Anda di halaman 1dari 33

PROPOSAL PENELITIAN

I. JUDUL PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
ARTHRITIS GOUT PADA PASIEN LANSIA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BARA-BARAYA KOTA MAKASSAR

II. RUANG LINGKUP

KEPERAWATAN GERONTIK

III. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arthritis Gout merupakan penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di

seluruh dunia. Arthritis Gout atau dikenal juga sebagai arthritis pirai, merupakan

kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi Kristal monosodium urat

pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraseluler.

Gangguan metabolism yang mendasarkan Arthritis Gout adalah hiperurisemia

yang didenifisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl untuk pria

dan 6,0 ml/dl untuk wanita ( Tehupeiory, 2006).

Pendapat lain mengemukakan, Arthritis Gout merupakan penyakit metabolic

yang sering menyerang pria dewasa dan wanita posmenopause. Hal ini

diakibatkan oleh menimgkatnya kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia)

dan mempunyai ciri khas berupa episode Arthritis Gout akut dan kronis

(Schumacher, 2008).

WHO 2014 (World Health Organization) mengatakan, lansia meliputi, usia

pertengahan ialah 45 sampai 59 tahun, lansia antara 60 dan 74, lansia tua antara

75 dan 90, dan usia sangat tua diatas 90 tahun. Menurut UU No. 13 tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia pada BAB 1 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “lanjut

usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas” (WHO 2014 dalam

sunaryo, 2016). Sedangkan Departemen kesehatan 2015 dijelaskan bahwa

kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun), masa senium (usia kurang dari 65

tahun), dan masa presenium (usia 55-64 tahun). Pada saat ini ilmuawan social

yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan merujuk kepada kelompok

lanjut usia muda, lanjut usia tua dan lanjut usia tertua (Depkes 2015 dalam buku,

2016).

World Population Data Sheet yang dilansir (PRB) Population Reference

Bureau memperkirakan bahwa penduduk lansia di dunia pada tahun 2015

mencapai 8% dari 7 milyar penduduk dunia atau berjumlah sekitar 564 juta jiwa

(WPDS,2015). Saat ini, di seluruh dunia, jumlah lanjut usia diperkirakaan lebih

dari 629 juta jiwa (satu dari 10 lansia berusia lebih 60 tahun), dan pada tahun

2025, lanjut usia akan mencapai 1,2 milyar. Di Negara maju seperti korea

selataan (Asia), populasi lanjut usia telah diantisipasi sejak awal abad ke-20.

Tidak heran bisa masyarakat di negara maju sudah lebih siap, menghadapi

pertambahan populasi lansia dengan aneka tantangannya. Fenomena ini jelas

mendatangkan sejumlah konsekuensi, antara lain kebutuhan pelayanan kesehatan

dan keperawatan (Wahyudi, 2016).

Arthritis Gout biasanya menyerang di bagian sendi dan berlangsung selama

beberapa hari. Kemudian menghilang secara bertahap, dimana sendi kembali

berfungsi dan tidak muncul gejala hingga terjadi serangan berikutnya.


Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), menunjukkan bahwa

angka kejadian Arthritis Gout di Indonesia pada tahun 2018 lalu mencapai

7,30% atau 713.783 k ejadian, dan terhitung kejadian Arthritis Gout di Sulawesi

selatan sebanyak 6,39% atau 23.069 kejadian, dan umumnya Arthritis Gout di

derita oleh lansia (RISKESDAS, 2018). Pravelensi Arthritis Gout 23.3%-31,6%

dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2007 lalu, jumlah pasien ini

mencapai 2 juta orang, dengan perbandingan pasien wanita tiga kali lebih

banyak dari pria. Diperkirakan angka ini terus meningkat hingga 2025 dengan

indikasi lebih dari 25% akan mengalami kelumpuhan (Zen, 2016).

Data di Indonesia sendiri masih belum lengkap, Handono Kalim

menyebutkan pravelensi Arthritis Gout pada tahun 2009 sekitar 46%-54%.

Adapun data yang diperoleh dari dinas kesehatan provensi sulawesi selatan pada

2014 jumlah kejadian Arthritis Gout utamanya berada pada kelompok lansia usia

sebanyak 650 jiwa dari 1.248.436 jiwa usia lanjut di kota Makassar (Handono,

2014).

Penelitian menunjukkan mayoritas responden terdapat hubungan yang cukup

signifikan antara pola makan dengan penyakit atau Arthritis Gout, Jadi semakin

sering mengkonsumsi dengan kadar purin yang tinggi akan semakin tinggi resiko

mengalami Arthritis Gout (Untari, 2017). Sedangkan dari hasil penelitian

Notoatmojo, 2010 menunjukkan bahwa hubungan pola makan dengan kejadian

gou arthritis pada lansia di puskesmas Tinoor Kecamataan Tomohon Utara Kota

Tomohon menunjukkan rersentasi tertinggi adalah pola makan kurang 40 orang

(81,6). Dari hasil analis hubungan kedua variabel yakni variabel pola makan
dengan nilai signifikan, maka dikatakan ada hubungan antara pola makan

dengan kejadian gout arthritis pada lansia

Berbeda dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Yunita et al. (2018)

yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pola makan

dengan kadar asam urat. Pola makan merupakan suatu cara atau usaha dalam

pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan tujuan mempertahankan

kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit.

