Anda di halaman 1dari 19

CIRI DAN PRINSIP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Diajukan Guna memenuhi Tugas

Filsafat Pendidikan Islam

Program pascasarjana IAIN syekh nurjati cirebon

Dosen : Prof. Dr. H. Jamali Sahrodi

NENENG CULASTRI

NIM.14146310012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

2015
DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kurikulum
2. Ontologi,Epistemologi,dan Aksiologi Kurikulum
3. Ciri Kurikulum Pendidikan Islam
4. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
5. PandanganMontessori tentang Kurikulum

C. PENUTUP

D. DAFTAR PUSTAKA
CIRI DAN PRINSIP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

A. PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat,1[1]
dewasa ini pendidikan menjadi salah satu barometer dalam menentukan tingkat daya saing
bangsa pada tataran Global, tak ayal masing-masing Negara berlomba menyelenggarakan
pendidikan yang bermutu serta berkualitas. Untuk memperoleh hasil pendidikan yang
bermutu maka tidak boleh tidak sebuah pendidikan harus mempunyai perencanaan yang
matang, pelaksanaan peremcanaan serta evaluasi yang reliable.
Adalah kurikulum yang memiliki esensi berupa program dalam mencapai tujuan. 2[2]
Sebagai sebuah rencana,3[3] kurikulum mempunyai peran sentral dalam menunjang
keberhasilan sebuah pendidikan, terutama pendidikan Islam yang bertujuan membentuk
akhlakul karimah, maka kurikulum yang direncanakan serta dikembangkan haruslah benar-
benar memenuhi kriteria-kriteria yang memungkin tercapainya tujuan pendidikan Islam .
Antara tujuan pendidikan Islam dengan program (kurikulum) merupakan kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan, hal ini disebabkan karena suatu tujuan yang hendak dicapai
haruslah terlukiskan di dalam program (kurikulum), bahkan program itulah yang akan
mencerminkan arah dan tujuan yang diinginkan dalam proses kependidikan. 4[4]
Kurikulum menjadi landasan berpijak suatu lembaga pendidikan untuk melangkah
lebih jauh mengembangkan cirri khas suatu lembaga penididikan dengan corak dan warna
yang berbeda tergantung latar belakang lembaga tersebt. Apabila suatu lembaga pendidikan
bernafasakan Internasioanal maka kurikulum yang disusunpun harus mengedepankan daya
saing internasional, apabila suatu lembaga pendidikan bernafaskan Islam maka dapat
dipastikan kurikulum yang dibentuk juga akan terkontaminasi bahkan sengaja memasukkan
muatan-muatan agama sebagai konsekuansi dari ke khasan suatu lembaga.
Kurikulum pendidikan Islam tentu berbeda dengan kurikulum pendidikan pada
umumnya dengan ciri-ciri dan prinsip-prinsip yang yang dimiliki oleh pendidikan Islam,

1[1] Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang : Rasail Media Group, 2008), 1.

2[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan
Manusia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010), 99.

3[3] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), 145.

4[4] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 77.
makalah sederhana ini akan mencoba menelaah karakteristik kurikulum pendidikan Islam dan
prinsip-prinsip dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam beserta dinamikanya.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kurikulum
Dari berbagai literatur yang membahas tentang kurikulum, pakar pendidikan
memberikqn pendapat bahwa kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
berarti berlari dan curere yang berarti tempat berpacu.5[5] Dengan demikian dapat difahami
pengambilan istilah kurikulum berasal dari istilah dunia olah raga yang mempunyai arti
suatu batas/jarak yang harus dilalui oleh seorang pelari dari garis awal sampai akhir dalam
perlombaan lari estafet.6[6]
Selanjutnya istilah kurikulum tersebut dipakai dan mengalami perubahan makna sesuai
dengan perkembangan dan dinamika dunia pendidikan, meskipun sejauh ini belum diketahui
secara pasti kapan istilah kurikulum masuk ke dalam dunia pendidikan beserta para tokohnya.
Sehingga kurikulum secara sempit bisa diartikan sebagai seperangkat materi pendidikan dan
pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan
dicapai.7[7] Sedangkan secara luas kurikulum adalah semua aktiftas yang diprogram oleh
lembaga pendidikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.8[8]
Kurikulum dalam arti sempit lebih cocok dimengerti dan dilakukan pendidik, sedangkan
kurikulum dalam arti luas relevan difahami dan dilakukan oleh pimpinan sekolah beserta
pembantu-pembantunya, karena melukiskan domain pemikiran, perencanaan dan
tanggungjawabnya dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan yang dicanangkan serta
menjadikan sekolah mempunyai daya saing yang tinggi.9[9]
Dalam bahasa Arab istilah kurikulum disebut dengan istilah manhaj atau minhaj yang
mempunyai arti beberapa rencana dan perantara yang telah ditentukan sebuah lembaga

