Anda di halaman 1dari 88

POTENSI BAHAYA

SUMBER DAYA ALAM


HIDROMETEOROLOGI
KABUPATEN SUKABUMI

Disusun Oleh:
Anika Putri
Ayu Adi Justicea
Eko Darminto
Ikhsanuz Zaky
Kartika
Muhammad Zakaria
Mutia Kamalia Mukhtar
Ratri Widyastuti

Departemen Geografi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
2019
LAPORAN KULIAH LAPANG
PROGRAM MAGISTER ILMU GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA

Jurusan : Geografi
Jumlah Peserta : 8 orang
Jumlah Dosen Pembimbing : 3 orang
Lokasi : Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
Waktu : Tanggal 27-31 Oktober 2019
Tema :
“Potensi Bahaya Sumber Daya Alam Hidrometeorologi”
Studi Kasus di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat

Depok, 22 November 2019


Hormat kami,
Dosen Pembimbing, Ketua KKL,

Dr. Mangapul P. Tambunan Ikhsanuz Zaky


NIP. 196610071993031003 NPM. 1806274354

Mengetahui,

Dr. Drs. Supriatna, M.T


NIP. 196703141995121001
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga laporan Kuliah Lapang
Magister Ilmu Geografi, yang diselenggarakan di Kabupaten Sukabumi pada tanggal
27 – 31 Oktober 2019, telah diselesaikan dengan baik dalam bentuk laporan penelitian
geografi tematik. Kuliah Lapangan merupakan kuliah langsung praktik di lapangan
sesuai dengan keahlian dari suatu bidang ilmu tertentu. Bagi mahasiswa Magister Ilmu
Geografi FMIPA Universitas Indonesia, kuliah lapangan merupakan salah satu mata
kuliah kuliah wajib sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Tentunya dalam hal ini, kami tak lupa menyampaikan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah memberi dukungan baik moral maupun material yang
mendukung bagi terlaksananya kegiatan kuliah lapang ini. Ucapan terima kasih ini
kami tujukan kepada:
1. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang telah
memberikan izin kepada mahasiswa kami untuk dapat melakukan penelitian di
luar kampus.
2. Kesbangpol Kabupaten Sukabumi yang telah memberikan izin untuk
melaksanakan penelitian di Kabupaten Sukabumi.
3. Bappeda Kabupaten Sukabumi, Bapak Yudi, yang telah memberikan izin
kepada kami untuk penelitian, dan megkordinasikan pertemuan untuk
pemaparan penelitian.
4. BPBD Kabupaten Sukabumi, Bapak Hilman Fathoni, yang telah memberikan
banyak informasi mengenai kebencanaan yang dibutuhkan dalam kajian yang
dilakukan oleh kami.
5. Geopark Information Center, Pak Yudi, yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk mengunjungi objek wisata yang ada di area Geopark
Ciletuh-Palabuhanratu.
6. Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi, Ibu Rose, yang telah memberikan
informasi mengenai pengelolaan pariwisata yang ada di Kabupaten Sukabumi.
7. Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi, yang telah membantu kami dalam
penelitian mengenai kebakaran lahan.
8. Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Sukabumi yang telah membantu kami
dalam penelitian mengenai kebakaran lahan.
9. BPP Kecamatan Simpenan yang telah membantu kami dalam penelitian
mengenai kebakaran lahan.
10. Relawan P2BK Kecamatan Simpenan yang telah membantu kami dalam
penelitian mengenai kebakaran lahan.
11. Seluruh staff terkait yang telah membantu kami dalam pemenuhan data untuk
menyempurnakan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa kami.
12. Seluruh pihak yang telah membantu kami dalam pelaksanaan Kuliah Lapang
Magister Ilmu Geografi periode Oktober 2019, yang tidak bisa kami sebutkan
satu per-satu.

i
Adapun laporan kuliah lapang ini sudah dibuat dengan sebaik-baiknya, namun
masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, jika ada kritik dan saran yang sifatnya
membangun dalam pelaksanaan kuliah lapang ini, dengan senang hati akan diterima
dengan baik. Semoga laporan kuliah lapangan yang disusun ini dapat menjadi salah
satu alat pendukung bagi pemerintah setempat dalam melaksanakan mitigasi bencana
di Kabupaten Sukabumi.
Depok, 22 November 2019
Ketua Kuliah Lapang,

Ikhsanuz Zaky

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB II APRESIASI TATA LETAK KABUPATEN SUKABUMI .......................... 3
2.1 Tata Letak Kabupaten Sukabumi dari Aspek Astronomi ................................ 3
2.2 Tata Letak Kabupaten Sukabumi dari Aspek Fisiografi, Geologi, dan
Geomorfologi ................................................................................................... 3
2.3 Tata Letak Kabupaten Sukabumi dari Aspek Administrasi Pemerintahan ...... 4
2.4 Tata Letak Kabupaten Sukabumi Terhadap Pengelolaan Destinasi Pariwisata5
BAB III DESKRIPSI GEOGRAFI TEMATIK HASIL PENELITIAN ..................... 6
3.1 Kebijakan Tata Guna Lahan ............................................................................ 6
3.1.1 Pemanfaatan Peta Kontur Nilai Tanah Pada Data Nilai Jual Objek Pajak
Tahun 2019 untuk Identifikasi Daerah Pusat Kegiatan di Kecamatan
Palabuhanratu - Ikhsanuz Zaky (1806274354) ........................................... 6
3.1.2 Signifikasi Status Wisata Ciletuh Palabuhan Ratu Sebagai Geopark
International terhadap Tingkat Pertumbuhan Kujungan Wisatawan di
Kabupaten Sukabumi – Eko Darminto (1806274335) .............................. 16
3.2 Analisis Kejadian Bencana ............................................................................ 27
3.2.1 Perubahan Garis Pantai Menggunakan Metode Band Ratio di Teluk
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi – Mutia Kamalia Mukhtar
(1806274373) ............................................................................................ 27
3.2.2 Pola Sebaran Kekeringan di Kecamatan Simpenan Menggunakan Metode
SPI (Standardized Precipitation Index) -Ratri Widyastuti(1806274392).. 38
3.2.3 Pola Persebaran Tingkat Kerawanan Banjir di Kecamatan Pelabuhan Ratu,
Kabupaten Sukabumi - Kartika (1806241910) ......................................... 49
3.2.4 Ayu Adi Justicea (1906412444) ................................................................ 60
3.3 Peran Masyarakat Terhadap Bencana ............................................................ 60
3.3.1 Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Pengelolaan Perladangan
Masyarakat (Studi Kasus: Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi) -
Anika Putri (1806274322) .............................................................................. 60
3.3.2 Adaptasi Masyarakat Tani Sebagai Kearifan Lokal Dalam menghadapi
Bencana Kekeringan di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat – Muhammad Zakaria (1806274360).................................................. 72
BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 81