Faktor yang mempengaruhi pola makan yaitu jumlah makanan, frekuensi makan,

dan jenis makanan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kaya purin yang

mengonsumsi makanan kaya purin memiliki kadar asam urat yang tinggi, tetapi

kebiasaan tersebut tidak diukur beberapa jumlah/gram dalam sehari dan

frekuensi konsumsi dalam satu minggu sudah dispesifikasikan menjadi ≤ 3kali

atau ≥ 3 kali dalam satu minggu (Ridho putrie, 2019).

Secara merata di Puskesmas B ara-baraya Kota Makassar, jumlah pasien

lansia yang terdata sebagai pasien pengidam penyakit arthrits gout pada tahun

2018 berjumlah 201 pasien (Rekam Medik Puskesmas Bara-Baraya , 2018).

Letaknya yang strategis, menjadikan puskesmas bara-baraya mudah dijangkau

dan menjadi pilihan utama masyarakat dalam menuntaskan berbagai masalah

kesehatan utama pada penderita arthritis gout. Data di tahun 2017 sebanyak

792 namun pada tahun 2018 memang mengalami penurunan angka kejadian

tetapi di tahun 2019 kembali meningkat.

Latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang

hubungan usia dan pola makan dengan kejadian Arthritis Gout pada lansia di

Puskesmas Bara baraya Makassar.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan masalah peneliti yaitu

“Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Arthritis Gout pada lansia di

wilayah kerja Puskesmas Bara baraya Kota Makassar” ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Umum

Untuk mengatahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Arthritis

Gout pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Bara baraya Kota Makassar.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengatahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian Arthritis Gout.

b. Untuk mengatahui hubungan usia dengan kejadian Arthritis Gout.

c. Untuk mengatahui hubungan pola makan dengan kejadian Arthritis Gout.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah dan pengembangan

ilmu pengatahuan khususnya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian Arthritis Gout pada lansia.

2. Manfaat Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang bermakna bagi instansi

terkait sebagai salah satu sumber informasi, bahan bacaan dan pengembangan

ilmu pengatahuan, khususnya di bidang Keperawatan gerontik.


3. Maanfaat Praktis

Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran

terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan Hubungan jenis makanan

dengan kejadian Arthritis Gout pada lansia.

4. Manfaat Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat,

terutama kelompok yang berisiko agar dapat melakukan pencegahan sedini

mungkin untuk menghindari penyakit Arthritis Gout.

IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Lanjut Usia

Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda

atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal, umur manusia

dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung

(Wahyudi, 2008). Usia adalah umur respenden yang didata berdasarkan usia yang

tercantum pada KTP yang bersangkutan (Suarjana, 2012).

1. Defenisi Lanjut Usia

Lanjut usia adalah Kelompok manusia yang berusi 60 tahun ke atas. Pada

lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri dan mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara

perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahap terhadap infeksi dan memperbaiki

kerusakan yang terjadiLanjut usia adalah proses menua termasuk biologis,

psikologis, dan social dengan batasan umur sebagai berikut;

a. Dewasa menjelang lansia (45-54)


b. Lanjut usia (55-64 tahun)

c. Lansia dengan resiko tinggi (diatas 65 tahun) (Wahyudi, 2008).

Seseorang dikatakan lansia ialah apabila berusia 60 tahun atau lebih, karena

faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasrnya baik secara

jasmani, rohani maupun social. Proses lansia atau penuaan adalah suatu proses

alamiah yang pasti akan dialami oleh setiap orang. Sejalan dengan peningkatan

usia harapan hidup, semakin komplek pula masalah kesehatan yang dihadapi.

Secara lamiah, sel-sel tubuh mengalami penurunan dalam fungsinya akibat

proses penuaan (Suiraoka, 2012).

2. Batasan-batasan Pada Lanjut Usia

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda, umumnya

berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia

adalah sebagai berikut :

a. Menurut WHO (World Health Organization), lansia meliputi :

1) Usia pertengahan ialah 45 sampai 59 tahun,

2) Lansia antara 60 dan 74,

3) Lansia tua antara 75 dan 90,

4) Dan usia sangat tua diatas 90 tahun (Sunaryo, 2016).

b. Menurut Dep. Kes.RI

Departemen Kesehatan Republik Indinesia membaginya lanjut usia menjadi

sebagai berikut :

1) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun), keadaan ini mengatakan sebagai

masa virilitas.
2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium.

3) Kelompok usia lanjut (>65 tahun) yang dikatakan sebagai masa senium.

c. Menurut UUD No. 13 tahun 1998

1) Kelompok lansi dini (55-64 tahun), yakni kelompok yakni kelompok yang baru

memasuki lansia.

2) Kelompok lansia 60 tahun keaatas.

3) Kelompok lansia resiko tinggi, yakni lansia yang berusia lebih dari 70 tahun

(Aspiani, 2016)

3. Tugas Perkembangan Lansia

Kesiapan lansia untuk beradaptasi terhadap tugas perkembangan lansia

dipengaruhi oleh proses tumbang pada tahap selanjutnya (Padila, 2013) :

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.

b. Menyesuaikan diri dengan masa pension dan berkurangnya income (penghasilan)

keluarga.

c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.

d. Membentuk dengan hubungan dengan orang-orang yang seusia.

e. Membentuk peraturan kehiduan fisik yang memuaskan.

f. Menyesuaikan diri dengan peran social secara luwes.

4. Defenisi Menua

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak

hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak waktu permulaan

kehidupan. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran misalnya


kemunduran fisisk yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih

memburuk, gerakan lambat, figure tubuh tidak proporsional (Ahdaniar, 2014).