5[5] Asep Herry Hernawan dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011), 2. Lihat juga Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam, (Jogjakarta: DIVA Press, 2012), 35. Lihat juga Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta : Kalam Mulia, 1998), 61.

6[6] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), 125.

7[7] Ibid, 125.

8[8] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2004), 183.

9[9] Ibid, 183


pendidikan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. 10[10] Sedangkan menurut Ramayulis
manhaj diartikan sebagai jalan terang yang dilalui manusia dalam berbagai sendi
kehidupannya. Istilah ini kelihatannya lebih luas bila dibandingkan dengan istilah kurikulum
yang diambil dari bahasa Yunani terbatas pada dunia olah raga saja. Maka kata manhaj
dalam bahasa Arab sudah digunakan dalam dunia pendidikan dengan pengertian pengetahuan
atau mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik untuk mendapatkan ijazah atau
tingkatan tertentu. 11[11]
Dari beberapa definisi kurikulum diatas, hakikat dari kurikulum adalah suatu program
yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan tertentu.
Kemudian, jika disambungkan dengan filsafat dan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan
Islam mempunyai arti sebagai suatu rangkaian program yang mengarahkan kegiatan belajar
mengajar secara sistemtis dan berarah tujuan serta melukiskan cita-cita nilai-nilai
keIslaman.12[12]
2. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Kurikulum
Menyinggung masalah ontologi, epistemologi dan aksiologi kurikulum pendidikan, ada
keterkaitan antara definisi kurikulum yang merupakan batasan dari kurikulum itu sendiri.
Telah disebutkan diatas definisi kurikulum yang bersifat sempit yang tertuju kepada satu
mata pelajaran saja dan definisi kurikulum yang lebih luas dengan dikaitkan aktifitas-aktifitas
kehidupan dan ketrampilan hidup, maka jika kita mengambil pengertian yang lebih menengah
yang disebut dengan modern, kurikulum diartikan tidak hanya sejumlah mata pelajaran yang
harus diselesaikan peserta didik lagi, melainkan sudah berkembang kepada aktifitas lembaga
pendidikan yang mendorong peserta didik untuk belajar. 13[13]
a. Ontologi
Dari aspek ontology, pengertian kurikulum yang telah disebut di atas berarti kerukulum
dipertanyakan dari sisi “perencanaan lembaga pendidikan sampai pada aktifitas belajar

10[10] Toto Suharto, 126.

11[11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 61.

12[12] Abdulllah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011),
207. Lihat juga Mimin Hariyati, Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta
: Gaung Persada Press, 2007), 1.

