Proposal
Oleh
Rahma Dilla
(1606103020068)
1
3.4.1 Analisis Data Wawancara ............................................................................................ 20
3.4.2 Analisis data angket Self Confindece ........................................................................... 21
3.4.3 Redukasi Data .............................................................................................................. 22
Daftar Pustaka ............................................................................................................................... 23
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ide-ide yang diberikan secara abstrak yang diubah dalam symbol yang
tersusun secara hirarkis dan penalaran deduktif, sehingga belajar matematika itu sering
diasumsikan sebagai ilmu mental yang tinggi (Mulyono,2003). Oleh karena itu, kurikulum
pendidikan di Indenesia menempatkan matematika sebagai mata pelajar wajib yang diberikan
kepada sisw sekolah dasar, sekolah menengah hingga ke perguruan tinggi. Pembelajaran
matematika tidak sekedar menyampaikan berbagai informasi seperti aturan, definisi, dan prosedur
untuk dihafal oleh siswa tetapi guru harus melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar
mengajar.
Dalam pemecahan masalah terdapat aspek afektif yang harus diperhatikan siswa dalam
pembelajaran matematika yaitu Self confindece. Self confindece adalah keyakinan atau percaya
diri seseorang untuk berprilku yang diharapkan serta mempunyai suatu situasi untuk menghasilkan
yang positif (Ismawati, 2010). Siswa yang memiliki kepercayaan diri dapat menyelesaikan tugas
atau pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, maka hal ini akan berdampak
positif terhadap dirinya sehingga siswa menjadi lebih yakin dan dapat meningkatkan prestasi yang
diperoleh. Pada masa ini siswa akan mengalami kekurangan rasa percaya diri, perubahan secara
fisik, sehingga mempengaruhi rasa percaya dirinya (Hurlock, 1980). Sementara itu, Lauster
3
(Hendriana, 2012), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu,
diantaranya: a) percaya kepada kemampuan sendiri; b) bertindak mandiri dalam mengambil
keputusan; c) memiliki konsep diri yang positif; d) berani mengungkapkan pendapat. Sedangkan
indikator-indikator kepercayaan diri yang akan digunakan selama pembelajaran matematika
adalah indikator yang dikemukakan oleh Lauster (Hendriana, 2012), antara lain : 1) optimis: 2)
percaya pada kemampuan sendiri; 3) toleransi; 4) ambisi normal; 5) tanggung jawab; 6) rasa aman;
7) mandiri; dan 8) mudah menyesuaikan diri.
Pengembangan self confidence di sekolah masih belum Nampak. Hal ini ditunjukkan dari
penelitian Rohayati (2011) yaitu masih banyak siswa Indonesia kurang memiliki rasa percaya diri.
Siswa akan merasa gugup dan tegang jika dihadapkan pada masalah. Hasil penelitian Mullis
(2012) menunjukkan bahwa tingkat self confidence siwa Indonesia masih rendah. Siswa tidak
berani untuk mempresentasikan hasil pekerjaanya di depan kelas karena masih tidak percaya diri.
Selain kesalahan dalam matematika, beberapa peneliti menyatakan bahwa faktor gender juga
mempengaruhi cara memperoleh pengetahuan matematika. Kaitel (1998) menunjukkan bahwa
gender merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam proses konseptualisasi. Perbedaan
konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki – laki dalam
masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab,
fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya perbedaan
gender itu melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga masyarakat sering lupa seakan-akan
4
hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri
biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Beberpa penelitian untuk menguji bagaimana perbedaan gender berkaitan dengan pembelajaran
matematika, laki-laki dan perempuan dibandingkan dengan menggunakan variabel-variabel
termasuk kemampuan bawaan,sikap,motivasi,bakat,dan kinerja (goodchild, & Granholm, 2007).
Beberapa peneliti percaya bahwa pengaruh faktor gender (pengaruh perbedaan laki-laki
perempuan) dalam matematika adalah karena adanya perbedaan biologis dalam otak anak laki-laki
dan perempuan yang diketahui melalui observasi, bahwa anak perempuan, secara umum, lebih
unggul dalam bidang Bahasa dan menulis, sedangkan anak laki-laki lebih unggul dalam bidang
matematika karena kemampuan-kemampuan keruangan yang lebih baik (Geary, 2000). Namun,
menurut Mullis (2004) bahwa anak perempuan secara konsisten memperoleh prestasi yang lebih
baik daripada anak laki-laki di kelas. Perbedaan karakteristik berpikir laki-laki dan perempuan
seperti yang disampaikan Kartono (1970), menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih rasional
dalam menghadapi masalah disbanding perempuan, laki-laki pada umumnya mempunyai
kemampuan berpikir abstrak, menyeluruh sedangkan perempuan cenderung berpikir nyata dan
praktis. Dari perbedaan cara berpikir tersebut tentu akan mempengaruhi penggunaan kognisi atau
metakognisi yang dimiliki untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, cukup menarik dilakukan
penelitian untuk melihat bagaiman peran gender dalam pembuktian matematis. Berdasarkan
beberapa teori yang menyatakan bahwa gender juga berpengaruh dalam belajar matematika, maka
peneliti ingin mengetahui apakah perbedaan gender juga berpengaruh terhadap kemampuan
pembuktian. Sehingga dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui kemampuan self confidence
siswa SMP dalam pembelajaran matematika ditinjau dari perbedaan gender.
5
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin diperoleh dari hasil penelitian adalah untuk:
1. bagi peneliti, dapat dijadikan sebagai acuan/referensi untuk penelitian lain dan pada
penelitian yang relevan.
2. Bagi guru dapat mengetahui kemampuan Self confindece siswa pada pembelajaran
matematika melalui gender sehingga proses pembelajaran berlangsung efektif.
3. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat membantu siswa untuk melatih tingkat kemampuan
mereka khususnya tingkat kemampuan Self confindece dalam pelajaran matematika.
1. kepercayaan diri yaitu kemampuan keyakinan yang dimiliki setiap individu untuk
melakukan hal-hal yang disukainya dengan tindakan yang rilek tanpa ada keraguan dalam
berinteraksi dengan orang lain secara baik dan sopan Lauster (Sutisna, 2010).
2. Dari sisi perbedaan gender, ditemukan bahwa bukan hanya adanya perbedaan kemampuan
dalam matematika yang didasari oleh faktor gender, tetapi cara memperoleh pengetahuan
matematika juga terkait dengan perbedaan gender
6
secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-
idenya.
3. Angket Self Confindece diberikan pada pertemuan terkhir. Hal ini dilakukan untuk melihat
bagaimana sifat Self Confindece siswa setelah diberikan pembelajaran matematika.
1. Self Confindece adalah suatu keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya dalam
segala aspek yang meliputi cara pandang yang positif terhadap diri, yakin dengan
percaya pada kemampuan yang dimiliki, bertindak mandiri dalam mengambil
keputusan, menunjukkan sikap positif dalam menghadapi masalah, berani
mengungkapkan pendapat, dan selalu optimis, bersikap tenang dan pantang menyerah.
2. Perbedaan gender adalah perbedaan cara berpikir laki-laki dan perempuan yang bersifat
bawaan dan dapat berubah setiap saat melalui upaya yang dilakukan.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Istilah matematika berasal dari Bahasa Yunani,yaitu Mathein atau Manthenein yang berarti
mempelajari. Kata ini memiliki hubungan yang erat dengan kata Sanskerta, Medha atau widya
yang memiliki arti kepandaian, ketahuan atau intelegensia. Menurut Bahasa Belanda, matematika
disebut dengan kata Wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar yang sesuai dengan arti kata
mathem pada matematika (Wikipedia). Johson dan Rising (1972) menyatakan bahwa matematika
adalah pola pengorganisasian pola berpikir, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahan
yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat jelas, akurat, representasi dengan
symbol dan padat, lebih berupa Bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi, James
(1976) menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan,
beseran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang
banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.
Menurut Ruseffendi (2001) matematika adalah Bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak
menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang
8
terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke dalil.
Menurut Suhermin (2003) matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar.
Hal ini dimaksudkan bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan tetapi dalam
ilmu matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu
lain lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih
menekankan hasil observasi atau eksperimen di samping penalaran. Lebih lanjut Suherman
menambahkan matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusa yang berhubungan dengan
ide, proses dan penalaran. Pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam
dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia kemudian pengalaman itu
diproses dunia dalam rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur
kognitif, sehingga sampailah suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika.
9
bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri
(Sudrajat: 2008). Lauster (Sutisna, 2010) mengatakan kepercayaan diri yaitu kemampuan
keuakinan yang dimiliki setiap individu untuk melakukan hal-hal yang disukainya dengan tindakan
yang rilek tanpa ada keraguan dalam berinteraksi dengan orang lain secara baik dan sopan.