Menua adalaah suatu proses alamiah yang pasti akan dialami oleh setiap

orang. Sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup, semakin komplek pula

malah kesehatan yang dihadapi. Secara alamiah, sel-sel tubuh mengalami

penurunan dalam funsinya akibat proses penuaan. Menua adalah suatu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat

bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan diderita (Artinawati, 2014).

5. Faktor yang mempengaruhi proses penuaan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penuaan (Tamber S, 2012).

a. Faktor Genetika

b. Faktor Intelegensia

c. Faktor Lingkungan dan gaya hidup

d. Faktor Endogernik

6. Perubahan yang terjadi pada lanjut usia

Perubahan fisik :

a. Sistem Muskuloskeletal

Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan

metabolic, atau denarvasi saraf, dengan bertambahnya usia, perusakan dan

pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormone

estrogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormone lain. Tulang-tulang


trabekulae lebih menjadi berongga, mikro-arsitektur berubah dan sering patah

baik akibat benturan ringan maupun spontan.

Penuaan dalam jumlah massa otot tubuh mengalami penururunan sehingga

terjadi penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan diskus

intervertebral dan penekanan pada kolumna vetebtralis. Implikasi hal ini adalah

postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan barrel-chest, penurunan

produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai perlindungan

terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah

peningkatan terjadinya resiko fraktur, waktu untuk kontraksi relaksasi muscular

memanjang. Implikasi ini perlambatan waktu untuk bereaksi, gerakan yang

kurang aktif, Sendi perubahan yang terjadi proses menua yaitu pecahnya

komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri,

inflamasi, penurunan mobiltas sendi dan deformitas, penurunan hormone

ekstrogen. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan unsure-unsur tulang yang

berdampak pada pengoroposan tulang, Kekakuan ligament dan sendi. Implikasi

dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera. Cairan tulang menurun sehingga

mudah rapuh, bungkuk, persendian membesar, kram, dan tremor.

b. Sel

Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, cairan intraseluler

menurun.

c. Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun

(menurunnya dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta


meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah

meningkat.

d. Sistem Respirasi

Otot-otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun,

kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat.

e. Sistem Pernafasan

Fungsi saraf menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi

khususnya yang berhubungan dengan stress. Menurunnya daya reflex keran

berkurang dan menurut lapisan myelin akson.

f. Sistem Gastrointestinal

Esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun dan peristaltic

menurun sehingga daya absorpsi juga ikut menurun. Ukuran lambung mengecil

serta fungsi organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya fungsi

hormone dan pencernaan.

g. Sistem pendengaran

Membrane timpani atropfi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang tulang

pendengaran mengalami kekakuan (Maryam, 2008).

B. Tinjauan Umum Tentang Arthritis Gout

1. Defenisi Arthritis Gout

Arthritis pirai (gout) adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena

deposisi Kristal asam urat pada jaringan sekitar sendi. Gout terjadi sebagai akibat

dari hyperuricemia yang berlangsung lama( asam urat serum meningkat)

disebabkan karena penumpukan purin atau ekresi asam urat yang kurang dari

ginjal.
Arthritis Gout adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambaran

khusus yaitu Arthritis akut. Arthritis akut disebabkan karena reaksi inflamasi

jaringan terhadap pembentukan Kristal monosodium urat monohidrat. (Hidayatus

S, 2018).

2. Etiologi

Etologi dari Arthritis Gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,

obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat

lebih tinggi daripada wanita, yang meningkakan resiko mereka terserang Arthritis

Gout. Perkembangan Arthritis Gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi

pada pria dibandingkan wanita. Namun angka kejadian Arthritis Gout menjadi

sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi Arthritis Gout

pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia

75 dan 84 tahun (Weaver, 2008 dalam jurnal, 2014).

Wanita mengalami peningkatan resiko Arthritis Gout setelah menapouse,

kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penuruunan level

estrogen karena ekstrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan

Arthritis Gout jarang pada wanita muda (Roddy dan Doherty, 2010).

Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting pada pria dan wanita. Hal ini

kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti peningkatan asam urat

serum(penyebab yang paling sering adalah karena adanya penurunan fungsi

ginjal), peningkatan pemakaian obat duretik, dan obat lain yang dapat

meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, M, 2009 dalam jurnal, 2014).

Penggunaan obat duretik merupakan faktor resiko yang signifikan untuk

perkembangan Arthritis Gout. Obat duretik dapat menyebabkan peningkatan


reabsorbsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan hiperurisemia. Dosis

rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk kardioprotektif, juga meningkatkan

kadar asam urat sedikit pada pasien usia lanjut (Weaver, 2008).

Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara segnitifikan dengan

resiko Arthritis Gout. Resiko Arthritis Gout sangat rendah untuk pria dengan

indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat untuk pria

yang indeks massa tubuh 35 atau lebih besar (Weaver,2008). Obesitas berkaitan

dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin di duga meningkatkan reabsorpsi

asam urat pada ginjal melalui urate anion excbanger transporter-1( URAT1) atau

melalui sodium dependent anion cotransporter pada brusb border yang terletak

pada membrane ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan adanya resistensi insulin

akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforialis oksidatif sehingga kadar

adenosine mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal

(Choi et al, 2005 dalam jurnal, 2014).

Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta makanan laut (terutama

kerang dan beberapa ikan laut lain) meningkatkan resiko Arthritis Gout. Sayuran

yang banyak mengandung purin, yang sebelumnya dieliminasi dalam diet rendah

purin, tidak ditemukan memiliki hubunan terjadinya hiperuridemia dan tidak

meningkatkan resiko Arthritis Gout (Weaver,2008). Mekanisme biologi yang

menjelaskan hubungan antara konsumsi alkohol dengan resiko terjadinya

serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat proses pemecahan adenosine

menjadi trifosfat dan produksi asam urat (Zhang et al, 2006).

Asam urat merupakan akhir dari metabolisme purin. Dalam keadaan

normalnya, 99% dari hasil metabolit nukleotida adenine, guanine, dan hipoxantin
akan digunakan kembali sehingga akan terbentuk kembali masing-masing

menjadi adenosine monophopsphate (AMP), inosine monophhosphate (IMP), dan

guanine monophosphate (GMP) oleh adenine phosphoribosyl transferase (APRT)

dan hipoxantin guanine phosphoribosly (HGPRT). Hanya sisanya yang akan

diubah menjadi xantin dan selanjutnya akan diubah menjadi asam urat oleh

enzim xantin oksidase (Silbernagl, S, 2006).

Adapun etiologi menurut dari buku (Hidayatus S, 2018) Gejala Arthritis akut

disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan Kristal

monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya penyakit ini

termasuk dalam golongan kelainan metabolic. Kelainan ini berhubungan dengan

penggunaan kinetik asam urat yang hiperurisemia. Hiperurisemia pada penyakit

ini terjadi karenanya:

1. Pembentukan asam urat yang berlebihan

a. Gout primer metabolic disebabkan sintesilangsung yang bertambah.

b. Gout sekunder metabolic disebabkan pembentukan asan urat berlebih karena

penyakit lain, seperti leukemia, terutama bila diobati dengan sitostatika, psoriasis,

polisitemia vera dan mielofibrosis.

2. Kurang asam urat melalui ginjal

a. Gout primer renal terjadi karena ekskresi asam urat ditimbuli distal ginjal yang

sehat. Penyebab tidak diketahui.

b. Gout sekunder renal disebabkan oleh karena kerusakan ginjal, misalnya glumero

nefritis kronik atau gagal ginjal kronik.

3. Perombakaan dalam usus yang berkurang. Namun secara klinis hal ini tidak

penting.
3. Manifestasi Klinis Arthritis Gout

Gambaran klinis Arthritis Gout terdiri dari

1. Arthritis Gout asimptomatik

Kondisi ini dapat terjadi untuk beberapa lama dan di tandai dengan

penumpukan asam urat pada jaringan yang sifatnya silent. Tingkatan

hiperurisemia berkolarasi dengan terjadinya serangan Arthritis Gout pada tahaap

kedua (Sunkureddi et al, 2006).

Radang sendi pada stadium sangat akut dan timbul yang sangat cepat dalam

waktu singkat. Seperti pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun

pagi terasa sakit sehingga tidak dapat berjalan, dengan keluhan utama nyeri,

bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggil

dan merasa lelah (Tehupeiory, 2006).

2. Arthritis gou akut

Serangan ini terjadi dengan nyeri pada saat sendi berat dan biasanya bersifat

monoartikular

3. Interkritikal gout

Gout menahun.

4. Patofisiologi

Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme serangan gout. Salah satunya

yang telah diketahui peranannya adalah kosentrasi asam urat dalam darah.

Mekanisme serangan gout akut berlangsung mmelalui beberapa fase secara

berurutan.
1. Partisipasi Kristal monosodium urat

Presitipasi monosodium urat dapat terjadi di jaringan bila kosenrasi dalam

plasma lebih dari 9 mg/dl. Persipitasi ini terjadi di rawan, sonovium, jaringan

parartikuler mislnya bursa, tendon, dan selaputnya. Kristal urat yang bermuatan

negatif akan dibungkus (coate) oleh berbagai macam protein. Pembungkusan

dengan IgG akan merangsang netrofill untuk berespon terhadap pembentukan

Kristal.

2. Respon leukosit polimorfonukuler (PMN)

Pembentukan Kristal menghasilkan faktor kemotaksis yang menimbulkan respon

leukosit PMN dan selanjutnya akan terjadi fagositosis Kristal oleh leukosit.

3. Fagositosis

Kristal difagositosis oleh leukosit membentuk fagolisosom dan akhirnya

membran vakuala disekeliling Kristal bersatu dan membran leokositik lisosom.

4. Kerusakan lisosom

Terjadi kerusakan lisosom, sesudah selaput protein dirusak, terjadi ikatan

hydrogen antara permukaan Kristal membrane lisosom, peristiwa ini

menyebabkan robekan membran dan pelepasan enzim-enzim dan oksidase radikal

kedalam sitoplasma.

5. Kerusakan sel

Setelah terjadi kerusakan sel, enzim-enzim lisosom dilepaskan kedalam cairan

synovial, yang menyebabkan kenaikan intensitas inflamasi dan kerusakan

jaringan.

5. Penatalaksanaan Arthritis Gout

1. Penatalaksanaan serangan akut


Obat yang diberikan pada serangan akut antara lain;

a. Kolkisisn, merupakan obat pilihan utama dalam pengobatan serangan Arthritis

Gout maupun pencegahannya dengan dosis lebih rendah. Efek samping yang

sering ditemui diantaranya sakit perut, diare, mual-atau muntah-muntah. Kolkisin

bekerja pada peradangan terhadap Kristal urat dengan menghambat kemotaksis

sel radang. Dosis oral 0,5-0,6 mg/jam sampai nyeri, mual atau diare hilang.

