

5.6 Pemasaran

Untuk pemasaran hasil budidaya rumput laut di kampung Babaruk pulau Nusi

belum di lakukan, karena hasil panen rumput laut kering belum dapat mencapai

permintaan pembeli (investor) yaitu 10 ton/masa tanam (1,5 bulan). Hal ini

dikarenakan budidaya rumput laut di kampung Babaruk masih dalam periode

pengembangan bibit. Sedangkan pihak investor yang melakukan kerjasama dengan

bantuan pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Biak Numfor berasal dari Sulawesi Selatan (Makasar).

5.7 Analisa Usaha

Usaha budidaya rumput laut di kampung Nusi Babaruk menggunakan rakit

berukuran 5 x 5 meter sebanyak 10 rakit. Tiap rakit terdiri dari 19 tali ris dengan tiap

– tiap tali ris terdiri dari 19 titk bibit rumput laut. Bibit yang digunakan untuk setiap

bibit digunakan seberat 100 gr, dan setelah umur 45 hari (panen) telah mencapai berat

500 gr. Sehingga jumlah hasil panen rumput laur basah perakit adalah 19 titik tanam x

19 tali ris x 500 gr = 180,5 kg. Hasil panen rumput laut dari 10 rakit adalah 180,5 kg

x 10 rakit = 1805 kg. Hasil panen untuk 1 tahun (6 siklus) adalah 1805 kg x 6 siklus =

10.805 kg rumput laut basah. Harga rumput laut basah per kilogram adalah Rp.

2000,-, maka keuntungan kotor rumput laut basah untuk 10 rakit adalah Rp. 2000,- x

10.805 kg = Rp. 21.600.000/tahun atau untuk persiklusnya adalah Rp. 3.610.000,-.

5.7.1
81

Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan modal yang harus disediakan sebelumnya untuk

pembiayaan kegiatan produksi baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat bukan

fisik. dimana biaya investasi tersebut meliputi penggunaan dana untuk pengadaan

sarana produksi dan dana - dana produksi selama usaha yang bersangkutan

dijalankan. (Kadariah, 1978 dalam Hermawan, et al., 2004). Besar biaya investasi

dapat menentukan besarnya skala usaha yang akan atau telah dijalankan. Dari Tabel

8, dapat diketahui bahwa besar biaya investasi usaha rumput laut di Kampung Nusi

Babaruk pertahun yaitu sebesar Rp. 6.114.500,-/tahun dan biaya penyusutan sebesar

Rp. 1.834.500,-/3 umur produktif alat atau dalam setahunnya (4 x umur poduktif)

yaitu Rp. 7.338.000,-.

Tabel 8. Biaya Investasi

Biaya
Harga Umur (bulan)
No Rincian Total (Rp) penyusutan
satuan (Rp) /Penyusutan (%)
(Rp)

1 Bambu 80 buah 15.000,- 1.200.000,- 3 400.000,-

Tali rentang (tali ris) PE 4 mm


2 37.500,- 450.000,- 1 450.000,-
(12 kg)
1
3 Tali jangkar PE 10 mm (5 kg) 37.500,- 187.500,- 187.500,-
Sampan P = 3 meter, lbr = 0,25
4 1.000.000,- 750.000,- 3 250.000,-
meter (1 buah)
Plastik terpal 6 x 8 meter
5 250.000,- 250.000,- 1 250.000,-
(1 lembar)
Para – para (8 x 5 x 1) (40
6 5000,- 200.000,- 1 200.000,-
meter)
Total 3.037.500,- 1.737.500,-

Besar biaya investasi dapat menentukan besarnya skala usaha yang akan atau

telah dijalankan. Dari tabel 8, dapat dapat diketahui bahwa biaya investasi usaha
82

rumput laut di Kampung Nusi Babaruk pertahun yaitu Rp. 3. 037,500,- dan biaya

penyusutan pertahu yaitu Rp. 1.737.500,- atau biaya penyusutan persiklusnya yaitu

Rp. 289.583,-.