13[13] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010), 127.
peserta didiknya “.14[14] Jadi apa saja rencana dan aktifitas pembelajarn yang dilakukan
lembaga pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah dicanangkan.
Maka, perencanaan dan aktifitas pembelajaran terhadap peserta didik akan dipertanyakan
meaning ful-nya bagi pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.15[15]
b. Epistemologi
Pada tataran epistemology, kurikulum berarti dipertanyakan sampai sejauh mana proses
pendesainan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan.
Dari sudut pandang ini, aspek bagaimana kurikulum direfleksikan ke dalam perencanaan dan
diwujudkan ke dalam aktifitas pembelajaran adalah persoalan utama kurikulum yang harus
dijawab. Pada garis besarnya adalah bagaimana akuntabilitas dan transparansi pada aspek
perencanaan dan aktifitas pembelajaran dapat dilakukan oleh para pelaku kurikulum,
sehingga menjadi “ meaning ful” terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian
keseluruhan dari semua elemen yang berhubungan dengan kurikulum harus diperhatikan,
karena totalitas tersebut akan memberikan pengaruh dan konstribusi pada pencapaian tujuan
pendidikan.16[16]
c. Aksiologi
Pada aspek aksiologi, kurikulum dipertanyakan dari segi kemaslahatan bagi masyarakat,
nilai guna apa yang diberikan kurikulum untuk kepentingan hajat orang banyak. Di lain hal
aspek aksiologi ini menyangkut aspek azaz sosiologis kurikulum yang mempertanyakan
seberapa besar relevansi kurikulum dengan kebutuhan masyarakat. Apakah nilai yang
dihasilkan dari suatu aktifitas pembelajaran pada suatu lembaga pendidikan memiliki
relevansi yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat. Salah satu ukuran yang bisa diterapkan
adalah dengan menganalisis sejauh mana tingkat kegunaan ilmu yang dimiliki para lulusan
dalam berkiprah dalam masyarakat yang sesungguhnya, 17[17] jangan sampai out put
pendidikan hanya menjadi beban bagi bagi masyarakat. Dengan demikian bisa dikatakan

14[14] Syaiful Bahri Djamarah merinci aktifitas belajar meliputi mendengar, memandang, meraba,
membau, mengecap, menulis atau mencatat, membaca, membuat paper, mengingat, berfkir dan
latihan atau gerak. Lihat Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), 38-45

15[15] Ibid, 128.

16[16] Ibid, 129.

17[17] Bisa disitilahkan juga dengan kecakapan hidup (skill) sebagaimana yang dikatakan M.
Thobroni dan Arif Mustafa dalam, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan Praktik
Pembelajaran Dalam Pengembangan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 231.
bahwa nilai aksiologis dari suatu kurikulum harus benar-benar dipertimbangkan relevansinya
dari konteks budaya masyarakat lingkungan, sehingga lulusan dapat berbaur dengan
masyarakat sendiri dan tidak hadir sebagai Orang Asing pada masyarakat.18[18]
3. Ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Setelah kita memahami pengertian kurikulum dan dinamikanya, selanjutnya lebih spisifik
kita memahami ciri kurikulum pendidikan Islam yang tentunya memiliki perbedaan dengan
kurikulum pendidikan pada umumnya. Secara umum ciri kurikulum pendidikan Islam
merupakan pencerminan nilai-nilai Islami yang diperoleh dari hasil pemikiran kefilsafatan
dan diprektekkan dalam semua kegiatan kependidikan. Maka bisa dikatakan bahwa ciri
kurikulum pendidikan Islam selalu memiliki keterkaitan dengan Al-Qur’an dan al-Hadits.
Konsep inilah yang membedakan dengan pendidikan pada umumnya. 19[19]
Menurut Al-Syabani, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam sebagaimana berikut :
a. Kurikulum pendidikan Islam mengedepankan dan mengutamakan Agama dan akhlak
dalam berbagai tujuannya. Materi dalam kurikulum pendidikan Islam haruslah mencerminkan
nilai-nilai keIslaman dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, metode pembelajaran
yang diterapkan, alat dan teknik dalam kurikulum pendidikan Islam juga mencerminkan nilai-
nilai keAgamaan.20[20]
b. Kandungan dan cakupan kurikulum pendidikan Islam bersifat menyeluruh yang
mencerminkan semangat pemikiran dan ajaran Islam yang bersifat universal dan menjangkau
semua aspek kehidupan, baik intelektual, psikologis, social dan spiritual.
c. Kurikulum pendidikan Islam mempunyai keseimbangan yang relative di dalam muatan
keilmuannya baik ilmi-ilmu syariat, ilmu akal dan bahasa serta seni. Disamping Kurikulum
pendidikan Islam menyeluruh cakupan dan kandungannya, ia juga memperhatikan
keseimbangan relative, disebut keseimbangan relative karena mengakui bahwa tidak ada
keseimbangan yang mutlak pada kurikulum pengajaran.
Keseimbangan kurikulum pendidikan Islam juga diakui oleh para pendidik muslim pada
zaman klasik seperti Al-Faraby yang memunji keseimbangan kurikulum di negeri Andalusia

18[18] Lias hasibuan, 129.

19[19] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta :
Ciputat Pers, 2002), 61.

