Anda di halaman 1dari 5

Laporan Praktikum Hari, tanggal : Rabu, 29 Januari 2020

Farmakologi II Dosen : Drh. Min Rahmawati, MS, Ph.D


Kelompok :3

ANESTESI INHALASI

Kelompok 3
Rama Adi Rianto B04170146 ………...
Nur Indah Andini B04170142 ………...
Rendi Pratama Mukti B04170144 ………...
Shafiyyah Az Zahra B04170145 ………...
Mutiara Asa Citra G B04170147 ………...
Linda Puspawati B04170150 ………...

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
BAB I

Pendahuluan

Anesthesia merupakan hilangnya sensari dari tubuh seluruhnya atau sebagian daerah
saja.Tujuan dari anestesi adalah untuk menghilangkan rasa sakit, kesadaran, nyeri, dan reflex.
Obat anestesi memengaruhi keadaan fisiologi tubuh yang menimbulkan perubahan pada
cardiac output, tekanan darah, respiratory rate, fungsi sistem saraf pusat. Anestesi dibagi
menjadi tiga, yakni anestesi general, local dan regional. Induksi anestesi dapat melalui
inhalasi atau parenteral. Pemberian obat-obatan sebelum induksi anestesi disebut dengan
premdikasi. Premedikasi diberikan sebelum induksi general anestesi untuk menenangkan
pasien, mempermudah induksi, mengurangi efek samping, muscle relaxan, pain control,
mencegah terjadinya hypersalivasi dan muntah (Bassert dan Thomas 2014). Hal hal harus
diperhatikan sebelum menginduksi atau memberikan anestesi adalah hewan harus
dipuasakan, berat badan, umur, durasi, physical examination.

Waktu dan Tempat

Praktikum Farmakologi II berjudul Anestesi Inhalasi dilaksanakan pada hari Rabu, 29


Januari 2020 pukul 14.30-17.00 WIB di Laboratorium FIFARM-3, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan yaitu, 2 kucing, eter, atropine, syringe, dan box
isolasi.

Prosedur Percobaan

Kucing 1 ditimbang terlebih dahulu untuk perhitungan dosis obat. Kucing


dimasukkan ke box isolasi yang berisi anestesi inhalasi eter. Mengamati tanda-tanda anestesi
telah bekerja. Kucing 2 ditimbang terlebih dahulu untuk perhitungan dosis obat. Kucing
diinjeksi atropine sulfat sesuai dosis sebagai premedikasi. Kucing dimasukkan ke box isolasi
yang berisi anestesi inhalasi eter. Mengamati tanda-tanda klinis yang terjadi.
BAB II

Hasil dan Pembahasan

Senyawa dietil eter yang dalam perdagangan hanya disebut eter saja, merupakan
senyawa terbaik untuk anestesi total/umum walaupun mempunyai kekurangan seperti mudah
terbakar, menimbulkan efek samping pusing dan mual dan reaksinya sangat lambat. Dengan
kondisi seperti tersebut, saat sekarang penggunaan eter telah dibatasi dan sebagai senyawa
penggantinya adalah senyawa halotan yang dianggap sebagai anestesi ideal saat ini karena
mudah diserap dan diabsorbsi oleh paru-paru pasien, tidak menimbulkan kerusakan hati
(Noordin 1988).