Kontraindikasi pemberian oral jika terdapat inflammamatory bowel disease.

b. OAINS

Semua jenis OAINS dapat diberikan yang paling sering digunakan adalah

indometasin. Dosis awal indometasin 25-50 mg setiap 8 jam. Kontra indikasinya

jika terdapat ulkus peptikus aktif, gangguan fungsi ginjal, dan riwayat alergi

terhadap OAINS.

c. Kortikosteroid

Untuk pasien yang tidak dapat memakai OAINS oral, jika sendi yang terserang

monoartikular, pemberian intraartikular sangat efektif, contohnya triamsinolon

10-40 mg intraartikular.

d. Analgesic diberikan bila rasa nyeri sangat berat. Jangaan diberikan aspirin karena

dalam dosis rendah akan menghambat eksresi asam urat dan ginjal dan

memperberat hiperurisemia. Tirah baring merupakan suatu keharusan dan

diteruskan sampai 24 jam setelah serangan menghilang.

2. Penatalaksanaan periode antara

a. Diet dianjurkan menurunkan berat badan pada pasien yang gemuk, serta diet

rendah purin.
b. Hindari obat-obatan yang mengakibatkan hiperurisemia, seperti tiazid, deuretik,

aspirin dan asam nikotiinat yang menghambat ekskresi asam urat dari ginjal.

c. Kolkisisn secara teratur

d. Penurunan kadar asam urat serum

1) Obat urikosurik, bekerja menghambat reabsorbsi tubulus terhada asam urat yang

telah difiltrasi dan mengurangi penyimpanannya.

2) Inhibitor xantin oksidase atau alopurinol, bekerja menurunkan produksi asam urat

dan meningkatkan pembentukan xantin serta hipoxantin dengan cara menghambat

enzim xantin oksidase.

6. Terapi Modalitas. (Hidayatus.S, 2018)

C. Tinjauan Umum Tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Arthritis

Gout

Berikut ini ada beberapa hal yang mempengaruhi timbulnya serangan Asam urat.

1. Jenis kelamin

Arthritis Gout lebih sering menyerang laki-laki, terutama yang berumur di

atas usia 30 tahun karena umumnya sudah mempunyai kadar asam urat yang

tinggi dalam darahnya. Kadar asam urat pada wanita rendah dan baru meningkat

setelah menoupose. Umumnya, wanita yang belum menopause tidak terseran gout

Arthritis karena masih memiliki hormon estrogen yang membantu mengeluarkan

asam urat dari darah dan dibuang melalui urin (Hembing Wijayakusuma, 2007).

Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang

meningkatkan resiko mereka terseran Arthritis Gout. Perkembangan Arthritis

Gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita.

Namun angka kejadian Arthritis Gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin
setelah usia 60 tahun. Prevalensi Arthritis Gout pada pria meningkat dengan

bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver ,

2008).

Kadar asam urat laki-laki maupun permpuan sejak lahir sampai usia remaja

umumnya rendah. Setelah pubertas, kadar asam urat dalam darah pada laki-laki

akan meningkat dan selalu lebih tinggi dari perempuan sebayanya. Oleh karena

itu, sekitar 90% penderita gout adalah laki-laki usia pertengahan (40-50 tahun).

Namun, hal ini biasa terjadi pada semua kelompok usia. Kadar asam pada

perempuan umumnya tetap rendah dan baru meningkat setelah menopause. Hal

ini disebabkan oleh hormone melalui urin. Pada usia menopause, kadar asam urat

didalam darahnya meningkat hingga mendekati kadar pada laki-laki. Dengan

demikian, resiko terkena rematik gout pun sama besar dengan laki-laki (Setiawan

Dalimartha, 2008).

Penyakit asam urat lebih sering menyerang laki-laki. Jika penyakit ini

menyerang wanita maka pada umumnya wanita yang menderita adalah sudah

menopause. Pada wanita yang belum menopause maka kadar hormon estrogen

cukup tinggi. Hormon ini membantu mengeluarkan asam urat darah melalui

kencing sehingga asam urat wanita yang belum menopause pada umumnya

normal. Laki-laki tidak mempunyai kadar hormon estrogen yang tinggi. di dalam

darahnya sehingga asam urat sulit dikeluarkan melalui kencing dan resikonya

adalah kadar asam urat darahnya bisa menjadi tinggi (Nyoman Kertia, 2009).
2. Umur

Arthritis Gout lebih sering menyerang laki-laki, terutama yang berumur di

atas usia 30 tahun karena umumnya sudah mempunyai kadar asam urat yang

tinggi dalam darahnya. Kadar asam urat pada wanita rendah dan baru meningkat

setelah menoupose. Umumnya, wanita yang belum menopause tidak terseran gout

Arthritis karena masih memiliki hormon estrogen yang membantu mengeluarkan

asam urat dari darah dan dibuang melalui urin (Hembing Wijayakusuma, 2007).

Menurut damayanti(2012) Asam urat terjadi terutama pada laki-laki usia 40-

50 tahun, kadar asam urat pada pria meningkat sejalan dengan eningkatan usia.

Hal ini terjadi karena pria tidak memiliki hormone estrogen yang dapat

membantu membuang asam urat.

Choi dkk (1986) yang dikutip oleh Andry dkk (2009) melakukan penelitian

tentang gout pada populasi tenaga kesehatan laki-laki di Amerika serikat, yang

meliputi dokter gigi, optometris, osteopath, ahli farmasi, podiartrist, dan dokter

hewan. Populasi tersebut berusia antara 40-75 tahun. Mereka menemukan

peningkatan risiko gout ketika responden mengonsumsi daging atau seafood

dalam jumlah banyak (Andry dkk, 2009 dalam Jurnal , 2018).

3. Pola makan

Salah satu pemicu asm urat adalah pola makan, pola makan dengan

konsumsi makanan kadar purin tinggi yaitu daging, jeroan, kepiting, kerang, keju,

kacang tanah, bayam, buncis, kembangkol (Misnadiarly, 2007).

Pola makan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain; kebiasaan

kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya.


Studi epidemiologi dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa

konsumsi ikan jangka panjaang bisa menyebabkan awal hyperuricemia

asimtomatik dan meningkatkan gout (Ren,2016 dalam jurnal, 2017).

Pola makan dapat disebabkan 3 faktor yaitu faktor genetic, hormonal serta

disebabkan karena pola makan yang kurang baik seperti sering mengkonsumsi

makanan yang mengandung purin tinggi contohnya daging, kepiting, jeroan dan

kacang-kacangan (Sabella,2010 dalam jurnal, 2014).

Kandungan purin dalam maka nan dikelompokkan menjadi tiga yaitu

kandungan purin tinggi 150-180 mg/100 gram(jeoran,daging bebek dan seafood)

merupakan makanan yang harus dihindari, kandungan purin sedang 50-150

mg/100 gram (daging sapi, daging ayam, tahu, tempe, kembang kol, buncis,

kacang-kacangan dan jamur) merupakan makanan yang boleh dikonsumsi namun

tidak berlebihan atau dibatasi, kandungan purin ini rendah dibawah 50 mg/100

gram (nasi,ubi, singkong, jagung, roti, mie, pudding, susu, keju dan telur)

merupakan makanan yang boleh dikonsumsi setiap hari. Hal ini dilakukan untuk

menjaga pola makan yang baik bagi penderita penyakit asam urat (Sabella, 2010).

4. Obesitas

Salah satu pemicu asam urat adalah berat badan(Obesitas), bahwa orang yang

gemuk mempunyai kecendrungan yang lebih tinggi untuk terkena penyakit asam

urat. Meskipun tidak selalu, tetapi banyak bukti menunjukan bahwa orang yang

kelebihan berat badan pada umumnya mengonsumsi protein yang berlebihan.

Kita ketahui bahwa protein pada umumnya mengandung purin yang banyak

sehingga menyebabkan kadar asaam urat darah yang meninggi


Obesitas lebih sering menyerang penderita gout sehingga seseorang dengan

berat badan lebih berkaitan dengan kenaikan kadar asam urat dan menurunnya

ekskresi gout melalui ginjal, sehingga asupan yang masuk ke tubuh juga

mempengaruhi kadar asam urat dalah darah, makanan yang mengandung zat

purin tinggi akan diubah menjadi gout (Choi Hk, 2008 dalam jurnal , 2019)

Obesitas merupakan suatu akumulasi lemak yang abnormal dan berlebihan

yang menyebabkan resiko terhadap kesehatan. Obesitas memiliki ekskesi ginjal

yang lebih rendah, dan kemungkinan juga mengalami obesitas tentunya akan

meningkatkan resiko penyakit-penyakit kardiovaskular. Salah satu teori

menyatakan kemungkinan obesitas adalah suatu kondisi inflamasi sehingga

penyebaran jaringan lemak membawa pada peningkatan produksi molekul

proinflamasi dan menghasilkan low-grade inflammation (Ezra Hans Soputra,

2018).
V. KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran variabel Penelitian

Pada tinjauan pustaka, penulis telah menguraikan tentang hubungan

jenis makanan dengan kejadian Arthritis Gout pada lansia. Dalam penelitian

ini yang menjadi variabel independen adalah jenis kelamin, usia dan pola

makan sedangkan variabel dependen adalah Arthritis Gout.

B. Pola Pikir variabel Yang Diteliti

Jenis kelamin, usia dan pola makan merupakan variabel

bebas(independent) sedangkan status Arthritis Gout merupakan variabel

terikat(dependent) pada penelitian ini, dapat dilihat dari gambar kerangka

konsep sebagai berikut :

Variabel Independent Variabel Dependen

Jenis Kelamin

Usia
Atrhritis Gout

Pola Makan

Gambar Pola Pikir

Keterangan :

: Variabel Independent

: Variabel Dependent

: Penghubung Antara Variabel


C. Defenisi Operasional dan Kriterian Objektif

1. Arthritis Gout

a. Defenisi Operasional

Penyakit asam urat adalah arthritis yang sangat menyakitkan yang

disebabkan oleh penumpukan Kristal pada persendian, akibat tingginya

kadar asam urat didalam tubuh. Sendi-sendi yang di serang terutama jari-jari

kaki, dengkul, tumit, pergelangan tangan, jari tangan dan siku. Selain nyeri,

penyakit asam urat dapat membuat membengkak, meradang panas dan kaku

sehingga penderita tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasanya.

(Yolianingsih, 2010)

b. Kriteria Objektif

Menderita : Jika terdiagnosa menderita Arthritis Gout

berdasarkan rekam medis.

Tidak menderita : Jika tidak terdiagnosa menderita Arthritis


Gout berdasarkan rekam medis.

