Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syok merupakan kurangnya perfusi terhadap jaringan akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan
massif kebutuhan metabolik (konsumsi oksigen) atau penurunan pasokan
metabolik (penghantaran oksigen). Patofisiologi syok bervariasi sesuai dengan
etiologinya dan mempunyai gambaran klinis yang berbeda pula. Salah satu
etiologi terjadinya syok adalah reaksi anafilaksis. Anafilaksis merupakan
reaksi alergi sistemik berat yang dapat menyebabkan kematian dan terjadi
secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen maupun pencetus yang lainnya.
Anafilaksis melibatkan imunoglobulin E (IgE) diperantarai reaksi hipersensitif yang
dihasilkan dalam rilis mediator kimia ampuh dari sel mast dan basofil sehingga
berpengaruh pada sistem kardiovaskular, pernapasan, dan gastrointestinal.
Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Indonesia khususnya
di bali pada tahun 2005 sebanyak 0,02% (2 per 10.000), dan pada tahun 2006
sebanyak 0,04% (4 per 10.000).7 Sedangkan di Amerika Serikat kejadian
anafilaksis pada seluruh populasi yaitu sebesar 0,021% (21 per 100.000) dan
0,002%-nya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa syok anafilaktik
merupakan keadaan kegawatdaruratan pada anak.
Penyebab syok anafilaktik bermacam-macam seperti obat-obatan,
makanan, seragga, latex, agen biologis, dan olahraga, sehingga pemberian
obat-obatan dan makanan tertentu perlu diwaspadai utuk mencegah terjadinya
syok anafilaktik. Manifestasi klinis yang muncul pada reaksi anafilaktik dapat
terjadi beberapa detik maupun menit, baik lokal maupun sistemik. Bentuk
reaksi ringan dapat berupa urtikaria dan reaksi berat seperti respirasi distress
atau syok. Jika sudah terjadi respirasi distress dan syok, maka harus ditangani
lebih cepat dengan penatalaksanaan yang tepat dikarenakan anafilaksis
merupakan reaksi alergi yang dapat mengancam jiwa sehingga dapat
menurunkan mortalitas. Oleh karena itu pentingnya memahami dan
mengetahui tentang syok anafilaktik.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh
tentang syok anafilaktik mulai dari definisi, etiologi, diagnosis, patofisiologi,
gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan
kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan
menghasilkan rilis mediator kimia seperti sel mast dan basofil yang akan
berpengaruh pada sistem kardiovaskuler yang ditandai dengan curah jantung
dan tekanan arteri yang menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi
nafas, dan sistem gastrointestinal.
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi
yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik
merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi
saluran napas.
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen.
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen.
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan
alergen.
2.2 Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Amerika Serikat disebutkan
bahwa angka kejadian anafilaksis berkisar antara 21 kasus/100.000 penduduk.3
Diperkirakan angka kejadian reaksi anafilaksis di Amerika yang meninggal
dunia sebanyak 1500 per tahun, dan 1300 orang meninggal disebabkan karena
obat-obatan seperti penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian
terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat yaitu sebanyak 0.02% dan yang
lainnya karena penggunaan obat-obatan seperti kontras. Sementara di
Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan
2 kasus /10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan
mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda,
sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
2.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat
penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya
menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin
lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi
anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan
penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari
90% kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
Penundaan pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat
fatal.
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam
folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
NSAIDs
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,


ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Beberapa bahan
yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan
anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-
polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau
lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut,
dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan
kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan yang telah
dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang,
kacang-kacangan, ikan, telur dan udang.
Tabel 2.2 Faktor Penyebab Anafilaktik
Alergen Penyebab Anafilaksis

Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting


Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amphoterici
n B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine,
Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

2.4 Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate
type reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara
antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan
mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase :
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.

