Disusun Oleh:
Anika Putri
Ayu Adi Justicea
Eko Darminto
Ikhsanuz Zaky
Kartika
Muhammad Zakaria
Mutia Kamalia Mukhtar
Ratri Widyastuti
Departemen Geografi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
2019
LAPORAN KULIAH LAPANG
PROGRAM MAGISTER ILMU GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
Jurusan : Geografi
Jumlah Peserta : 8 orang
Jumlah Dosen Pembimbing : 3 orang
Lokasi : Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
Waktu : Tanggal 27-31 Oktober 2019
Tema :
“Potensi Bahaya Sumber Daya Alam Hidrometeorologi”
Studi Kasus di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat
Mengetahui,
Puji dan syukur atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga laporan Kuliah Lapang
Magister Ilmu Geografi, yang diselenggarakan di Kabupaten Sukabumi pada tanggal
27 – 31 Oktober 2019, telah diselesaikan dengan baik dalam bentuk laporan penelitian
geografi tematik. Kuliah Lapangan merupakan kuliah langsung praktik di lapangan
sesuai dengan keahlian dari suatu bidang ilmu tertentu. Bagi mahasiswa Magister Ilmu
Geografi FMIPA Universitas Indonesia, kuliah lapangan merupakan salah satu mata
kuliah kuliah wajib sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Tentunya dalam hal ini, kami tak lupa menyampaikan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah memberi dukungan baik moral maupun material yang
mendukung bagi terlaksananya kegiatan kuliah lapang ini. Ucapan terima kasih ini
kami tujukan kepada:
1. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang telah
memberikan izin kepada mahasiswa kami untuk dapat melakukan penelitian di
luar kampus.
2. Kesbangpol Kabupaten Sukabumi yang telah memberikan izin untuk
melaksanakan penelitian di Kabupaten Sukabumi.
3. Bappeda Kabupaten Sukabumi, Bapak Yudi, yang telah memberikan izin
kepada kami untuk penelitian, dan megkordinasikan pertemuan untuk
pemaparan penelitian.
4. BPBD Kabupaten Sukabumi, Bapak Hilman Fathoni, yang telah memberikan
banyak informasi mengenai kebencanaan yang dibutuhkan dalam kajian yang
dilakukan oleh kami.
5. Geopark Information Center, Pak Yudi, yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk mengunjungi objek wisata yang ada di area Geopark
Ciletuh-Palabuhanratu.
6. Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi, Ibu Rose, yang telah memberikan
informasi mengenai pengelolaan pariwisata yang ada di Kabupaten Sukabumi.
7. Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi, yang telah membantu kami dalam
penelitian mengenai kebakaran lahan.
8. Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Sukabumi yang telah membantu kami
dalam penelitian mengenai kebakaran lahan.
9. BPP Kecamatan Simpenan yang telah membantu kami dalam penelitian
mengenai kebakaran lahan.
10. Relawan P2BK Kecamatan Simpenan yang telah membantu kami dalam
penelitian mengenai kebakaran lahan.
11. Seluruh staff terkait yang telah membantu kami dalam pemenuhan data untuk
menyempurnakan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa kami.
12. Seluruh pihak yang telah membantu kami dalam pelaksanaan Kuliah Lapang
Magister Ilmu Geografi periode Oktober 2019, yang tidak bisa kami sebutkan
satu per-satu.
i
Adapun laporan kuliah lapang ini sudah dibuat dengan sebaik-baiknya, namun
masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, jika ada kritik dan saran yang sifatnya
membangun dalam pelaksanaan kuliah lapang ini, dengan senang hati akan diterima
dengan baik. Semoga laporan kuliah lapangan yang disusun ini dapat menjadi salah
satu alat pendukung bagi pemerintah setempat dalam melaksanakan mitigasi bencana
di Kabupaten Sukabumi.
Depok, 22 November 2019
Ketua Kuliah Lapang,
Ikhsanuz Zaky
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kuliah lapang merupakan salah satu kewajiban bagi mahasiwa Magister Ilmu
Geografi Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia. Kuliah Lapang tahun
2019, lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yang
dinilai memiliki hubungan keterkaitan dengan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu.
Kegiatan tersebut direncanakan sejak awal semester II, karena merupakan
salah satu mata kuliah wajib Magister Ilmu Geografi. Selain itu, kegiatan tersebut juga
menjadi metode pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengimplementasikan teori
pembelajaran di kelas dengan kondisi lapangan. Sesuai dengan tata letak geografis dan
fisiografisnya yang dikaitkan dengan potensi bahaya bencana alam, diusulkan untuk
menerapkan kerangka kerja Sistematik Geografi. Berdasarkan diskusi pelingkupan
materi yang dilakukan, dipilih 8 (delapan) tema yang menjadi fokus pengamatan, yang
ditelaah secara sistematik dengan pendekatan spaial.
Proses kuliah lapang ini diawali dengan studi literatur selama kurang lebih 3
(tiga) bulan untuk mengkaji serta mencari informasi terkait dengan kondisi
pengembangan pariwisata di Kabupaten Samosir dan sekitarnya. Hasil studi literatur
tersebut menjadi dasar bagi mahasiswa untuk menentukan tema yang selanjutnya
dijadikan acuan untuk pencarian data dan validasi di lapangan. Pencarian data dan
validasi di lapangan dilaksanakan pada tanggal 27-31 Oktober 2019. Pada tahap akhir,
dilakukan analisis hasil data untuk memperoleh sintesis antara tema dan hasil
penelitian serta keterkaitannya dalam potensi kebencanaan.
Laporan kuliah lapang terdiri dari laporan individu dan laporan kelompok yang
berpedoman pada tema utama yakni Potensi Bahaya Sumber Daya Alam
Hidrometeorologi. Tema tersebut selanjutnya menjadi dasar dalam penentuan
subtema. Laporan kuliah lapang terdiri dari 8 subtema yang secara sistematik geografis
berhubungan dengan mitigasi bencana di Kabupaten Sukabumi dilihat dari aspek
lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya.
Kabupaten Sukabumi menjadi salah satu wilayah yang menjadi target kegiatan
kuliah Lapangan. Hal tersebut di dasarkan pada Kabupaten Sukabumi yang menjadi
“supermarket” bencana. Menurut Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi, Eka Widiaman, sepanjang tahun 2018
telah terjadi 725 bencana, Dari ratusan bencana tersebut yang paling banyak terjadi
adalah longsor sebanyak 353 bencana, lalu angin kencang sebanyak 121 kejadian,
kebakaran 117 kejadian, gempa bumi 4 kejadian, pergerakan tanah 12 kejadian, dan
bencana lain-lain sebanyak 60 kejadian. Dasar itulah yang menjadi pijakan bagi
Magister Ilmu Geografi Departemen Geografi FMIPA untuk melakukan kegiatan
kuliah lapang di Kabupaten Sukabumi.
Secara umum, keseluruhan pelaksanaan kegiatan kuliah lapang sesuai dengan
rencana yang telah disepakati. Akses untuk mendapatkan informasi dan data
penelitian, didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi. Hanya saja,
2.2 Tata Letak Kabupaten Sukabumi dari Aspek Fisiografi, Geologi, dan
Geomorfologi
Bentuk topografi wilayah Kabupaten Sukabumi pada umumnya meliputi
permukaan yang bergelombang di bagian selatan dan bergunung di bagian utara
dan tengah dengan ketinggian berkisar antara 0–2960 m. Kondisi permukaan
tanah di Kabupaten Sukabumi bervariasi. Berdasarkan kelas kemiringan, kondisi
permukaan tanah di Kabupaten Sukabumi digolongkan menjadi 5 kelas, yaitu
(BPS, 2018):
1. Kelas I dengan kemiringan 0-8 luasnya sekitar 209.088 ha;
2. Kelas II dengan kemiringan 8-15 luasnya sekitar 40.998 ha;
3. Kelas III dengan kemiringan 15-25 luasnya sekitar 40.998 ha;
4. Kelas IV dengan kemiringan 25-45 luasnya sekitar 59.447 ha;
5. Kelas V dengan kemiringan >45 luasnya sekitar 59.447 ha.
Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi wilayah lahan
kering yang luas, saat ini sebagaian besar merupakan wilayah perkebunan, tegalan
dan hutan. Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B
(Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan
144 hari. Suhu udara berkisar antara 20-30oC dengan kelembaban udara 85-89
persen. Curah hujan antara 3.000-4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara,
sedangkan curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah
sampai selatan Kabupaten Sukabumi.
Daerah Kabupaten Sukabumi sebagian besar bertekstur tanah sedang
(tanah lempung). Kedalaman tanahnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
golongan besar yaitu kedalaman tanah sangat dalam (lebih dari 90 cm) dan
kedalaman tanah kurang dalam (kurang dari 90 cm). Kedalaman tanah sangat
dalam tersebar di bagian utara, sedangkan kedalaman tanah kurang dalam tersebar
di bagian tengah dan selatan. Hal ini mengakibatkan wilayah bagian utara lebih
subur dibanding wilayah bagian selatan.
Abstrak
Kecamatan Palabuhanratu merupakan ibukota dari Kabupaten Sukabumi yang
terletak di bagian barat Kabupaten Sukabumi dekat pesisir pantai Pelabuhanratu.