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kuliah lapang merupakan salah satu kewajiban bagi mahasiwa Magister Ilmu
Geografi Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia. Kuliah Lapang tahun
2019, lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yang
dinilai memiliki hubungan keterkaitan dengan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu.
Kegiatan tersebut direncanakan sejak awal semester II, karena merupakan
salah satu mata kuliah wajib Magister Ilmu Geografi. Selain itu, kegiatan tersebut juga
menjadi metode pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengimplementasikan teori
pembelajaran di kelas dengan kondisi lapangan. Sesuai dengan tata letak geografis dan
fisiografisnya yang dikaitkan dengan potensi bahaya bencana alam, diusulkan untuk
menerapkan kerangka kerja Sistematik Geografi. Berdasarkan diskusi pelingkupan
materi yang dilakukan, dipilih 8 (delapan) tema yang menjadi fokus pengamatan, yang
ditelaah secara sistematik dengan pendekatan spaial.
Proses kuliah lapang ini diawali dengan studi literatur selama kurang lebih 3
(tiga) bulan untuk mengkaji serta mencari informasi terkait dengan kondisi
pengembangan pariwisata di Kabupaten Samosir dan sekitarnya. Hasil studi literatur
tersebut menjadi dasar bagi mahasiswa untuk menentukan tema yang selanjutnya
dijadikan acuan untuk pencarian data dan validasi di lapangan. Pencarian data dan
validasi di lapangan dilaksanakan pada tanggal 27-31 Oktober 2019. Pada tahap akhir,
dilakukan analisis hasil data untuk memperoleh sintesis antara tema dan hasil
penelitian serta keterkaitannya dalam potensi kebencanaan.
Laporan kuliah lapang terdiri dari laporan individu dan laporan kelompok yang
berpedoman pada tema utama yakni Potensi Bahaya Sumber Daya Alam
Hidrometeorologi. Tema tersebut selanjutnya menjadi dasar dalam penentuan
subtema. Laporan kuliah lapang terdiri dari 8 subtema yang secara sistematik geografis
berhubungan dengan mitigasi bencana di Kabupaten Sukabumi dilihat dari aspek
lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya.
Kabupaten Sukabumi menjadi salah satu wilayah yang menjadi target kegiatan
kuliah Lapangan. Hal tersebut di dasarkan pada Kabupaten Sukabumi yang menjadi
“supermarket” bencana. Menurut Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi, Eka Widiaman, sepanjang tahun 2018
telah terjadi 725 bencana, Dari ratusan bencana tersebut yang paling banyak terjadi
adalah longsor sebanyak 353 bencana, lalu angin kencang sebanyak 121 kejadian,
kebakaran 117 kejadian, gempa bumi 4 kejadian, pergerakan tanah 12 kejadian, dan
bencana lain-lain sebanyak 60 kejadian. Dasar itulah yang menjadi pijakan bagi
Magister Ilmu Geografi Departemen Geografi FMIPA untuk melakukan kegiatan
kuliah lapang di Kabupaten Sukabumi.
Secara umum, keseluruhan pelaksanaan kegiatan kuliah lapang sesuai dengan
rencana yang telah disepakati. Akses untuk mendapatkan informasi dan data
penelitian, didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi. Hanya saja,

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 1


pelaksanaan kegiatan ini, belum maksimal karena adanya keterbatasan waktu survey
lapangan.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 2


BAB II
APRESIASI TATA LETAK KABUPATEN SUKABUMI

2.1 Tata Letak Kabupaten Sukabumi dari Aspek Astronomi


Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak
tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km dari Kota Jakarta. Kabupaten ini
terletak pada 6o57’- 7o25’ Lintang Selatan dan 106o 49’–107o 00’ Bujur Timur.
Dari tahun 2005 sampai tahun 2010 Kabupaten Sukabumi mengalami pemekaran
kecamatan yang meliputi 47 kecamatan, 5 kelurahan dan 381 desa. Sedangkan
jumlah sampai akhir tahun 2010 terdapat 3707 RW dan 14.205 RT. Saat ini
ibukota Kabupaten Sukabumi berada di Kecamatan Palabuhanratu, meskipun
demikian beberapankantor pemerintahan masih ada yang berdomisili di
Kecamatan Cisaat, Kecamatan Cibadak bahkan di Kota Sukabumi (BPS, 2018).

2.2 Tata Letak Kabupaten Sukabumi dari Aspek Fisiografi, Geologi, dan
Geomorfologi
Bentuk topografi wilayah Kabupaten Sukabumi pada umumnya meliputi
permukaan yang bergelombang di bagian selatan dan bergunung di bagian utara
dan tengah dengan ketinggian berkisar antara 0–2960 m. Kondisi permukaan
tanah di Kabupaten Sukabumi bervariasi. Berdasarkan kelas kemiringan, kondisi
permukaan tanah di Kabupaten Sukabumi digolongkan menjadi 5 kelas, yaitu
(BPS, 2018):
1. Kelas I dengan kemiringan 0-8 luasnya sekitar 209.088 ha;
2. Kelas II dengan kemiringan 8-15 luasnya sekitar 40.998 ha;
3. Kelas III dengan kemiringan 15-25 luasnya sekitar 40.998 ha;
4. Kelas IV dengan kemiringan 25-45 luasnya sekitar 59.447 ha;
5. Kelas V dengan kemiringan >45 luasnya sekitar 59.447 ha.
Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi wilayah lahan
kering yang luas, saat ini sebagaian besar merupakan wilayah perkebunan, tegalan
dan hutan. Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B
(Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan
144 hari. Suhu udara berkisar antara 20-30oC dengan kelembaban udara 85-89
persen. Curah hujan antara 3.000-4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara,
sedangkan curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah
sampai selatan Kabupaten Sukabumi.
Daerah Kabupaten Sukabumi sebagian besar bertekstur tanah sedang
(tanah lempung). Kedalaman tanahnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
golongan besar yaitu kedalaman tanah sangat dalam (lebih dari 90 cm) dan
kedalaman tanah kurang dalam (kurang dari 90 cm). Kedalaman tanah sangat
dalam tersebar di bagian utara, sedangkan kedalaman tanah kurang dalam tersebar
di bagian tengah dan selatan. Hal ini mengakibatkan wilayah bagian utara lebih
subur dibanding wilayah bagian selatan.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 3


Struktur geologi wilayah Kabupaten Sukabumi terbagi menjadi dua zona
yaitu zona utara dan zona selatan, dengan batas Sungai Cimandiri yang mengalir
dari arah Timur Laut ke Barat Daya. Zona Utara merupakan kawasan yang
dipengaruhi oleh vulkan dan sebagian besar merupakan daerah yang subur,
dimana terdapat kawasan perkebunan, persawahan dan kegiatan pertanian
lainnya. Sedangkan zona selatan merupakan kawasan yang berbukit-bukit yang
terdiri atas kawasan pertanian lahan kering, perkebunan dan kehutanan. Jenis
tanah di bagian utara pada umumnya terdiri dari tanah latosol, andosol dan
regosol. Di bagian tengah pada umumnya terdiri dari tanah latosol dan podzolik,
sedangkan di bagian selatan sebagian besar terdiri dari tanah laterit, grumosol,
podzolik dan alluvial. Jenis tanah ini termasuk tanah yang agak peka erosi.
Kondisi hidrologi dan hidrogeologi wilayah Kabupaten Sukabumi
meliputi air tanah terutama berupa mata air, dan air permukaan berupa sungai dan
anak-anak sungainya. Di wilayah Kabupaten Sukabumi banyak dijumpai mata air,
biasanya tempat pemunculan mata air ini berasal dari dasar lembah atau kaki
perbukitan. Munculnya mata air dari tempat-tempat tersebut disebabkan adanya
lapisan batuan kedap air di bawahnya, sehingga peresapan tidak terus ke dalam
melainkan ke arah lateral dan muncul di kaki-kaki tebing/lembah atau kaki
perbukitan. Sementara air permukaan yang sebagian besar terdiri atas sungai-
sungai dan anak-anak sungainya membentuk daerah aliran sungai (DAS) yang
mengaliri luas areal persawahan, meliputi DAS Cikaranggeusan (4.038 ha), DAS
Ciletuh (6.248 ha), DAS Cisalada (632 ha), DAS Cimandiri (700 ha), DAS
Ciseureuh Cibeureum (1.303 ha), DAS Cikarangnguluwung (1.874 ha), DAS
Cikarang Cigangsa (1.025 ha), DAS Cigangsa (1.514 ha), dan 19 DAS kecil
lainnya (8.909 ha).