Gambar 2.2 Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 10

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit).
Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan
basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi
kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan
mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan
cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah
penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala
anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan
sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat
degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan
pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil
dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan
patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat
meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan
karena dapat merangsang terlepasnya mediator.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun
yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan
tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

2.5 Gejala Klinis


Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya
reaksi maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa
detik atau menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap
sampai 24 jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Gejala
dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada
satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing.
Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih
dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai,
sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Gejala yang timbul pada organ ialah:
a. Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat
dilihat dari pucat dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian
vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat
pula terjadi tekanan darah rendah, vena perifer kolaps, CVP rendah,
palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume efektif plasma,
nadi cepat dan halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat
ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel
sampai asistol.
b. Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung,
batuk, sesak, mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai
apnea, kongesti hidung, edema dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas,
bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing dispnea, dan kegagalan
pernafasan.
c. Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual,
muntah, sakit perut, diare.
d. Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
e. Mata
Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.
f. Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
g. Sistem saluran kencing
Produksi urin berkurang.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang ireversibel. Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem
organ, Manifestasi klinik syok Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat
ringannya, yaitu sebagai berikut :
a. Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin,
mata berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme
dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
c. Berat/parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang
pesat ke arah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.
2.6 Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti:
1. Urtikaria
Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari
(kurang dari 6 minggu) dan umumnya penyebabnya dapat diketahui.
Urtikaria kronik, yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan
urtikaria berulang biasanya tidak diketahui pencetusnya dan dapat
berlangsung sampai beberapa tahun.
2. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan
reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi
sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan
biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
3. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi
tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
anafilaktik tidak ada nyeri dada.
4. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui
obstruksi saluran napas.
5. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
6. Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri
kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma.
7. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1 gr, bila
penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,
kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka
yang diberi makanan tanpa MSG.
8. Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus
seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi
hari.
9. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung,
gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor
pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma
diawali dengan RA.
2.7 Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa
tahap, yaitu :
1. Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang
dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu, kecuali pada kondisi terlarang,
misalnya dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan anestesi sangatlah
dianjurkan.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway (membuka jalan napas)
Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, penarikan mandibula ke anterior, dan membuka
mulut. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat terjadi obstruksi
jalan napas total atau parsial. Pertimbangkan intubasi elektif awal untuk pasien
dengan suara serak yang signifikan dan edema lingual atau orofaringeal.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih
aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Pada pasien
pediatri, intubasi mungkin secara teknis sulit, menambah juga beratnya edema.
Oleh karena itu, intubasi dengan sedasi dapat dibenarkan.
B. Breathing support
Pasien harus ditempatkan pada monitor kardiopulmonari terus menerus,
termasuk oksimetri. Jika jalan napas sudah memadai, oksigen harus diberikan
melalui masker wajah nonrebreather dengan dosis 12 sampai 15 L / menit pada
awalnya, kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan.
C. Circulation support
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat
anafilaktik. Pada pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan
dan diulang seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik
berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang
sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga
bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin.
3. Pemberian epinefrin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat
penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun
epinefrin memiliki indeks terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat),
epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting dalam membalikan
gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi
edema mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis
b1. Stimulasi dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan
pelepasan mediator sel mast dan basofil.
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi
disarankan. Namun, penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak dan
orang dewasa, rute intramuskular lebih unggul dibandingkan rute subkutan
dalam mencapai kadar konsentrasi plasma puncak, lebih cepat dan kadarnya
lebih tinggi. Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam upaya untuk
mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses anafilaksis. Epinefrin
konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular dengan
dosis 0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3
ml). Jika dosis awal tidak efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga
15 menit. Dosis dewasa dapat diberikan langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000
tidak diindikasikan untuk penggunaan intravena.
Beberapa menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4
ug/menit. Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan
untuk dilakukannya injeksi.
Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti epinefrin
intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak. Peneliti
menetapkan bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah yang cukup
dari epinefrin menggunakan inhaler dosis terukur meskipun pelatihan ahli.
Sebagai alternatif untuk injeksi intramuskular, rute sublingual administrasi
epinefrin-baru ini telah diselidiki dengan menggunakan model kelinci.
Meskipun hasil yang menjanjikan, ada data yang cukup untuk
merekomendasikan penggunaan rutin dalam pengobatan anafilaksis pada
manusia.
Tabel 2.3 Dosis Adrenalin
Usia Dosis Adrenalin
Dewasa 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak lebih dari 12 tahun 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak 6-12 tahun 300 mikrogram im (0,3 ml)
Anak kurang dari 6 tahun 150 krogram im (0,15 ml)

Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan


agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah dengan
solusi epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis
maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin terus menerus mungkin diperlukan
untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi terus meskipun
disebutkan di atas intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial lainnya
(agonis a1) mungkin lebih efektif. 10,15
4. Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah
termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk
menyadari bahwa antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat
memblokir peristiwa yang terjadi setelah pengikatan reseptor histamin.
Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi telah dilaporkan lebih
efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama,
dapat diberikan parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan
anafilaksis.
Tabel 2.4 Dosis Klorfenamin
Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 10 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 5 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 2,5 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 250 mikrogram/kg im atau iv pelan

Tabel 2.5 Dosis Steroid


Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 200 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 100 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 50 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 25 mg im atau iv pelan

Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang


memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
Gambar 2.4 Algoritma penanganan syok anafilaktik
5. Resusitasi Jantung Paru
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan
pernafasan. Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya.
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik
fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu.
Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum
stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan
fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat yang
menguasai penanganan kasus gawat darurat.
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat
dipulangkan karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis.
Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk
keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya penderita dirawat
di Unit Perawatan Intensif.
6. Pengamatan
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang
mengalami reaksi anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan
jarang dapat terjadi pada 72 jam akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu
untuk observasi harus didasarkan pada keparahan dari reaksi awal, kecukupan
pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke perawatan medis.
Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam, namun
waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien.
2.8 Pencegahan Syok Anafilaktik
Memberikan edukasi sifatnya sangat penting, terutama pada pasien
muda dengan anafilaksis terhadap makanan. Edukasi yang utama adalah
meghindari faktor alergen seperti makanan.
Tabel 2.6 Penyebab anafilaksis pada anak yang tersering
Makanan Kacang, telur, susu sapi, kerang-
kerangan, biji-bijian dan buah-
buahan
Zat aditif makanan Zat pewarna makanan
Medikasi Antibiotik (penisilin dan sulfonamid),
NSAID, aspirin, agen anestesi
Racun Semut merah, himenoptera seperti
lebah
Immunoterapi Ekstrak alergen
Lateks
Vaksin
Infus darah
Kontras radiografik
Idiopatik

Menemukan alergen adalah yang terpenting. Anamnesis mengenai


riwayat alergi, riwayat adanya alergi pada keluarga dapat membantu sebagai
upaya preventif. Tes untuk menemukan alergen yaitu tes alergi (skin tes).
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan edukasi
mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat anafilaksis di
tempat. Semua pengasuh anak harus memiliki pemahaman yang baik tentang
ini rencana perawatan, termasuk juga fasilitas penitipan anak dan sekolah.

Gambar 2.5 Epipen, epinefrin autoinjektor dosis 0,3 mg


Peresepan epinefrin autoinjector juga merupakan upaya preventif terjadinya
reaksi anafilaksis lagi dikemudian hari. Orang tua dan pasien harus menerima
informasi mengenai indikasi untuk penggunaan autoinjector.
BAB III
KESIMPULAN

Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang


terjadi bila oxygen delivery (DO2) ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia
tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumtion (VO2). Syok anafilaktik
adalah suatu respons hipersensitivitas yang mengancam jiwa yang diperantarai oleh
IgE (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri yang
menurun hebat.
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak
alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal,
makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Berbagai manifestasi klinis yang timbul
dalam reaksi yang muncul dalam reaksi anafilaktik pada umumnya disebabkan oleh
pelepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang timbul segera (yang timbul
dalam beberapa menit) maupun yang timbul belakangan (sesudah beberapa jam).
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau
menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam
meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi
berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat
darurat serta dilakukan secepat mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Interna Publising, Jakarta.
2. Bohlke K, Davis RL, et al.2004. Epidemiology Of Anaphylaxis Among
Children And Adolescents Enrolled In A Health Maintenance Organization.
Journal Allergy Clin Immunology. 113(3):536 – 542.
3. Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. Vol 316. Hal 1442-
1445.
4. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok : Pathophysiology,
Recognition, and Treatment. Medscape. Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2.
5. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski
5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6.
6. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The
Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European
academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71.
7. Nelson, Richard.E, et all.2002. Nelson Text Book of Pediatric. Philadelphia:
W.B Saunders Company. Page 797-799.
8. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
9. Neugut AI, Ghatak AT,et all.2001. Anaphylaxis in the United States: an
investigation into its epidemiology. Arch Intern Med.161(1):15 – 21.
10. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, p: 190-193.
11. Simon, Ledit R, et all.2011. World Allergy Organization anaphylaxis
guidelines. J Allergy Clin Immunol.p ; 587-593.
12. Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah,
Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai