Anda di halaman 1dari 37

RESPONSI

SINDROMA MATA KERING

Pembimbing

dr. Fitrika Wahyu Listari, Sp. M

Oleh :

Laily Ira Fazuiyyah 201820401011140

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

RESPONSI
Sindroma Mata Kering

Makalah dengan judul Sindroma Mata Kering telah diperiksa dan disetujui
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter
Muda dibagian Ilmu Kesehatan Mata

Surabaya, 17 September 2019


Pembimbing

dr. Fitrika Wahyu Listari, Sp. M

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb,

Segenap puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT yang selalu
melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya maka tugas responsi yang berjudul
“Sindroma Mata Kering” ini dapat diselesaikan. Penyusunan tugas ini merupakan
salah satu tugas yang penulis laksanakan selama mengikuti kepanitraan di SMF
Mata RSU haji Surabaya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Fitrika Wahyu Lestari, Sp.M,
selaku dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas responsi ini, terimakasih atas
bimbingan, saran, petunjuk dan waktunya sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk kritik dan saran selalu penulis harapkan. Besar harapan tugas
ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta penyusun pada khusunya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Surabaya, September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................... i
Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii
Kata Pengantar .............................................................................................. iii
Daftar Isi........................................................................................................ iv
BAB 1 STATUS PASIEN ............................................................................ 1
1.1 Identitas Pasien...................................................................... 1
1.2 Anamnesis ............................................................................. 1
1.3 Pemeriksaan .......................................................................... 2
1.4 Daftar Masalah ...................................................................... 4
1.5 Diagnosis ............................................................................... 4
1.6 Planning ................................................................................ 4
1.7 Edukasi .................................................................................. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 6
2.1 Anatomi dan Fisiologi Air Mata ................................................... 6
2.2 Dry Eye Disease ........................................................................... 8
2.2.1 Definisi ................................................................................ 8
2.2.2Klasifikasi ............................................................................. 8
2.2.3Epidemiologi ........................................................................ 9
2.2.4Faktor Resiko ........................................................................ 10
2.2.5Patofisiologi .......................................................................... 10
2.2.6Manifestasi Klinis ................................................................. 12
2.2.7Derajat Dry Eye Disease....................................................... 14
2.2.8Diagnostik ............................................................................. 16
2.2.9Komplikasi ........................................................................... 19
2.2.10Terapi .................................................................................. 19
2.3 Kelainan Refraksi ......................................................................... 22
2.3.1Hipermetropia ....................................................................... 22
2.3.2Astigmatisme ........................................................................ 25
BAB 3 PEMBAHASAN ............................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 33

3
BAB 1
STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. Mustaqimatin


Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 77 tahun
Alamat : Surabaya, Jawa Timur
Agama : Islam
Status : Menikah
Tgl Pemeriksaan : 11 September 2018
No. Registrasi : 631962

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Kedua mata berair
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSU Haji Surabaya dengan keluhan kedua mata berair
Keluhan dirasakan sudah sejak ±5 tahun, lebih enak saat menggunakan obat
Cendo Lyteer. Pasien juga mengeluhkan sehari-hari kedua mata sering terasa
kering. Pasien juga mengeluhkan pandangan terasa kabur saat melihat jauh
sejak ±5 tahun terakhir. Terasa ngeres (-), mengganjal (-), mata merah (-), keluar
sekret (-), jalan sering nabrak (-), ada bayang-bayang hitam (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat trauma pada kedua mata (-)
- Riwayat Diabetes (-)
- Riwayat Hipertensi (+) rutin kontrol tiap bulan
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Diabetes disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal

4
Riwayat Sosial :
- Pasien tidak membaca di tempat redup, menonton tv jarak dekat (-),
menatap layar hp lama (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Pengobatan: amlodipin, candesartan, simvastatin, cendo lyteer
1.3 Pemeriksaan
a. Tajam Penglihatan
VOD 0.5 cc S +0.50  0.6 f PH tetap
VOS 0.3 cc S +2.25 C -0.50 X 0  0.7 PH tetap
ADD + 3.00
PD 63/61
b. Pergerakan Bola Mata
OD OS

Bisa Segala Arah Bisa Segala Arah

c. Segmen Anterior

Keruh Keruh

OD OS

Edema (-), tear meniscus ↓, Palpebra Edema (-), tear meniscus ↓,


silia normal silia normal

Hiperemi (-) Konjungtiva Hiperemi (-)

5
Jernih Kornea Jernih

Jernih & Dalam Bilik Mata Depan Jernih & Dalam

Bentuk reguler, warna coklat Iris Bentuk reguler, warna


coklat

Bulat, Ø 3 mm, Reflek Pupil Bulat, Ø 3 mm, Reflek


cahaya langsung/tak cahaya langsung/tak
langsung +/+ langsung +/+

Keruh, iris shadow (+) Lensa Keruh, iris shadow (+)

d. Segmen Posterior
OD OS

(+) Fundus Reflek (+)

Batas tegas, warna normal, Papil Nervus II Batas tegas, warna normal,
CDR 0,3 CDR 0,3

Eksudat (-), Perdarahan (-) Retina Eksudat (-), Perdarahan (-)

A:V 2:3, AV crossing (-) Vaskuler A:V 2:3, AV crossing (-)

Reflek fovea sde Makula Reflek fovea sde

Jernih Vitreus Jernih

e. Pemeriksaan Lainnya : -
Tes schirmer : OD 10 mm
OS 8 mm
TIOD : 14,6 mmHg
TIOS : 14,6 mmHg

6
1.4 Daftar Masalah
- Kedua mata berair
- Terasa kering
- Tes schirmer : OD 10 mm; OS 8 mm

- Melihat jarak jauh kabur perlahan


- Segmen anterior: lensa ODS : keruh, iris shadow (+)
- VOD 0.5 cc S +0.50  0.6 f PH tetap
- VOS 0.3 cc S +2.25 C -0.50 X 0  0.7 PH tetap
- ADD + 3.00

1.5 Diagnosis
ODS Sindroma Mata Kering
ODS Katarak Imatur
OD Hipermetropia
OS Astigmatisma hipermetropia kompositus
ODS Presbiopia

1.6 Planning
- Diagnostik : -
- Terapi :
o Cendo Lyteers 6x1 tetes/hari ODS
o Catarlent 3x1 tetes/hari ODS
o Kacamata sesuai koreksi
- Monitoring :
o Keluhan pasien
o Visus
o Segmen Anterior
o Segmen Posterior
o TIO

7
1.7 Edukasi :
 Menjelaskan pada pasien bahwa pasien mengalami gejala sindroma mata
kering.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa sindroma mata kering bisa disebabkan
pertamabahan usia dan pemulihan secara total sukar dilakukan sehingga
pemberian air mata buatan perlu diberikan terus-menerus agar tidak terjadi
komplikasi
 Menjelaskan kepada pasien untuk menghindari atau mengurangi paparan
polusi, dan angin
 Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan mata kabur disebabkan oleh
kekeruhan pada lensa.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa pemberian obat tetes hanya untuk
mengurangi bertambah keruhnya lensa namun katarak akan bertambah
seiring bertambahnya usia.
 Menjelaskan kepada pasien tentang dampak dari hipertensi pada mata dan
organ-organ lain, sehingga penting dalam pengendalian tekanan darah dan
kontrol secara berkala ke dokter.

