Anda di halaman 1dari 13

7

Salmonella typhi

2.2.1 Taksonomi

Gambar 2.2 Salmonella typhi


(CDC, 2017)

Super kingdom : Bacteria

Kingdom : Bacteria

Phylum : proteobacteria

Class : Gammaprotobacteria

Order : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Species : Enterica

Subspecies : Enterica

Serovar : Typhi

(Jaroni, 2014).

2.2.2 Morfologi

Salmonella typhi merupakan golongan dari bakteri gram negatif

yang berbentuk batang, motil dan tidak membentuk spora. S. typhi


8

memiliki alat gerak berupa flagel peritik. Bakteri ini berukuran 0,7-1,5

atau 2-5 mikro meter. S. typhi berifat intraseluler fakultatif dan anaerob

fakultatif (Karsinah dkk, 2009).

2.2.3 Struktur Antigen S. typhi

Seperti halnya semua Enterobacteriaceae, S. typhi memiliki tiga

antigen utama yaitu somatik, permukaan (surface) dan flagel (Todar,

2009).

2.2.3.1. Antigen Somatik (O)

Antigen somatik (O) merupakan antigen yang tahan terhadap

pemanasan 100o C, alkohol dan asam. Sebagian besar antigen ini

digunakan untuk identifikasi serologi. Faktor O dengan jumlah angka

yang sama berkaitan erat meskipun tidak selalu sebagai antigen identik

(Todar, 2007). Antibodi yang lebih utama dibentuk oleh antigen

somatik (O) yaitu IgM (Karsinah dkk, 2009).

2.2.3.2. Antigen permukaan (Vi)

Antigen Vi merupakan polimer dari poliskarida yang bersifat asam.

Antigen ini terdapat pada bagian luar dari badan kuman atau bakteri.

Antigen Vi dapat dirusak dengan pemanasan 60o C selama satu jam,

pada penambahan fenol dan asam. Bakteri atau kuman yang memiliki

antigen Vi lebih virulen terhadap binatang manupun manusia. Antigen

Vi juga dapat menentukan kepekaan kuman terhadap bakteriofage.

Dalam laboratorium, antigen Vi sangat berguna untuk diagnosis cepat

bakteri S. typhi yaitu dengan teg agglutination slide dengan Vi

antiserum (Karsinah dkk, 2009).


9

Antigen Vi adalah permukaan polisakarida kapsul yang diproduksi

oleh S. typhi, S. dublin dan S. paratyphi C. Meskipun antigen Vi tidak

diperlukan untuk kolonisasi di saluran pencernaan, kapsul antigen Vi

menambah virulen dengan cara meningkatkan resistensi bakteri untuk

fagositosis dan mengganggu imun dengan cara menurunkan ekspresi

Pathogen-Associated Molecular Pattern (PAMP) dan paparan terhadap

permukaan bakteri. Antigen Vi jenis lokus via B berlokasi di SPI-7

island dan dibawah control RcsB-RcsC dan OmpR-EnvZ yang

merupakan satu komponen sitem regulator. Aktifitas lokus via B

berperan pada produksi antigen Vi dan secara bersamaan menekan

flagelar master regulator fhDC yang dilakukan oleh protein regulator

TviA. Ekspresi antigen Vi dapat tidak terdeteksi saat pemeriksaan

laboratorium dan antigen Vi bisa ditemukan tidak aktif pada beberapa

pasien yang terisolasi (Gunn dkk, 2014).

2.2.3.3. Antigen Flagel (H)

Pada Salmonella antigen ini ditemukan dalam dua fase yaitu fase

spesifik (fase 1) dan tidak spesifik (fase 2). Antigen H rusak pada

pemanasan diatas 60o C, alkohol dan asam. Antibodi yang dibentuk

yaitu IgG (Karsinah dkk, 2009).

Penggolongan bakteri Salmonella kedalam serogrup dan

serotipnya didasarkan pada persamaan faktor-faktor antigen O dan

antigen H. Apabila terdapat persamaan faktor-faktor yang dominan

pada antigen O digolongkan dalam serogrup yang sama (serogrup A, B

dan C). apabila terdapat persamaan faktor-faktor antigen H (fase 1 dan


10

2) serta faktor-faktor lain pada antigen O maka digolongkan dalam

serotip (dulu disebut spesies) yang sama. Salmonella typhi dan

Salmonella cholerasuis maisng-maisng terdiri dari satu serotip

sedangkan Salmonella enteritidis terdiri dari 1400 serotip (Karsinah

dkk, 2009).