Kepercayaan diri adalah percaya terhadap kemampuan diri dalam menyatukan dan
menggerakkan motivasi dan sumber daya yang dibutuhkan, dan memenculkannya dalam tindakan
yang sesuai dengan apa yang harus diselesaikan, atau sesuai dengan tuntutan tugas Bandura
(Sudrajat, 2008). Kepercayaan terhadap kemampuan diri dapat mempengaruhi kinirja dan prestasi
seseorang. Seseorang dengan kepercayaan diri yang rendah tidak dapat mencapai apa yang
seharusnya dapat dilakukannya dan jarang berhasil dalam tugasnya karena kurangnya kemampuan
menggerakkan motivasi dan sumber daya yang dimilikinya. Kepercayaan diri yang rendah ditandai
dengan adanya rasa takut gagal. Walgito (Sutisna, 2010) mengemukakan bahwa kepercayaan diri
(self confindece) terbentuk melalui proses perkembangan manusia pada umumnya, khususnya
dalam interaksi dengan lingkungan.
self confindece merupakan gabungan dari self esteem dan self efficacy. Artinya self
confindece meurupakan merupakan kepercayaan akan keyakinan positif terhadap diri dan
keyakinan akan kemampuan diri James Neill (Ubaedy, 2011). Selanjutnya, suhardita (2011)
menyatakan bahwa konsep percaya diri adalah suatu keyakinan dalam menjalani kehidupam,
menentukan pilihan dan membuat keputusan. Kepercayaan diri datang dari pengalaman hidup dan
kebiasaan melakukan sesuatu dengan baik. Percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa apa yang ia
buat berdasarkan keputusan yang ia pilih.
self esteem adalah penilaian akan diri sendiri, anggapan bahwa dirinya berharga, berarti
dan memiliki kemampuan Coopersmith (Sherlina, 2011). Sementara itu, Bandura dan Wood
(Mustaqim, 2009) mengatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan diri dalam memunculkan
motivasi, kecerdasan, dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghadapi masalah. self
efficacy bukanlah keyakinan umum tentang diri sendiri melainkan sebuah keyakinan khusus yang
mengarah pada suatu tugas tertentu (Widiatmojo, 2004). self efficacy dapat dipandang sebagai
persepsi seorang tentang kemampuan dirinya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan pada
situasi khusus yang tidak pasti lebih khusus lagi. Sementara itu, wood (Widiatmojo, 2004)
10
menyatakan self efficacy adalah kemampuan seseorng untuk memberi motivasi tentang
pengetahuan yang didapatkan dalam situasi apapun.
Berikut adalah contoh perbedaan Self confindece dan self efficacy. Misalkan dalam kelas
ada dua orang anak diperintahkan mengerjakan soal matematika yang cukup sulit dan
mempresentasikannya di depan kelas. Anak pertama terlebih dahulu mengerjakan di buku, lalu
setelah selesai, baru presentasi di depan kelas. Anak kedua, saat diberi soal langsung mengerjakan
di depan kelas sekaligus presentasi. Semua kegiatan menghitung dilakukan di depan kelas. Anak
pertama merupakan contoh self efficacy, sedangkan anak kedua merupakan contoh dari Self
confindece.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Self confindece adalah suatu sikap
atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu
cemas dalam tindakan-tindakannya, dan bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya seperti
bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat, dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka faktor dominan yang mempengaruhi rasa percaya
diri adalah faktor keluarga dan pemahaman akan kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
11
2.2.3 Proses Terbentuknya Self confindece
Menurut hakim (Rohayati 2011) rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri
seseorang, tetapi ada proses tertentu di dalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa
percaya diri itu. Terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses :
NO Faktor Indikator
1 Kepercayaan terhadap pemahaman Percaya diri dalam menghadapi kegagalan
dan kesadaran diri terhadap dan keberhasilan
kemampuan matematikanya.
12
Percaya diri dalam bersaing dan
dibandingkan dengan teman-temannya
2 Kemampuan untuk menentukan Tahu keterbatasan diri dalam menghadapi
secara realistic sasaran yang ingin persaingan dengan teman-temannya
dicapai dan menyusun rencana aksi Tahu keterbatasan diri dalam menghadapi
sebagai usaha untuk meraih sasaran matematka
yang telah ditentukan
3 Kepercayaan terhadap matematika Matematika sebagai Sesutu yang abstrak
itu sendiri. (matematika sebagai Matematika sebagai suatu yang sangat
ilmu) berguna
Matematika sebagai suatu seni, analisitis
dan rasional
Matematika sebagai suatu kemampuan
bawaan
Sumber : (Margono:2005)
Orang yang memiliki kepercayaan diri, memiliki ciri-ciri berikut : a) tidak memetingkan
diri sendiri, b) cukup toleran, ambisius, c) tidak perlu dukungan orang lain, d) tidak berlebihan, e)
selalu optimis, f) mau bekerja secara efektif, dan g) bertanggung jawab atas pekerjaanya Lautser
(Sutisna, 2010). Sementara itu, Guilford (Sutisna, 2010) mendasari penilaian kepercayaan diri
dalam tiga aspek : a) Bila seseorang merasa dapat melakukan segala sesuatu, b) merasa bahwa
orang lain menyukainya, dan c) bila seseorang percaya pada dirinya sendiri serta memiliki
ketenangan sikap, yaitu tidak gugup bila melakukan atau mengatakan sesuatu secaran tidak sengaja
dan ternyata itu salah.
Percaya diri adalah suatu hal yang jauh lebih penting daripada kemampuan dan sifat-sifat
lainnya. Percaya diri adalah kepercayaan seseorang pada diri sendiri, pengetahuan seseorang dan
kemampuan seseorang (Raghunathan, 2000). Jika seseorang tidak memiliki kepercayaan diri, apa
yang orang itu lakukan tidak akan pernah menjadi berbuah sama sekali. Ada beberapa hal yang
dapat meningkatkan rasa percaya diri (self confidence), yaitu: a) meiningkatkan self esteem yaitu
meningkatkan penerimaan diri, konsep diri, dan citra diri seseorang, b) menjaga citra diri yang
baik. c) berpikir dan bertindak positif, d) berbaur diri dengan orang yang optimis, positif dan aktif.
13
e) bertindak dan berbicara dengan yakin. f) membantu orang lain sepenuh hati tanpa
mengharapkan apapun. g) jadilah bahagia, tersenyum, ramah dan mudah didekati. h) berprilaku
sesuai dengan perilaku stereotip orang-orang percaya diri. i) jadilah aktif dan antusias.
Berdasarkan paparan yang dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa self confidence
(percaya diri) adalah sikap kepercayaan diri yang baik, berpikir dan bertindak positif, berbaur diri
dengan orang yang optimis, postif dan aktif, bertindak dan berbicara dengan yakin, membantu
orang lain sepenuh hati tanpa mengharapkan apapun serta aktif dan antusias. Dari definisi ini dapat
dibuat indikator, yaitu: a) menjaga citra diri yang baik, b) berpikir dan bertindak positif, c) berbaur
diri dengan orang yang optimis, positif dan aktif, d) bertindak dan berbicara dengan yakin, e)
membantu orang lain sepenuh hati tanpa mengharapkan apapun dan f) aktif dan antusias.
2.3 Gender
2.3.1 Gender Secara Umum
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antasa perempuan dan
laki-laki apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi
oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas.
Dominanya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang
diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum laki-laki. Ada
beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan Gender. Kata Gender berasal dari
Bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (Echols dan Hassan, 1983). Secara umum, pengertian
Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai
dan tingkah laku.
Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep
kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitis, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex dan Gender yang ditulis oleh lips (1993) mengartikan Gender sebagai harapan-
harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah,
lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan
perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat-sifat
tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih, 1996).
14
Putra (2000) menegaskan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa
pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai
suatu fenomenas sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu
persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah
perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigm feminism
yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme structural dan konflik. Aliran fungsionalisme
structural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang
saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh dalam
masyarakat.
Lips (1993) membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis
condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih cendong ke psikologis namun keduanya
mempunyai kesimpulan yang sama. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk
menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagai pemburu dan
perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada
peran domestic. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu,
stratifikasi peran gander ditentukan oleh jenis kelamin (sex). Kritik terhadap aliran tersebut bahwa
struktur keluarga kecil yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam
masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggungan jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa
ini fungsi tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
15
Menurut Santrock (2003) mengemukakan bahwa istilah gender dan jenis kelamin memiliki
perbedaan dari segi dimensi, istilah gender mengacu pada dimensi sosial budaya seorang
perempuan dan laki-laki, sedangkan jenis kelamin adalah mengacu pada dimensi biologis
seseorang perempuan dan laki-laki. Gender merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan
indentifikasi individu sebagai seorang perempuan dan laki-laki (Baron, 2000). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengertian dari gender adalah perbedaan tanggung jawab, fungsi, dan peran
antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil kontruksi sosial dan masih dapat berubah
sesuai dengan perkembangan zaman.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan fungsi,
peran, dan tanggung jawab bahkan ruang tempat di mana manusia beraktivitas. Sedemikian
rupanya berbedaan gender itu melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga masyarakat sering
lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan
abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Dari sisi perbedaan gender, ditemukan bahwa bukan hanya adanya perbedaan kemampuan
dalam matematika yang didasari oleh faktor gender, tetapi cara memperoleh pengetahuan
matematika juga terkait dengan perbedaan gender. Beberapa peneliti percaya bahwa pengaruh
faktor gender (pengaruh perbedaan laki-laki, perempuan) dalam matematika adalah karena adanya
perbedaan biologis dalam otak anak laki-laki dan perempuan yang diketahui melalui observasi,
bahwa anak perempuan, secara umum, lebih unggul dalam bidang Bahasa dan menulis, sedangkan
anak laki-laki lebih unggul dalam bidang matematika karena kemampuan ruangannya yang lebih
baik menurut Geary (2000). Sedangkan menurut Rushton (1973) perbedaan prestasi belajar
perempuan dan laki-laki lebih aktif daripada perempuan. Akan tetapi, keaktifan laki-laki ini
kemudian menyebabkan laki-laki menjadi lebih sulit untuk diatur. Hal ini yang menyebabkan laki-
laki memiliki prestasi belajar yang lebih rendah daripada perempuan.
16
terdapat pengaruh positif antara kepercayaan diri dan aktifivitas belajar terhadap kemampuan
pemecahan masalah. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Indra Siregar (2012) tujuan dari
penelitiannya adalah untuk menerapkan pembelajaran matematika menggunkan model-eliciting
activity untuk meningkatkan Self Confindece siswa SMP. Hasil penelitianya adalah penerapan
pendekatan model-eliciting activity dalam pembelajaran matematika dapat lebih meningkatkan
Self Confindece siswa SMP dari pada pembelajaran konvensional.
Senada dengan penelitian di atas hasil penelitian yang dilakukan Zhu (2007) yang berjudul
“Gender Differences in mathematical problem solving patterns: A review of literature”. Hasil
penelitiannya menjelaskan bahwa perbedaan gender berpengaruh pada pembelajaran Matematika.
Pengaruh tersebut berupa strategi yang digunakan yang berupa pola-pola yang berbeda dalam
menyelesaikan masalah matematika. Hal ini perlu dikaji dalam penelitian ini karena bukti
matematis merupakan bagian dari matematika.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
Karakteristik dari penelitian kualitatif ditandai dengan kegiatan untuk mengamati orang
dalam situasi nyata, baik dalam berinteraksi dengan lingkungannya, maupun untuk memahami
perilaku orang yang diamati tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sugiyono (2012)
penelitian kualitatif adalah penelitian merupakan instrument kunci. Hal ini sejalan dengan
pendapat Moleong (2010:168) bahwa dalam penelitian kualitatif hanya penelitilah yang
berhubungan langsung dengan subjek penelitian, dan hanya peneliti yang mampu memahami
kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan melalui observasi dan wawancara, serta tidak dapat
diwakilkan kepada orang lain. \
18
kelompok peserta seusai dengan kriteria yang relevan dengan masalah penelitian. Dari jumlah
siswa 21 orang tersebut, kemudian diambil 6 subjek 3 subjek siswa perempuan dan 3 subjek siswa
laki-laki untuk memfokuskan penelitian agar penelitian dapat dilakukan lebih mendalam dan
terperinci. Keenam subjek tersebut dipilih berdasarkan data awal dokumentasi nilai dari guru
bidang studi matematika, dimanan penentuanya terlihat seperti pada tabel di bawah ini:
3.3.1 Pengamatan
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengamat, dan guru bidang pembelajaran
matematika bertindak sebagai pengajar. Pengamatan dilakukan untuk melihat Self Confindece
siswa pada pembelajaran matematika melalui gender.
19
3.3.2 Wawancara
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini merupakan wawancara terstruktur,
dimana dalam pelaksanaanya lebih bebas dengan tujuan untuk menemukan permasalahan secara
lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam hal
ini peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan tujuan penelitian yaitu untuk
menyelidiki Self Confindece siswa pada pembelajaran matematika melalui gender. Wawancara
dilakukan didasarkan pada pengearuh gender terhadap pembelajaran matematika.