8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Air Mata

Sistem lakrimasi mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi


dan drainase air mata. Komponen sekresi terdiri atas kelenjar yang menghasilkan
berbagai unsur pembentuk cairan air mata yang disebarkan di atas permukaan mata
saat mata berkedip. Kanalikuli, saccus lakrimalis, dan ductus nasolakrimalis
merupakan komponen sistem yang mengalirkan sekret ke dalam hidung (Eva.PR,
2010).

Gambar 2.1. Sistem Drainase Lakrimal (Eva.PR, 2010)

Film air mata terdiri dari tiga lapisan:


1. Lapisan superfisial adalah film lipid mononuclear yang berasal dari
kelenjar meibom. Diduga lapisan ini menghambat penguapan dan
membentuk sawar kedap air saat palpebra ditutup.
2. Lapisan akueosa dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor dan minor,
mengandung substansi larut-air (garam dan protein).

9
3. Lapisan musin terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea
dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein dan
karenanya relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat
dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diabsorpsi sebagian pada
membran sel epitel kornea dan oleh mikrovili ditambatkan pada sel-sel
epitel permukaan. Ini menghasilkan permukaan hidrofilik baru bagi
lapisan aqueosa untuk menyebar secara merata kebagian yang
dibasahinya dengan cara menurunkan tegangan permukaan (Eva.PR,
2010).

Gambar 2.2 Lapisan Air Mata (Eva.PR, 2010)

10
2.2 Dry Eye Disease
2.2.1 Definisi
Dry eye disease (DED) adalah sebuah penyakit multifaktorial yang sering
ditandai dengan defisiensi produksi air mata atau peningkatan penguapan air mata
dan berhubungan dengan perubahan permukaan okular dan peradangan (Drew et
al, 2018). DED juga didefinisikan dengan sebuah penyakit multifaktorial pada
permukaan okuler yang dikarakteristikkan dengan hilangnya homeostasis film air
mata, dan disertai dengan gejala okuler, di mana film air mata tidak stabil dan terjadi
peningkatan osmolaritas, inflamasi dan kerusakan permukaan okuler, dan
abnormalitas neurosensory memainkan peran etiologi (Craig, et al, 2017).

2.2.2Klasifikasi

Gambar 2.3 Skema Klasifikasi Dry Eye Disease (Craig, 2017)


Pada klasifikasi DED, penelitian terbaru mendukung skema dasar yang
mendukung patofisiologinya yaitu aqueous deficient dry eye (ADDE) dan

11
evaporative dry eye (EDE). Bagian atas gambar mewakili algoritme keputusan
klinis, dimulai dengan penilaian gejala, dan diikuti oleh peninjauan untuk tanda-
tanda penyakit permukaan okuler. DED menunjukkan gejala dan tanda, dan dapat
dibedakan dari penyakit permukaan okuler lainnya dengan penggunaan triaging
question dan pengujian tambahan. Pasien yang simtomatik tanpa adanya tanda
klinis yang dapat dibuktikan tidak jatuh ke dalam kelompok DED, tetapi dibedakan
menjadi mata kering pra-klinis atau nyeri neuropatik (penyakit permukaan non-
ocular). Sebaliknya, tanda-tanda pasien yang tidak bergejala dibedakan menjadi
pasien dengan sensitivitas kornea yang buruk, atau pasien dengan tanda-tanda
prodromal, yang berisiko mengalami DED yang nyata dengan waktu atau
provokasi, misalnya setelah operasi mata (Craig, et al, 2017).
Bagian bawah gambar mewakili klasifikasi etiologi DED yaitu ADDE dan
EDE. Bukti epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa EDE banyak dialami
pasien yang tercermin dalam proporsi yang lebih besar pada skema daripada
ADDE. Sementara itu mungkin bahwa ADDE dapat terjadi tanpa tanda-tanda EDE
yang jelas dan sebaliknya. ADDE menggambarkan kondisi yang mempengaruhi
fungsi kelenjar lakrimal. EDE dikenali untuk menyertakan kedua hal yang terkait
dengan kelopak mata (misalnya disfungsi kelenjar meibom dan kedipan mata) dan
yang terkait dengan permukaan okuler (misalnya musin dan pemakaian kontak
lensa) (Craig, et al, 2017).

2.2.3 Epidemiologi
Kesadaran diri tentang DED bervariasi di antara populasi. Misalnya, dalam
survei yang dilakukan di Jepang, 33% dari peserta diperkirakan mengalamiDED.
Prevalensi DED meningkat seiring bertambahnya usia. Satu studi menemukan
bahwa tidak adaperbedaanyang signifikan dalam prevalensi DED pada pria dari
berbagai ras atau wilayah di Amerika Serikat. Wanita dari semua kelompok umur
memiliki kemungkinan yang lebih besar mengalami DED daripada laki-laki,
dengan prevalensi DED meningkat seiring usia.Penelitian sebelumnya
memperkirakan bahwa 1,68 juta pria di atas usia 50 tahun mengalami DED di
Amerika Serikat dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 2,79 juta
pada tahun 2030.Saat ini telah ditemukan bahwa lebih dari 3,23 juta wanita

12
menderita DED. Dalam studi lain telah didapatkan4,3 juta orang dengan usia lebih
dari 65 tahun di Amerika Serikat menderita iritasi mata (Drew et al, 2018).

2.2.4 Faktor Resiko


Pada tabel di bawah ini akan diurutkan beberapa faktor resiko DED mulai
dari faktor resiko tinggi, sedang dan rendah berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan di Universitas Ludwig Maximillian oleh Prof.Dr.dr.Messmer.

Tabel 2.1 Faktor Resiko DED


Faktor resiko tinggi Faktor resiko menengah Faktor resiko rendah

- Umur - Obat-obatan seperti - Merokok


- Jenis kelamin perempuan antidepresan trisiklik, - Suku Hispanik
- Terapi estrogen pasca penghambat reuptake - Obat antikolinergik seperti
menopause serotonin selektif, anxiolytics, antipsikotik
- Antihistamin diuretik, beta-blocker - Alkohol
- Penyakit vaskular kolagen - Diabetes mellitus - Menopause
- Bedah pembiasan kornea - infeksi HIV / HTLV1 - Injeksi toksin Botulinum
- Iradiasi - Kemoterapi sistemik - Jerawat
- Transplantasi cangkok - Operasi katarak dengan - Gout
hematopoietik sayatan besar - Kontrasepsi oral
- Kekurangan vitamin A. - Keratoplasty - Kehamilan
- Hepatitis C - Isotretinoin
- Insufisiensi androgen - Kelembaban udara rendah
- Sarcoidosis
- Disfungsi ovarium

(Messmer, 2015)

