Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Terjadinya Infeksi pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dapat terjadi di

beberapa tempat. Bagian SSP yang sering terinfeksi adalah otak sistem saraf

pusat sebenarnya tidak hanya karena adanya mikroorganisme, tetapi lebih

diakibatkan oleh proses inflamasi sebagai respon adanya mikroorganisme

tersebut. Penyakit meningitis dapat terjadi pada semua tingkat usia,namun

kalangan usia muda lebih rentan terserang penyakit ini.

Data dari salah satu rumah sakit di Surabaya pada tahun 2000 hingga

pertengahan tahun 2001 menunjukkan jumlah 31 penderita meningitis. Usia

kurang dari satu tahun 22,6%; usia 1-5 tahun 3,2%; usia 5-15 tahun 6,4%; usia

15-25 tahun 32%; usia 25-45 tahun 16,1%; usia 45-65 tahun 16;1%; usia lebih

dari 65 tahun 3,2%. Dari 31 penderita tersebut sebanyak delapan orarng (25,8%)

meninggal dunia.

Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh

infeksi, adalah Tuberkulosis (TB). Keberhasilan penanggulangan TB sangat

bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu

perlu keterlibatan berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat, kalangan

swasta, organisasi profesi dan organisasi sosial serta LSM, Instalasi Farmasi

Rumah Sakit maupun tempat lain yang melayani masyarakat dalam memenuhi

kebutuhannya akan obat TB.


1.2.Tujuan

Referat ini dibuat agar penulis dan pembaca dapat mengetahui dan

memahamu definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis ,

kriteria diagnosis, pemeriksaan penunjang, pengobatan, komplikasi dan

prognosis dari meningitis tuberkulosis.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak

(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.

Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada

penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat

menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar

paru-paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.

2.2.Etiologi

Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang

pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3µm mempunyai sifat tahan asam, dapat

hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat

bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu

jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.

Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat

menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium

africanum, Mycobacterium microti.

2.3.Epidemiologi

Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan

dalam tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis.

Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak

berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan

negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua

2
kasus tuberkulosis. Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak

ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini

dapat saja menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan

kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada

anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur

dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.

Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis

yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar

antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang

akan kembali normal secara neurologis dan intelektual.

2.4.Patofisiologi

Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke

meningen. Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula

terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen

selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB

kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi

akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permulaan di

otak) akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang

subarakhnoid. Meningitis TB biasanya terjadi 3–6 bulan setelah infeksi primer.

Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebro spinal dalam bentuk kolonisasi

dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid, parenkim

otak, atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat

menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura

dapat disebabkan oleh fraktur , paska bedah saraf, injeksi steroid secara

3
epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP

shunt, dll. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan

meningitis. Walaupun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput

meningen, kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat

edema otak, penyumbatan vena dan memblok aliran cairan serebrospinal yang

dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan intrakranial, dan herniasi.

Berikut Skema patofisiologi meningitis tuberkulosa :

BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi

Jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / fokus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif / dormain

4
Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

MENINGITIS TUBERKULOSA

1.5. Manifestasi Klinis

Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat

dikelompokkan dalam tiga stadium, yaitu:

1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)

 Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.

 Biasanya gejalanya tidak khas.

 Timbul perlahan-lahan.

 Tanpa kelainan neurologis.

 Gejala yang biasa muncul: Demam (tidak terlalu tinggi), Rasa lemah,

Nafsu makan menurun (anorexia), Nyeri perut, Sakit kepala, Tidur

terganggu, Mual, Muntah, Konstipasi, Apatis, Irritable.

Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan

manifestasi yang sering ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua

memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah

menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul

kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.

5
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka

stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan

langsung masuk ke stadium III.

2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)

Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.

Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk

diatas lengkung serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan

Brudzinski (+) kecuali pada bayi.

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna

abu) di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini,

eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf

kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta

adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf

kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan

karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral

atau edema otak yang berat. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel

dan muntah adalah gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang

dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah

keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun. Gejala yang dapat

muncul, yaitu antara lain:

 Akibat rangsang meningen  sakit kepala berat dan muntah (keluhan

utama).

 Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:

o disorientasi

6
o bingung

o kejang

o tremor

o hemibalismus / hemikorea

o hemiparesis / quadriparesis

o penurunan kesadaran

o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial yang

sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII

- strabismus

- diplopia

- ptosis

- reaksi pupil lambat

- gangguan penglihatan kabur

3. Stadium III (koma / fase paralitik)

Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3 minggu.