20[20] Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani terjemah Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 490.
dimana ia tinggal, Ibnu Khaldun juga membeikan penilaian terhadap keseimbangan kurikulm
di dunia Barat dan dunia timur.21[21]
d. Kurikulum pendidikan Islam mencakup kesemua materi pelajaran yang dibutuhkan oleh
peserta didik, baik yang bersifat kerelegiusan maupun yang bersifat keduniaan. Materi
keAgamaan digunakan untuk memahami hakikat hubungan manusia dengan sang pencipta
sementara keprofan-dunia digunakan untuk mencukupi kebutuhan primer dan sekunder
manusia dalam hubungannya dengan sesame manusia.22[22]
e. Kurikulum pendidikan Islam terkait dengan minat, bakat dan kemampuan peserta didik,
sehingga murid tidak mempelajari suatu mata pelajaran kecuali ia merasa senang dengan
materi tersebut, kurikulum pendidikan Islam juga memperhatikan keterkaitan antara
lingkungan dengan lembaga pendidikan dan peserta didik, sehingga penyusunan kurikulum
selalu disesuaikan dengan kebutuhan social masyarakat di wilayah tertentu, dari segi lain
pendidikan Islam bersifat dinamis dan bisa menerima dinamika perubahan bila diperlukan,
kurikulum pendidikan Islam juga mempunyai sifat keserasian antara mata pelajaran,
kandungan, dan kegiatan-kegiatan pembelajaran.23[23]
Cirri kurikulum pendidikan islam tersebut jelas mempunyai perbedaan dengan
kurikulum pendidikan umum, dalam hal ini misalnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang mempunyai cirri sebagai brikut :
a. Menekankan ketercapaian Kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal
b. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaan
c. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi
d. Sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber lainnya yang mempunyai unsure
edukatif
e. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi.
4. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Dengan melihat ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam di atas, kurikulum pendidikan Islam
disusun dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :

21[21] Ibid, 491-498.

22[22] Toto Suharto, 130.

23[23] Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, 512-518.


a. Prinsip pertautan dengan Agama, artinya bahwa semua elemen kurikulum baik aspek
tujuan, materi, alat dan metode dalam pendidikan Islam selalu menyandarkan pada dasar-
dasar ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Prinsip Universal, universal disini dimaksudkan bahwa tujuan dan cakupan kurikulum
pendidikan Islam harus mencakup semua aspek yang mendatangkan manfaat, baik bagi
peserta didik, baik yang bersifat jasmaniyah maupun rohaniyah. Cakupan isi kurikulum
menyentuh akal dan qalbu peserta didik. Pendidikan yang dikembangkan sebisanya
dikembangkan bukan pendidikan sekuler, melainkan sebaliknya yaitu pendidikan rasional
yang mempunyai arti mengajarkan materi-metari yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat
dan dunia bagi peserta didik. Dengan demikian dalam pendidikan Islam tidak ada dikotomi
antara ilmu umum dan ilmu Agama.24[24]
c. Prinsip keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan dengan
cakupan materi yang akan diberikan kepada peserta didik. Keseimbangan ini meliputi materi
yang bersifat religi-akhirat dan profane-keduniaan dengan mencegah orientasi sepihak saja.
Hakikat dari prinsip keseimbangan ini , didasarkan pada firman Allah Swt dalam surat al-
Qashas ayat 77.

‫وابتغ فيما اتك هللا الداراالخرة وال تنس نصيبك من الد نيا واحسن هللا اليك وال تبغ‬
‫الفساد في االرض ان هللا ال يحب المفسدين‬

Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri kalian, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sessungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat tersebut adalah perintah yang bersifat wajib, artinya umat Islam wajib
melaksanakan keseimbangan hidup antara keduniaan dan keakhiratan, kesimbangan cara
berfikir bersifat rasional dan hati nurani. Apabila kita kaitkan dengan penyusunan kurikulum
maka pedoman kurikulum mencerminkan keseimbangan tujuan pembelajaran dan materi-
materi yang diarahkan pada pencapaian keseimbangan tujuan duniawi dan tujuan ukhrowi.