2.2.5 Patofisologi
Mekanisme inti dari DED adalah evaporasi menginduksi hiperosmolaritas
air mata, yang merupakan ciri khas dari penyakit DED. Hal ini merusak permukaan
okuler baik secara langsung ataupun dengan menimbulkan inflamasi (Bron, et al,
2017).
Dua bentuk DED yang dikenali yaitu ADDE dan EDE. Pada ADDE,
hiperosmolaritas air mata terjadi ketika sekresi lakrimal berkurang, di mana kondisi
evaporasi dari mata normal. Pada EDE, hiperosmolaritas air mata disebabkan oleh

13
penguapan yang berlebihan dari film air mata di mana kelenjar lakrimal berfungsi
normal (Bron, et al, 2017).
Dalam DED, hiperosmolaritas air mata dianggap sebagai pemicu terjadinya
kaskade peristiwa pensinyalan di dalam permukaan sel epitel, yang kemudian
memicu pelepasan mediator inflamasi dan protease. Mediator tersebut, bersama
dengan hiperosmolaritas air mata menyebabkan sel goblet dan sel epitel hilang dan
rusaknya epitel glikokaliks. Mediator inflamasi dari sel-T memperberat kerusakan.
Hasilbersihnya adalah epiteliopati DED dan ketidakstabilan film air mata yang
mengarah pada beberapa titik awal pecahnya film air mata (Bron, et al, 2017).
Ketidakstabilan film air mata dapat dimulai tanpa terjadinya
hiperosmolaritas air mata, tetapi adanya kondisi yang mempengaruhi permukaan
okuler, termasuk xerophthalmia, alergi pada okuler, penggunaan pengawet topikal
dan pemakaian lensa kontak. Defisiensi kelenjar meibom di mana lapisan lipid film
air mata kurang juga menyebabkan hiperosmolaritas air mata (Bron, et al, 2017).
Ada berbagai penyebab ADDE. Hal ini mungkin hasil dari blocking
sensorik ke kelenjar lakrimal yang sangat penting untuk menjaga homeostasis film
air mata. Anestesi topikal bilateral dapat menyebabkan penurunan sekresi air mata
dan tingkat kedipan mata. DED karena adanya blok padareflex air mata dapat
disebabkan oleh penyalahgunaan anestesi topikal kronis, kerusakan saraf trigeminal
dan bedah refraktif termasuk operasi LASIK. Pengiriman air mata ke kantung air
mata juga dapat berkurang karena adanya obstruksi ke duktus lakrimal, yang
mungkin terjadi dalam bentuk apapun dari penyakit konjungtiva sikatrisial, seperti
trachoma, pemfigoid sikatrisial okuler, eritema multiforme dan luka bakar kimia.
Sejumlah obat dalam penggunaan sistemik, seperti antihistamin, β-blocker,
antispasmodik, diuretik dan beberapa obat psikotropika, dapat menyebabkan
penurunan sekresi lakrimal dan merupakan faktor risiko untuk DED. Juga, tingkat
sekresi air mata jatuh di kemudian hari (Bron, et al, 2017).
Di dunia Barat, penyebab ADDE yang paling umum adalah infiltrasi
inflamasi kelenjar lakrimal, yang paling sering dijumpai pada DED yang
berhubungan dengan gangguan autoimun seperti sindrom Sjögren dan, dengan
tingkat keparahan yang lebih rendah, pada sindrom non-Sjögren. Inflamsi
menyebabkan disfungsi sel epitel dan atau duktal epitel danatau destruksi dan blok

14
neurosecretory yang berpotensi reversibel. Antibodi yang bersirkulasi pada
reseptor muskarinik (M3) juga dapat menyebabkan blok reseptor. Kadar androgen
jaringan yang rendah dapat menjadi predisposisi inflamasi kelenjar lakrimal.
Cedera epitel dan glikokaliks, hilangnya volume air mata, dan sel punca sel
goblet, menyebabkan peningkatan kerusakan karena gesekan dan gejala terkait
gesekan. Hyperosmolaritas air mata dan cedera epitel yang disebabkan oleh DED
merangsang ujung saraf kornea, yang menyebabkan gejala ketidaknyamanan,
peningkatan tingkat kedipan terkompensasi dengan cara peningkatan refleks sekresi
air mata lakrimal. Sekresi kompensatori ini lebih mungkin terjadi pada EDE, di
mana fungsi kelenjar lakrimal berpotensi normal (Bron, et al, 2017).

Gambar 2.4 Patofisiologi DED (Bron et al, 2017)

2.2.6 Manifestasi Klinis


Pasien yang menderita DEDsering sekali mengeluhkan rasa sakit, sensasi
terbakar, kelelahan mata, kemerahan, penglihatan kabur, debit, intoleransi lensa
kontak, kepekaan terhadap cahaya, dan perasaan benda asing hadir di wilayah
okular. Tergantung pada beratnya DED, beberapa pasien mengalami masalah

15
dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti membaca, menonton televisi,
menggunakan komputer, mengendarai kendaraan, dan bekerja. Ketidaknyamanan
yang disebabkan oleh DES juga telah dikaitkan dengan depresi dan penurunan
kualitas hidup. (Drew et al, 2018)
Wade (2015) menyebutkan gejala bahkan bisa berubah dari kedip ke kedip
berikutnya. Penyakit mata kering yang sebagian besar disebabkan oleh air mata
yang tidak cukup cenderung memburuk sepanjang hari dengan gejala memburuk
pada malam hari. Penyakit mata kering yang lebih terkait dengan blepharitis bisa
memburuk di pagi hari. Blepharitis berhubungan dengan rasa terbakar dan gatal
pada mata.
a. Gejala Visual
Permukaan depan mata adalah fokus mata yang paling kuat. Dengan
demikian, permukaan okular yang kering akan menghasilkan gejala visual. Gejala-
gejala ini dapat meliputi:
- Sensitivitas terhadap cahaya: kepekaan terhadap cahaya disebut fotofobia.
Ini terjadi karena permukaan okular yang kering memiliki lebih banyak
penyimpangan daripada permukaan yang sehat. Ketidakteraturan ini
menyebarkan cahaya yang masuk ke mata. Cahaya yang tersebar ini dapat
menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan. Ketidakmampuan untuk
mentoleransi cahaya dapat menyebabkan menyipitkan mata dan sakit
kepala.
- Kesulitan dengan mengemudi di malam hari: Selama kondisi cahaya rendah,
seperti pada malam hari, pupil membesar dan memungkinkan lebih banyak
cahaya masuk ke mata. Ketika permukaan okular kering, cahaya yang
masuk menjadi tidak terfokus dan tersebar. Banyak dari kelainan ini disaring
oleh ukuran kecil pupil pada siang hari. Namun, pada malam hari, ukuran
pupil yang lebih besar memungkinkan lebih banyak kelainan ringan untuk
melewati retina. Hal ini menghasilkan silau di malam hari dan lingkaran
cahaya. Cahaya silau adalah toleransi cahaya terang yang menurun.