Wilayah ini terdiri dari Desa Buniwangi, Desa Cibodas, Desa Cikadu, Desa
Cimanggu, Desa Citarik, Desa Citepus, Desa Jayanti, Desa Pasirsuren, Desan
Tonjong dan Kelurahan Palabuhanratu. Kecamatan Palabuhanratu ini merupakan
daerah berkembang yang banyak tumbuh pusat perekonomian terutama yang
berada pada dekat pesesir pantai. Zona Nilai Tanah yang merupakan kumpulan
wilayah atau area yang terdiri dai nilai harga tanah. Daerah Pusat Kegiatan (DPK)
merupakan suatu wilayah yang menjadi pusat kegiatan terutama kegiatan
Tinjauan Pustaka
Faktor Nilai Tanah
Golberg dan Chiloy (dalam Ernawati 2005) menentukan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap nilai tanah dan karakteristik yang dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Karakteristik Fisik Karakteristik fisik ini menyangkut kemiringan tanah,
ketinggian, bentuk, jenis tanah dan luas dari area tertentu. Karakteristik tanah
yang paling umum adalah sebagai berikut:
a. Ruang (Space)
Karakteristik luas tanah suatu area mungkin merupakan karakteristik
fisik yang paling penting. Luas tanah yang akan ditempati merupakan hal
penting untuk pemahaman perhitungan ekonomi dari sebantuk tanah
tersebut.
b. Kestabilan tanah (indestructibility). Tanah secara fisik tidak bisa
dihancurkan ataupun diciptakan, sedangkan ruang telah tertentu, struktur
ketahanan tanah mempengaruhi sediaan tanah yang tersedia setiap waktu.
c. Tidak dapat dipindahkan (immobility). Ruang di permukaan bumi tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain. Keberadaan tanah tersebut adalah
permanen terhadap lokasi fisik di mana tanah tersebut terletak.
2. Karakteristik Lokasional Lokasi suatu tanah perkotaan berkaitan dengan
penggunaan tanah yang dapat dilakukan di tanah tersebut, berupa kegiatan
ekonomi dan sosial.
3. Karakteristik Legal Dalam pengenalan keunikan tanah perkotaan, dibentuk
suatu intitusi legal yang berkaitan dengan pengaturan penggunaan,
penempatan dan pemilikan tanah perkotaan. Berdasarkan Surat Edaran
Departemen Keuangan RI, Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-55/PJ.6/1999
tentang Petunjuk Teknis Analisis Penentuan NIR (Nilai Indikasi Rata-rata),
variabel yang menentukan nilai tanah adalah sebagai berikut :
a. Faktor Fisik:
1) Keluasan tanah
2) Bentuk tanah
3) Sifat fisik tanah seperti topografi, elevasi, banjir/tidak banjir, kesuburan
(untuk pertanian) dan sebagainya.
b. Lokasi dan Aksesbilitas:
1) Jarak dari pusat kota
Blok
Blok ditetapkan menjadi suatu areal pengelompokan bidang tanah terkecil
yang digunakan sebagai petunjuk lokasi objek pajak yang unik dan permanen.
Syarat utama sistem identifikasi objek pajak adalah stabilitas. Perubahan yang
terjadi pada sistem identifikasi dapat menyulitkan pelaksanaan dan administrasi.
Alasan kestabilan ini menyebaban RT/RW/RK atau sejenisnya yang cenderung
mengalami perubahan yang relatif tinggi tidak dimanfaatkan sebagai salah satu
komponen yang mengidentifikasi objek pajak yang bersift permanen dalam jangka
panjang. Sehingga apabila RT/RW/RK atau sejeninsnya dimasukan sebagai bagian
dari NOP/Blok dapat menyebabkan NOP/Blok tidak permanen. Jadi penetapan
definisi serta pemberian kode blok semantap mungkin sangat penting untuk
menjaga agar identifikasi objek pajak tetap bersifat permanen.
Untuk menjaga kestabilan, batas-batas suatu blok harus ditentukan
berdasarkan suatu karakteristik fisik yang tidak berubah dalam jangka waktu yang
lama. Untuk itu, batas-batas blok harus memanfaatkan karakteristik batas geografis
yang ada, jalan bebas hambatan, jalan arteri, jalan lokal, jalan kampung/desa, jalan
setapak/lorong/gang, rel kereta apai, sungai, saluran irigasi, saluran buangan air
hujan (drainage), kanal dan lain-lain
Dalam membuat batas blok, persyaratan lain yang harus dipenuhi adalah
tidak diperkenankan melampaui batas desa/kelurahan dan dusun. Batas lingkungan
dan RT/RW/RK atau sejenisnya tidak perlu diperhatikan dalam penentuan batas
blok. Dengan demikian dalam satu blok kemungkinan terdiri atas satu RT/RW/RK
atau sejeninsnya atau lebih.
Satu blok dirangcang untuk dapat menampung lebih kurang 200 objek
pajak atau luas sekitar 15ha, hal ini untuk memudahkan kontrol dan pekerjaan
pendataan di lapangan dan admnistrasi data. Namun jumlah objek pajak atau
wilayah yang uasnya lebih kecil atau lebih besar dari angka di atas tetap
diperbolehkan apabila kondisi setempat tidak memungkinkan menerapkan
pembatasan tersebut. Untuk menciptakan blok harus seksama. Kemungkinan
pengembangan wiayah di masa mendatang penting untuk dipertimbangkan
sehingga batas-batas blok yang dipilih dapat tetap dijamin kestabilannya. Kecuali
dalam hal yang luar biasa, misalnya, perubahan wilayah administrasi, blok tidak
boleh diubah karena kode blok berkaitan dengan semua jenis informasi yang
tersimpan di daam basis data
Metode Penelitian
Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan melalui studi literatur dari buku-buku yang
membahas tentang pemanfaatan penginderaan jauh, serta karakteristik nilai tanah
yang diperoleh dari jurnal-jurnal dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
yang berkaitan dengan nilai tanah. Informasi yang didapat dari studi literatur ini
akan digunakan sebagai acuan untuk membuat penelitian ini.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta administrasi
Kecamatan Palabuhanratu dan Data NJOP Kecamatan Palabuhan Ratu tahun 2019.
Dari data NJOP tersebut diklasifikasikan desuai dengan harga. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer bersumber dari citra resolusi tinggi yang diperoleh dari
ESRI Image tahun 2019 yang didapat dari SAS Planet. Data sekunder yaitu Nilai
Indeks Rata-Rata yang menjadi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Kecamatan
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi didapat dari Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Sukabumi, peta RBI Kecamatan Palabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi
yang didapat dari Badan Informasi Geospasial dan Peta kontur Kecamatan
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi didapat dari Badan Informasi Geospasial.
Selain itu penulis melakukan wawancara dengan pihak Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Sukabumi dan Kepala Camat Kecamatan Palabuhanratu guna
mendapatkan keterangan terkait pusat kegiatan di wilayah Palabuhanratu.
Analisis Data
Anaslis data yang utama dalam penelitian ini berupa analisis spasial untuk
menyusun pola keruangan nilai tanah di Kecamatan Palabuhanratu pada tahun
2019. Data sekunder berupa NJOP dari seluruh wilayah kelurahan di Kecamatan
Palabuhanratu akan dilakukan teknik georeferece dengan menentukan titik
Collecting Data
Penentuan Sample
NJOP
Overlay
Hasil
Analisa Daerah Pusat Kegiatan dari Data Kontur Zona Nilai Tanah
Data kontur zona nilai tanah Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten
Sukabumi hanya terdapat satu DPK berbentuk pusat pemerintaham. Berdasarkan
kontur zona nilai tanah qilayah ini memiliki kontur yang rendah dan dekat dengan
pusat perekonomian di daerah pesisir palabuhanratu
Analisa Pola Harga Tanah
Dari data kontur zona nilai tanah berdasarkan data NJOP Kecamatan
Palabuhanratu tahun 2019 dapat dibuat sebuah profil memanjang dari ujung satu
ke ujung yang lain, dalam hal ini peneliti mengambil sample dari titik dari ujung
timur yang terletak di Desa Tonjong ditarik hingga ujung barat yang terletak di
kelurahan Palabuhanratu dengan nilai tanah untuk melihat pola harga tanah.
Setelah dilakukan pembuatan profil harga tanah wilayah Kecamatan
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi berdasarkan data NJOP 2019 dari aplikasi
pengolah data spasial ArcGIS 10.3 dapat dianalisa bahwa titik ujung barat yang
memiliki nilai tanah Rp 802.000 m/2 merupakan Kelurahan Palabuhanratu dan
semakin ditarik ke arah timur maka harga nilai tanah akan mengalami penurunan,
dan ditengah-tengah garis harga tanah mengalami sedikit kenaikan dan kembali
mengalami penurunan harga. Hal ini dikarenakan sesuai (Ksamawan, 2009) bahwa
Daerah Pusat Kegiatan (DPK) merupakan pusat kegiatan komersil dan
terkonsentrasi pada satu ttik sebagai pusatnya. Sehingga kebanyakan nilai tanah
dikawan DPK atau sekitarnya menjadi lebih tinggi dibandngkan dengan daerah
yang jaduh dari DPK
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelirian ini, maka didapatkan beberapa kesimpulan
yaitu:
1. Zonasi yang telah dibuat dari NIR yang dijadikan sebagai NJOP Kecamatan
Palabuhanratu tahun 2019 sejumlah 21 zona tilai tanah. Dengan rincian jumlah
pada pada Desa Buniwangi 4 zona, Desa Cibodas 5 zona, Desa Cikadu 8 zona,
Desa Cimanggu 3 zona, Desa Citarik 7 zona, Desa Citepus 13 zona, Desa
Jayanti 8 zona, Desa Pasirsuren 7 zona, Desa Tonjong 6 zona dan Kelurahan
Palabuhanratu 15 zona.