2.2.4 Daya Tahan S. typhi

Bakteri S. typhi mati pada suhu 56o C dan dapat pula pada keadaan

yang kering. Bakteri ini dapat bertahan selama empat minggu dalam air. S.

typhi hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu dan juga

dapat bertahan terhadap zat warna hijau bilirubin, senyawa Natrium

tetrationat dan Natrium deoksikolat (Karsinah dkk, 2009). Senyawa-

senyawa ini menghambat pertumbuhan bakteri koliform sehingga

senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan dalam media untuk isolasi

bakteri S. typhi (Brooks et al, 2013).

2.2.5 Patogenesis S. typhi

S. typhi bersifat infeksius terutama pada manusia. Adapun infeksi

oleh bakteri tersebut menunjukkan sumber infeksi dari manusia. Namun,

sebagian besar Salmonella bersifat patogen terutama bagi hewan yang

menjadi reservoar untuk infeksi manusia, antara lain : unggas,babi, hewan

pengerat, hewan ternak, hewan peliharaan (dari kura-kura hingga burung

beo) dan lain sebagainya (Brooks et al, 2013).

Bakteri ini hampir selalu masuk melalui jalur oral (per oral) yang

biasanya melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri

tersebut. Dosis infeksi rata-rata untuk menghasilkan infeksi klinis atau


11

subklinis adalah 105-108 Salmonella (tetapi mungkin hanya 103 untuk

Salmonella typhi). Adapun faktor-faktor yang dapat berperan untuk

melawan infeksi Salmonella antara lain asam lambung, flora mikroba usus

normal, dan imunitas lokal pada usus (Brooks et al. 2013).

Salmonella menyebabkan tiga tipe penyakit utama pada manusia

dimana yang paling sering muncul adalah tipe campuran. Gejala yang

muncul yaitu demam enterik (demam tifoid). Ketika bakteri Salmonella

mencapai usus kecil, bakteri tersebut kemudian masuk ke kelenjar getah

bening dan sampai ke aliran darah. Mereka dibawa oleh aliran darah ke

beberapa organ, termasuk usus. Jumlah bakteri tersebut meningkat di

dalam jaringan getah bening intestinal dan dikeluarkan dalam tinja.

Setelah masa inkubasi selama 10-14 hari maka muncul manifestasi

klinis (demam, rasa tidak enak badan, sakit kepala, konstipasi, bradikardi,

dan myalgia). Demam meningkat ke masa stabil dan terjadi pembesaran

limpa dan ginjal. Rose spots biasanya ada di atas kulit perut atau dada

(kelihatan jelas dalam beberapa kasus). Jumlah sel darah putih (leukosit)

normal atau rendah. Pada masa preantibiotik, komplikasi utama dari

demam enterik adalah hemorrhage dan perforasi. Pada masa ini angka

kematian rata-rata yaitu 10-15 %. Akan tetapi, pengobatan dengan

antibiotik telah menurunkan angka kematian rata-rata hingga kurang dari

1%. Lesi yang paling utama adalah hyperplasia dan nekrosis jaringan getah

bening (misalnya potongan Payer’s), hepatits, nekrosis dari ginjal, dan

peradangan limpa, periosteum, paru-paru, dan organ lain (Brooks et al,


12

2013). Adapun beberapa fator yang mempengaruhi patogenitas S. typhi

yaitu :

a. Daya invasi

Bakteri di usus halus penetrasi ke dalam epitel, melalui lapisan

epitel masuk ke lapisan sub epitel hingga lamina propia. Mekanisme

biokimi saat bakteri melakukan penetrasi tidak diketahui dengan jelas

tetapi prosesnya menyerupai fagositosis. Saat bakteri mendekati

epitel, brush border mengalami degenerasi kemudian masuk kedalam

sel. Mereka dikelilingi oleh membran sitoplasma yang inverted seperti

vakuol fagositik. Terkadang penetrasi ke epitel terjadi pada

interseluler junction. Setelah penetrasi maka organisme difagosit oleh

makrofag, berkembang biak lalu dibawa oleh makrofag menuju

bagian tubuh yang lain (Karsinah dkk, 2009).

b. Atigen Permukaan

Adanya antigen Vi mungkin menyebabkan Salmonella untuk

hidup interseluler (Karsinah dkk, 2009).