16
b. Gejala Fisik pada Mata
Permukaan depan mata kaya dengan ujung saraf. Dengan demikian, permukaan
okular yang kering dapat menyebabkan gejala ketidaknyamanan yang signifikan.
Selain merasa kering, gejala-gejala initermasuk:
- Sensasi benda asing: Pasien mungkin merasa seolah ada sesuatu yang ada
di mata.
- Mata merah: Pembuluh darah yang membesar di permukaan mata
menyebabkan mata terlihat merah.
- Nyeri okular dan periokular: Nyeri pada mata kering bisa ringan atau berat.
Rasa sakit akibat mata kering bisa dirasakan pada permukaan mata. Nyeri
juga bisa dirasakan pada struktur di sekitar mata seperti kelopak mata atau
kulit kepala.
- Iritasi periokular: Menyengat, membakar, atau sensasi gatal pada
permukaan mata dan kelopak mata.
Ditemukan ciri paling khas yakni pada pemeriksaan slitlamp adalah
tiadanya meniskus air mata pada tepian palpebra inferior. Kadang-kadang terlihat
benang-benang mukus kental kekuningan terlihat dalam fornix konjungtiva
inferior. Pada konjungtiva bulbaris tidak terlihat kilauan yang normal dan mungkin
menebal, edema, dan hiperemis (Eva.PR, 2010).
Pada stadium dry eye syndrome yang lebih berat dapat di jumpai filamen
dan gumpalan mukus, penipisan kornea marginal atau parasentral dan bahkan
perforasi dapat terjadi (Eva.PR, 2010).

2.2.7 Derajat Dry Eye Diease


Tabel 2.2 Derajat Dry Eye Diease
DERAJAT DRY 1 2 3 4
EYE

Ringan dan/atau Episodik sedang


Kegelisahan, Frekuensi berat Berat dan/atau
episodik; terjadi atau kronis,
keparahan, dan atau konstan kecacatan dan
di bawah stress stress atau tidak
frekuensi tanpa stress menetap
lingkungan stress

17
Mengganggu Mengganggu,
Menetap
Tidak ada atau dan/atau menghambat
dan/atau
Gejala Visual ada kelelahan membatasi aktivitas secara
kemungkinan
episodik ringan aktivitas secara kronis dan/atau
cacat
episodic terus-menerus

Kemerahan Tidak ada Tidak ada


+/- +/++
Konjungtiva sampai ringan sampai ringan

Pewarnaan Tidak ada Sedang sampai


Bervariasi Jelas
konjungtiva sampai ringan jelas

Pewarnaan Tidak ada Erosi (bertitik)


Bervariasi Jelas di sentral
kornea sampai ringan berat

Keratitis
Keratitis
filamen,
filamen,
Tanda pada Tidak ada Debris ringan, ↓ gumpalan
gumpalan
kornea sampai ringan meniscus mukus, dan ↑
mukus, dan ↑
debris air mata,
debris air mata
ulserasi

Trikiasis,
Kelenjar MGD dijumpai MGD dijumpai
Sering ada keratinisasi,
meibom berubah-ubah berubah-ubah
simblefaron

TBUT (detik) Bervariasi ≤ 10 ≤5 Segera tampak

Tes Schirmer
Bervariasi ≤ 10 ≤5 ≤2
(mm/ 5 menit)

TBUT: air mata fluorescein waktu istirahat. MGD: penyakit kelenjar meibom

(Messmer, 2015)

Dalam kasus – kasus dry eye syndrome ringan terdapat gejala – gejala
seperti rasa tergores, terbakar, atau menyengat bisa disertai dengan kondisi mata
kabur yang ringan ketika lapisan air mata terganggu. Pada kasus sedang biasanya
ditandai dengan ketidaknyamanan mata dan terjadi penurunan tajam penglihatan.
Pada kasus berat terdapat tanda – tanda pengeluaran air mata yang berlebih, debris
dilapisan air mata, peningkatan mucus pada lapisan air mata dan pewarnaan

18
konjungtiva, keratitis filamen, dan hilangnya kejernihan pada kornea (American
Opthometric Association, 2014).

2.2.8 Diagnostik
Gejala klinis dan hasil pemeriksaan merupakan pendukung untuk
menegakkan diagnosis. Berdasarkan International Dry Eye Workshop (DEWS)
2007 klasifikasi diagnostik sindrom mata kering, yakni seperti gambar di bawah
ini

Gambar 2.5 Klasifikasi Diagnostik

1. Anamnesis
a. Tanda dan gejala (iritasi, berair, rasa perih, sensasi terbakar, sensasi benda
asing, fotosensitivitas, rasa gatal, mata merah, penglihatan kabur, keluar
sekret)
b. Kondisi eksaserbasi (angin, udara, upaya visual yang berkepanjangan terkait
dengan penurunan tingkat berkedip seperti membaca dan menggunakan
komputer)
c. Durasi dari gejala
d. Penggunaan obat topikal (antihistamine, vasocontrictor, kortikosteroid)

19
e. Penggunaan kontak lensa
f. Konjungtivitis alergi
g. Penyakit permukaan mata (HSV, varicella zooster virus, Stevens-Johnson
Syndrome)
h. Merokok
i. Menopause
j. Systemic Inflammatory Diseases (Rheumatoid Arthrtitis, Systemic Lupus
Erythematosus, Sjogren Syndrome)
k. Penggunaan obat sistemik (antihistamin, diuretik, antikolinergik, β blocker,
antiaritmia)
l. Neurological conditions (Parkinson’s diseases, Bells Palsy, trigeminal
neuralgia) (AAO, 2013).
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Ciri khas pada pemeriksaan slit lamp adalah terputus atau tiadanya
meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukus kental
kekuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjungtiva inferior. Pada
konjungtiva bulbaris tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal,
edema, dan hiperemis (Eva.PR, 2010).
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji Schirmer
Uji dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip
Shirmer (kertas saring Whatman) ke dalam cul-de-sac konjungtiva inferior di
perbatasan anatara bagian sepertiga tengah dan temporal palpebra inferior.
Bagaian basah yang terpajan diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian
basah kurang dari 10 mm tanpa anastesi dianggap abnormal (Eva.PR, 2010).
b. Uji Tear Film Break-up Time
Pengkuran ini kadang-kadang berguna untuk memperkirakan kandungan
musin dalam cairan air mata. Ini tidak mempengaruhi uji Schirmer tapi dapat
berakibat tidak stabilnya film air mata. Ini yang menyebabkan lapisan cepat
pecah.
Caranya dengan meletakkan secarik kertas berfluorescein yang sedikit
dilembabkan, pada konjungtiva bulbaris dan meminta pasien berkedip. Film air