2.3 Tata Letak Kabupaten Sukabumi dari Aspek Administrasi Pemerintahan


Wilayah-wilayah Kabupaten Sukabumi berfungsi sebagai (1) pemasok
(produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku (2) pemasok tenaga kerja
melalui proses urbanisasi (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri
manufaktur dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Dilihat dari perkembangan
dan karakteristik wilayah, Kabupaten Sukabumi dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu Sukabumi Utara dan Sukabumi Selatan. Kedua wilayah ini
mempuyai karakteristik yang berbeda, diantaranya (1) Sukabumi utara yang
dilalui oleh jalur tengah yang relatif lebih berkembang, dibandingkan
Sukabumi selatan yang dilalui oleh jalur selatan, (2) Pusat-pusat pertumbuhan
dan kegiatan banyak terdapat di Sukabumi utara, seperti pasar, industri, pusat
pendidikan dan lain-lain (3) Sumberdaya alam lahan (tanah) relatif lebih subur
di utara, karena terdapat diantara dua gunung, yaitu Gunung Gede-Pangrango dan
Gunung Salak (4) Kepadatan penduduk di utara lebih tinggi di bandingkan di
selatan Sukabumi.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 4


2.4 Tata Letak Kabupaten Sukabumi terhadap pengelolaan destinasi pariwisata
Kabupaten Sukabumi juga merupakan wilayah yang berpotensi dalam
pengembangan kawasan wisata yang dapat menunjang pemasukan bagi
Pemerintah Indonesia maupun peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, salah
satu kawasan wisata yang dinilai strategis ialah Geopark Ciletuh-Palabuhanratu
yang secara resmi diakui oleh UNESCO pada tanggal 17 April 2018 di Paris,
Perancis sebagai bagian dari Global Geopark Network. Sejalan dengan itu,
pemerintah Provinsi Jawa Barat merencanakan Geopark Ciletuh menjadi daerah
tujuan wisata mancanegara dan akan di dukung sarana-prasarana seperti
pembangunan bandara untuk mempermudah akses.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 5


BAB III
DESKRIPSI GEOGRAFI TEMATIK HASIL PENELITIAN

Kegiatan Kuliah Lapang 2019 ini memfokuskan penelitian di Kabupaten


Sukabumi dengan tema besar “Potensi Bahaya Sumber Daya Alam Hidrometeorologi”
dengan berbagai sub tema sebagai berikut:

a. Kebijakan Tata Guna Lahan


1. Signifikasi Status Wisata Ciletuh Palabuhan Ratu Sebagai Geopark
International terhadap Tingkat Pertumbuhan Kujungan Wisatawan di
Kabupaten Sukabumi oleh Eko Darminto (1806274335)
2. Pemanfaatan Peta Kontur Nilai Tanah Pada Data Nilai Jual Objek Pajak
Tahun 2019 untuk Identifikasi Daerah Pusat Kegiatan di Kecamatan
Palabuhanratu oleh Ikhsanuz Zaky (1806274354)
b. Analisis Kejadian Bencana
1. Perubahan Garis Pantai Menggunakan Metode Band Ratio di Teluk
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi oleh Mutia Kamalia Mukhtar
(1806274373)
2. Pola Sebaran Kekeringan di Kecamatan Simpenan Menggunakan Metode
SPI (Standardized Precipitation Index) oleh Ratri Widyastuti
(1806274392)
3. Pola Persebaran Tingkat Kerawanan Banjir di Kecamatan Pelabuhan Ratu,
Kabupaten Sukabumi oleh Kartika (1806241910)
c. Peran Masyarakat Terhadap Bencana
1. Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Pengelolaan Perladangan
Masyarakat (Studi Kasus: Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi)
oleh Anika Putri (1806274322)
2. Adaptasi Masyarakat Tani Sebagai Kearifan Lokal Dalam menghadapi
Bencana Kekeringan di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat oleh Muhammad Zakaria (1806274360)
3.1 Kebijakan Tata Guna Lahan
3.1.1 Pemanfaatan Peta Kontur Nilai Tanah Pada Data Nilai Jual Objek
Pajak Tahun 2019 untuk Identifikasi Daerah Pusat Kegiatan di
Kecamatan Palabuhanratu - Ikhsanuz Zaky (1806274354)

Abstrak
Kecamatan Palabuhanratu merupakan ibukota dari Kabupaten Sukabumi yang
terletak di bagian barat Kabupaten Sukabumi dekat pesisir pantai Pelabuhanratu.
Wilayah ini terdiri dari Desa Buniwangi, Desa Cibodas, Desa Cikadu, Desa
Cimanggu, Desa Citarik, Desa Citepus, Desa Jayanti, Desa Pasirsuren, Desan
Tonjong dan Kelurahan Palabuhanratu. Kecamatan Palabuhanratu ini merupakan
daerah berkembang yang banyak tumbuh pusat perekonomian terutama yang
berada pada dekat pesesir pantai. Zona Nilai Tanah yang merupakan kumpulan
wilayah atau area yang terdiri dai nilai harga tanah. Daerah Pusat Kegiatan (DPK)
merupakan suatu wilayah yang menjadi pusat kegiatan terutama kegiatan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 6


perekonomian dan pemerintahan suatu daerah. Dari hasil penelitian ini didapat
bahwa di Kecamtanan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi terdapat 21 zona nilai
tanah yang berasal dari data nilai jual objek pajak (NJOP) tahun 2019. Setelah
dibuat peta kontur zona nilai tanh dari data NJOP di kecamatan Palabuhanratu dan
diketahui pusat kegiatan berada di Kelurahan Palabuhanratu dikarenakan disana
terdapat pusat pemerintahan. Dan dari profil harga tanah dapat dilihat bahwa harga
tanah yang jaraknya semakin menjauh dari lokasi pusat kegiatan mengalami
penurunan harga, begitu sebaliknya dengan harga tanah yang lokasinya mendekati
lokasi Daerah Pusat Kegiatan (DPK) mengalami peningkatan harga tanah.
Pendahuluan
Pajak menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting
artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional, dengan tujuan
menngkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Penerimaan dari pajak
yang memberikan kontribusi cukup besar bagi penerimaan daerah adalah Pajak
Bumi dan Bangunan.
Dalam menentukan Pajak Bumi dan Bangunan diperlukam Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan melalui model analisis tertentu berdasarkan
ketentuan teknis yang berlaku di Direktorat Jenderal Pajak. Prodesur untuk
menentukan NJOP diatur dalam Keputusan Jenderal Pajak Nomor :
KEP.533/PJ/2000 yang telah diubah dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : KEP.115/PJ/2002.
NJOP yang menjadi dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan mewakili
nilai tanah dalam suatu zona tertentu. Zona tersebut merupakan zona geografis
yang terdiri atas kelompok bidang tanah yang memiliki nilai tanah yang sama,
sehingga disebut juga Zona Nilai Tanah (ZNT).
Faktor-faktor yang berperan dalam perubahan nilai dari tanah suatu tempat
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Dari faktor internal yang dapat
mempengaruhi nilai tanah meliputi topografi tanah, sifat dasar dari tanah,
kandungan unsur yang ada di tanah tersebut, dan kondisi dari tanah itu
sendiri.Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar unsur
tanahnya meliputi jarak lokasi kekeramaian, keamanan lokasi tanah, aksesbilitas
yang tinggi dan lain-lain. Nilai-nilai ini dalam dinas pemerintahan
dipertimbangkan untuk menentukan NJOP dari suatu tanah dan bangunan milik
masyarakat yang wajib membayar pajak untuk penggunaannya.
Penetapan NJOP salah satunya dengan menentukan Nilai Indek Rata-Rata
(NIR) dari tanah Salah satu daerah yang menggunakan NIR dalam penentuan
NJOP aladah Kecamatan Palabuanratu. Kecamatan Palabuhanratu merupakan
ibukota dari Kabupaten Palabuhanratu dimana menjadi pusat kgiatan masyarakat.
Kecamatan Palabuhanratu meliputi Desa Buniwangi, Desa Cibodas, Desa Cikadu,
Desa Cimanggu, Desa Citarik, Desa Citarpus, Desa Jayanti, Desa Pasir Suren, Desa
Tonjog dan Kelurahan Palabuhanratu.
Permodelan harga tanah melalui peta kontur merupakan permodelan yang
interaktif dan mudah dipahami oleh masyarakat. Permodelan ini akan memuat
informasi perbedaan harga tanah tiap daerah atau zona nilai tanah melalui
perbedaan warna. Perbedaan warna yang dihasilkan adalah sebuah representatif
terhadap perbedaan harga yang ada. Dengan permodelan kontur harga tanah ini

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 7


akan dapat diketahui Daerah Pusat Kegiatan (DPK). Setiap daerah memiliki satu
ataupun lebih DPK. Jumlah dari banyaknya DPK dapat sebagai penentu dari
perkembangan suatu daerah dan mempengaruhi nilai tanah di daerah tersebut.
Kecamatan Palabuhanratu menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PWK)
berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 22 Tahun 2012
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2032.
Dalam penelitian ini akan dilakukan permodelan harga tanah yang ada di wilayah
Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi di tahun 2019. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui persebaran lokasi DPK di Pusat Kegiatan Wilayah
kecamatan Palabuhanratu dari peta kontur harga tanah yang telah dibuat.