2. Dari data kontur zona nilai tanah berdasarkan data NJOP Kecamatan
Palabuhanratu diketahui persebarab Daerah Pusat Kegiatan yakni terletak pada
Kelurahan Palabuhanratu dimana pada daerah tersbut memiliki pusat
pemerintahan sekaligus dekat dengan pusat perekonomian yang terletak didekat
pesesir pantai Pelabuhan Ratu
3. Berdasarkan pembuatan profil harga tanah Kecamatan Palabuhanratu
Kabupaten Sukabumi dari data nilai jual objek pajak (NJOP) tahun 2019 dapat
dilihat bahwa harga tanah yang lokasinya semakin jauh dari lokasi Daerah Pusat
Kegiatan (DPK) mengalami penurunan harga tanah. Begitu sebaliknya dengan
lokasi yang semakin dekat dengan DPK mengalami kenaikan harga tanah
Daftar Pustaka
Deviantari, Budisusanto, Majdi. 2017. Pemanfaatan Peta Kontur Zona Nilai Tanah
Pada Data Nilai Jual Obek Pajak Tahun 2015 untuk Identifikasi Lokasi
Central Business District. Geoid Vol. 12, No. 2
Ambaritan Subiyanto, Yuwono. 2016. Analisis Perubahan Zona Nilai Tanah
Berdasarkan Harga Pasar untuk Menentukan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) dan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Studi Kasus:
Kec. Semarang Timur, Koa Semarang). Jurnal Geodesi UndipVol 5, No 2.
Silvandle, Subiyanto, Hani’ah. 2015. Penentuan Perubahan Zona Nilai Tanah
Berdasarkan Harga Pasar untuk Peningkatan NJOP di Kecamatan
Aromulyo Koa Salatiga. Julnal Geodesi Undip Vol 4, No 1
Tumanggor, Subiyanto, Yuwono. 2016. Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah Untuk
Menentukan Nilai Jual Objek Pajak (Studi Kasus: Kec. Gunungpati, Kota
Semarang). Jurnal Geodesi Undip Vol. 5, No 2
Abstrak
Potensi Pariwisata kabupaten Sukabumi sangat besar dan salah satu sektor yang
diandalkan dalam penerimaan pendapatan daerah. Penyematan Geopark Ciletuh
Palabuhanratu (GCP) Indonesia sebagai heritage international sseharusnya bisa
lebih meningkatkan potensi parisiwisata bukan hanya untuk domestik tetapi untuk
international. Kuliah Lapangan (KL) ini bertujuan menginventarisasi masalah-
masalah terkait terkendalanya pengembangan GCP dan memberikan alternative
solusi untuk menyelesaikannya. Metode yang digunakan dalam KL adalah dengan
mengkonsolidasi hasil survey (kuesioner), studi literasi dan observasi (survey
lapangan). Hasil analisa yang penulis dapatkan adalah peningkatan promosi di
level regional dan internasional adalah sesuatu mendesak harus dilakukan.
Pendahuluan
Latar Belakang
Potensi pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan dalam
pembangunan nasional karena pariwisata dapat meningkatkan pendapatan nasional
dan pendapatan daerah serta devisa negara. Kekayaan alam yang yang dimiliki
Indonesia menjadikan pariwisata menjadi salah satu leading sector disamping
industri kecil dan agroindustry. Terkait dengan hal itu, dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa Kepariwisataan
mempunyai peranan penting untuk memperluas dan meratakan kesempatan
berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar
pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional dan
memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa dan
mempererat persahabatan antas bangsa.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang
memiliki beberapa keindahan keanekaragaman objek wisata. Terletak di
ketinggian rata-rata 584 MDPL dibawah kaki gunung Pangrango dan gunung
Gede, kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas ke 2 yang ada di pulau
Jawa setelah kabupaten Banyuwangi. Luasnya kabupaten ini menjadikan banyak
tempat wisata di Sukabumi dan sekitarnya yang tersembunyi dan belum banyak
diketahui oleh banyak wisatawan. Salah satu yang cukup menarik perhatian
wisatawan domestik maupun internasional beberapa tahun terakhir adalah wisata
Geopark Ciletuh Palabuhanratu (GCP).
GCP resmi mendapatkan predikat sebagai UNIESCO Global Geopark
(UGG). Pengesahan ini disampaikan dalam sidang Executive Board UNESCO ke
204, Komisi Programme and External Relations pada tahun 2017 di Paris.
Ditetapkan sebagai sebuah geopark internasional karena memiliki warisan geologi
yang berskala internasional, keberadaaanya sangat langka dan menjadi bagian dari
evolusi bumi. Kawasan geopark dibedakan menjadi tiga area pengembangan sesuai
dengan masing-masing karakteristik Geodiversity, Biodiversity dan Culture
Identifikasi masalah
Selain 3 aspek geopark yang telah dipaparkan sebelumnya (geodiversity,
biodiversity dan culture diversity) dan menjadi trade mark GCP, teridentifikasi
kendala yang akan berlanjut menjadi masalah dalam pengembangan GCP, yang
efeknya akan berdampak tidak baik pada proses pengembangan ekonomi
masyarakat dan assessment perpanjangan predikat International Geopark oleh
UNESCO yang di lakukan per 3 tahunan oleh badan penilai dari UNESCO.
Beberapa masalah dominan yang muncul dalam pengelolaan dan
pengembangan GCP antara lain:
✓ Konsistensi waktu kunjungan
Fluktuasi kunjungan wisatawan lebih tinggi pada musim liburan
sedangkan relatively kosong pada masa-masa lainnya.
✓ Promosi objek wisata
Banyaknya area wisata membuat pengelola melakukan prioritasi dalam
melakukan promosi, hal ini disebabkan dana promosi yang terbatas sehingga
penggunaannya harus tepat sasaran.
✓ Keadaan penduduk
Pada prinsipnya tempat wisata adalah tempat melepas kepenataan,
berekreasi dan juga mencari kebahagiaan. Banyaknya pemukiman yang
muncul sebagai akibat dari dibukanya obyek wisata untuk umum, bagi
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diinventarisasi diatas, penulis akan
fokus kepada menganalisis Promosi objek wisata yang diyakini masalah-masalah
lainnya akan akan terselesaikan. Adapun tujuan kuliah lapangan yang penulis
lakukan untuk menganalisa apakah faktor promosi benar-benar merupakan
masalah utama dalam pengelolaaan dan pengembangan GCP, dan apakah
penanganan masalah-masalah tersebut dapat digeneralisasi untuk semua jenis
obyek wisata ataukan untuk Geopark yang sifatnya wisata edukasi mempunyai
penanganan dan target tersendiri dalam mengukur keberhasilannya. Begitu pula
wisatawan yang datang apakah wisatawan asing yang berorientasi kepada edukasi
memerlukan penanganan khusus dalam promosi dan publikasi.
Tinjauan Pustaka
Geopark pada prinsipnya terdiri dari 3 bagian utama yaitu geodiversity,
biodiversity dan cultural diversity. Geodiversity adalah gambaran dari keragaman
komponen geologi yang terdapat di suatu daerah. Termasuk keberadaan,
penyebaran dan keadaannya sehingga dapat mewakili proses evolusi geologi
daerah tersebut. Kajian Geodiversity terbatas pada unsur geologi saja (termasuk
geomorfologi), namun tidak untuk unsur lainnya seperti iklim dan tataguna lahan.
Biodiversity adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumber
daya alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari
Keanekaragarnan Ekosistem, Keanekaragaman Spesies (Jenis) dan
Keanekaragaman Genetik. Cultural Diversity atau keragaman budaya diartikan
sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan
kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya.
Ketigannya merupakan unsur yang saling berhubungan sehingga sebuah
atau kumpulan obyek wisata bisa dikatakan sebagai Geopark. Konsekuensi
hubungan ketiga hal tersebut adalah harus adanya kegiatan berkesinambungan
dalam hal Konservasi, Pendidikan dan Geowisata. Pembangunan pariwisata
geopark pada prinsipnya sama dengan pembangunan pariwisata pada umumnya,
yaitu pengembangan berbasis masyarakat dengan istilah umum, dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Terdapat 4 aspek (4A) yang harus diperhatikan dalam
pengembangan pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
✓ Attraction (Daya Tarik)
Daerah tujuan wisata (DTW) untuk menarik wisatawan pasti memiliki
daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya.
Semua ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam (bentang
alam dan unsur-unsur geologi) serta flora dan fauna, pemandangan alam,
Metode Penelitian
Studi Pendahuluan
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
survey langsung ke lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan Badan
Pengelola Geopark Ciletuh Palabuhanratu, Dinas Pariwisata kabupaten Sukabumi
dan masyarakat disekitar kawasan obyek wisata. Tidak terbatas kepada ketiga
sumber tersebut, diskusi juga dilakukan dengan akademisi dalam hal ini dosen
pengampu mata kuliah Kuliah Lapangan, Departemen Geografi, Universitas
Indonesia.
Hasil dari inventarisasi data primer tersebut, langka berikutnya adalah
menverifikasi informasi yang didapatkan dengan studi literasi dengan hasil
wawancara dengan komponen-komponen yang diperlukan. Hasil dari proses
tersebut dijadikan penulis sebagai bagian dari materi untuk analisa lebih jauh
terhadap realitas yang terjadi dilapangan.