20
mata kemudian diperiksa dengan bantuan filter cobalt pada slitlamp, sementara
pasien diminta agar tidak berkedip. Waktu sampai munculnya bintik-bintik
kering yang pertama pada lapisan fluorescein kornea adalah “tear film break-up
time”. Biasanya, waktu ini lebih dari 15 detik, tetapi akan berkurang secara nyata
pada penggunaan anestetik lokal, manipulasi mata, atau dengan menahan
palpebral agar tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi
air pada air mata dan selalu lebih singkat dari normalnya pada mata dengan
defisiensi musin (Eva.PR, 2010).
b. Uji Ferning Mata
Sebuah uji sederhana dan murah untuk menilai mukus konjungtiva
dilakukan dengan mengeringkan keroakn konjungtiva di atas kaca obyek bersih.
Percabangan seperti pohon berarti mata normal dan percabangan mulai
mengilang atau berkurang berarti pada mata abnormal (Eva.PR, 2010).
c. Uji Sitologi Impresi
Cara menghitung densitas sek goblet di permukaan konjungtiva. Normal
ditemukan populasi sel goblet tertinggi ada di kuadran infranasal (Eva.PR,
2010).
d. Pemulasan Fluorescein
Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berfluorescein
adalah indikator yang baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata
bisa terlihat dengan mudah. Fluorescein akan memulas daerah-daerah erosi dan
terluka selain defek mikroskopis epitel kornea (Eva.PR, 2010).
e. Pemulasan Bengal Rose dan Hijau Lissamine
Bengal rose dan hijau lissamine sama sensitifnya untuk pemulasan
konjungtiva. Kedua pewarna tersebut akan memulas sel-sel epitel non-vital
yang mengering dari konjungtiva dan sedikit dari kornea. Tidak seperti bengal
rose, hijau lissamine tidak nyata menimbulkan iritasi (Eva.PR, 2010).
f. Penilaian Kadar Lisozim Air Mata
Penurunan kadar lisozim air mata umumnya terjadi pada awal perjalanan
sindrom Sjogren dan berguna untuk mendiagnosis penyakit tersebut. Air mata
ditampung pada kertas Schirmer dan dinilai kadarnya. Cara paling umum adalah
penilaian secara spektrofotometris (Eva.PR, 2010).

21
g. Osmolalitas Air Mata
Hiperosmolalitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sika
dan pemakaian lensa kontak, dan diduga sebagai akibat berkurangnya
sensitivitas kornea. Berbagai laporan menyebutkan bahwa hiperosmolalitas
adalah uji palilng spesifik bagi keratokonjungtivitis sika. Keadaan ini dapat
ditemukan pada pasien dengan uji Schrimer dan pemulasan bengal rose yang
normal (Eva.PR, 2010).
h. Lactoferrin
Lactoferrin adalah air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi
kelenjar lakrimal (Eva.PR, 2010).
2.2.9 Komplikasi
Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus kornea, terjadi penipisan kornea dan
perforasi. Sesekali dapat terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat parut serta
vaskularisasi pada kornea yang sangat menurunkan penglihatan (Eva.PR, 2010).

2.2.10 Terapi
Rekomendasi untuk manajemen bertahap dan pengobatan DED, sebagai
berikut:
Langkah 1:
 Edukasi mengenai kondisi, manajemen, pengobatan dan prognosisnya
 Modifikasi lingkungan sekitar
 Edukasi mengenai modifikasi diet yang potensial (termasuk suplementasi
asam lemak esensial oral)
 Identifikasi dan modifikasi potensial / penghapusan obat-obatan sistemik
dan topikal
 Pelumas okuler dari berbagai jenis (jika terdapat MGD, kemudian
pertimbangkan suplemen yang mengandung lipid)
 Kebersihan kelopak mata dan kompres hangat
Langkah 2:
Jika opsi di atas tidak mencukupi, pertimbangkan:
 Pelumas okular yang tidak diawetkan untuk meminimalkan toksisitas yang
diinduksi pengawet

22
 Perawatan tea tree oil untuk Demodex (jika ada)
 Konservasi air mata
o Oklusi Punctal
o Kacamata ruang kelembaban / googles
 Perawatan malam (seperti salep atau ruang kelembaban)
 Pemanasan fisik dan ekspresi kelenjar meibom (termasuk terapi yang
dibantu oleh perangkat, seperti LipiFlow) yang dilakukan di tempat praktik
dokter
 Terapi cahaya intens untuk MGD yang dilakukan di tempat praktik dokter
 Resep obat untuk mengelola DED
o Antibiotik topikal atau kombinasi antibiotik / steroid diterapkan
pada batas kelopak mata untuk blepharitis anterior (jika ada)
o Kortikosteroid topikal (durasi terbatas)
o Secretagogues topikal
o Obat imunomodulator topikal non-glukokortikoid (seperti
siklosporin)
o Obat antagonis LFA-1 topikal (seperti lifitegrast)
o Oral macrolide atau antibiotik tetrasiklin
Langkah 3:
Jika opsi di atas tidak mencukupi, pertimbangkan:
 Secretagogues oral
 Tetes serum autologous / allogeneic
 Opsi lensa kontak terapeutik
 Lensa perban lembut
 Lensa scleral yang kaku
Langkah 4:
Jika opsi di atas tidak mencukupi, pertimbangkan:
 Kortikosteroid topikal untuk durasi yang lebih lama
 Cangkok membran amniotik
 Pembedahan punctal oklusi
 Pendekatan bedah lainnya (misalnya tarsorrhaphy, transplantasi kelenjar
saliva)

23
(Craig, et al, 2017).
Tujuan utama dari terapi DED adalah untuk mengembalikan homeostasis
dari permukaan okuler dan film air mata, melalui pemecahan lingkaran setan
penyakit. Sementara pengobatan tertentu mungkin secara khusus diindikasikan
untuk satu aspek tertentu dari kondisi individu pasien, sejumlah terapi mungkin
direkomendasikan secara tepat untuk mengobati berbagai aspek dari presentasi
pasien dengan DED. Selain bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengobati
sumber utama penyakit, manajemen DED biasanya melibatkan manajemen
berkelanjutan untuk mengatasi gejala sisa kronis, daripada pengobatan jangka
pendek (Craig, et al, 2017).
Algoritma terapi yang disajikan tidak diusulkan sebagai pendekatan
sekuensial kaku untuk diikuti secara linier. Sebaliknya, harus dilihat sebagai alat
organisasi untuk membantu memandu inisiasi pengobatan dengan intervensi yang
paling mungkin bermanfaat bagi sebagian besar pasien dengan DED, dan berlanjut
ke perawatan yang lebih maju dan spesifik yang ditujukan pada aspek tertentu dari
patofisiologi DED. Bukti ilmiah yang sedang berlangsung, serta pertimbangan
risiko versus manfaat dan biaya, juga akan berkontribusi pada keputusan yang
diambil dalam memilih di antara berbagai opsi perawatan (Craig, et al, 2017).
Algoritma terapi sering dikonstruksi untuk merekomendasikan urutan
perawatan sesuai dengan stadium penyakit, tetapi konstruksi ini rumit dalam DED,
karena penyakit sering bervariasi dari pasien ke pasien, baik dalam keparahan
maupun dalam karakter. Jika pasien tidak menanggapi tingkat manajemen tertentu,
atau harusnya pasien menunjukkan DED yang lebih parah, tingkat terapi berikutnya
direkomendasikan dan dalam beberapa kasus terapi sebelumnya dapat dilanjutkan
sebagai tambahan untuk terapi baru. Secara umum, pendekatan terapi dimulai
dengan terapi yang diterapkan pada pasien secara konvensional, berisiko rendah
dan mudah diakses seperti pelumas over-the-counter untuk penyakit tahap awal,
dan pemilihan ke terapi yang lebih maju untuk bentuk DED yang lebih parah.
Namun, harus dipahami bahwa ada heterogenitas yang signifikan pada populasi
pasien DED. Pendekatan ini tidak dapat terlalu diformulasikan dan rekomendasi ini
dapat dimodifikasi dan tumpang tindih seperti yang diminta oleh tenaga kesehatan
berdasarkan individu pasien (Craig, et al, 2017).