24[24] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), 129-130.
d. Prinsip keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, dengan
lingkungan sekitar baik fisik maupun social. Dengan prinsip ini kurikulum pendidikan Islam
berkeinginan menjaga keaslian peserta didik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat.
Hal ini selaras dengan pendapat Jean Peaget tentang pendidikan, ia mengatakan bahwa
pindidikan harus diindividulisasikan dengan menyadari bahwa kemampuan untuk
mengasimilasi akan berbeda dari satu individu dengan individu yang lain, konsekuensinya
materi pendidikan harus memperhatikan pebedaan peserta didik.25[25]
e. Prinsip fleksibelitas, maksdunya kurikulum pendidikan Islam dirancang dan
dikembangkan berdasakan prinsip dinamis dan up to date terhadap pekembangan dan
kebutuhan masyarakat, bangsa dan Negara. Anak didik yang berkarakte menjadi dambaan
bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga menadi kebutuhan bangsa dan Negara mengingat
anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan mengemban amanat kepemimpinan di
masa yang akan datang. 26[26]
f. Prinsip memperhatikan perbedaan individu, peserta didik merupakan pribadi yang unik
dengan keadaan latar belakang social ekonomi dan psikologis yang beraneka macam, maka
penyusunan kurikulum pendidikan Islam haruslah memperhatikan keberAgamaan latar
belakang tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.
g. Prinsip pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam
kurikulum pendidikan Islam. Petautan ini menjadi urgen dalam rangka memaksimalkan peran
kurikulum sebagai sebuah program dengan tujuan tercapainya manusia yang
berakhlak.27[27]
Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, al-Syaibani mengatakan bahwa
kurikulum pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan ajaran
Agama Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia modern. Meskipun
dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel dengan mengikuti dinamika
perubahan zaman, namun tetap dengan memegang teguh identitas keIslamannya.

25[25] B.R. Hergegenhan dan Mattew H Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), (Jakarta :
Kencana, 2010), 324.

26[26] Hasan basri, 130.

27[27] Toto Suharto, 131.


Lebih lanjut, al-Abrasyi memberikan pemahaman tentang kurikulum pendidikan Islam
berdasarkan prinsip-prinsip al-Syaibani dengan menitik beratkan kepada 6 hal, yaitu :
a. Materi yang bersifat keAgamaan diberikan kepada peserta didik dengan maksud
terbentuknya jiwa peserta didik yang sempurna dan utama.
b. Materi keAgamaan mendapatkan prosi yang lebih dibandingkan ilmu yang lain karena
materi ini merupakan sendi pembentukan moral yang luhur
c. Selain memberikan materi yang bersifat keAgamaan, kurikulum pendidikan Islam juga
menaruh perhatian terhadap materi yang bersifat keduniaan, dengan tujuan memberikan
pengalaman untuk bergaul dengan sesame manusia.
d. Ilmu pengetahuan yang yang dipelajari dalam Islam memperhatikan prinsip ilmu untuk
ilmu, yang karenannya mempelajari pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam
merupakan suatu kenikmatan.
e. Pendidikan kejuruan, teknik dan perindutrian diperhatikan dalam pendidikan Islam
sebagai alat pencari penghidupan.
f. Suatu materi adalah alat dan pembuka untuk mempelajari ilmu-ilmu lain. 28[28]
Dalam penilaian Al-Abrasy perbedaan penting antara kurikulum pendidikan Islam denga
kurikulum pendidikan pada umunya adalah bahwa kurikulum pendidikan Islam tujuan
utamanya adalah segi keruhanian, akhlak dan moral keIslaman, sementara pendidikan umum
tujuannya adalah menggapai segi keduniaan dan materi.
Dengan melihat cirri dan prinsip kurikulum diatas, Abdul Rahman Salih Abdullah
sebagimana dikutib oleh Toto Suharto mengkaalsifikasi domain kurikulum kedalam 3 ranah
sebagai berikut :
a. Al-Ulum al-Diniyah, yaitu ilmu-ilmu keIslaman normative yang menjadi rujukan bagi
segala ilmu yang ada
b. Al-Ulum al-Insyaniyah yang meliputi ilmu-ilmu social dan humaniora yang berkaitan
dengan manusia dan pergaulannya, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, pendidikan dan
lain-lain
c. Al-Ulum Al-Kauniyah, merupakan ilmu alam dengan prinsip kea rah kepastian, seperti
matematika, fisika, kimia, biologi dan lain-lain.29[29]

28[28] Toto Suharto, 131-132.

29[29] Toto Suharto, 132-133.


Dengan ketiga ranah ini pendidikan Islam secara tegas menolak dualisme dan sekulerisme
kurikulum, sebab dulaisme kurikulum dapat mendatangkan dua macam bahaya yang pertama
ilmu-ilmu keIslaman akan mendapat derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan ilmu
keduniaan, kedua lahirnya integrasi sekulersme yang mengorbankan domain Agama, yang
selanjutnya dapat menstigmakan konsep anti Agama.
Selain cirri dan prinsip kurikulum sebgaaimana disebutkan di atas Samsul Nizar
memberikan pembagaian asas kurikulum pendidikan Islam sebagaimana berikut :
a. Asas Agama
Semua system yang ada dalam masyarakat Islam termasuk system pendidikannya harus
meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah,
ibadah, muamalat dan hubungan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini bermakna bahwa
semua itu akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Sementara sumber-sumber lain sepert ijma’, qiyas, istihsan merupakan penjabaran
dari kedua sumber tersbut. Pembentkan kurikulum pendidikan Islam harus diletakkan pada
apa yang telah digarskan oleh sumber-sumber tersebut dalam rangka menciptakan manusia
yang bertaqwa sebagai hamba dan tegar sebagai khalifah Allah di muka Bumi.
b. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Isam dengan dasar filosofis,
sehingga susuanan kurikulum pendidikan Islam mengandung kebenaran, terutama dar sisi
nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar filsafah
ini membawa konsekuensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari
konsep ontology, epistemology, dan aksiologi yang digali dari pemikiran masnuia muslim,
yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
c. Asas Psikologis
Asas ini member arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan
mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalaui anak
didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan cirri-ciri perkembangan
anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa dan social, kebutuhan
dan keinginan, minat, kecakapan, perbedaan individual dan lain sebagainya yang berhubngan
dengan aspek-aspek psikologis.
d. Asas Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu kea rah realisasi individu dalam
masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa kecenderungan dan perubahan yang telah
dan akan terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai malkhluk social harus
mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar output yang
dihasilkan pendidikan Islam adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam
masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.30[30]
Keempat asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum
pendidikan Islam. Pelu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah
berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat
membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan
kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsure tauhid, keagamaan, pengembangan
potensinya sebagai khalifah, pengembangan pribadinya sebagai individu dan
pengebangannya dalam kehidupan social.31[31]

5. Pandangan Montessori tentang Kurikulum


Maria Montessori adalah seorang dokter yang mempunyai pandangan pendidikan yang
mengutamakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik termasuk kegiatan-
kegiatan harian yang disebut dengan filsafat gerakan Montessori. Pada awalnya
pandangannya mendapatkan sambutan yang hangat dari masyarakat karena seuai dengan
kondisi anak terutama pendidikan anak usia dini, dalam beberapa waktu mendapat kritikan
namun juga mendapat pengaruh kembali.
Filsafat Monetssori tentang gerakan tubuh menyediakan alternative yang banyak terhadap
dualism kartesian tentang pembedaan antara pikiran dan badan yang keduanya tidak
berkaitan sama sekali, yang dikemukkan oleh Bapak Filsafat Modern Rene Descartes.
Masalah ini kemudian meningkat dan banyak mendapat perhatian dari para filsuf.
Secara tradisional gearakan adalah bagian tubuh fisik kita, namun Montessori membuat
terobosan baru dengan mengkategorisasikan ulang gerakan tubuh yang disengaja sebagai
penenagah antara pikiran dan badan. Bahkan penemuan medis baru-baru ini sangat
mendukung teorinya bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara pikiran dan tubuh,
sehingga sebuah pikiran yang sakit akan membuat fisik seseorang juga menjadi sakit.
Dalam pandangan filsafat Monetssori gerakan memainkan peranan penting dan sebuah
pengembangan gerakan tubuh dapat membentuk keribadian seseorang. Sehingga memberikan

30[30]30[30] Samsul Nizar, 29-30.

31[31] Samsul Nizar, 31.


kebebasan bergerak sebagai bentuk nyata kebebasan harus tersedia dalam hubungannya
membangun karakter anakn.
Montessori menekan pentingnya aktifitas-aktifitas jasmaniyah untuk menunjang karekter
peserta didik melalui aktifitas-aktifitas di luar ruangan kelas seperti out bond, olah raga,
memanah. Maka menurut Montessori hendaknya kurikulum yang akan disusun sebuah
lembaga haruslah mengembangkan materi yang bersifat aktifitas nyata dan tidak hanya
mengerjakan LKS dan buku semata, hal itu dengan tujuan terciptanya makhluk rasional dan
berkarakter.
Filsafat Monetssori ini juga menjadi landasan penyusunan kurikulum mata pelajaran
Pendidikan Jasmani (Penjas) yang disampaikan mulai usia Paud sampai SMA dan tida
diterapkan pada usia perguruan tinggi. Apabila ditelaah lebih lanjut hal ini masuk akan
sebabab anak usia Paud sampai dengan SMA masih mengalami masa pertumbuhan fisik. Hal
ini menurut Monetssori harus dikelola dengan baik agar gerakan fisik mempunyai efek yang
positif terhadap kesehatan akal dan jiwa.
Sebegitu urgensinya gerakan fisik bagi peserta didik kemudian muncul istilah Mensana in
corpora sanu di dalam tubuh yang sehat terdapat akal/jiwa yang sehat. Sekali menegaskan
akan pentingnya olah tubuh bagi seseorang sehingga memunculkan kurikulum olah raga pada
jenjang pendidikan dsar sampai atas.

C. PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istilah kurikulum yang diadopsi dari dunia
olah raga menjadi terintegrasi dalam dunia penidikan menjadi suatu program yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan tertentu. Yang
membedakan kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pada umumnya terletak pada
integrasi nilai-nilai keIslaman pada aspek-aspek kurikulum, begitu pula prinsip yang menjadi
arah pendidikan Islam juga menonjolkan keterpautan dengan ajaran Islam Al-Qur’an dan Al-
hadits, Montessori berpandangan pentingnya masalah aktifitas belajar untuk menciptakan
karakter siswa.
DAFTAR PUSTAKA

32[1] Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang : Rasail Media Group, 2008), 1.
33[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu,
Memanusiakan Manusia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010), 99.
34[3] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2006), 145.
35[4] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 77.
36[5] Asep Herry Hernawan dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 2. Lihat juga Zainal Arifin, Pengembangan
Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, (Jogjakarta: DIVA Press, 2012), 35. Lihat
juga Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), 61.
37[6] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), 125.
38[7] Ibid, 125.
39[8] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2004), 183.
40[9] Ibid, 183
41[10] Toto Suharto, 126.
42[11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 61.
43[12] Abdulllah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarata: Ar-Ruzz
Media, 2011), 207. Lihat juga Mimin Hariyati, Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat
Satuan Pendidikan, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007), 1.
44[13] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Pers,
2010), 127.
45[14] Syaiful Bahri Djamarah merinci aktifitas belajar meliputi mendengar, memandang,
meraba, membau, mengecap, menulis atau mencatat, membaca, membuat paper, mengingat,
berfkir dan latihan atau gerak. Lihat Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), 38-45
46[15] Ibid, 128.
47[16] Ibid, 129.
48[17] Bisa disitilahkan juga dengan kecakapan hidup (skill) sebagaimana yang dikatakan M.
Thobroni dan Arif Mustafa dalam, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan
Praktik Pembelajaran Dalam Pengembangan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
231.
49[18] Lias hasibuan, 129.
50[19] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta : Ciputat Pers, 2002), 61.
51[20] Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani terjemah Hasan Langgulung, Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 490.
52[21] Ibid, 491-498.
53[22] Toto Suharto, 130.
54[23] Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, 512-518.
55[24] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), 129-130.
56[25] B.R. Hergegenhan dan Mattew H Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), (Jakarta
: Kencana, 2010), 324.
57[26] Hasan basri, 130.
58[27] Toto Suharto, 131.
59[28] Toto Suharto, 131-132.
60[29] Toto Suharto, 132-133.
61[30][30] Samsul Nizar, 29-30.
62[31] Samsul Nizar, 31.

Anda mungkin juga menyukai