Penggunaan eter tanpa premedikasi seperti atropine sulfat akan mengakibatkan


hipersalivasi hingga kerusakan pada hati hewan coba sehingga sudah dilarang untuk dipakai
di masa sekarang. Pengaruh negatif penggunaan eter seperti hipersalivasi dapat dijumpai pada
stadium II dan bisa mengakibatkan saliva masuk ke paru-paru yang bisa berakibat fatal.
Selain itu, Hipersalivasi bisa mengakibatkan saliva keluar sehingga membuat operasi menjadi
tidak steril.
Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena diproduksi melalui
reaksi kimia sederhana antara etil alcohol dengan asam sulfat) digunakan pertama kali tahun
1540 oleh Valerius Cordus, botani Prusia berusia 25 tahun. Eter sudah dipakai dalam dunia
kedokteran, namun baru digunakan sebagai agen anestetik pada manusia di tahun 1842,
ketika Crawford W. Long dan William ZE. Clark menggunakannya pada pasien. Namun
penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun kemudian di Boston, 16 Oktober 1846,
William T. G. Morton memperkenalkan demostrasi public penggunaan eter sebagai anestetik
umum (Morgan dan Mikhail 2002). Eter dapat dimasukkan kedalam derivate alcohol dimana
H dari R-O-[H] digantikan oleh gugus R lainnya. Eter adalah oksida organic yang berstruktur
: [R]-C-O-C-[R]
Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap. Titik didihnya
adalah 36,2oC. Cara pembuatan yang paling umum adalah dengan dehidrasi alcohol bersama
asam sulfat (Collins dan Vincent 1996).
Anestesi inhalasi merupakan beberapa di antara sangat sedikit senyawa farmakologis yang
diberikan sebagai gas. Fakta bahwa senyawa-senyawa ini berprilaku sebagai gas dan
bukan sebagai cairan membutuhkan konsep farmakokinetik yang berbeda yang
akan digunakan dalam menganalisis pengambilan dan distribusinya. Anastetik inhalasi
terdistribusi di antara jaringan sedemikian sehingga kesetimbangan tercapai ketika tekanan
parsial gas anastetik sama pada kedua jaringan. Kesetimbangan akan tercapai jika tekanan
parsial dalam gas yang terhirup sama dengan tekanan parsial pada gas tidal
akhir (alveolar) (Goodman dan Gilman 2008).
Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi
seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat golongan
tranquilliser akan menenangkan hewan untuk memudahkan penangan (Boden 2005).
Tujuan dari pemberian remedikasi yaitu menenangkan pasien sehingga memudahkan
penanganan dan mengurangi pelepasan katekolamin, relaksasi otot sehingga terjadi
immobilisasi dan hiporefleksi, memberikan efek analgesia (menghilangkan rasa sakit),
memperoleh induksi anestesi yang perlahan dan aman, stadium anestesi yang stabil,
untuk mengurangi dosis obat anestesi sehingga efek samping dari agen anestesidapat
dikurangi.
Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian yaitu reaksi somatic
(voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatic ini timbul didalam kecerdasan
dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari kejadian tersebut.
Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap manifestasi efek somatic tersebut
dan menerima keadaan yaitu dengan Nampak tenang. Reaksi saraf simpatis terhadap rasa
takut atau nyeri tidak dapat disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan
syaraf simpatis untuk menimbulkan perubahan system sirkulasi dalam tubuh. Perubahan ini
disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh darah, dan sebagian karena
naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergic dari rasa takut timbul dikorteks
cerebri dan dapat ditekan dengan tiduratau dengan sedativa yang mencegah kemempuan
untuk menjadi takut.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjngan pra bedah. Dengan demikian maka pemilihan obat
premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan umur pasien, berat
badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada
anak), riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah diberi
anestesi sebelumnya), riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat
berpengaruh pada jalannya anestesi (missal MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotic
tertentu), perkiraan lamanya operasi, macamnya operasi (missal terencana, darurat, pasien
rawat inap atau rawat jalan) dan rencana obat anestesi yang akan digunakan.
Atropin merupakan agen antimuskarinik yang menghambat asetilkolin, dengan
dosis yang tinggi atropin dapat memblokir reseptor nikotin. penggunaan dengan dosis
rendah atropin akan menghambat produksi saliva, menghambat sekresi bronchial serta
keringat. Pada dosis medium atropin menyebabkan dilatasi pupil mata dan meningkatkan
denyut jantung. Penggunaan dosis tinggi akan mengurangi motilitas gastrointestinal dan
saluran urinaria, sedangkan untuk dosis yang sangat tinggi atropin akan menghambat sekresi
lambung (Plumb 2008). Atropin dapat diabsorbsi dengan baik apabila diberikan
secara oral, injeksi, inhalasi, atau melalui endotracheal. Jika atropin diberikan secara
injeksi intravena, efek terhadap denyut jantung akan tampak dalam 3–4 menit setelah
pemberian, lalu akan diikuti dengan blokade kolinergik. Atropin diberikan untuk
mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg
intramuskular bekerja setelah 10-15 menit. Atropin terdistribusi dengan baik di dalam tubuh
melaui sistem saraf pusat, dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin.
Stadium pertama anestesi disebut juga stadium voluntary struggling dengan
menggunakan atropin sulfat sebagai premedikasi memberikan efek relaksasi otot pada pasien.
Stadium kedua atau stadium involuntary struggling menunjukkan peningkatan tonus otot
pasien, dalam hal ini kucing dapat mencakar-cakar lebih aktif dari biasanya secara tidak
sadar. Stadium ke tiga anestesi menunjukkan pasien mulai terlelap dan matanya mengalami
midriasis, pasien sudah teranastesi. Gejala hipersalivasi tidak didapatkan pada stadium
anestesi pasien dengan pemberian premedikasi atropin sulfat.

BAB III

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa anestesi memiliki 4 stadium dan premedikasi diperlukan


untuk mencegah efek samping yang ditimbulkan anestesi.

DAFTAR PUSTAKA

Boden E. 2005. Black Veterinary Dictionary 21st Edition. London (UK): Soho Square.
Collins, Vincent J. 1996. Diethyl Ether and Chloroform. Dalam: Physiology and
Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania: Williams & Wilkins.
Ganiswara dan G. Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta.
Goodman dan Gilman. 2008. Anastetik Umum. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta (ID):
EGC .
Morgan GE, Mikhail MS. 2002. The Practice of Anesthesiology. Dalam: Clinical
Anesthesiology. New York (US): McGraw-Hill.
Noordin, Arzani M. 1988. Obat dan Permasalahannya. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM
Plumb DC. 2008. Veterinary Drugs Handbooks, Ed ke-6. Minesota(US): Wiley, John dan
Sons.

Anda mungkin juga menyukai