Analisa Data
Analisa terhadap semua data yang dikumpulkan baik dengan metode
literasi, diskusi ataupun survey berfokus kepada perbandingan antara data existing
dilapangan dan data laporan. Data statistik wisatawan yang berkunjung ke obyek
wisata di integrasikan dengan data hasil survey (sampling) selama kegiatan Kuliah
Lapangan, keduanya dijadikan sumber data primer dalam melakuka Analisa.
Adapun sistematika dari penelitian yang dlakukan oleh penulis adalah sebagai
berikut,
Data Collection
Analisa
Jumlah Obyek
Wisata
38
21
Sejak tahun 2012 hingga 2015, zona 2 yaitu Ciletuh memiliki jumlah
kunjungan yang terbilang sedikit jika dibandingkan dengan zona 1 dan 3, karena
Wisata GCP saat itu masih belum terbuka secara resmi dan hanya dikunjungi
sebagai tempat pusat penelitian atau observasi. Sejak tahun 2016 wisatawan
meningkat secara siginifikan dari tahun-tahun sebelumnya, dari 6722 hingga
mencapai 33452 pengunjung karena pembukaan secara resmi sebagai tempat
wisata untuk umum baru dilakukan pada tahun 2016. Pada tahun 2017, jumlah
kunjungan mengalami peningkatan yaitu sebanyak 44959 pengunjung.
Disebabkan karena belum adanya publikasi data baru (2019) dari
pengelola, penulis menggunakan data tahun 2018 sebagai bahan untuk Analisa.
Berikut ini tersaji data kunjungan wisatawan perbulan pada tahun 2018 sampai
bulan Juni.
Dapat dilihat dari Tabel 1 dan 2, sejak tahun 2016 Wisata GCP mengalami
peningkatan jumlah pengunjung yang sangat signifikan. Terlebih pada tahun 2018
jumlah pengunjung Wisata GCP meningkat pesat dan jauh meninggalkan zona 1
dan 3. Hal ini diantarnya disebabkan karena promosi yang dilakukan oleh pihak
pengelola Wisata GCP. Jika promosi yang dilakukan oleh pihak GCP efektif,
jumlah pengunjung Wisata GCP akan terus meningkat. Namun, sebagai tempat
wisata yang memang baru diresmikan tahun 2016, pengelola Wisata GCP terus
Kesimpulan
Berikut ini kesimpulan yang dapat penulis ambil dari hasil analisa literatur
dan observasi/survey yang dilakukan di Ciletuh Palabuhanratu kabupaten
Sukabumi,
1. Jendela waktu kunjungan wisatawan yang selama ini terkonsentrasi pada waktu
liburan sekolah dan karyawan perlu di modifikasi dengan melakukan edukasi
kepada instansi penelitian, lembaga pendidikan formal ataupun lembaga non
formal lainnya dengan mengangkat tema wisata edukasi yang interaktif.
Harapannya para pemangku kepentingan bisa menyisihkan waktu untuk
berwisata pada waktu selain liburan demi mendapatkan pengetahuan yang lebih
real dilapangan.
2. Promosi yang hanya berfokus pada wisatawan lokal diharapkan bisa
dikembangkan ke wisatawan international (luar negeri) dengan melakukan
kerjasama dengan travel agent international ataupun Non Govermental
Organization (NGO) baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri.
Selain itu bisa membangun kerjasama bilateral ataupun multilateral dengan
tujuan mensosialisaskan (promosi) GCP lebih luas lagi.
3. Selain menambah PAD denga memasang target wisatawan domestik,
diperlukan juga penentuan target jumlah wisatawan asing dengan karakteristik
wisata edukasi. Hal ini secara langsung ataupun tidak langsung akan memacu
para pemegang kepentingan (stake holder) untuk berfikir keras mencapai tujuan
tersebut.
4. Geopark Palabuhanratu yang merupakan heritage dunia saat ini bukan hanya
dimiliki oleh Indonesia. Konsekuensi telah mendunianya GCP adalah dengan
Daftar Pustaka
UU Republik Indonesia No. 9 Tahun 2019.
Nainggolan, Karla. 2019. Efektivitas Bauran Promosi Wisata Geopark Ciletuh
Palabuhanratu, Jawa Barat.
Ciletuh Palabuhanratu Geopark, 2017.
Konsep Dasar Dan Penerapan A4 Dalam Dunia Pariwisata 2017. [Internet].
[Diunduh Desember 2019]. Tersedia Pada:
Https://Dinaspariwisata.Kutaitimurkab.Go.Id/News/6-Konsep-Dasar-
Dan-Penerapan-A4-Dalam-Dunia-Pariwisata
Tourism Industry Book, 2000.
Abstrak
Penelitian perubahan garis pantai penting karena berubahnya garis pantai dapat
merugikan manusia. Pemantauan wilayah pesisir di Indonesia dapat lebih mudah
dikenali dengan menggunakan metode penginderaan jauh dengan proses secara
temporal dan spasial. Penggunaan metode penginderaan jauh dengan satelit
Landsat 8 dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan garis pantai dengan
menggunakan metode band ratio. Penelitian ini menghasilkan pola keruangan
perubahan garis pantai di Teluk Palabuhanratu pada tahun 2015 dan 2019 untuk
mengetahui tingkat abrasi dan akresi yang telah terjadi di Teluk Palabuhanratu.
Abrasi yang terjadi di Teluk Palabuhanratu sebesar 0,245 km2, yang terbesar
terjadi di Kecamatan Palabuhanratu dan akresi yang terjadi sebesar 0,085 km2,
yang terbesar terjadi di Kecamatan Simpenan.
Kata kunci: garis pantai, abrasi, akresi, band ratio
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau
17.504 dan garis pantai sepanjang 108.000 km memiliki potensi sumber daya
kelautan dan perikanan yang besar dan sangat beragam. Teluk Palabuhanratu
merupakan salah satu wilayah pesisir di Kabupaten Sukabumi dengan panjang
garis pantai 112 km. Pantai di sepanjang Teluk Palabuhanratu rawan akan bencana
karena merupakan perairan dalam yang curam dan dikenal memiliki ombak yang
sangat kuat sehingga dapat mengakibatkan sering terkena gelombang pasang.
Koesoemadinata (1980) menyebutkan bahwa transport sedimen sepanjang pantai
terjadi apabila pasir terangkat oleh turbulensi yang disebabkan oleh gelombang
pecah sehingga menyebabkan terjadinya erosi dan akresi di daerah pantai.
Penelitian perubahan garis pantai penting karena ekploitasi besar-besaran
terhadap pantai menyebabkan kerusakan dan berubahnya garis pantai yang
merugikan manusia (Triwahyuni, 2010). Penelitian mengenai garis pantai
Tinjauan Pustaka
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan.
Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat hingga cepat, tergantung
pada imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang,
pasut, dan angin. Perubahan garis pantai ditunjukkan oleh perubahan
kedudukannya, tidak saja ditentukan oleh suatu faktor tunggal tapi oleh sejumlah
faktor beserta interaksinya.
Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi terjadinya perubahan
garis pantai adalah faktor hidro-oseanografi berupa gelombang, arus, dan pasang
surut. Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai
(nearshore current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi atau abrasi di
pantai. Arus pasang surut berperan terhadap proses-proses di pantai seperti
penyebaran sedimen dan abrasi pantai. Pasang naik akan menyebarkan sedimen ke
dekat pantai, sedangkan bila surut akan menyebabkan majunya sedimentasi ke arah
laut lepas. Arus pasang surut umumnya tidak terlalu kuat sehingga tidak dapat
mengangkut sedimen yang berukuran besar. Faktor lain yang mempengaruhi
peubahan garis pantai adalah faktor antropogenik. Proses anthropogenik adalah
proses geomorfologi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Abrasi
Abrasi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan
arus laut yang bersifat merusak (Setiyono, 1996). Yuwono (2005) membedakan
antara erosi pantai dengan abrasi pantai. Erosi pantai diartikannya sebagai proses
mundurnya garis pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya
keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen. Sedang abrasi
pantai diartikan dengan proses terkikisnya batuan atau material keras seperti
Band Ratio
Band ratio merupakan pendekatan yang digunakan untuk melengkapi
kelemahan yang dihasilkan dari pendekatan threshold. Kelemahan dari pendekan
threshold adalah tidak akurat digunakan pada pantai berlumpur dan bervegetasi.
Kemudian pendekatan band ratio digunakan untuk memperoleh piksel yang lebih
informatif. Rasio band Near infrared dengan band hijau (b2/b4 pada Landsat 5 dan
7; b3/b5 pada Landsat 8), menghasilkan batas darat-air pada daerah pantai yang
tertutup oleh vegetasi. Sedangkan rasio band SWIR-1 dengan band hijau (b2/b5
pada Landsat 5 dan 7; b3/b6 pada Landsat 8) diperoleh garis pantai dari daerah
yang tertutup oleh pasir dan tanah (Alesheikh, dkk. 2007).
Metode Penelitian
Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan melalui studi literatur dari buku-buku yang
membahas tentang pemanfaatan penginderaan jauh, serta karakteristik kawasan
pesisir yang diperoleh dari jurnal-jurnal dan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya yang berkaitan dengan perubahan kawasan pesisir. Informasi yang
didapat dari studi literatur ini akan digunakan sebagai acuan untuk membuat
penelitian ini.