Tinjauan Pustaka
Faktor Nilai Tanah
Golberg dan Chiloy (dalam Ernawati 2005) menentukan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap nilai tanah dan karakteristik yang dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Karakteristik Fisik Karakteristik fisik ini menyangkut kemiringan tanah,
ketinggian, bentuk, jenis tanah dan luas dari area tertentu. Karakteristik tanah
yang paling umum adalah sebagai berikut:
a. Ruang (Space)
Karakteristik luas tanah suatu area mungkin merupakan karakteristik
fisik yang paling penting. Luas tanah yang akan ditempati merupakan hal
penting untuk pemahaman perhitungan ekonomi dari sebantuk tanah
tersebut.
b. Kestabilan tanah (indestructibility). Tanah secara fisik tidak bisa
dihancurkan ataupun diciptakan, sedangkan ruang telah tertentu, struktur
ketahanan tanah mempengaruhi sediaan tanah yang tersedia setiap waktu.
c. Tidak dapat dipindahkan (immobility). Ruang di permukaan bumi tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain. Keberadaan tanah tersebut adalah
permanen terhadap lokasi fisik di mana tanah tersebut terletak.
2. Karakteristik Lokasional Lokasi suatu tanah perkotaan berkaitan dengan
penggunaan tanah yang dapat dilakukan di tanah tersebut, berupa kegiatan
ekonomi dan sosial.
3. Karakteristik Legal Dalam pengenalan keunikan tanah perkotaan, dibentuk
suatu intitusi legal yang berkaitan dengan pengaturan penggunaan,
penempatan dan pemilikan tanah perkotaan. Berdasarkan Surat Edaran
Departemen Keuangan RI, Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-55/PJ.6/1999
tentang Petunjuk Teknis Analisis Penentuan NIR (Nilai Indikasi Rata-rata),
variabel yang menentukan nilai tanah adalah sebagai berikut :
a. Faktor Fisik:
1) Keluasan tanah
2) Bentuk tanah
3) Sifat fisik tanah seperti topografi, elevasi, banjir/tidak banjir, kesuburan
(untuk pertanian) dan sebagainya.
b. Lokasi dan Aksesbilitas:
1) Jarak dari pusat kota

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 8


2) Jarak dari fasilitas pendukung
3) Lokasi secara spesifik : tanah sudut, terletak di tengah atau tusuk sate
4) Kemudahan pencapaian
5) Jenis jalan (protokol, ekonomi, lingkungan, gang)
6) Kondisi lingkungan.

Blok
Blok ditetapkan menjadi suatu areal pengelompokan bidang tanah terkecil
yang digunakan sebagai petunjuk lokasi objek pajak yang unik dan permanen.
Syarat utama sistem identifikasi objek pajak adalah stabilitas. Perubahan yang
terjadi pada sistem identifikasi dapat menyulitkan pelaksanaan dan administrasi.
Alasan kestabilan ini menyebaban RT/RW/RK atau sejenisnya yang cenderung
mengalami perubahan yang relatif tinggi tidak dimanfaatkan sebagai salah satu
komponen yang mengidentifikasi objek pajak yang bersift permanen dalam jangka
panjang. Sehingga apabila RT/RW/RK atau sejeninsnya dimasukan sebagai bagian
dari NOP/Blok dapat menyebabkan NOP/Blok tidak permanen. Jadi penetapan
definisi serta pemberian kode blok semantap mungkin sangat penting untuk
menjaga agar identifikasi objek pajak tetap bersifat permanen.
Untuk menjaga kestabilan, batas-batas suatu blok harus ditentukan
berdasarkan suatu karakteristik fisik yang tidak berubah dalam jangka waktu yang
lama. Untuk itu, batas-batas blok harus memanfaatkan karakteristik batas geografis
yang ada, jalan bebas hambatan, jalan arteri, jalan lokal, jalan kampung/desa, jalan
setapak/lorong/gang, rel kereta apai, sungai, saluran irigasi, saluran buangan air
hujan (drainage), kanal dan lain-lain
Dalam membuat batas blok, persyaratan lain yang harus dipenuhi adalah
tidak diperkenankan melampaui batas desa/kelurahan dan dusun. Batas lingkungan
dan RT/RW/RK atau sejenisnya tidak perlu diperhatikan dalam penentuan batas
blok. Dengan demikian dalam satu blok kemungkinan terdiri atas satu RT/RW/RK
atau sejeninsnya atau lebih.
Satu blok dirangcang untuk dapat menampung lebih kurang 200 objek
pajak atau luas sekitar 15ha, hal ini untuk memudahkan kontrol dan pekerjaan
pendataan di lapangan dan admnistrasi data. Namun jumlah objek pajak atau
wilayah yang uasnya lebih kecil atau lebih besar dari angka di atas tetap
diperbolehkan apabila kondisi setempat tidak memungkinkan menerapkan
pembatasan tersebut. Untuk menciptakan blok harus seksama. Kemungkinan
pengembangan wiayah di masa mendatang penting untuk dipertimbangkan
sehingga batas-batas blok yang dipilih dapat tetap dijamin kestabilannya. Kecuali
dalam hal yang luar biasa, misalnya, perubahan wilayah administrasi, blok tidak
boleh diubah karena kode blok berkaitan dengan semua jenis informasi yang
tersimpan di daam basis data

Zona Nilai Tanah


Zona Nilai Tanah (ZNT) sebagai suatu komponen utama identifikasi nilai
objek pajak bumi mempunyai suatu permasalahan yang mendasar, yaitu kesulitan
dalam menentukan batasnya karena pada umumnya bersifat imajiner. Oleh karena
itu secara teknis, penentuan batas ZNT mengacu paDa batas penguasaan/pemilikan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 9


atas bidang objek pajak. Persyarata lain yang perlu diperhaian adalah perbedaan
nilai tanah antar zona. Perbedaan tersebut dapat bervariasi misalnya 10%. Namun
pada praktiknya penentuan suatu ZNT dapat didasarkan pada tersedianya data
pendukung (data pasar) yang dianggap layak untuk dapat mewakili nilai tanah atas
objek pajak yang ada pada ZNT yang bersangkutan.
Penentuan nilai jual bumi sebagai dasar Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan cenderung didasarkan kepada pendekatan data pasar. Oleh karena itu
keseimbangan antara zona yang berbatasan dalam suatu wilayah administrasi
pemerintahan muai dari tingkat terendah sampai dengan tingkat tertinggi perlu
diperhatikan.
Informasi yang berkaitan dengan letak geografs diwujudkan dalam bentuk
peta atau sket. Salah satu hal terpenting adalah pemberian kode pada setiap ZNT.
Hal ini dimaksudnkan untuk memudahkan menentukan letak relatif objek pajak di
apangan maupun untuk kepentingan lainnya dalam pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan. Setiap ZNT diberi kode dengan menggunakan kombinasi dua huruf
dimulai dari AA sampai dengan ZZ. Aturan pemberian kode pada peta ZNT
mengikuti pemberian nomor blok pada desa/kelurahan atau NOP pada peta blok
(secara spiral).