2. Jenis Kelamin

a. Defenisi Operasional

Ditentukan berdasarkan status pasien, yaitu pria dan wanita, sesuai

yang tercatat dalam kartu status.

b. Kriteria Objektif

Beresiko : Mereka yang berjenis kelamin laki-laki

berdasarkan status.
Tidak Beresiko : Mereka yang berjenis kelamin perempuan

berdasarkan status.

3. Usia

a. Defenisi Operasional

Usia adalah umur responden yang didata berdasarkan usia yang

tercantum pada KTP Yang bersangkutan.

b. Kriteria Objektif

1. Usia Pertengahan (midlle age) : 45-59 tahun

2. Usia lanjut (enderly) : 60-74 tahun

3. Usia tua (old) : 75-89 tahun

4. Usia sangat lanjut (very old) : >90 tahun

(Sunaryo, 2016)

4. Pola Makan

a. Defenisi Operasional

Pola makan dalam penelitian ini adalah segala kebiasaan yang

dilakukan oleh lansia yang dapat memicu terjadinya Arthritis Gout.

b. Kriteria Objektif

Mengandung purin tinggi : Daging, jeroan, kepiting, kerang, keju,

kacang tanah, bayam, buncis, kembang

kol.
Jumlah purin normal : Jumlah makanan yang dikonsumsi sesuai

dengan kadar purin yang dibutuhkan

tubuh.

Kurag baik : Jumlah makanan yang dikonsumsi tidak

sesuai dengan kadar purin yang

dibutuhkan

5. Hipotesis Penelitian

a. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian Arthritis Gout di wilayah

kerja Puskesmas Bara-baraya Kota Makassar

b. Ada hubungan Usia dengan kejadian Arthritis Gout di wilayah kerja

Puskesmas Bara-baraya Kota Makassar

c. Ada hubungan Pola Makan dengan kejadian Arthritis Gout di wilayah

kerja Puskesmas Bara-baraya Kota Makassar

VI. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasrkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka jenis penelitian ini

adalah penelitian observasional analtik dengan pendekatan cross sectional. Cross

sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau

pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) antara fakror risiko/paparan

dengan penyakit. Metode ini sangat praktis dalam pengumpulan data, sehingga

lebih banyak digunakan dalam sebuah penelitian

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Penelitian ini akan dilaksanaakan di Puskesmas Bara-baraya Makassar


2. Penelitian ini akan dilaksanakan Februari-Maret 2020

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien lansia yang berada di wilayah

kerja Puskesmas Bara-baraya Kota Makassar, dalam kurun waktu setahun pada

tahun 2018, jumlah populasi sebanyak 201 orang (Data Rekam Medik , 2018).

2. Sample Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah pasien lansia Arthritis Gout di Puskesmas

Bara-baraya Kota Makassar, dengan pengambilan sampel ini dilakukan dengan

accidental sampling yaitu cara pengambilan sampel dengan memilih responden

yang kebetulan ada atau dijumpai.

D. Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari

sampel penelitian oleh peneliti.

a. Data Pr imer

Data pada penelitian ini merupakan data primer dikumpulkan dengan

menggunakan kuesioner dan melakukan observasi langsung.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh pada instansi terkait dengan penelitian, data sekunder

dengan pengambilan data awal di wilayah kerja Puskesmas Bara-baraya

2. Prosedur Pengambilan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan jawaban dari lembar kuesioner. Penelitian melakukan


pengumpulan data hanya satu kali. Sebelum dilakukan pengambilan data,

peneliti memberikan informed consent kepada responden sebagai tanda

persetujuan bahwa responden bersedia menjadi responden penelitian..

Penelitian dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada responden.

Lembar kuesioner di isi oleh penderita Arthritis Gout yang dijadikan responden,

untuk mengurangi terjadinya kesalahan dalam pengisisan kuesioner, penelitian

mendampingi responden pada saat pengisisan kuesioner.

3. Instrument Pengambilan Data

Alat pengumpulan data pada penelitian menggunakan kuesioner.

E. Pengolahan Data

Dalam melakukan pengolahan data, peneliti menggunakan computer pada

salah satu program aplikasi.

Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data sebagai berikut :

1. Editing, yaitu menyusun data yang sudah terkumpulkan dengan memeriksa

daftar pertanyaan untuk mengoreksi kelengkapan data dan mengoreksi

kesalahan. Tujuan editing yaitu mengurangi kesalahan dan kekurangan yang ada

di daftar pertanyaan.

2. Coding, yaitu mengelompokkan jawaban yang telah diisi oleh responden ke

dalam angka berdasarkan dengan klasifikasi yang sudah ditentukan. Kegiatan ini

mempermudah dalam melakukan pengujian hipotesis.

3. Entry, yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam program computer untuk

diolah dengan menggunakan aplikasi computer.


4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang diteliti untuk

keperluan analisis.

5. Cleaning, yaitu pemeriksaan kembali data yang telah dientry dan dilihat

kelengkapannya jawaban serta kesalahan dalam pemberian kode.

F. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap setiap

variabel baik variabel independen maupun variabel dependen yang mendapatkan

distribusi frekuensi dan presentasi.

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

independent secaraa sendiri-sendiri dengan variabel dependent digunakan uji

statistik Chi-square dan uji alternative Fisher’sexact test dengan tingkat

signifikansi yang digunakan yaitu p<ɑ= (0,05). Jadi hipotesis akan diterima jika

p<0,0,5, sedangkan akan ditolak jika p >0,05 dan dilakukan analisa data bantuan

computer menggunakan uji statistik SPSS.