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari citra satelit Landsat 8 tahun
2015 dan 2019 Kabupaten Sukabumi yang didapat dari USGS. Data sekunder yaitu
peta RBI Kabupaten Sukabumi yang didapat dari Badan Informasi Geospasial, data
pasang surut yang didapat dari Badan Informasi Geospasial, data arus permukaan
laut yang didapat dari Badan Informasi Geospasial, dan data sistem lahan yang
didapat dari Badan Informasi Geospasial.
Setelah itu, penulis melakukan wawancara dengan pihak Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sukabumi guna mendapatkan
informasi tentang abrasi dan akresi yang terjadi di Teluk Palabuhanratu. Tahapan
selanjutnya adalah pengamatan lapangan. Pengamatan ini bertujuan untuk
verifikasi atau memeriksa kesesuaian antara data hasil studi pustaka, dan
wawancara yang diperoleh, dengan kondisi kenyataan di lapangan. Pengamatan
lapangan dilakukan juga untuk melihat kondisi terkini pantai yang terkena abrasi
maupun akresi yang terdeteksi dari citra satelit.
Analisis Data
b. Kecamatan Cikakak
c. Kecamatan Palabuhanratu
Kecamatan Simpenan mengalami abrasi yang sangat kecil yaitu 0,010 km2
namun Kecamatan Simpenan mengalami akresi terbesar di Teluk Palabuhanratu
sebesar 0,0729 km2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiady et al
(2015) pantai di selatan muara sungai Ci Mandiri merupakan pantai tipe I (pantai
berpasir). Pantai tipe ini dicirikan oleh relief rendah dengan kemiringan kurang dari
10°. Geologi nya disusun oleh alluvium yang ditunjukkan berwarna oranye muda
pada gambar 9, berukuran pasir homogen hasil pelapukan dan transportasi Sungai
Cimandiri yang dipengaruhi proses marin dimana pasir pantainya membentuk delta
sepanjang kurang lebih 1,5 km (gambar 10).
Sedangkan sisanya merupakan pantai tipe III (batuan dasar lava andesit),
pantai tipe ini dicirikan oleh kemiringan paras pantai tinggi (di atas 15°) bahkan di
beberapa lokasi mencapai 20°, dengan reilef bertebing (gambar 11). Paras
pantainya merupakan satuan batuan Formasi Jampang. Formasi Jampang berasal
dari lava andesit basal yang ditunjukkan berwarna biru tua pada gambar 9, breksi,
dan batupasir. Berdasarkan energi flux gelombang pada pantai tipe ini proses abrasi
dan akrasi relatif seimbang (relatif stabil).
Faktor Oseanografi
Gelombang yang terekam di perairan Teluk Pelabuhan Ratu adalah swell
yang datang dari Samudera Hindia (Chen et al, 2015) Teluk Pelabuhan Ratu
membuka ke arah baratdaya dan dikelilingi oleh kawasan pegunungan. dengan
konfigurasi seperti itu memberikan gambaran bahwa perairan teluk itu terlindungi
dari angin yang datang dari arah timur. Peristiwa tersebut dapat di analisis dari arus
permukaan laut serta pasang surut.
(a) (b)
Gambar 12. Arus Laut di Teluk Palabuhanratu (a) 2015, (b) 2019
Sumber: tides.big.go.id, 2019
Kesimpulan
Pemanfaatan penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau
perubahan garis pantai di daerah yang luas. Abrasi yang terjadi di Teluk
Palabuhanratu sebesar 0,245 km2, yang terbesar terjadi di Kecamatan
Palabuhanratu dan akresi yang terjadi sebesar 0,085 km2, yang terbesar terjadi di
Kecamatan Simpenan. Umumnya pantai yang mengalami abrasi memiliki pantai
tipe I (pantai berpasir) yang berrelief rendah dan geologinya disusun oleh alluvium
seperti di Kecamatan Palabuhanratu. Sedangkan pantai yang mengalami akresi
umumnya disebabkan oleh sedimentasi dari muara sungai Cimandiri.
Daftar Pustaka
Alesheikh, dkk, 2007. Coastline Change Detection Using Remote Sensing, Int. J.
Environ. Sci. Tech., 4 (1): 61-66, 2007, ISSN: 1735-1472, © Winter 2007,
IRSEN, CEERS, IAU.
Anugrahadi, A, dkk. 2012. Analisis Citra Aster GDEM untuk Mengetahui Slope di
Daerah yang Terkena Abrasi dan Akresi. Mataram: Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) ISOI IX (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia).
Chen, S., Liang, G., Chen, H. & Zhou, R. (2015). The effect of long-time strong
wave condition on breakwater construction. Procedia Engineering. 116,
203-212. DOI: 10.1016/j.proeng. 2015.08.283.
Dean RG, Dalrymple RA. 2004. Coastal Processes with Engineering Applications.
Cambridge (UK): Cambridge Press.
Koesoemadinata, R.P., 1980, Geologi Minyak Dan Gas Bumi Jilid 1 dan 2, Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Triwahyuni A, PurbaM, Agus SB. 2010. Pemodelan Perubahan Garis Pantai Timur
Tarakan, Kalimantan Timur. Ilmu Kelautan: Indonesia. J Mar Sci (Edisi
Khusus). 1: 9-23.
Setiyono. (1996). Kamus Oceanografi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Setyadi, D., Sarmili, L. 2015. Proses Akrasi Dan Abrasi Berdasarkan Pemetaan
Karakteristik Pantai Dan Data Gelombang Di Teluk Pelabuhan Ratu Dan
Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Geologi Kelautan: 13-
37
Yuwono N., 2005,” Pedoman Teknis Perencanaan Tanggul dan Tembok Laut (Sea
Dikes and Sea Wall)”, Jakarta.
Wibowo, Y.A. 2012. Studi Perubahan Garis Pantai di Muara Sungai Porong.
[Skripsi]. Universitas Hang Tuah Surabaya.
Abstrak
Monitoring kekeringan menjadi kegiatan yang penting untuk dilakukan dengan
berbagai macam metode. Salah satu metode yang biasa digunakan yaitu
Standardized Precipitation Index (SPI). Metode ini dapat mengukur kekurangan
curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Perhitungan
nilai SPI dilakukan berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan sebagai
fungsi frekuensi atau peluang kejadian dengan menggunakan software SCOPIC.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran kekeringan di Kecamatan
Simpenan berdasarkan analisis indeks presipitasi terstandarisasi yaitu sangat
basah, basah, agak basah, normal, kering, agak kering, sangat kering, dan kaitannya
dengan produktivitas pertanian unggulan di Kecamatan Simpenan yaitu padi sawah
dan bawang merah. Hasil analisis kemudian dipetakan dengan arcgis menggunakan
metode Inverse Distance Weighted (IDW) untuk melihat secara spasial pola
sebaran kekeringan. indeks SPI, dan pengaruhnya terhadap hasil produktivitas
pertanian unggulan yaitu padi sawah dan bawang merah. Peningkatan produksi
pertanian dapat dilakukan melalui berbagai strategi adaptasi dan upaya penanganan
bencana, salah satu upaya tersebut adalah dengan penyediaan informasi iklim
terkait penentuan daerah-daerah rawan kekeringan. Hasil penelitian ini
menunjukkan indeks kekeringan di Kecamatan Simpenan bervariasi setiap
bulannya diikuti dengan penurunan hasil produktivitas pertanian padi sawah dan
bawang merah.
Pendahuluan
Kekeringan merupakan ancaman yang rutin terjadi setiap tahunnya di
beberapa wilayah Indonesia. Daerah aliran sungai yang mengering dan sumur yang
mengering adalah salah satu dampak besar dari ancaman kekeringan yang dapat
mengakibatkan terganggunya manusia dalam melakukan aktifitas. Kekeringan
adalah salah satu ancaman yang terjadi secara perlahan dan berlangsung lama
hingga musim hujan tiba. Kekeringan erat kaitannya dengan berkurangnya curah
hujan, suhu udara di atas normal, kelembaban tanah rendah, dan pasokan air
permukaan yang tidak mencukupi.
Permasalahan kekeringan di Indonesia dirasakan di sebagian wilayah
termasuk di Kabupaten Sukabumi. Dalam hal ini merupakan tanggung jawab
pemerintah untuk menanggulangi bencana kekeringan yang terjadi. Kekeringan
merupakan permasalahan bagi masyarakat yang dapat menganggu aktivitas sehari
– hari seperti krisis air untuk kebutuhan makan, cuci, mandi dan minum serta dapat
menyebabkan turunnya kualitas panen, bahkan menyebabkan gagalnya panen, dan
berpotensi menyebabkan kebakaran hutan ketika musim kemarau. Untuk
Kabupaten Sukabumi meliputi Sembilan kecamatan yang berada di kawasan
pesisir selatan Pajampangan hingga Cisolok. Antara lain Surade, Sumber Jaya
Gambar 5. Grafik Produktivitas Tanaman Padi Sawah Dan Bawang Merah Tahun 2019
Kesimpulan
Besaran indeks kekeringan dengan metode Standardized Precipitation
Indeks (SPI) di Kecamatan Simpenan menunjukkan hasil indeks yang berbeda-
beda pada masing-masing periode defisit 1 bulan. Indeks kekeringan tertinggi
terjadi pada bulan Januari – Februari (1-1,71) dengan kategori agak basah hingga
basah. Indeks kekeringan terendah terjadi pada bulan September- Oktober (-1,50
s/d -1,99). Hasil kekeringan dengan metode Standardized Precipitation Indeks
(SPI) terhadap hasil produktivitas pertanian unggulan di Kecamatan Simpenan
yaitu bawang merah dan padi sawah mengindikasikan adanya kesesuaian.