Metode Penelitian
Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan melalui studi literatur dari buku-buku yang
membahas tentang pemanfaatan penginderaan jauh, serta karakteristik nilai tanah
yang diperoleh dari jurnal-jurnal dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
yang berkaitan dengan nilai tanah. Informasi yang didapat dari studi literatur ini
akan digunakan sebagai acuan untuk membuat penelitian ini.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta administrasi
Kecamatan Palabuhanratu dan Data NJOP Kecamatan Palabuhan Ratu tahun 2019.
Dari data NJOP tersebut diklasifikasikan desuai dengan harga. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer bersumber dari citra resolusi tinggi yang diperoleh dari
ESRI Image tahun 2019 yang didapat dari SAS Planet. Data sekunder yaitu Nilai
Indeks Rata-Rata yang menjadi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Kecamatan
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi didapat dari Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Sukabumi, peta RBI Kecamatan Palabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi
yang didapat dari Badan Informasi Geospasial dan Peta kontur Kecamatan
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi didapat dari Badan Informasi Geospasial.
Selain itu penulis melakukan wawancara dengan pihak Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Sukabumi dan Kepala Camat Kecamatan Palabuhanratu guna
mendapatkan keterangan terkait pusat kegiatan di wilayah Palabuhanratu.
Analisis Data
Anaslis data yang utama dalam penelitian ini berupa analisis spasial untuk
menyusun pola keruangan nilai tanah di Kecamatan Palabuhanratu pada tahun
2019. Data sekunder berupa NJOP dari seluruh wilayah kelurahan di Kecamatan
Palabuhanratu akan dilakukan teknik georeferece dengan menentukan titik

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 10


koodinatnya. Penentuan data nilai tanah yang yang diambil sebagai sample adalah
nilai tanah yang memiliki range harga yang telah ditentukan oleh penulis.
Kemudian sample dari setiap kelurahan akan dibuatkan peta zona nilai tanahnya.
Peta zona nilai tanah yang dihasilkan akan dioverlay untuk menganalisis pola
keruangan nilai tanah dilihat dari kontur dan penggunaan tanah. Alur proses
penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Collecting Data

ESRI Image from SRTM Image NJOP Palabuhan Ratu


SASPlanet

Penentuan Sample
NJOP

RBI Kec. Clipping Image Georeference NJOP


Palabuhanratu

Overlay

Daerah Pusat Kegiatan Analisis NJOP Kec.


Palabuhanratu

Hasil

Deskripsi Hasil Observasi


Teluk Palabuhanratu merupakan sebuah perairan teluk yang terletak di
Kabupaten Sukabumi dan berbatasan langsung dengan 4 kecamatan yakni
Kecamatan Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, dan Kecamatan Simpenan. Teluk
Palabuhanratu berada pada koordinat 06o 57’ - 07o 07’ LS dan 106o 22’ – 106o 33’
BT. Teluk Palabuhanratu merupakan teluk terbesar di sepanjang pantai selatan
Pulau Jawa. Panjang garis pantainya mencapai 112 km.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, Teluk Palabuhanratu
merupakan wilayah yang rentan terhadap gelombang ekstrim dan abrasi. Wilayah
yang paling rentan terhadap gelombang ekstrim dan abrasi di Teluk Palabuhanratu
adalah Kecamatan Palabuhanratu. Hal ini diakibatkan letak Kecamatan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 11


Palabuhanratu di tengah dari Teluk Palabuhanratu. Peristiwa gelombang ekstrim
ini umumnya terjadi pada saat musim hujan, karena angin dan arus yang kuat
selama musim hujan di Teluk Palabuhanratu.

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan data Nilai Jual Objek Pajak Kecamatan Palabuhan Ratu tahun
2019, dilakukan klasifikasi zona nilai tanah dengan pengelompokam data yang
dimiliki harga yang sama. Dari pengelompokkan ini didapat 21 zona nilai tanah
yang berasal dari nilai jual objek pajak (NJOP) tahun 2019. Dengan rincian jumlah
pada Desa Buniwangi 4 zona, Desa Cibodas 5 zona, Desa Cikadu 8 zona, Desa
Cimanggu 3 zona, Desa Citarik 7 zona, Desa Citepus 13 zona, Desa Jayanti 8 zona,
Desa Pasirsuren 7 zona, Desa Tonjong 6 zona dan Kelurahan Palabuhanratu 15
zona.
Namun demikian dari seluruh zana nilai tanah yang dimiliki oleh
Kecamatan Palabuhanratu nilai tanah yang dikeluarkan hampir sama satu sama
lain, variasi nilai tanah keseluruhan hanya 21 zona nilai tanah yang kemudian
penulis klasifikasikan menjadi 7 klasifikasi harga tanah dengan interval
Rp.100.000 seperti yang disajikan pada tabel 1 dibawah ini.
NO RANGE HARGA NIR
1 Rp 5.000
2 Rp 7.150
3 Rp 10.000
4 Rp 14.000
5 Rp 20.000
< Rp 100.000
6 Rp 27.000
7 Rp 36.000
8 Rp 48.000
9 Rp 64.000
10 Rp 82.000
11 Rp 103.000
Rp 100.000 - Rp 200.000
12 Rp 128.000
13 Rp 160.000
Rp 100.000 - Rp 200.000
14 Rp 200.000
15 Rp 243.000
Rp 200.000 - Rp 300.000
16 Rp 285.000
17 Rp 335.000
Rp 300.000 - Rp 400.000
18 Rp 394.000
19 Rp 400.000 - Rp 500.000 Rp 464.000
20 Rp 614.000
> Rp 500.000
21 Rp 802.000
Tabel 1 : Klasifikasi Harga Tanah berdasarkan Nilai Indeks Rata-Rata
Hasil Pembuatan Kontur dari data NJOP tahun 2019
Dalam pembuatan kontur pada nilai jual objek pajak (NJOP) Kabupaten
Sukabumi di wilayah Kecamatan Palabuhanratu tahun 2019 dari data koordinat
tiap zona yang telah ditentukan dengan menggunakan software pengolah data
spasial yaitu ArcGIS 10.3. Pembuatan di software pengolah data spasial atau
ArcGIS 10.3 ini karena lebih mudah dalam proses pewarnaan kontur untuk

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 12


mempermudah dalam menganalisa dalam menganalisis Daeah Pusat Kegiatan
(DPK).
Penulis memilih lokasi sebagai sample berdasarkan nilai tanah tertinggi
dan nilai terendah dari masing-masing desa dan kelurahan Palabuhanratu. Berikut
sample yang dipilih disajikan pada Tabel 2
NJOP
X Y Desa/Kelurahan Alamat
(Rupiah/m2)
106,545652 -6,948925 BLOK BUNIASH 5000
CIBODAS
106,535615 -6,934190 GUNGUNG TUMPENG 5000
CIBODAS
107,019745 -6,937924 CIKURUTUG 5000
CIKADU
106,603133 -6,955502 KP CIBUNGUR 5000
CIKADU
BLOK CIBANTENG 7150
106,579293 -6,952721 BUNIWANGI
BLIK CISALADA 7150
106,561315 -6,954468 CIMANGGU
106,613878 -7,001066 BLOK GUNUNG CADAS 7150
TONJONG
106,614414 -6,964714 BLOK CIHURANG KIDUL 10000
PASIRSUREN
106,631030 -6,988426 KP NANGEWER 10000
PASIRSUREN
106,522993 -6,970851 KP PASIR MANGGA 20000
CITEPUS
106,565347 -6,970638 JL KIARA LAWANG 20000
BUNIWANGI
106,647494 -6,512915 JL CIBULUH 20000
CIBODAS
106,603355 -6,996961 KP. CILEUNGSI 27000
CITARIK
106,560153 -7,006429 KP CARINGIN 27000
JAYANTI
106,556981 -6,997083 BLOK BATUSAPI 36000
PALABUHANRATU
KP KIARALAWANG 36000
106,5662 -6,970229 PALABUHANRATU
106,606149 -6,996490 CIKADU CIKADU 82000

106,611281 -7,000072 KP PARUNG CABOK 82000


TONJONG
JL RAYA 82000
106,607047 -7,000477
TONJONG PALABUHANRATU
106,649929 -6,994688 JL PALABUHANRATU 103000
PASIRSUREN
106,574509 -7,010849 KP CIAWUN 200000
CITARIK
106,560352 -7,006763 KP JAYANTI 285000
JAYANTI
106,565530 -6,982796 GRAHA LAWANG ASRI 614000
CITEPUS
106,552528 -6,988139 GG EMPANG RAYA 802000
PALABUHANRATU
106,551694 -6,986917 JL KENARI 802000
PALABUHANRATU
106,550056 -6,988667 JL SILIWANGI 802000
PALABUHANRATU
Tabel 2. Sampel Data Nilai Tanah
Kemudian disajikan dalam bentuk peta seperti pada Gambar 1 dibawah ini