0−𝐸
ײ = ∑( )
𝐸

Ket :

O = Frekuensi observasi

(𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑟𝑖𝑠)𝑥 (𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚)


E = Frekuensi Harapan = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛

x² tabel : x² (a, df = (b-1) (k-1), dimana b = jumlah baris, k =jumlah kolom.


G. Penyajian Data

Penyajian data merupakan salah satu kegiatan dalam pembuatan laporan

hasil yang telah dilakukan agar dapat dipahami dan dianalisa sesuai dengan

tujuan yang diinginkan. Data yang disajikan harus sederhana dan jelas agar

mudah dibaca.

H. Etika penelitian

1. Informend Consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden. Peneliti menjelaskan

maksud dan tujuan riset yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi

selama dan setelah pengumpulan data, jika responden dan bersedia diteliti, maka

mereka harus mendatangani lembar persetujuan tersebut. Jika pasien menolak

untuk diteliti maka peneeliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-

haknya.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan pasien, peneliti tidak akan mencantumkannama

pasien pada lembaran pengumpulan data yang di isi oleh responden, cukup

dengan memberi inisial atau kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Confidentially (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi pasien dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu saja dan disajikan atau dilaporkan pada hasil penelitian. Data yang telah

dikumpulkan disimpan dalam disk dan hanya bisa diakses oleh peneliti dan

pembimbing.
DAFTAR PUSTAKA

Ahdaniar. (2014). Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit asam urat
pada lansia di wilayah puskesmas kassi-kassi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis ,
150.

Andry dkk, 2009 dalam Jurnal . (2018). Hubungan Pola Makan dengan Terjadinya
Gout (Asam Urat). Kesmas .

Artinawati. (2014). Hubungan jenis makanan dan aktivitas fisik dengan kejadian
asam urat pada lanjut usia di jorong padang bintungan di wilayah kerja puskesmas
kota baru. Menara Ilmu , 22.

Aspiani. (2016). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Aplikasi NANDA NIC, dan NOC
Jilid 1. Jakarta: Tunut Ar Maftuhin.

Choi et al. (2005). Pathohogenesis of Gout. e-journale .

Data Rekam Medik . (2018). Makassar: Puskesmas Bara-baraya.

Doherty, M. (2009). Epidemiology of Gout. Oxford Journals .

Hembing Wijayakusuma. (2007). Atasi Asam Urat & Rematik . Depok: Puspa
Swara.

Hidayatus S. (2018). Keperawatan Lanjut Usia. Sidoarjo: Indomedia Pustaka.

Hidayatus S. (2018). Keperawatan Lanjut Usia. Griya Kebonagung 2, Blok 12,


No.14: Indomedia Pustaka.

Maryam. (2008). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta: Salemba


Medika.

Misnadiarly. (2007). Asam Urat-Hiperurisemia, Atritis Gout. Jakarta: Obor Populer.

Nyoman Kertia. (2009). Asam Urat. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Padila. (2013). Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rekam Medik Puskesmas Bara-Baraya . (2018). Rekam Medik Pasien Arthritis Gout
. Makassar: Puskesmas Bara-Baraya.
Ren,2016 dalam jurnal. (2017). Hubungan Antara Pola Makan dengan Penyakit
Gout. Urecol Proceeding , 731.

Ridhoputrie,M. (2019). Hubungan Pola Makan dan Gaya Hidup dengan Kadar
Asam Urat Pralansia Diwilayah Kerja Puskesmas I Kembaran, Banyumas, Jawa
Tengah. Herb-Medicine Journal , 46.

Sabella. (2010). Libas Asam Urat dengan Terapi Herbal, Buah dan Sayuran.
Klaten: Galmas Publisher.

Sabella,2010 dalam jurnal. (2014). Pola Makan Lansia Penderita Asam Urat. Ilmiah
Kesehatan , 70.

Schumacher. (2008). Gout and Others Crystal-Associated Arthropathies in


Harrison's Principle of Internal Medicine. ejournal , 146.

Setiawan Dalimartha. (2008). Tumbuhan Sakti Atasi Asam Urat . Jakarta Timur:
Penebar Swadaya Grup.

Silbernagl, S. (2006). Acid Base Homeostatis in Color Atlas of Physiology. New


York.

Suarjana. (2012). Artritis Gout dalam buku ajar ilmu penyakit. Jakarta: Interna
Publishin.

Suiraoka. (2012). Penyakit Degeneratif, Mengenal, Mencegah, dan Mengurangi


Resiko Faktor 9 penyakit Degeneratif. Yogyakarta.

Sunaryo. (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik . Yogyakarta: Putri Christian.

Tamber S. (2012). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Untari. (2017). Hubungan Antara Pola Makan Dengan Penyakit Gout. e-journal ,
734.

Wahyudi. (2016). Keperawatan Gerontik Dan Geriatrik. Jakarta: EGC.

Weaver. (2008). Epidemiology of Gout. Cleveland Clininic Journal of Medicine .

Yolianingsih. (2010). Asam Urat. Dalam http://youlianingsi.blogspot.com dikutip


pada tanggal 16 Desember 2019.

Zen. (2016). Gambaran Faktor domain pencetus arthritis gout. Menara Ilmu , 99.

Zhang et al. (2006). Alcohol Consumption as a Trigger of Recurrent Gout Attacks.


The American Journal of Medicine .

Anda mungkin juga menyukai