Produktivitas padi sawah tertinggi pada bulan Maret dimana kondisi ini
sesuai dengan indeks kekeringan yang terjadi di bulan Maret berada pada kategori
agak basah hingga normal. Produktivitas padi sawah terendah terjadi pada bulan
Agustus dimana kondisi ini sesuai dengan hasil indeks kekeringannya yang berada
pada kategori kering. Sedangkan produktivitas bawang merah tertinggi terjadi di
bulan Februari dimana kondisi ini sesuai dengan indeks kekeringannya yang
Daftar Pustaka
Adi Prasetya, Nugraha. (2012). Analisis Kekeringan Daerah Aliran Sungai
Keduang dengan Menggunakan Metode Palmer. Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
Hadiyanto, S. 2007. Pola Tingkat Kerawanan Kekeringan di Jawa Tengah. Tesis :
Departemen Geografi FMIPA UI.
Hayes, M.J. et al. (1999). Monitoring the 1996 Drought Using the Standardized
Precipitation Index. Bulletin of the American Meteorological Society, Vol.
80, No. 3, March 1999.
Kumar, M. N., Murthy, C. S., Sai, M. V. R. S., Roy, P. S. (2009). On the Use of
Standardized Precipitation Index (SPI) for Drought Intensity Assessment.
Meteorological Application, 16 (3), hal 381-389.
Muliawan, Hadi. (2012). Analisa Indeks Kekeringan Dengan Metode Standardized
Precipitation Index (Spi) Dan Sebaran Kekeringan Dengan Geographic
Information System (Gis) Pada Das Ngrowo. Universitas Brawijaya, Malang
McKee, T. B., Doesken, N. J., dan Kleist, J. (1993). The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scales, Dalam: Conference on Applied
Climatology, diedit oleh: Department of Atmospheric Science – Colorado
State University, Anaheim California.
Nugroho, S. P. (2001). Prediksi Kekeringan Pengaruh El Nino Tahun 2001-2002
dan Pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Mengantisipasinya.
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 2 (1), hal. 75-80.
Triatmoko, D., Susandi,A., Mustofa, M.A., dan Makmur, E.E.S. (2012).
Penggunaan Metode Standardized Precipitation Index Untuk Identifikasi
Kekeringan Meteorologi di Wilayah Pantura Jawa Barat. Tim Publikasi
Online Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,
Institut Teknologi Bandung
Tri Nurjianto, Bayu. (2012). Analisis Kekeringan DAS Amprong-Malang dengan
Metode (SPI) Standardized Precipitation Index. Universitas Pembangunan
Nasional Veteran, Jawa Timur
World Meteorological Organization. (2012). Standardized Precipitation Index
User Guide (WMO-No. 1090). Geneva: World Meteorological Organization.
Utami, Dwi. (2013). Prediksi Kekeringan Berdasarkan Standardized Precipitation
Index (Spi) Pada Daerah Aliran Sungai Keduang Di Kabupaten Wonogiri.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Abstrak
Palabuhanratu merupakan salah satu kabupaten di Sukabumi yang sering terjadi
banjir saat musim penghujan. Selain faktor curah hujan yang tinggi, beberapa
faktor lain seperti kemiringan lereng dan ketinggian lahan, jenis tanah dan
penggunaan lahan serta sungai digunakan sebagai parameter pada penelitian
tingkat kerawanan banjir. Penelitian ini menggunakan metode overlay dengan
scoring antara parameter-parameter yang ada, dimana setiap parameter dilakukan
proses scoring dengan pemberian bobot dan nilai yang sesuai dengan
pengklasifikasiannya masing-masing yang kemudian dilakukan overlay
memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil analisis persebaran lokasi
rawan banjir terjadi di hampir seluruh bagian di Kecamatan Palabuhanratu. Rincian
kategori daerah rawan banjir yaitu sebesar 34,04% atau seluas 5537583 m2, daerah
cukup rawan banjir sebesar 64,20% atau seluas 10442819 m2 dan daerah tidak
rawan banjir sebesar 1,76% atau seluas 285596 m2. Sementara itu, kemiringan
lereng menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir. Hal ini disebabkan oleh
wilayah yang cenderung datar dan rendah sehingga berpotensi menjadi tampungan
air ketika hujan yang mengakibatkan terjadi banjir.
Kata Kunci: Banjir, Palabuhanratu, Overlay, Scoring, Sistem Informasi Geografis
Pendahuluan
Besarnya air yang menjadi limpasan menyebabkan meluapnya air sungai
sehingga air menggenang di daerah sekitar sungai tersebut yang disebut banjir. Air
hujan yang jatuh ke daerah aliran sungai (DAS) sebagai input mengalami infiltrasi
ke dalam tanah, intersepsi maupun jatuh langsung ke dalam sungai. Tanah yang
telah mengalami jenuh air membuat air hujan menjadi air limpasan permukaan
sebagai output. Limpasan permukaan yang kecil tidak mengganggu sistem sungai
namun limpasan permukaan yang besar mengganggu sistem sungai dan kehidupan
manusia. Daerah-daerah yang tergenang ataupun mengalami kebanjiran
mengganggu aktivitas manusia. Daerah-daerah yang rawan terjadi banjir
dipengarui oleh beberapa factor fisik lingkungan seperti kemiringan lereng,
ketinggian lahan, penggunaan lahan, jenis tanah, kerapatan sungai, penggunaan
lahan, dan curah hujan.
Palabuhanratu merupakan Kawasan wisata di pesisir Samudra Hindia
tepatnya di Provinsi Jawa Barat. Banjir yang terjadi di Palabuhanratu merupakan
bencana yang sering terjadi setiap tahun. Banjir yang terjadi karena saluran sungai
yang tidak dapat menampung air limpasan ketika hujan terjadi di Palabuhanratu
saat musim hujan. Palabuhanratu memiliki lingkungan fisik perbukitan hingga
dataran rendah dengan jarak yang cukup pendek. Penggunaan lahan terbangun juga
cukup banyak karena daerah Palabuhanratu sebagai destinasi wisata.
Penggunaan lahan mempengaruhi besaran limpasan permukaan.
Penggunaan lahan terbangun tidak dapat meresapkan air hujan ke dalam tanah
sedangkan penggunaan lahan alami vegetasi seperti hutan, kebun dan ladang dapat
meresapkan air hujan ke dalam tanah sehingga dapat memperkecil limpasan
Tinjauan Pustaka
Kerawanan Banjir Kerawanan banjir adalah keadaan yang
menggambarkan mudah atau tidaknya suatu daerah terkena banjir dengan
didasarkan pada faktor-faktor alam yang mempengaruhi banjir antara lain faktor
meteorologi (intensitas curah hujan, distribusi curah hujan, frekuensi dan lamanya
hujan berlangsung) dan karakteristik daerah aliran sungai (kemiringan
lahan/kelerengan, ketinggian lahan, testur tanah dan penggunaan lahan) (Suherlan,
2001). Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat digunakan sebagai parameter
penelitian, yaitu:
1. Kemiringan Lahan / Kelerengan
Kelerengan atau kemiringan lahan merupakan perbandingan persentase
antara jarak vertikal (tinggi lahan) dengan jarak horizontal (panjang lahan
datar). Semakin landai kemiringan lerengnya maka semakin berpotensi terjadi
banjir, begitu pula sebaliknya. Semakin curam kemiringannya, maka semakin
aman akan bencana banjir. Pada Tabel II.1 disusun pemberian nilai untuk
parameter kemiringan lahan.
Tabel 1. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Kemiringan
No Deskripsi Nilai
(%)
1 0-8 Datar 5
2 >8-15 Landai 4
3 >15-25 Agak Curam 3
4 >25-45 Curam 2
5 >45 Sangat Curam 1
2. Jenis Tanah
Jenis tanah pada suatu daerah sangat berpengaruh dalam proses
penyerapan air atau yang biasa kita sebut sebagai proses infiltrasi. Infiltrasi
adalah proses aliran air di dalam tanah secara vertikal akibat adanya potensial
gravitasi. Secara fisik terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi infiltrasi
diantaranya jenis tanah. Laju infiltrasi pada tanah semakin lama semakin kecil
karena kelembaban tanah juga mengalami peningkatan (Harto, 1993).