24
Durasi uji coba pengobatan yang diharapkan sebelum menyimpulkan
adanya kegagalan terapi perlu melihat atau mempertimbangkan respon individu dan
terapi yang diberikan. Paling umum, efek pengobatan diamati dalam satu hingga
tiga bulan, meskipun beberapa terapi (misal Siklosporin A) bisa lebih lama. Secara
keseluruhan, pengobatan DED adalah suatu seni. Semua tenaga kesehatan
perawatan mata yang mengobati pasien dengan DED harus melatih keterampilan
klinis mereka untuk menilai signifikansi masing-masing proses patogenik yang
bervariasi yang dapat memanifestasikan keluhan subjektif serupa dan tanda-tanda
serupa dari disfungsi permukaan okuler (Craig, et al, 2017).

2.3 Kelainan Refraksi


2.3.1 Hipermetropia
a. Definisi
Hipermetropia atau disebut juga dengan hiperopia atau farsightedness atau
longsightedness adalah suatu kelainan refraksi, dimana berkas sinar sejajar yang
masuk ke dalam mata dalam keadaan istirahat tanpa akomodasi, dibiaskan
membentuk bayangan di belakang retina (Budiono, et al, 2013, Panduan
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata, 2006).
b. Etiologi
Terdapat beberapa hal yang mendasari terjadinya hipermetropia (Budiono, et
al, 2013):
1. Sumbu aksial bola mata yang lebih pendek (hipermetropia aksial). Pada
keadaan ini karena panjang bola mata lebih pendek dari mata normal, maka
sinar yang masuk akan jatuh di titik fokus di belakang retina. Umumnya
perbedaan panjang sumbu bola mata tidak lebih dari 2 mm. Perbedaan
panjang bola mata sebesar 1 mm akan menyebabkan perbedaan sekitar 3
dioptri pada kekuatan refraksi
2. Radius kurvatura kornea dan lensa yang lebih kecil dari normal
(hipermetropia kurvatura)
3. Perubahan posisi lensa
4. Perubahan indeks bias refraksi. Keadaan ini biasanya didapatkan pada
penderita usia tua di mana terjadi kekeruhan dan perubahan konsistensi dari

25
korteks dan nukleus lensa sehingga indeks bias menjadi bertambah dan sinar
yang masuk akan dibiaskan di satu titik fokus di belakang retina.
c. Klasifikasi
Berdasar kemampuan akomodasi yaitu(Budiono, et al, 2013):
1. Hipermetropia laten, yaitu hipermetropia yang dapat dikoreksi sepenuhnya
oleh akomodasi penderita.
2. Hipermetropia manifes, yang terbagi atas:
a. Hipermetropia fakultatif, yaitu hipermetropia yang dapat dikoreksi baik
oleh kemampuan akomodasi penderita maupun dengan pemberian
koreksi lensa cembung.
b. Hipermetropia absolut, yaitu hipermetropia yang tidak dapat dikoreksi
dengan kemampuan akomodasi penderita, sehingga mutlak harus
dikoreksi dengan lensa cembung.
3. Hipermetropia total, yaitu keseluruhan hipermetropia laten dan manifes
yang dapat dilihat dengan pemberian obat sikloplegik untuk melumpuhkan
muskulus siliaris sehingga tidak terjadi akomodasi sama sekali
Berdasarkan besar kelaianan refraksi dibagi (Panduan Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata, 2006) :
1. Hipermetropia ringan : ∫+0,25 - ∫+3,00
2. Hipermetropia sedang : ∫ +3,25 - ∫+6,00
3. Hipermetropia berat : ∫+6,25 atau lebih
d. Gejala Klinis
1. Penglihatan jauh umunya hanya terganggu jika derajat hipermetropia cukup
besar (3 dioptri atau lebih) atau penderita sudah tua, sementara penglihatan
dekat biasanya terganggu lebih dahulu.
2. Sakit kepala di daerah frontal, penglihatan yang tidak nyaman dan perasaan
mata lelah yang dipicu oleh melakukan pekerjaan yang memerlukan
penglihatan dekat dalam waktu lama. Hal ini disebut astenopia akomodatif,
yang timbul karena akomodasi yang berlebihan.
3. Sensitivitas yang meningkat terhadap cahaya.
4. Spasme akomodasi, yang terjadi karena muskulus siliaris terus menerus
berkontraksi untuk akomodasi.

26
5. Sensasi mata juling. Hal ini dapat terjadi pada penderita yang sudah
menderita esophoria sebelumnya.
(Budiono, et al, 2013)
e. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara subyektif dan obyektif. Secara
subyektif dengan metode trial and errordengan kartu Snellen dan koreksi yang
dilakukan dengan menggunakan lensa sferis positif. Secara obyektif dilakukan
dengan retinoskopi atau autorefraktometer (Budiono, et al, 2013).
f. Penatalaksanaan
Seperti halnya miopia, hipermetropia dapat dikoreksi dengan kacamata, lensa
kontak, dan bedah refraktif. Sebagai pedoman pemberian kacamata pada
hipermetropia diberikan lensa sferis positif atau lensa plus terkuat yang
menghasilkan tajam penglihatan terbaik(Budiono, et al, 2013):
1. Pada anak usia dibawah 6 tahun, karena panjang bola matanya relative lebih
pendek dari orang dewasa, umumnya didapatkan hipermetropia fisiologis.
Koreksi hanya diperlukan jika derajat hipermetropianya cukup besar atau
didapatkan strabismus. Untuk anak usia kurang dari 6 tahun yang diberikan
resep kacamata disarankan untuk diperiksa kembali 3 bulan.
2. Pada anak usia di atas 6 tahun, perlu dipertimbangkan kebutuhan
penglihatannya karena aktivitas mereka lebih banyak.
3. Pada penderita dewasa, terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan
resep kacamata yaitu keluhan penderita, pekerjaan, kebutuhan penglihatan,
usia, derajat hipermetropia dan masalah lain yang berkaitan. Hipermetropia
kurang dari 3 dioptri dan tidak didapatkan keluhan astenopia, maka tidak
perlu diberikan resep kacamata.
Lensa kontak diberikan bagi penderita dengan hipermetropia tinggi dan bagi
penderita dengan kondisi anisometropia, dimana terdapat perbedaan refraksi
antar mata lebih dari 1.00 D (Eva.PR, 2010, Panduan Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata, 2006). Keuntungan dari lensa kontak sendiri
adalah menghasilkan kwalitas bayangan yang lebih baik dari kacamata,
sedangkan kerugiannya dapat berupa iritasi, rasa tidak enak pada mata, hingga