5.7.2 Biaya Operasional

Biaya operasional biasanya dikeluarkan pada saat kegiatan operasional untuk

menjalankan produksi. Biaya operasional berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi

biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang tidak habis

penggunaannya dalam satu produksi dan besar kecilnya tidak dipengaruhi oleh

jumlah produksi. Biaya tidak tetap adalah biaya yang penggunaannya habis terpakai

dalam satu kali produksi, besar kecilnya tergantung pada besar kecilnya produksi

yang dihasilkan. Adapun biaya tetap, biaya tidak tetap, dan biaya total produksi dapat

dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Biaya tetap dan biaya tidak tetap/siklus


Harga Jumlah
No Rincian Jumlah Satuan
(Rp) (Rp)

1 Biaya tetap

a Tenaga kerja tetap) 2 orang 500.000,- 1.000.000,-

b. Penyustan persiklus 289.583,-


Total 1.289.583,-

2 Biaya tidak tetap

a. Tenaga tidak tetap 361 orang 50.000,- 722.000,-

b Plastik pembungkus es jumbo (PPEJ) 15 pack 3000,- 45.000,-

c Karung plastik (kapasitas 100 kg) 3 kantong 4000,- 12.000,-

Total 779.000,-
83

Berdasarkan tabel 9, tentang biaya operasional persiklus, yaitu biaya tetap

sebesar Rp. 1.289.583,- sedangkan untuk perunitnya (kg) yaitu (biaya tetap

persiklus/hasil panen basah) atau Rp. 1.289.583,-/1805 kg = Rp. 714,45,-. Dan biaya

tidak tetap (biaya variabel) sebesar Rp. 779.000,- sedangkan untuk perunitnya yaitu

Rp. 779.000,-/1805 kg = 72,12. Besar biaya total produksi (biaya tetap dan biaya

tidak tetap (biaya variabel) yang digunakan selama produksi satu siklus, yaitu Rp.

2.068.583,- sedangkan untuk pertahunnya (6 siklus) yaitu Rp. 2.068.583,-/ 6 siklus =

Rp. 344.763,-.

5.7.3 Analisa Laba - Rugi/siklus

Adapun laba yang diperoleh dalam satu siklus budidaya rumput laut hingga

panen yaitu sebesar :

Laba Per tahun = Total Pendapatan – Total Biaya

= (Rp. 3.610.000,-) – (Rp. 2.068.583,-)

= Rp. 1.541.417,-

Jadi prediksi laba bersih yang diperoleh persiklus untuk penanaman bibit 361

kg/10 rakit rumput laut dengan asumsi seluruh hasil panen rumput laut kering terjual

sejumlah 1805 kg adalah mengalami keuntungan sebesar Rp. 1.541.417,-/siklus.

Pertahun memungkinkan berproduksi 6 siklus, maka pertahun adalah 6 siklus x Rp.

1.541.417,- yaitu Rp. 9.248.502,-/tahun.

5.7.4 Analisa B/C Rasio Persiklus

Hasil penjualan
B/C rasio =
Biaya produksi
84

Rp. 3.610.000,
B/C rasio = Rp. 2.068.583,

B/C rasio = Rp. 1,74,-

Karena nilai B/C rasio kurang dari 1 (satu), maka usaha untung dan

layak untung dilanjutkan, sebab dengan penggunaan biaya produksi sebesar Rp. 1,-

akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,74,-.

5.7.5 Analisa Break Even Point (BEP) Persiklus

BEPvolumeproduksi=

Biaya tetap
H arg a jual perunit ( kg )  Biaya var iabel perunit
Rp. 1.289.583,-
BEPvolume produksi =
( Rp. 2.000,)  ( Rp. 72,12,)

BEPvolume produksi = 1073,47 kg.

Artinya, titik impas modal pada usaha budidaya rumput laut dengan metode

rakit apung akan tercapai bila volume produksi buadidya rumput laut kering sebanyak

1073,47 kg.

2. BEPharga produksi

BEPhargaproduksi =

Biaya tetap
1  ( Biaya var iabel  h arg a penjualan perunit (kg )

Rp. 2.068.583,-
BEPharga produksi = 1  ( Rp. 72,12, / Rp Rp. 2000,
85

BEPharga produksi = Rp. 2.132,-.


Artinya, titik balik modal pada usaha budidaya rumput laut di Kampung Nusi

Babaruk akan tercapai bila harga jual rumput laut basah perkilogramnya yaitu seharga

Rp. 2.132,-.

5.7.6. Payback Period (PBP) Petahun

Nilai Investasi
PBP = x 1 Tahun
Keuntungan  Penyusu tan

Rp. 3.037.500,
PBP = x 1 Tahun
( Rp. Rp. 9.248.502,-/)  ( Rp. 1.737.500,)
PBP = 0,27 tahun.

Artinya, usaha budidaya rumput laut di Kampung Nusi Babaruk mampu

mengembalikan biaya investasi dalam jangka waktu 0,27 tahun (0,27 tahun x 12

bulan = 3,24 bulan) atau 3 bulan 24 hari.

Anda mungkin juga menyukai