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 13


PROFIL MEMANJANG

Gambar 1. Peta Kontur Zona Nilai Tanah Kecamatan Palabuhan Ratu

Analisa Daerah Pusat Kegiatan dari Data Kontur Zona Nilai Tanah
Data kontur zona nilai tanah Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten
Sukabumi hanya terdapat satu DPK berbentuk pusat pemerintaham. Berdasarkan
kontur zona nilai tanah qilayah ini memiliki kontur yang rendah dan dekat dengan
pusat perekonomian di daerah pesisir palabuhanratu
Analisa Pola Harga Tanah
Dari data kontur zona nilai tanah berdasarkan data NJOP Kecamatan
Palabuhanratu tahun 2019 dapat dibuat sebuah profil memanjang dari ujung satu
ke ujung yang lain, dalam hal ini peneliti mengambil sample dari titik dari ujung
timur yang terletak di Desa Tonjong ditarik hingga ujung barat yang terletak di
kelurahan Palabuhanratu dengan nilai tanah untuk melihat pola harga tanah.
Setelah dilakukan pembuatan profil harga tanah wilayah Kecamatan
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi berdasarkan data NJOP 2019 dari aplikasi
pengolah data spasial ArcGIS 10.3 dapat dianalisa bahwa titik ujung barat yang
memiliki nilai tanah Rp 802.000 m/2 merupakan Kelurahan Palabuhanratu dan
semakin ditarik ke arah timur maka harga nilai tanah akan mengalami penurunan,
dan ditengah-tengah garis harga tanah mengalami sedikit kenaikan dan kembali
mengalami penurunan harga. Hal ini dikarenakan sesuai (Ksamawan, 2009) bahwa
Daerah Pusat Kegiatan (DPK) merupakan pusat kegiatan komersil dan
terkonsentrasi pada satu ttik sebagai pusatnya. Sehingga kebanyakan nilai tanah
dikawan DPK atau sekitarnya menjadi lebih tinggi dibandngkan dengan daerah
yang jaduh dari DPK

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 14


Gambar 2. Profil Memanjang Harga Tanah Kecamatan Palabuhanratu

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelirian ini, maka didapatkan beberapa kesimpulan
yaitu:
1. Zonasi yang telah dibuat dari NIR yang dijadikan sebagai NJOP Kecamatan
Palabuhanratu tahun 2019 sejumlah 21 zona tilai tanah. Dengan rincian jumlah
pada pada Desa Buniwangi 4 zona, Desa Cibodas 5 zona, Desa Cikadu 8 zona,
Desa Cimanggu 3 zona, Desa Citarik 7 zona, Desa Citepus 13 zona, Desa
Jayanti 8 zona, Desa Pasirsuren 7 zona, Desa Tonjong 6 zona dan Kelurahan
Palabuhanratu 15 zona.
2. Dari data kontur zona nilai tanah berdasarkan data NJOP Kecamatan
Palabuhanratu diketahui persebarab Daerah Pusat Kegiatan yakni terletak pada
Kelurahan Palabuhanratu dimana pada daerah tersbut memiliki pusat
pemerintahan sekaligus dekat dengan pusat perekonomian yang terletak didekat
pesesir pantai Pelabuhan Ratu
3. Berdasarkan pembuatan profil harga tanah Kecamatan Palabuhanratu
Kabupaten Sukabumi dari data nilai jual objek pajak (NJOP) tahun 2019 dapat
dilihat bahwa harga tanah yang lokasinya semakin jauh dari lokasi Daerah Pusat
Kegiatan (DPK) mengalami penurunan harga tanah. Begitu sebaliknya dengan
lokasi yang semakin dekat dengan DPK mengalami kenaikan harga tanah

Daftar Pustaka
Deviantari, Budisusanto, Majdi. 2017. Pemanfaatan Peta Kontur Zona Nilai Tanah
Pada Data Nilai Jual Obek Pajak Tahun 2015 untuk Identifikasi Lokasi
Central Business District. Geoid Vol. 12, No. 2
Ambaritan Subiyanto, Yuwono. 2016. Analisis Perubahan Zona Nilai Tanah
Berdasarkan Harga Pasar untuk Menentukan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) dan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Studi Kasus:
Kec. Semarang Timur, Koa Semarang). Jurnal Geodesi UndipVol 5, No 2.
Silvandle, Subiyanto, Hani’ah. 2015. Penentuan Perubahan Zona Nilai Tanah
Berdasarkan Harga Pasar untuk Peningkatan NJOP di Kecamatan
Aromulyo Koa Salatiga. Julnal Geodesi Undip Vol 4, No 1
Tumanggor, Subiyanto, Yuwono. 2016. Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah Untuk
Menentukan Nilai Jual Objek Pajak (Studi Kasus: Kec. Gunungpati, Kota
Semarang). Jurnal Geodesi Undip Vol. 5, No 2

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 15


3.1.2 Signifikasi Status Wisata Ciletuh Palabuhan Ratu Sebagai Geopark
International terhadap Tingkat Pertumbuhan Kujungan Wisatawan di
Kabupaten Sukabumi – Eko Darminto (1806274335)

Abstrak
Potensi Pariwisata kabupaten Sukabumi sangat besar dan salah satu sektor yang
diandalkan dalam penerimaan pendapatan daerah. Penyematan Geopark Ciletuh
Palabuhanratu (GCP) Indonesia sebagai heritage international sseharusnya bisa
lebih meningkatkan potensi parisiwisata bukan hanya untuk domestik tetapi untuk
international. Kuliah Lapangan (KL) ini bertujuan menginventarisasi masalah-
masalah terkait terkendalanya pengembangan GCP dan memberikan alternative
solusi untuk menyelesaikannya. Metode yang digunakan dalam KL adalah dengan
mengkonsolidasi hasil survey (kuesioner), studi literasi dan observasi (survey
lapangan). Hasil analisa yang penulis dapatkan adalah peningkatan promosi di
level regional dan internasional adalah sesuatu mendesak harus dilakukan.

Pendahuluan
Latar Belakang
Potensi pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan dalam
pembangunan nasional karena pariwisata dapat meningkatkan pendapatan nasional
dan pendapatan daerah serta devisa negara. Kekayaan alam yang yang dimiliki
Indonesia menjadikan pariwisata menjadi salah satu leading sector disamping
industri kecil dan agroindustry. Terkait dengan hal itu, dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa Kepariwisataan
mempunyai peranan penting untuk memperluas dan meratakan kesempatan
berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar
pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional dan
memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa dan
mempererat persahabatan antas bangsa.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang
memiliki beberapa keindahan keanekaragaman objek wisata. Terletak di
ketinggian rata-rata 584 MDPL dibawah kaki gunung Pangrango dan gunung
Gede, kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas ke 2 yang ada di pulau
Jawa setelah kabupaten Banyuwangi. Luasnya kabupaten ini menjadikan banyak
tempat wisata di Sukabumi dan sekitarnya yang tersembunyi dan belum banyak
diketahui oleh banyak wisatawan. Salah satu yang cukup menarik perhatian
wisatawan domestik maupun internasional beberapa tahun terakhir adalah wisata
Geopark Ciletuh Palabuhanratu (GCP).
GCP resmi mendapatkan predikat sebagai UNIESCO Global Geopark
(UGG). Pengesahan ini disampaikan dalam sidang Executive Board UNESCO ke
204, Komisi Programme and External Relations pada tahun 2017 di Paris.
Ditetapkan sebagai sebuah geopark internasional karena memiliki warisan geologi
yang berskala internasional, keberadaaanya sangat langka dan menjadi bagian dari
evolusi bumi. Kawasan geopark dibedakan menjadi tiga area pengembangan sesuai
dengan masing-masing karakteristik Geodiversity, Biodiversity dan Culture

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 16


Diversity. Bagian selatan meliputi kecamatan Surade, Ciracap dan sebagian
Waluran dan Ciemas. Bagian Tengah meliputi kecamatan Simpenan, sebagian
Ciemas dan Waluran, dan bagian Utara meliputi kecamatan Cisolok, Cikakak dan
Palabuhanratu (Nainggolan, 2019).
Kawasan Ciletuh merupakan wilayah yang memiliki potensi keunikan
geologi yang dapat dikembangkan sebagai tujuan wisata lengkap yang memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif. Kawasan ini memiliki potensi alam yang
sangat berbeda dan variatif yang tidak banyak dimiliki oleh daerah lainnya di
Indonesia. Keunggulan tersebut terletak pada keindahan alamnya yang luar biasa,
perpaduan antara bentang alam pantai dan perbukitan, air terjun, dan keunikan
batuan geologi serta keanekaragaman flora dan fauna yang sulit ditemukan di
wilayah lainnya. Tidak berlebihan jika kawasan ini dijuluki sebagai pinggiran
surga di Jawa Barat.
Pemerintah daerah kabupaten Sukabumi melalui Dinas Pariwisata dan
Badan Pengelola Geopark Ciletuh mempunyai fungsi sentral dalam pengembangan
GCP, dan keduanya sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik.
Pengembangan GCP tidak akan berkembang jika komponen teknis dan non teknis
tidak berjalan dengan harmonis karena Pariwisata adalah asset statis yang
memerlukan effort yang sangat besar untuk dijadikan sebagai andalan pendapatan
daerah maupun nasional. Pengembangan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat
dan sosialisasi dan publikasi gencar digalakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Semboyan “Memuliakan Bumi dan Mensejahterakan Masyarakat” adalah
slogan yang intensive di kampanyekan oleh pemerintah kabupaten Sukabumi
dengan tujuan untuk pembangunan ekonomi berbasis Kawasan. Harapannya
adalah GCP bisa menjadi faktor penggerak dan sustainability ekonomi masyarakat.