27
edema kornea. Prinsip dari bedah refraktif adalah untuk merubah kurvatura
permukaan anterior kornea (Eva.PR, 2010).
2.3.2.Astigmatisme
a. Definisi
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi, dimana berkas sinar sejajar yang
masuk ke dalam mata, pada tanpa akomodasi, dibiaskan pada lebih dari satu titik
fokus (Budiono, et al, 2013, Panduan Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Penyakit Mata, 2006).
b. Etiologi
Penyebab umum astigmatisme adalah kelainan bentuk kornea (Budiono, et al,
2013). Kelainan bentuk kornea sebagian besar bersifat kongenital, sedangkan
yang tersering adalah kurvatura ventrikal. Pada saat lahir, bentuk kornea
umumnya sferis dan astigmatisme baru timbul 68% pada saat anak berusia 4
tahun dan 95% pada usia 7 tahun namun dengan bertambahnya usia,
astigmatisme dapat hilang dengan sendirinya. Selain itu astigmatisme juga dapat
muncul akibat kelainan yang didapat seperti pada ulkus kornea, trauma pada
kornea bahkan trauma bedah pada operasi katarak (Budiono, et al, 2013).
c. Klasifikasi
Berdasarkan bentuknya, astigmatisme dibagi menjadi(Panduan Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata, 2006):
1. Astigmatisme regular, terdapat dua meridian utama, dengan orientasi dan
kekuatan konstan disepanjang lubang pupil sehingga terbentuk dua garis
fokus. Apabila meridian-meridian terletak dalam 20 derajat horizontal dan
vertikal, astigmatisme dibagi menjadi:
a. Astigmatism with the rule, dengan daya bias lebih besar terletak di
meridian verrikal. Biasanya pada orang muda.
b. Astigmatism against the rule, dengan daya bias yang lebih besar terletak
di meridian horizontal. Biasanya pada orang tua.
2. Astigmatisme iregular, daya atau orientasi meridian-meridian utamanya
berubah di sepanjang pupil.
Berdasarkan tipenya, astigmatisme terbagi atas(Budiono, et al, 2013):

28
1. Astigmatisme hipermetropia simplek, yaitu salah satu meridian utama
emetropia dan meridian utama lainnya hipermetropia.
2. Astigmatisme miopia simplek, yaitu salah satu meridian utama emetropia dan
meridian utama lainnya miopia.
3. Astigmatisme hipermetropia kompositus, yaitu kedua meridian utama
hipermetropia dengan derajat yang berbeda.
4. Astigmatisme miopia kompositus, yaitu kedua meridian utama miopia
dengan derajat yang berbeda.
5. Astigmatisme miktus, yaitu satu meridian utama hipermetropia dan meridian
utama yang lain miopia.
d. Gejala Klinis(Budiono, et al, 2013)
1. Astigmatisme ringan
Keluhan yang sering timbul adalah mata lelah khusunya jika pasien
melakukan pekerjaan terus menerus pada jarak tetap. Transient blurred
vision pada jarak penglihatan dekat yang hilang dengan mengucek mata.
2. Astigmatisme berat
a. Mata kabur
b. Keluhan astenopia atau nyeri kepala jarang didapat tapi dapat timbul
setelah pemberian koreksi astigmatisme yang tinggi
c. Memiringkan kepala (tilting of the head), umumnya pada astigmatisme
oblik
d. Memutar kepala (turning of the head), biasanya pada astigmatisme yang
tinggi
e. Memicingkan mata untuk mendapatkan efek pinhole
f. Mendekatkan bahan bacaan ke mata dengan tujuan mendapatkan
bayangan yang lebih besar meskipun kabur
e. Penatalaksanaan
Koreksi astigmatisme dapat dilakukan dengan pemberian kacamata, lensa
kontak atau dengan bedah. Pemberian kacamata untuk astigmatisme regular
diberikan sesuai kelainan yang didapatkan yaitu silinder negatif atau positif
dengan atau tanpa kombinasi lensa sferis. Sedangkan untuk astigmatisme

29
ireguler, jika ringan dapat diberikan lensa kontak keras, dan untuk yang berat
dapat dilakukan keratoplasti (Budiono, et al, 2013).

30
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Anamnesis
 Pasien wanita berusia 77 tahun
Penyakit mata kering sering menyerang usia tua dan jenis kelamin wanita
(faktor risiko tinggi) menurut Messmer pada tahun 2015. Penurunan volume
dan aliran air mata, serta peningkatan evaporasi banyak terjadi pada usia
tua.
 Kedua mata berair
Keluhan mata berair (epiphora atau tearing) dapat terjadi karena refleks
mengedip atau berkurangnya aliran keluar. Refleks megedip seringkali
merupakan gejala sekunder dari dry eye disease, inflamasi, alergi, dan
kelainan permukaan mata yang lain. Berkurangnya aliran keluar dapat
disebabkan oleh malposisi kelopak mata, disfungsi pompa air mata, atau
obstruksi dari berbagai bagian sistem drainase nasolakrimal. Pada pasien
ini, tidak ditemukan adanya tanda-tanda aliran keluar yang lambat.
Kemungkinan mata berair disebabkan refleks mengedip akibat dry eye
disease. Pasien yang mengeluhkan mata berair akibat DED, tidak memiliki
defisiensi volume air mata, akan tetapi tidak stabilnya tear film.
 Kedua mata terasa kering
Pasien mengeluh kedua mata sering terasa kering, namun saat keluhan
pasien muncul tidak membuat pandangan pasien makin kabur. Adapun
keluhan mata kabur pada pasien memang dirasakan sejak ±5 tahun.
 Kedua mata kabur perlahan
Pasien mengeluh kedua mata kabur secara perlahan-lahan tidak ada mata
merah saat keluhan muncul. Kedua mata kabur dirasakan terutama saat
melihat jauh. Kabur terasa terus-menerus dan semakin lama semakin berat,
secara perlahan. Keluhan ini sudah ±5 tahun. Keluhan kedua mata kabur ini
juga sesuai dengan salah satu gejala dari katarak yakni adanya gangguan
fungsi penglihatan dengan derajat yang bervariasi, tergantung seberapa
berat atau stadium dan jenis dari kekeruhan lensa.