c. Endotoksin

Peran pasti endotoksin yang mungkin ada dalam proses infeksi

Salmonella belum diketahui dengan jelas. Pada binatang percobaan

endotoksin Salmonella menyebabkan efek yang bervariasi dimana

terjadi demam dan syok. Sedangkan uji coba pada manusia yang

toleran terhadap endotoksin yang telah diinfeksi dengan S.typhi, maka

timbul demam dengan gejala klinik dari demam tifoid. Demam ini

disebabkan oleh endotoksin yang merangsang pelepasan zat pirogen


13

dari sel-sel makrofag dan sel leukosit PMN. Tidak hanya itu,

endotoksin dapat mengaktivasi kemanapun kemotaktik dari system

komplemen yang menyebabkan lokalisasi sel leukosit pada lesi di

usus halus (Karsinah dkk, 2009).

d. Enterotoksin

Beberapa spesies Salmonella menghasilkan enterotoksin yang

dihasilkan oleh kuman Enterotoxigenic E.coli baik yang termolabil

maupun yang termostabil. S. typhirium, S. enteriditis menghasilkan

enterotoksin yang termolabil, toksin diduga berasal dari dinding sel

atau mebran luar. Aktivitas toksin dapat diukur dengan cara Rabbit

ileal loop dan Sucking mouse assary (Karsinah dkk, 2009).

2.2.6 Pemeriksaan Laboratorium

Bahan untuk pemeriksaan laboratorium dapat berupa darah, urin,

feses dan sumsum tulang (Brooks et al. 2013). Adapun hingga saat ini baku

emas diagnosis tifoid adalah dengan pemeriksaan biakan empedu

walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal

perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah

akhir minggu pertama infeksi (sensivitas lebih rendah). Di negara

berkembang ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas

menyebabkan sensivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsusm

tulang lebih sensitive namun sulit dikarenakan terlalu invasif (Prayitno

dkk, 2012). Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu :


14

a. Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan ini tidak spesifik untuk diagnosis demam tifoid.

Jumlah hitung leukosit yang rendah sering berhubungan dengan

demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa

lebar. Trombositopeni dapat merupakan marker penyakit berat dan

disertai dengan koagulasi intravaskuler diseminata. Pemeriksaan

fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang bermakna

jarang ditemukan.

b. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan widal yaitu mengukur kadar antibodi terhadap

antigen O dan H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun.

Pemeriksaan Widal memiliki sensivitas dan spesifisitas yang rendah

(sensisivitas 40%, spesivisitas 91,4% dan nilai prediksi positif 80%).

Pemeriksaan ini dugunakan sebagai satu-satunya pemeriksaan

penunjang di daerah endemis tetapi dapat mengakibatkan

overdiagnosis.

c. Pemeriksaan Serologi terhadap Spesimen Darah

Terdapat pemeriksaan diagnostik baru yang saat ini tersedia

seperti Thyphoiot atau Tubex yang dilakukan untuk mendeteksi

antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam

dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap

antigen S. typhi berdasarkan enzyme-lingked immunosorbent assay

(ELISA) berkembang. Pemeriksaan ini memiliki sensivitas dan

spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan


15

darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM O9 lipolisakari S.

typhi (Tubex) dan IgM terhadap S. typhi (Typhoidot) memiliki

sensivitas dan spesivisitas 70%-80%.

Pemeriksaan serologi dapat dibaca secara visual selama 10 menit

dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna

dan nilai kurang dari sama dengan 6 dianggap positif kuat. Namun

interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-

hati pada kasus tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan

sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.

d. Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi

hanya membutuhkan waktu kurang dari delapan jam. Pemeriksaan

ini memiliki sensitivitas 93,58% dan spesivisitas 87,9%.

Pemeriksaan nested Polymerase Chain Reaction (PCR)

menggunakan polimer H1-d dapat digunakan untuk

mengamplifikasikan gen yang menjanjikan. Pemeriksaan nested

PCR terhadap gen flagek (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari

spesimen urin 21/22 (95,5%), diikuti dari specimen darah 20/22

(90%), dan tinja 15/22 (68,1%).

e. Pemeriksaan Serologoi dari Spesimen Urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik

antigen 9 grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali

pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin

secara serial menunujukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA


16

menggunakan antibody monoklonal terhadap antigen 9 somatik

(O9), antigen di flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi)

pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada akhir

minggu pertama, yaitu terhadap ketiga atigen Vi terdeteksi 9 kasus

(100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4 kasus (44%).

Spesivisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi

pada urin menjanjikan untuk menunjang diagnosis demam tifoid

(terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam).

f. Pemeriksaan antibody IgA dari specimen saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari

lipopolisakarida S. typhi dari spesimen saliva memberikan hasil

positif pada 33/37 (87,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA

ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0%

pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima perjalanan

penyakit tifoid (Prayitno dkk, 2012).