Pada stadium ini gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi

akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh

eksudat yang mengalami organisasi. Gejala-gejala yang dapat timbul, antara

lain: pernapasan irregular, demam tinggi, edema papil, hiperglikemia,

kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma,

otot ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus, pupil melebar dan

tidak bereaksi sama sekali, nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur dam

hiperpireksia.

7
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu

dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum

pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1

minggu. Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang

penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila

pengobatan terlambat atau tidak adekuat.

1.6. Kriteria Diagnosis

Diagnosis kerja ke arah meningitis dapat dipikirkan apabila menemukan

gejala dan tanda-tanda klinis meningitis. Gejala dan tanda dari infeksi akut,

peningkatan tekanan intrakranial dan rangsang meningeal perlu diperhatikan.

Untuk mengkonfirmasi diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium berupa

tes darah dan cairan sumsum tulang belakang. Dari anamnesis: adanya riwayat

kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium penyakit), adanya

riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala,

maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada

penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus,

gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas

minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang

(pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus).

1.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

 Darah lengkap

 Uji tuberculin

 Radiologi

8
 Pungsi cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan

cara pungsi lumbal)

1.8. Pengobatan

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk

kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan

tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada

kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.Terapi diberikan sesuai dengan

konsep baku tuberkulosis yakni:

a. Pemberien antibiotic, walaupun belum diketahui Kausanya.

b. Atasi adanya peningkatan Tekanan Intracranial.

c. Pengobatan simtomatis.

- Menghentikan kejang: dengan Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis

IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rectal suppositoria. Phenytoin 5

mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau Phenobarbital 5-7

mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis.

- Menurunkan panas: Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis

PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali

sehari, Kompres air hangat/biasa dan Pengobatan suportif: Cairan

intravena dan Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar

antara 30-50%.

Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti

tuberkulosis, yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan

etambutol. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni

9
isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan. Terapi untuk meningitis terbagi

menjadi terapi umum dan terapi khusus, yaitu:

 Terapi Umum

 Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif

 Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein

 Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.

 Keseimbangan cairan tubuh

 Perawatan kandung kemih dan defekasi

 Mengatasi gejala demam, kejang.

 Terapi Khusus

a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:

 Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH

Untuk 2 bulan pertama.

 INH : 1 x 400 mg/hari, oral

 Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral

 Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral

 Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral

Untuk 7-12 bulan selanjutnya.

 INH : 1 x 400 mg/hari, oral

 Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral

Steroid, diberikan untuk :

 Menghambat reaksi inflamasi

 Mencegah komplikasi infeksi

 Menurunkan edem cerebri

10
 Mencegah perlengketan arachnoid dan otak

 Mencegah arteritis/ infark otak

Indikasi :

 Kesadaran menurun

 Defisit neurologi fokal

Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg

intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1

bulan.

b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta

Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri

penyebabnya dan dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil

biakan sebaiknya diberikan antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika

diberikan selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas

demam.

 Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,

Streptococcus, Meningiococcus.

 Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi

Haemophilus.

 Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman

gram negatif.

1.9. Komplikasi

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah

gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik,

kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat

11
berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada

koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan

kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat

streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada

kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan

EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang

dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien

yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar

pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,

hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin

dan gonadotropin.

1.10. Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien

didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk

prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis

tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur

pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang

lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak

(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini

merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit

tuberkulosis paru. Tuberkulosis yang menyerang SSP (sistem saraf pusat)

ditemukan dalam tiga bentuk yaitu meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis

spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus

terbanyak adalah meningitis tuberkulosis.

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk

kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan

tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada

kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Komplikasi yang paling

menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele).

Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori

ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,

gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien

didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk

prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis

dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang

berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada

pasien yang lebih tua usianya.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika. 2008.

Infeksi Penyakit Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda

Melinda. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung:

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. p. 221-229.

2. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. 2008. Clinical Tuberculosis 2th

edition. IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. p. 160.

3. Koppel BS. 2009. Bacterial, Fungal, and Parasitic Infections of the Nervous

System in Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA; The

McGraw-Hill Companies. p403-408, p421-423.

4. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, cetakan ke-6,

Dian Rakyat, Jakarta

5. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak,Infeksi System Saraf Sentral edisi 15, EGC,

Jakarta 2000.

6. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine.

2009.

7. Scheld, M. 2009. Infection of the Central Nervous System third edition.

Lippincot William and Wilkins. p. 443.

8. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag.

Philladelphia, Pennsylvania. 2006.

14
9. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis.

Clinical Infectious Disease. Infectious Disease Society of America.

Phyladelpia. 2004.

10. Van de beek, D. Clinical Features and Prognostic Factors in Adult with

Bacterial Meningitis. NEJM.2004.

15

Anda mungkin juga menyukai