PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan
kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan
menghasilkan rilis mediator kimia seperti sel mast dan basofil yang akan
berpengaruh pada sistem kardiovaskuler yang ditandai dengan curah jantung
dan tekanan arteri yang menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi
nafas, dan sistem gastrointestinal.
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi
yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik
merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi
saluran napas.
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen.
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen.
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan
alergen.
2.2 Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Amerika Serikat disebutkan
bahwa angka kejadian anafilaksis berkisar antara 21 kasus/100.000 penduduk.3
Diperkirakan angka kejadian reaksi anafilaksis di Amerika yang meninggal
dunia sebanyak 1500 per tahun, dan 1300 orang meninggal disebabkan karena
obat-obatan seperti penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian
terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat yaitu sebanyak 0.02% dan yang
lainnya karena penggunaan obat-obatan seperti kontras. Sementara di
Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan
2 kasus /10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan
mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda,
sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
2.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat
penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya
menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin
lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi
anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan
penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari
90% kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
Penundaan pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat
fatal.
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam
folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
NSAIDs
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.
2.4 Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate
type reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara
antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan
mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase :
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit).
Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan
basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi
kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan
mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan
cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah
penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala
anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan
sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat
degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan
pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil
dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan
patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat
meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan
karena dapat merangsang terlepasnya mediator.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun
yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan
tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.