Identifikasi masalah
Selain 3 aspek geopark yang telah dipaparkan sebelumnya (geodiversity,
biodiversity dan culture diversity) dan menjadi trade mark GCP, teridentifikasi
kendala yang akan berlanjut menjadi masalah dalam pengembangan GCP, yang
efeknya akan berdampak tidak baik pada proses pengembangan ekonomi
masyarakat dan assessment perpanjangan predikat International Geopark oleh
UNESCO yang di lakukan per 3 tahunan oleh badan penilai dari UNESCO.
Beberapa masalah dominan yang muncul dalam pengelolaan dan
pengembangan GCP antara lain:
✓ Konsistensi waktu kunjungan
Fluktuasi kunjungan wisatawan lebih tinggi pada musim liburan
sedangkan relatively kosong pada masa-masa lainnya.
✓ Promosi objek wisata
Banyaknya area wisata membuat pengelola melakukan prioritasi dalam
melakukan promosi, hal ini disebabkan dana promosi yang terbatas sehingga
penggunaannya harus tepat sasaran.
✓ Keadaan penduduk
Pada prinsipnya tempat wisata adalah tempat melepas kepenataan,
berekreasi dan juga mencari kebahagiaan. Banyaknya pemukiman yang
muncul sebagai akibat dari dibukanya obyek wisata untuk umum, bagi

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 17


sebagian wisatawan tidak populis karena akan menghilangkan atau
mengurangi esensi wisatanya.
✓ Pendapatan masyarakat
Pendapatan masyarakat dengan dibukanya objek-objek wisata sebagai
tindak lanjut dari penyematan predikat GCP seharusnya bisa meningkat
karena wisatawan yang datang berkunjung secara umum akan menggerakan
perekonomian masyarakat.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diinventarisasi diatas, penulis akan
fokus kepada menganalisis Promosi objek wisata yang diyakini masalah-masalah
lainnya akan akan terselesaikan. Adapun tujuan kuliah lapangan yang penulis
lakukan untuk menganalisa apakah faktor promosi benar-benar merupakan
masalah utama dalam pengelolaaan dan pengembangan GCP, dan apakah
penanganan masalah-masalah tersebut dapat digeneralisasi untuk semua jenis
obyek wisata ataukan untuk Geopark yang sifatnya wisata edukasi mempunyai
penanganan dan target tersendiri dalam mengukur keberhasilannya. Begitu pula
wisatawan yang datang apakah wisatawan asing yang berorientasi kepada edukasi
memerlukan penanganan khusus dalam promosi dan publikasi.

Tinjauan Pustaka
Geopark pada prinsipnya terdiri dari 3 bagian utama yaitu geodiversity,
biodiversity dan cultural diversity. Geodiversity adalah gambaran dari keragaman
komponen geologi yang terdapat di suatu daerah. Termasuk keberadaan,
penyebaran dan keadaannya sehingga dapat mewakili proses evolusi geologi
daerah tersebut. Kajian Geodiversity terbatas pada unsur geologi saja (termasuk
geomorfologi), namun tidak untuk unsur lainnya seperti iklim dan tataguna lahan.
Biodiversity adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumber
daya alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari
Keanekaragarnan Ekosistem, Keanekaragaman Spesies (Jenis) dan
Keanekaragaman Genetik. Cultural Diversity atau keragaman budaya diartikan
sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan
kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya.
Ketigannya merupakan unsur yang saling berhubungan sehingga sebuah
atau kumpulan obyek wisata bisa dikatakan sebagai Geopark. Konsekuensi
hubungan ketiga hal tersebut adalah harus adanya kegiatan berkesinambungan
dalam hal Konservasi, Pendidikan dan Geowisata. Pembangunan pariwisata
geopark pada prinsipnya sama dengan pembangunan pariwisata pada umumnya,
yaitu pengembangan berbasis masyarakat dengan istilah umum, dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Terdapat 4 aspek (4A) yang harus diperhatikan dalam
pengembangan pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
✓ Attraction (Daya Tarik)
Daerah tujuan wisata (DTW) untuk menarik wisatawan pasti memiliki
daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya.
Semua ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam (bentang
alam dan unsur-unsur geologi) serta flora dan fauna, pemandangan alam,

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 18


hutan rimba dengan tumbuhan hutan tropis, binatang-binatang langka dna
karya manusia yang bersidat tangible dan non tengible. GCP sebagai
masterpiece dari kota Sukabumi sudah memilikin komponen yang lebih dari
cukup dari sisi dara Tarik.
✓ Accesability (Aksesibilitas)
Accesability dimaksudkan agar wisatawan domestik dan mancanegara
dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat wisata. Akses
pariwisata GCP saat ini sudah sangat memadai, baik dari sisi sarana
transportasi maupun telekomunikasi. Transportasi jalan raya yang
menghubungkan antar obyek wisata sudah sangat memadai sejak
disematkannya GCP sebagai heritage UNIESCO. Begitu pula akses
telekomunikasi, hamper tidak ada blank spot. Seharusnya infrastruktur ini
sudah sangat cukup untuk menunjang perkembangan wisata menjadi lebuh
baik lagi.
✓ Amenities (Fasilitas)
Amenities memang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar
wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama di salah satu objek wisata.
Biasanya akomodasi yang diinginkan wisatawan berkunjung adalah hotel dan
restoran yang mudah dijangkau, serta bisa memenuhi apa yang wisatawan
inginkan selama berada di objek wisata yang dikunjunginya. Saat ini
pemerintah daerah kabupaten Sukabumi sudah menggalakan bantuan subsidi
bagi tempat tinggal masyarakat yang bersedia dijadikan home stay bagi
wisatawan yang berkunjung ke GCP terutama wisatawan manca negara.
✓ Ancillary (Kelembagaan);
Adanya lembaga pariwisata, wisatawan akan semakin sering
mengunjungi dan mencari DTW apabila di daerah tersebut wisatawan dapat
merasakan keamanan, (protection of tourism) dan terlindungi. Saat ini GCP
sudah memiliki Pusat Informasi Ciletuh Palabuhanratu yang terletak di pantai
Palabuhanratu dengan fasilitas informasi audio visual yang sangat
mendukung. Disamping itu lembaga ini mendidik para pemnadu wisata
dengan membekalinya dengan pengetahuan dasar geodiversity (geologi &
morfologi), biodiversity (pengetahuan hayati) dan direkrut dari masyarakat
yang memilliki pengetahuan cukup terhadap budaya di kabupaten Sukabumi.
Keempat faktor diatas merupakan faktor yang sangat vital dalam
pengembangan suatu destinasi pariwisata. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor
pariwisata mempunyai peranan penting dalam pembangunan suatu bangsa,
khususnya perekonomian negara karena kegiatan pariwisata merupakan salah satu
sumber pendapatan yang cukup pontensial. Pariwisata dilihat sebagai suatu jenis
usaha yang memiliki nilai ekonomi, maka pariwisata adalah sebagai suatu proses
yang dapat menciptakan nilai tambahan terhadap barang dan jasa sebagai satu
kesatuan produk yang nyata (real goods) ataupun yang berupa jasa-jasa (services)
yang dihasilkan melalui proses produksi (tourism industry 2000).