20
diteliti dalam hal ini adalah kemampuan dalam pembelajaran matematika dan sikap Self
Confindece siswa ditnjau dari gender.
𝑓
𝑃= × 100%
𝑛
Keterangan :
P = Persentase jawaban
F = Frekuensi Jawaban
N = Banyak Responden
Persentase yang diperoleh pada masing – masing pernyataan kemudian akan di dasarkam
pada kriteria persentasi seperti berikut:
Kriteria Penafsiran
21
0%≤ 𝑃 ≤ 25% Kurang sekali
25%≤ 𝑃 ≤ 50% Kurang
50% ≤ 𝑃 ≤ 75% Baik
75%≤ 𝑃 ≤ 100% Baik Sekali
(sumber : Sugiyono, 2012)
Dari persentase keseluruhan, maka di katakana bahwa apabila persentase respon ≥ 70%, itu berarti
Self Confindece siswa baik dan jika jumlah persentase respon ≤ 70%, maka ini menandakan
bahwa siswa kurang atau tidak memiliki Self Confindece dalam pembelajaran matematika.
Untuk selanjutnya, setelah data terkumpul dilakukan analisis data dengan tahap-tahap yaitu
redukasi data, penyajian data, dan penyimpulan data seperti yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (1992), sebagai berikut:
Data yang diperoleh dari hasil wawancara akan disajikan secara tertulis, proses redukasi
data diawali dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari
wawancara dan hasil tes yang diberikan. Analsis dilakukan dengan transkip data yang terdiri dari
kelompok pertanyaan, jawaban, dan perilaku responden dari hasil rekaman audio visual. Tahap ini
meliputi:
1. Memutar hasil rekaman wawancara. Semua ucapan yang disampaikan subjek yang
berkaitan dengan pertanyaan penelitian di transkip untuk cuplikan yang dijadikan
acuan analisis
2. Rekaman wawancara diputar beberapa kali sampai jelas dan benar tentang apa yang
diungkapkan dalam wawancara kemudian ditranskipkan.
3. Memriksa ulang hasil transkip, baik dari hasil wawancara. Hasil transkip diperiksa
ulang kebenarannya dengan mendengarkan kembali ungkapan-ungkapan pada saat
wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan transkip yang dilakukan.
22
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakara: Bumi Aksara.
2010.
Baego Ishak dan Syamsudduha, Evaluasi Pendidikan Makassar: Alauddin Press, 2011
Brodie, K. (2010). Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classroom. New York:
Springer.
BSNP. 2006. Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta.
Depdiknas. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Depdiknas. (2006). PERMENDIKNAS No. 22 Th. 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Ghufron, dan Risnawita. (2012). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: ArRuzz Media.
Lie, A. (2003). 101 Cara menumbuhkan percaya diri anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Lindenfield, G. (1997). Mendidik anak agar percaya diri. (Terjemahan Ediati Kamil). Jakarta:
Penerbit Arcan.
Mendikbud. (2013a). Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan republik indonesia nomor
65 tahun 2013 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.
Margono, G. (2005). Pengembangan instrumen pengukur rasa percaya diri mahasiswa terhadap
matematika. [Versi Elektronik]. Jurnal Ilmu Pendidikan, 12(1), 45-61.
McGee, P. (2010). Self-confidence the remarkable truth of why a small change can make a big
difference. West Sussex: Capstone Publishing Ltd.
Suhendri, H. (2012, November). Pengaruh kecerdasan matematis-logis, rasa percaya diri, dan
kemandirian belajar terhadap hasil belajar matematika. Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar, Jakarta
23
Asmaningtias, Y. T. (2012). Kemampuan Matematika Laki-laki dan Perempuan. MADRASAH,
1(2)
Dilla, S. C., Hidayat, W., & Rohaeti, E. E. (2018). Faktor Gender dan Resiliensi dalam
Pencapaian Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMA. Journal of Medives, 2(1), 129-
136.
Khairunnisa, R., & Setyaningsih, N. (2017). Analisis Metakognisi Siswa Dalam Pemecahan
Masalah Aritmatika Sosial Ditinjau Dari Perbedaan Gender (Pada Kelas Vii Smp
Muhammadiyah 5 Surakarta Tahun Ajaran 2016/2017) (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
24