Tabel 2. Klasifikasi Jenis Tanah
No Jenis Tanah Infiltrasi Nilai
1 Aluvial, Planosol Tidak Peka 5
2 Latosol Agak Peka 4
3 Tanah hutan coklat, Tanah Mediteran Kepekaan Sedang 3
4 Andosol, Grumusol Peka 2
Data
Data yang digunakan:
a. Shapefile (Shp) peta administrasi kabupaten Palabuhanraatu
b. Data ASTER Global DEM kabupaten Palabuhanraatu
d. Shapefile (Shp) peta jenis tanah kabupaten Palabuhanraatu
e. Shapefile (Shp) peta penggunaan lahan kabupaten Palabuhanraatu
f. Shapefile (Shp) peta sungai kabupaten Palabuhanraatu
Data non-spasial yang digunakan adalah:
a. Data curah hujan kabupaten Palabuhanratu tiga tahun terakhir (2016-2018)
34,04%
64,20%
Abstrak
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bentuk bencana hidrometereologi
yang terdapat di Kabupaten Sukabumi. Kejadian ini dapat menimbulkan kerugian
berupa nyawa maupun materiil. Pembukaan lahan oleh masyarakat dengan cara
pembakaran merupakan faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai
kejadian kebakaran hutan dan lahan, serta pengelolaan perladangan di Kecamatan
Simpenan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian geografi ekplanatif dengan
menggunakan metode analisis berupa analisis overlay dan analisis deskriptif. Hasil
yang didapatkan dari penelitian ini yaitu terdapat 8 kejadian kebakaran hutan dan
lahan di Kecamatan Simpenan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan mengalami
peningkatan pada tahun 2019 dari sebelumnya hanya ada 1 kejadian menjadi 7
kejadian sampai bulan Oktober 2019. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah
berkurangnya curah hujan dan lebih lamanya musim kemarau dibandingkan tahun
sebelumnya. Kejadian kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh banyaknya
bahan bakar, seperti semak dan belukar keringa yang mudah terbakar. Perladangan
yang ada di Kecamatan Simpenan merupakan usahatani menetap. Pengelolaan
perladangan untuk pembukaan lahan terdiri dari tiga macam yaitu tebas-cacah,
herbisida, dan pembakaran. Peladang telah melakukan pembakaran diawasi
sehingga meminimalkan resiko kebakaran meluas yang merupakan hasil dari
Pendahuluan
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di
Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Sukabumi memiliki berbagai macam sumberdaya
alam yang tersebar di berbagai tutupan lahan yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki kabupaten tersebut juga memiliki
bahaya yang meliputinya. Bahaya tersebut dapat disebabkan oleh alam maupun
manusia. Perubahan berbagai kawasan menjadi wilayah yang tidak sesuai dengan
peruntukkannya meningkatkan potensi bahaya yang dimiliki wilayah tersebut.
Potensi bahaya yang dimiliki Kabupaten Sukabumi antara lain adalah banjir, banjir
rob, longsor, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan dan lahan, serta berbagai
macam potensi bahaya lainnya.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bahaya yang terdapat di
Kabupaten Sukabumi. Kejadian kebakaran hutan dan lahan perlu menjadi
perhatian khusus di daerah ini. Hal ini dikarenakan Kabupaten Sukabumi
merupakan salah satu lokasi yang memiliki potensi kebakaran hutan dan lahan
terluas ke-dua se-Jawa dan Bali. Data kebakaran hutan dan lahan yang dihimpun
berdasarkan informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
menunjukkan dari bulan Juli sampai dengan awal bulan September tahun 2019
telah terjadi 6 kali kebakaran hutan dan lahan yang tersebar di lima kecamatan
berbeda, diantaranya Kecamatan Cibadak, Kecamatan Cisaat, Kecamatan
Cicantayan, Kecamatan Cisolok, dan Kecamatan Simpenan. Penyebab kejadian
kebakaran ini pun ada yang disengaja berupa pembakaran untuk pembukaan lahan
namun pengontrolannya kurang sehingga api menyebar ke daerah lain maupun
kebakaran yang disebabkan oleh puntung rokok yang masih menyala. Luasan
wilayah yang menjadi lokasi kebakaran hutan dan lahan tergolong beragam.
Kecamatan Simpenan merupakan salah satu dari 47 kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Sukabumi. BPBD Kabupaten Sukabumi menyatakan bahwa
kecamatan ini termasuk salah satu dari 12 kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang
tergolong terdampak kekeringan pada tahun 2019. Hal tersebut tergolong juga
mendorong potensi terjadinya kebakaran di lokasi tersebut. Faktor lain yang
mendukung meningkatnya potensi kebakaran di Kecamatan Simpenan adalah
akibat pembukaan lahan oleh petani dengan cara pembakaran.
Perladangan berpindah atau bergilir memiliki makna bahwa suatu lahan
memiliki dua masa tanam yang terdiri dari masa tanam dan masa bera yang
berlangsung secara bergiliran (Mulyoutami et al 2010). Teknik penyiapan awal
yang diterapkan pada ladang berpindah berupa “sistem tebas dan bakar”. Syaufina
dan Tambunan (2013) berdasarkan hasil wawancara dengan kepala adat
Kasepuhan Ciptagelar Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, menyatakan bahwa
terdapat lima tahapan dalam pembukaan lahan dengan cara pembakaran, yaitu
terdiri dari pemilihan calon ladang, penebasan (nyacar), pembakaran (ngahuru),
pembakaran kembali (ngaduruk), dan penanaman (ngaseuk). Ladang berpindah
Tinjauan Pustaka
Perladangan
Perladangan merupakan salah satu tipe bertani yang telah lama dilakukan
di Indonesia. Mulyoutami et al (2010) membedakan perladangan berdasarkan
sejarah evolusinya menjadi tiga model, yaitu agroforest, sistem pastura atau padang
penggembalaan, dan pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian.
Sistem ladang berpindah merupakan salah satu bagian dari tipe pertanian yang
lokasinya tidak menetap dan berpindah seiring selesainya suatu masa tanam. Lahan
yang ditinggalkan setelah proses tanam tersebut kemudian masuk ke dalam masa
bera atau masa ketika lahan mengalami suksesi pasca-tanam. Jenis lahan bera ini
pun dapat dibedakan menjadi tiga tipe bila didasarkan pada penggunaan lahannya
(Mulyoutami et al 2010), yaitu jika tutupan lahan yang dibuka adalah hutan
sekunder maka penggunaan lahannya dikategorikan sebagai perladangan, jika
tutupan lahan yang dibuka merupakan hutan sekunder muda maka penggunaan
lahannya disebut dengan perladangan dengan rotasi masa bera panjang, dan jika
tutupan lahan yang dibuka merupakan semak belukar maka penggunaan lahannya
disebut dengan perladangan dengan rotasi masa bera pendek.
Sistem perladangan berdasarkan tujuan ekonominya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu tipe perladangan subsisten dan tipe perladangan komersil. Tipe
perladangan subsisten tujuannya hanya untuk pemenuhan kebutuhan primer
masyarakat, sedangkan tipe perladangan komersil tujuannya juga untuk mencari
keuntungan dari hasil perladangan yang dilakukan. Pembukaan lahan untuk
keperluan perladangan umumnya dilakukan dengan cara “sistem tebas dan bakar”.
Sistem perladangan dengan cara tebas dan bakar memiliki keuntungan berupa
meningkatkan kandungan unsur hara, memberantas gulma, mengurangi timbulnya
hama penyakit dan meningkatkan produksi tanaman pangan ( Eviazi dan Bayan
dalam Beja 2015), namun hal tersebut sering dihubungkan dengan kagiatan
pengrusakan atau perambahan hutan yang dikarenakan kegiatan pembakaran hutan
dilakukan secara luas oleh perkebunan besar ataupun petani pendatang
(Mulyoutami et al 2003).
Pengelolaan ladang masyarakat adat Dayak di Kalimantan merupakan
salah stau pengelolaan ladang berpindah yang memperhatikan aspek lingkungan
(Wibowo 2008 dalam Sulistinah 2014). Pengelolaan ladang yang dilakukan oleh
Metode Penelitian
Studi Pendahuluan
Penelitian terkait kebakaran hutan dan lahan yang pernah dilakukan di
Kabupaten Sukabumi telah dilakukan oleh Syaufina dan Tambunan (2013) di
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa di desa tersebut terdapat
dua tipe peladang, yaitu peladang berpindah dan menetap. Selain itu, di lokasi
Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan menggunakan beberapa metode, yaitu
studi literatur, observasi lapangan, dan wawancara. Studi literatur dilakukan
dengan cara mengidentifikasi kejadian-kejadian kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di lokasi tersebut berdasarkan informasi yang bersumber dari laporan
kegiatan maupun situs berita. Observasi lapangan dilakukan pada lokasi yang
mengalami kabakaran hutan dan lahan. Responden yang menjadi narasumber
untuk wawancara dipilih secara purposive. Metode wawancara yang dilakukan
berupa tipe wawancara semi-terstruktur. Hal ini dikarenakan peneliti telah
memiliki pokok-pokok inti yang ingin ditanyakan serta lebih mudah untuk
memfokuskan pada pokok bahasan yang diinginkan.
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan terdiri dari dua bagian yaitu analisis
tumpangsusun (overlay) dan analisis deskriptif. Analisis tumpangsusun dilakukan
pada data kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan kondisi fisik wilayah lokasi
penelitian. Gambar 3 merupakan ilustrasi proses analisis tumpangsusun yang
dilakukan. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan data dan informasi
yang didapatkan dari hasil pengolahan data yang dilakukan.
JUMLAH KEJADIAN
60
28 27
40
20 0 1 7
0
2017 2018 2019
TAHUN
Gambar 4. Jumlah Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kab. Sukabumi dan Kec.
Simpenan
Distribusi spasial untuk sebaran kejadian kebakaran hutan dan lahan di
Kecamatan Simpenan tersebar di tiga desa, yaitu Desa Cidadap, Desa Loji, dan
Desa Sangrawayang. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2018 hanya berjumlah
1 kejadian yang berlokasi di Desa Cidadap dengan luas lahan terbakar seluas 5 Ha
ladang warga. Kejadian kebakaran hutan dan lahan hingga Bulan Oktober 2019
yaitu berjumlah 7 kejadian. Lokasi kejadiannya tersebar di Desa Cidadap 2
kejadian, Desa Loji 1 kejadian, dan Desa Sangrawayang 4 kejadian. Lokasi
kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi ada yang dekat jalan raya ada pula
yang jauh dari jalan raya. Aryadi et al (2017) menyatakan bahwa semakin dekat
dnegan jalan maka jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan juga semakin
meningkat. Hal ini dapat dihubungkan dengan kebiasaan buruk masyarakat yang
suka membuang puntung rokok maupun korek api di sekitar jalan raya yang bisa
memicu kebakaran hutan dan lahan dikarenakan banyak semak-semak kering yang
mudah terbakar di sekitar wilayah tersebut. Lalu untuk wilayah yang terletak jauh
dari jalan raya dapat dihubungkan dengan kegiatan pembukaan lahan/huma dengan
cara dibakar namun tidak diawasi sehingga api meluas ke wilayah di sekitarnya.