2.2.7 Pengobatan

Sampai saat ini, pengobatan demam tifoid masih menganut trilogy

penatalaksanaan, yaitu:

a. Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah

komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat

seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar

bertujuan untuk mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan

sangat perlu untuk dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan


17

perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk

mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan

tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

b. Diet dan Terapi Penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan

penyakit demam tifoid. Hal itu dikarenakan makanan yang kurang akan

menurunkan keadaan umum dan gizi penderita sehingga proses

penyembuhan akan semakin lama. Di masa lampau penderita demam

tifoid diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar

dan akhirnya diberikan nasi dimana perubahan diet tersebut disesuaikan

dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring untuk

pasien ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran

cerna atau perforasi usus. Akan tetapi, beberapa peneliti menunjukkan

bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk

rendah selulosa aman utnuk diberikan pada pasien demam tifoid.

Pemberian vitamin dan mineral yang cukup juga dapat dilakukan untuk

mendukung keadaan umum pasien.

c. Pemberian Antimikroba

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati

demam tifoid adalah kloramfenikol, kotrimoksazol, tiamfenikol,

ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin gerenerasi ketiga, dan golongan

fluorokuinolon (Widodo, 2014). Menurut WHO tahun 2011 DOC

(Drug of Choice) untuk pengobatan infeksi S. typhi yaitu Siprofloksasin

dan Kloramfenikol sebagai alternatif (WHO, 2011). Tetapi, S. typhi


18

sudah banyak mengalami resistensi. Adapun Kloramfenikol,

Amoksisilin, dan Danampisilin mengalami resistensi terhadap bakteri

S. typhi (Hartoyo, 2006; Silvan, 2012). Penggunaan antibiotik

Kloramfenikol, Amoksisilin dan Seftrikson untuk pengobatan infeksi S.

typhi telah terjadi resistensi di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

(Suswati, 2011).

Tabel 2.4. Terapi Antimikroba untuk S. typhi


Optimal Therapy
Susceptibility Antibiotic Daily dose Days
(mg/kg)
Fully sensitive Ciprofloxacin 15 5-7
MDR (Multi Drug Resistant) As above or 15 7 - 14
Cefixime 15 – 20 7 - 14
Quinolone resistance Azythromycin 8 – 10 7
Rocephin 75 10 - 14
Alternative Effective Drugs
Susceptibility
Fully sensitive Chloramphenicol 50 -75 14 – 21
Amoxycilin 75 – 100 14
Cotrimoxazole 8 - 40 14
MDR (Multi Drug Resistant) Azythromycin 8 – 10 7
Cefixime 15 - 20 7 - 14
Quinolone resistance Cefixime 20 7 - 14
(WHO, 2011)

DOC (Drug of Choice) untuk infeksi S. typhi yaitu Siprofloksasin.

Adapun alternatif pengobatan untuk infeksi S. typhi yaitu

Kloramfenikol. Apabila terjadi MDR (Multi Drug Resistant) maka bisa

menggunakan Sefiksim. Untuk pasien yang resisten terhadap golongan

Kuinolon maka pengobatan yang diberikan yaitu Azitromisin (WHO,

2011). Kloramfenikol merupakan antibiotik yang bekerja dengan cara

mengambat sintesis protein bakteri. Obat ini berikatan pada ribosom

subunit 50s dan juga menghambat enzim peptidil-transferase sehingga

tidak terbentuk ikatan peptide pada proses sintesis protein (Gunawan,


19

2017). Siprofloksasin merupakan antibakteri golongan fluorokuinolon.

Obat ini bekerja dengan cara menghambat DNA gyrase dan

topoisomerase IV yang dibutuhkan bakteri untuk replikasi DNA

(Katzung, 2014). Obat ini cepat diabsorbsi di saluran pencernaan dan

kadar serum puncaknya yaitu sekitar 1-3 jam setelah pemberian oral.

Adapun waktu paruh siprofloksasin yaitu 3-5 jam. Adapun efek

samping penggunaan siprofloksasin yaitu mual, muntah, halusinasi,

kejang, delirium dan lain-lain (Gunawan, 2017).

Kloramfenikol dapat diabsorbsi dengan cepat di saluran pencernaan

kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh. Kloramfenikol yang

diberikan secara oral diekskresi melalui ginjal (Katzung, 2014). Efek

samping penggunaan kloramfenikol yaitu mual, muntah, diare, anemia

aplastik (pada pemberian parenteral) serta sindrom grey pada neonates

(Gunawan, 2017).

Anda mungkin juga menyukai