Anda di halaman 1dari 2

Pilihan Strategy Digital Health Care di Indonesia: Lompat atau Jalan di Tempat

Andreasta Meliala12
Pendahuluan
Pada gelombang pertama penggunaan teknologi dalam industri pelayanan kesehatan di United States (1950), highly
standardized automation berfungsi untuk mengoptimalkan sistem pembayaran, sistem inventory, dan sistem back
office lainnya. Gelombang kedua pada tahun 1970-an, sudah menyasar sistem supply-chain dan mulai terjadi
integrasi antara unit pelayanan dengan back office. Gelombang ketiga, yang terjadi saat ini, penggunaan teknologi
digital telah menyatukan seluruh fungsi pelayanan dengan fungsi manajemen. Penyatuan ini menggunakan platform
enterprise-wide full digitization untuk mengintegrasikan sumber daya, kanal komunikasi, dan proses serta outcome
pelayanan, sembari melakukan analisis untuk mendukung terjadinya perbaikan berkelanjutan.
Pokok Masalah
Penggunaan teknologi digital di Indonesia berada pada gelombang yang mana? Beberapa riset menunjukan bahwa
penggunaan teknologi digital di Indonesia masih pada gelombang yang pertama. Para manajer rumah sakit
memanfaatkan teknologi digital pada aktifitas administrasi dengan dukungan teknologi digital sederhana, seperti
yang dilakukan di US pada tahun 1950. Teknologi digital di rumah sakit masih diarahkan untuk mendukung
kelancaran dan akurasi billing system, mem-back up rekam medis (bukan mentransformasi), dan menghitung hari
kehadiran karyawan, serta sharing data antar unit dalam bentuk read-only. Riset pemanfaatan teknologi digital juga
masih pada upaya menanamkan mindset digitization serta upaya mendaratkan teknologi digital di rumah sakit agar
dapat diterima sebagai solusi, bukan beban tambahan. Sementara itu di luar rumah sakit, penduduk Indonesia
banyak yang berharap agar teknologi digital dapat mempermudah akses ke rumah sakit dan pada kenyataannya
pengembangan teknologi digital sudah sampai pada era “block-chain”.
Diskusi
Ketertinggalan ini harus dikejar oleh manajer rumah sakit dengan pembelajaran double loop, yang menyarankan
agar jika terjadi “masalah” dalam organisasi, maka corrective action harus sampai pada tataran organization’s
underlying norms, kebijakan, dan tujuan organisasi, seperti yang disarankan oleh Chris Argyris. Manajer rumah sakit
diharapkan menguasai isu internal pada tataran fundamental rumah sakit terkait pemanfaatan teknologi digital serta
memiliki insight yang kuat terhadap state of the art teknologi digital di rumah sakit pada tingkat global. Diperlukan
breakthrough dengan mengubah kebijakan organisasi, standar operasional, sampai dengan sistem reward and
punishment, untuk mempercepat adopsi teknologi digital dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan dengan
ongkos yang efisien. Di era JKN ini, tekanan eksternal sangat kuat mendorong rumah sakit agar lebih efisien tanpa
menurunkan daya efikasi, maka saat ini sangat tepat bagi manajer rumah sakit untuk membuat lompatan.
Sinkronisasi Human-Organization-Technology di rumah sakit dimulai dari komitmen manajemen puncak untuk
menerapkan enterprise-wide digital technology. Berikutnya, pada era platform “block chain”, financial technology
(fin-tech) akan menjadi tantangan baru manajer rumah sakit. Pembiayaan kesehatan dengan dukungan fin-tech
sudah masuk ke Indonesia. Apakah rumah sakit akan mampu mengikuti perkembangan ini?
Kesimpulan
Diperlukan kapabilitas manajer rumah sakit di Indonesia untuk melakukan terobosan besar dan perubahan
fundamental organisasi agar teknologi digital dapat diterima sebagai solusi serta wahana untuk pengembangan
rumah sakit. Tidak ada yang tidak mungkin di era digital, termasuk upaya mengejar ketertinggalan perumahsakitan
di Indonesia dalam memanfaatkan teknologi digital. Semuanya bergantung kepada leadership manajer rumah sakit
Indonesia.

1
Ketua Pengelola Magister Manajemen Rumahsakit, Fakultas Kedokteran UGM

2
Direktur Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM

Anda mungkin juga menyukai