Gambar 5 merupakan ilustrasi distribusi lokasi kejadian kebakaran hutan dan lahan
di Kecamatan Simpenan.
Pengelolaan Perladangan
Petani di Kecamatan Simpenan terdiri dari petani sawah basah dan petani
lahan kering, khusus untuk petani ladang kering disebut dengan peladang. Status
kepemilikan lahan yang dikelola oleh para peladang terdiri dari tiga macam, yaitu
Kesimpulan
Kejadian kebakaraan hutan dan lahan di Kecamatan Simpenan mengalami
peningkatan pada tahun 2019 sebanyak 7 kejadian hingga bulan Oktober 2019,
sedangkan pada tahun 2018 hanya terjadi 1 kejadian. Peningkatan kejadian ini dapat
dihubungkan dengan kondisi curah hujan yang berkurang pada tahun ini
dibandingkan dnegan tahun sebelumnya. Selain itu, kegiatan pengelolaan
perladangan dalam pembukaan lahan di Kecamatan Simpenan terdiri dari tiga
macam, yaitu tebas-cacah, herbisida, dan pembakaran. Kegiatan pembakaran
Abstrak
Masyarakat tani tidak pernah terlepas dari bencana kekeringan sebagai siklus
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi yang dibentuk oleh
lingkungan bencana hidrometeologi sebagai faktor terpenting pembentuk kearifan
lokal membentuk adaptasi petani terhadap iklim. Penelitian ini menggunakan
triangulasi data untuk mendapkan klarifikasi informasi perbedaan dan persamaan
informasi mendalam dan proses adaptasi. Dalam penelitian ini menemukan
tahapan adaptasi dalam ketangguhan menghadapi bencana kekeringan.
Pendahuluan
Latar Belakang
Kabupaten Sukabumi terletak antara 106º 49 samapi 107º Bujur Timur 60º
57 - 70º 25 Lintang selatan dgn batas wilayah administrasi, sebelah Utara dengan
Kab. Bogor, sebelah Selatan dgn samudera Indonesia, sebelah Barat dgn Kab.
Lebak, disebelah timur dgn Kab. Cianjur. Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi
mempunyai potensi wilayah lahan kering yang luas, saat ini sebagaian besar
merupakan wilayah perkebunan, tegalan dan hutan. Kabupaten Sukabumi
mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B (Oldeman) dengan curah hujan rata-
rata tahunan sebesar 2.805 mm hari hujan 144 hari. Suhu udara berkisar antara 20
- 30 derjat C dengan kelembaban udara 85 - 89 persen. Curah hujan antara 3.000 -
4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah hujan antara 2.000 -
3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi
Luasan lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat terus meluas. Ini karena hingga akhir Agustus 2018 tercatat
ada seluas 575 hektare areal pertanian yang terdampak kekeringan dan seluas 178
hektare terancam. Ke-22 kecamatan itu terang Dedah yakni Simpenan,
Gunungguruh, Cikakak, Cisolok, Ciracap, Palabuhanratu, Ciemas, Waluran,
Cimanggu, Cidahu, dan Cicurug. Selanjutnya Kecamatan Gegerbitung,
Bantargadung, Warungkiara, Kadudampit, Cireunghas, Nagrak, Cisaat,
Sagaranten, Lengkong, Purabaya, dan Cicantayan. (Republika 2018).
Kecamatan Simpenan dikenal sebagai penghasil komoditi pertanian dan
daerah wisata yang menawarkan keindahan yang mempesona. Seluruh potensi dan
pesona Kecamatan Simpenan terbagi rata di 7 desa. Di antaranya Desa Cidadap,
Loji, KertaJaya, Cihaur, Cibuntu, Mekarasih dan Sangrawayang. Dengan luas
wilayah yang mencapai 17.069,27 hektare, Kecamatan Simpenan memiliki 1.120
hektare lahan sawah, 9.599,50 hektare lahan bukan sawah, dan 6.712,50 hektare
Identifikasi Masalah
Beberapa hal yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana adaptasi masyarakat petani dalam menghadapi kekeringan.
2. Bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi kekeringan.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Diperolehnya hasil adaptasi masyrakat petani terhadap kekeringan.
2. Diperolehnya kearifan local masyrakat tani dalam menghadapi kekeringan.
Batasan penelitian
Kearifan Lokal
Local wisdom atau yang lebih dikenal dengan kearifan lokal dalam bahasa
Indonesia, ialah suatu gagasan-gagasan yang bijaksana, syarat akan nilai dan penuh
kearifan yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat di suatu daerah.
Kearifan lokal memiliki peran penting dalam kehidupan manusia dengan alam.
Sartini (2004) menuturkan bahwa fungsi kearifan lokal adalah; konservasi dan
pelestarian sumber daya alam, pengembangan sumber daya manusia,
pengembangan aspek kebudayaan dan ilmu pengetahuan, petuah, kepercayaan,
sastra dan pantangan, bermakna sosial misal nya upacara integrasi
komunal/kerabat, bermakna etika dan moral, bermakna politik misalnya upacara
ngangkuk merana dan kekuasaan patron client. Kearifan lokal merupakan bagian
dari kebudayaan. Kearifan lokal adalah segala bentuk yang diciptakan dari hasil
budaya yang didukung oleh lingkungan alam sekitar manusia itu sendiri.
Adaptasi
Purwaningsih (2004:101) pada dasarnya manusia dalam beraktifitas selalu
melakukan kegiatan adaptasi (penyesuaian diri). Penyesuaian diri ini menunjukkan
pengertian adanya sesuatu yang disesuaikan terhadap sesuatu yang lain
(lingkungan). Proses adaptasi dapat diartikan sebagai perubahan dalam pola
kegiatan atau tingkah laku untuk tetap dapat memenuhi syarat minimal agar dapat
Kekeringan
Kekeringan adalah salah satu bencana alam yang terjadi secara perlahan
berlangsung lama hingga musim hujan tiba yang mempunyai dampak yang luas.
Kekeringan terjadi akibat adanya penyimpangan kondisi cuaca dari kondisi
normalyang terjadi di suatu wilayah. Penyimpangan tersebut dapat berupa
berkurangnya curah hujan dibandingkan dengan kondisi normal. Kekeringan erat
kaitannya dengan berkurangnya curah hujan, suhu udara di atas normal,
kelembaban tanah rendah, dan pasokan air permukaan yang tidak mencukupi.
Perspektif kebencanaan kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan
curah hujan dalam periode waktu tertentu (umum-nya dalam satu musim atau
lebih) yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kebutuhan. Kekurangan
air tersebut berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan pada suatu DAS.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-
lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Tujuan lain dalam penelitian kualitatif yaitu, memahami suatu
situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi dan kelompok (Moleong, 2006).
Analisis Data
Analisis data yang digunakan meng-gunakan metode site Triangulasi data.
Hasil dari wawancara mendalam kepada petani sebagai objek yang diteliti. Dengan
menggunakan metode kualitatif berikut adalah adaptasi masyarakat Adaptasi
Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian adalah kearifan local yang terjadi di
Kecamatan Simpenan yang terbentuk dengan proses gotongroyong dengan asas
kebersamaan landasan kepentingan bersama dalam pemenuhan kebutuhan yang
sama. Kemudian adanya aturan sosial yang dibentuk oleh asas kebersamaan
dengan aturan-aturan sosial dengan sistem budaya persamaan antar petani untuk
mewujudkan ketangguhan kekeringan. Jadi kearifan local ini terbentuk oleh
kepentingan ekonomi demi keberlangsungan matapencaharian petani dalam
mempertahankan kemampuan lahannya.
Daftar Pustaka
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
https://sains.kompas.com/read/2019/08/20/200600123/bmkg-
jelaskan-penyebab-musim-hujan-2019-2020-di-indonesia-
terlambat?page=all [diakses pada: 04 Desember 2019]
A.T. Mosher, Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Jakarta: Jayaguna,
1968
Fadholi Hernanto. (1996). Ilmu Usahatani. Jakarta: Penerbit Swadaya
Hardoyo, Su Rito. 2011. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi
Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan. Yogyakarta:
Percetakan Pohon Cahaya.
Iskandar, Zulrizka. 2012. Psikologi Lingkungan: Teori dan Konsep. Bandung:
PT Refika Aditama.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Purwaningsih, E. 2004. Patrawidya Vol 5 No. 4. Yogyakarta: BKSNT. 2004
Ramli, Soehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster
Management). Jakarta: Dian Rakyat.
Shalih, Osmar. 2012. Adaptasi Penduduk Kampung Melayu Jakarta Terhadap
Banjir Tahunan. Depok: Skripsi.
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. Dalam:
Jurnal Filsafat.
Siswono, Eko. 2015. Ekologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani
Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Jakarta: Djambatan.
Demikian laporan kegiatan Kuliah Lapang ini kami buat. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pihak-pihak terkait (stakeholders)
pengambil kebijakan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Oleh karenanya, atas
dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak kami ucapkan terima kasih.