31
 Kedua mata terasa silau
Keluhan silau yang dirasakan disebabkan karena pembiasan lensa akibat
perubahan bentuk, struktur dan indeks bias lensa
3.2 Pemeriksaan
Pada pemeriksaan segmen anterior, didapatkan adanya gambaran lensa
keruh di kedua mata, maka penulis curiga pasien memiliki katarak, untuk
diagnosis pastinya perlu diberi midriatil. Setelah midriatil, tampak bahwa
terdapat katarak imatur di kedua mata pasien. Diagnosis banding untuk katarak
yaitu penyakit-penyakit mata dengan gejala mata tenang dengan penurunan
visus yang perlahan sudah penulis coba singkirkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan.
Pasien juga mengalami kelainan refraksi pada mata kanan yaitu
hipermetropia karena pada pemeriksaan refraksi didapatkan VOD 0.5 cc S
+0.50  0.6 f PH tetap. Untuk mata kiri terdapat astigmatisma hipermetropia
kompositus karena VOS 0.3 cc S +2.25 C -0.50 X 0  0.7 PH tetap, setelah
ditranspose : S +1.75 C +0.50 A 90˚. Koreksi visus yang tidak mencapai 1.0
meskipun sudah menggunakan pinhole menunjukkan bahwa terdapat kelainan
organik selain terdapat kelainan refraksi. Hal tersebut diperkuat pada
pemeriksaan segmen anterior dan ditemukannya lensa yang keruh. Untuk
melihat jarak dekat pasien menggunakan addisi S + 3.00 sesuai dengan usia
pasien, yaitu 77 tahun.
Pada pemeriksaan segmen posterior, semua tampak normal. Tidak ada
tanda-tanda adanya retinopati hipertensi. Namun pada segmen harus selalu
dimonitor karena efek dari hipertensi dapat mengenai seluruh organ tubuh
termasuk mata. Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan Tes Schirmer.
Namun, pemeriksaan untuk mencari penyebab mata kering pada pasien
menggunakan tes schirmer saja tidak cukup, maka perlu dilakukan planning
diagnosis seperti, Tes tear film break up time dan Fluorescein.
3.3 Diagnosis
Diagnosis untuk pasien ini adalah sindroma mata kering. Hal ini
dikarenakan pasien mengeluhkan mata merah, terasa kering. Pada tes schirmer

32
tanpa anestesi didapatkan hasil <10 mm, yang menandakan bahwa terdapat
penurunan produksi air mata.
3.4 Terapi
Pemberian air mata buatan Cendo Lyteers diberikan 6x1 tetes/ hari dan
Catarlent 3x1 tetes/hari serta kacamata sesuai koreksi.

33
LAMPIRAN
Resep Kacamata

RUMAH SAKIT HAJI SURABAYA Surabaya , 11 September 2018


Email : rsuhajisby1@yahoo.com KACAMATA untuk melihat jauh
Jl. Manyar Kertoadi Telp. (0321) 5924000 Fax. (031) 5947890 untuk melihat dekat
SURABAYA

Gelas Spheris Cyl As Prism Basis Warna

Kanan +0.50

Kiri +2.25 -0.50 0

ADD +3.00

Jarak antara Kedua pupil : 63/61 m.m

Pro : Ny. Mustaqimatin / 77 tahun

34
dr. Lay
SIP : QWE/RE34/IDI/2016
JL. Semolowaru Tengah XIV , Surabaya

Surabaya, 5 Juni 2018

R/ Cendolyteers eyedrops No. I


S 6 dd gtt I ODS
R/ Catarlent eyedrops No.I &
S 3 dd gtt I ODS
&

Penderita : Ny. Mustaqimatin

Umur : 77 tahun

Alamat : Surabaya

35
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology Staff. 2013, Dry Eye Syndrome,Preferred


Practice Pattern.

American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015,Fundamental and


Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy
of Ophthalmology.

Budiono, Sjamsu, et al, 2013, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya:
Airlangga University

Bron, Anthony, et al, 2017, TFOS DEWS II Pathophysiology Report, The Ocular
Surface, Vol. 15, pp 438-510.

Craig P, Jennifer, et al, 2017, TFOS DEWS II Report Executive Summary, The
Ocular Surface (2017), pp 1-11.
Drew JV, Tseng CL, Seghatchian J, et al.2018. Reflections on Dry eye Syndrome
Treatment: Therapeutic Role of Blood Product. Frontiers in Medicine.Vol
5 (33).
Eva PR, Whitcher JP. 2010. Oftamologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC:
hal. 224-226.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Mata. 2006.
Messmer EM. 2015.The Pathophysiology, Diagnosis AndTreatment Of Dry Eye
Disease. Dtsch Arztebl International 2015; 112: 71–82.
Wade, Matthew, 2015, Symptoms of Dry Eye Disease, Dicovery of Fondation
http://discoveryeye.org/symptoms-of-dry-eye-disease/ (diakses pada 10
Juni 2018).

36

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen17 halaman
    Bab Iv
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • 1295 2654 1 SM PDF
    1295 2654 1 SM PDF
    Dokumen8 halaman
    1295 2654 1 SM PDF
    DeaGtie Ituue Deewiee
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang
    Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang
    Dokumen2 halaman
    Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Bab 6
    Bab 6
    Dokumen4 halaman
    Bab 6
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Referat Dry Eyes
    Referat Dry Eyes
    Dokumen24 halaman
    Referat Dry Eyes
    onyotz
    100% (1)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Diare Berat II
    Diare Berat II
    Dokumen3 halaman
    Diare Berat II
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Diare Berat
    Diare Berat
    Dokumen3 halaman
    Diare Berat
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Ilma Mau Kompre
    Ilma Mau Kompre
    Dokumen70 halaman
    Ilma Mau Kompre
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Surat Kuasa
    Surat Kuasa
    Dokumen1 halaman
    Surat Kuasa
    Ilma Amalia
    Belum ada peringkat
  • Bab 5
    Bab 5
    Dokumen6 halaman
    Bab 5
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Panik
    Gangguan Panik
    Dokumen15 halaman
    Gangguan Panik
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Referat Trauma Tumpul Abdomen
    Referat Trauma Tumpul Abdomen
    Dokumen52 halaman
    Referat Trauma Tumpul Abdomen
    Gilbert Richard Sulivan Tapilatu
    Belum ada peringkat
  • Bab 7
    Bab 7
    Dokumen2 halaman
    Bab 7
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Abortus Inkomplit
    Lapsus Abortus Inkomplit
    Dokumen30 halaman
    Lapsus Abortus Inkomplit
    yunick rahma
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Panik
    Gangguan Panik
    Dokumen15 halaman
    Gangguan Panik
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Aaa
    Aaa
    Dokumen5 halaman
    Aaa
    Beny Syamsol Arifin
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Panik
    Gangguan Panik
    Dokumen15 halaman
    Gangguan Panik
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Refarat Pneumonia Anak
    Refarat Pneumonia Anak
    Dokumen17 halaman
    Refarat Pneumonia Anak
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • 8 - Adverse Drug Reaction
    8 - Adverse Drug Reaction
    Dokumen9 halaman
    8 - Adverse Drug Reaction
    Aan Mi'dad
    Belum ada peringkat
  • Ilma Sudah Kompre 111
    Ilma Sudah Kompre 111
    Dokumen87 halaman
    Ilma Sudah Kompre 111
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Bab 5
    Bab 5
    Dokumen6 halaman
    Bab 5
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • 8 - Adverse Drug Reaction
    8 - Adverse Drug Reaction
    Dokumen9 halaman
    8 - Adverse Drug Reaction
    Aan Mi'dad
    Belum ada peringkat
  • Sari Pediatric
    Sari Pediatric
    Dokumen7 halaman
    Sari Pediatric
    Fitri Maya Anggraini
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Referat Anak
    BAB 1 Referat Anak
    Dokumen18 halaman
    BAB 1 Referat Anak
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat
  • Bab Vii
    Bab Vii
    Dokumen2 halaman
    Bab Vii
    Giga Ardiansyah
    Belum ada peringkat