Metode Penelitian

Studi Pendahuluan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 19


Studi pendahuluan dilakukan melalui 2 cara. Pertama dengan melakukan
studi literatur dari buku-buku dan peraturan-peraturan yang terkait dengan
Geopark. Pada tahap ini dilakukan inventarisasi dan pendalaman literasi yang akan
mendukung proses analisa. Kedua dengan melakukan pencarian artikel-artikel dan
testimoni dari para praktisi dan akademisi untuk memperlengkap wawasan
keilmuan terkait dengan pariwisata terutama yang berkaitan dengan pengelolaan
dan pengembangan Geopark.

Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
survey langsung ke lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan Badan
Pengelola Geopark Ciletuh Palabuhanratu, Dinas Pariwisata kabupaten Sukabumi
dan masyarakat disekitar kawasan obyek wisata. Tidak terbatas kepada ketiga
sumber tersebut, diskusi juga dilakukan dengan akademisi dalam hal ini dosen
pengampu mata kuliah Kuliah Lapangan, Departemen Geografi, Universitas
Indonesia.
Hasil dari inventarisasi data primer tersebut, langka berikutnya adalah
menverifikasi informasi yang didapatkan dengan studi literasi dengan hasil
wawancara dengan komponen-komponen yang diperlukan. Hasil dari proses
tersebut dijadikan penulis sebagai bagian dari materi untuk analisa lebih jauh
terhadap realitas yang terjadi dilapangan.

Analisa Data
Analisa terhadap semua data yang dikumpulkan baik dengan metode
literasi, diskusi ataupun survey berfokus kepada perbandingan antara data existing
dilapangan dan data laporan. Data statistik wisatawan yang berkunjung ke obyek
wisata di integrasikan dengan data hasil survey (sampling) selama kegiatan Kuliah
Lapangan, keduanya dijadikan sumber data primer dalam melakuka Analisa.
Adapun sistematika dari penelitian yang dlakukan oleh penulis adalah sebagai
berikut,
Data Collection

Dokumen Literatur Resume hasil diskusi dengan


Praktisi & Akademisi

Tabulasi data Kompilasi Data


(hasil Survey)

Komparasi Data Data hasil Observasi


dan Survey Lapangan

Analisa

Rekomendasi Hasil Analisa

Gambar 1: Sistematika penelitian

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 20


Deskripsi Hasil Observasi
Proses observasi dan survey dilakukan pada saat implemetasi Kuliah
Lapangan dengan jadwal sebagai berikut,

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kuliah Lapangan

Karena keterbatasan waktu, observasi dilakukan hanya kepada tempat-


tempat yang dirasakan bisa mewakili keadaan dan kondisi dari obyek wisata
GCP. Berikut ini beberapa tempat yang penulis obesvasi dan kunjungi dalam
rangka menggali infomasi yang akan digunakan untuk proses analisa.
Lokasi Foto Obyek Wisata Deskripsi
Puncak Darma Bagi wisatawan yang
berorientasi edukasi,
lokasi ini sangat
strategis untuk
memantau bentang
alam dari arah atas.
Bagi yang berorientasi
kepada kepuasan visual,
wisatawan akan
disuguhi view yang
sangat menarik karena
dilenkapi dengan
fasilitas selfie yang
baik. Ekonomi
masyarkat masyarakat
hidup dengan berjualan
(dengan harga normal)
di area ini.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 21


Curug Sodong Curug Sodong
mempunyai keunikan
geologi yang cukup
menarik, cocok bagi
wisatawasan edukasi.
Wisatawan umum baru
akan menikmati
berwisata jika masuk ke
musim penghujan
karena air terjun akan
muncul dengan indah
dan danau dibawahnya
akan menjadi spot
berenang. Masyarakat
sekita obyek wisata
perekonomiannya
tertopang dengan
berjualan di tempat ini.
Mega Amfiteater Wisatawan edukasi akan
mendapatkan wawasan
yang sangat holistik,
karena dari atas terlihat
dengan jelas bagian
yang mengalami
penurunan, kenaikan
dan fenomena geologi
lainnya. Wisatawan
biasa akan
mendapatkan sensasi
ber swafoto dengan
fasilitas yang sangat
memadai.
Pantai Utara Pantai dibagian utara
Palabuhanratu bagi wisatAwan biasa
mungkin akan terlihat
kurang menarik karena
wisatawan akan sangat
sulit berjalan di pantai
karena banyaknya
batuan yang cukup
besar. Bagi wisatawan
edukasi, hal ini sangat
menarik karena bentuk
batuan yang sangat unik
sebagai hasil proses
pembekuan lava yang
digulung arus laut dan
membentuk bongkahan
bulat.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 22


Paguyuban Alam PAPSI merupakan
Pakidulan organisasi
Sukabkabumi kemasyarakatan yang
(PAPSI) sangat intens
memberikan edukasi
kepada wisawatan
terkait dengan geopark
baik dari sisi
geodiversity,
biodiversity maupun
cultural diversity.
Tabel 2. Deskripsi Hasil Observasi

Hasil dan Pembahasan


Area wisata kabupaten Sukabumi dibagi kedalam 3 wilayah besar dengan
tujuan agar pengelola dan dinas pariwisata bisa memantau dengan lebih intensive
segala aktivitas yang terjadi berdasarkan kriteria tertentu. Berikut ini pembagian
wilayah berdasarkan Zonasinya,
Zona 1 : Obyek wisata di daerah Palabuhanratu, Kasepuhan dan Geyser Cisolok.
Zona 2 : Obyek wisata di daerah Ciletuh.
Zona 3 : Obyek wisata di daerah Ujung Genteng dan Surade.

Jumlah Obyek
Wisata

38

21

Zona 1 Zona 2 Zona 3

Gambar 2. Peta Sebaran Lokasi dan Zonasi


Terlihat pada peta diatas bahwa distribusi obyek wisata terbesar berada
Zona 2 dengan jumlah obyek wisata sebanyak 38 atau 57% dari keseluruhan obyek
wisata yang dapat penulis inventarisasi. Walaupun mempunyai jumlah obyek
wisata terbanyak, namun belum tentu kunjungan wisatawan di zona ini tinggi.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 23


Berikut ini adalah data jumlah kunjungan wisatawan ke obyek wisata GCP pada
tahun 2012 sampai 2018.

Tabel 3. Jumlah Kunjungan Wisata Per Tahun


Sumber: Pusat Informasi Geopark Ciletuh Palabuhanratu

Sejak tahun 2012 hingga 2015, zona 2 yaitu Ciletuh memiliki jumlah
kunjungan yang terbilang sedikit jika dibandingkan dengan zona 1 dan 3, karena
Wisata GCP saat itu masih belum terbuka secara resmi dan hanya dikunjungi
sebagai tempat pusat penelitian atau observasi. Sejak tahun 2016 wisatawan
meningkat secara siginifikan dari tahun-tahun sebelumnya, dari 6722 hingga
mencapai 33452 pengunjung karena pembukaan secara resmi sebagai tempat
wisata untuk umum baru dilakukan pada tahun 2016. Pada tahun 2017, jumlah
kunjungan mengalami peningkatan yaitu sebanyak 44959 pengunjung.
Disebabkan karena belum adanya publikasi data baru (2019) dari
pengelola, penulis menggunakan data tahun 2018 sebagai bahan untuk Analisa.
Berikut ini tersaji data kunjungan wisatawan perbulan pada tahun 2018 sampai
bulan Juni.

Tabel 4. Jumlah Kunjungan Wisata Per Bulan


Sumber: Pusat Informasi Geopark Ciletuh Palabuhanratu

Dapat dilihat dari Tabel 1 dan 2, sejak tahun 2016 Wisata GCP mengalami
peningkatan jumlah pengunjung yang sangat signifikan. Terlebih pada tahun 2018
jumlah pengunjung Wisata GCP meningkat pesat dan jauh meninggalkan zona 1
dan 3. Hal ini diantarnya disebabkan karena promosi yang dilakukan oleh pihak
pengelola Wisata GCP. Jika promosi yang dilakukan oleh pihak GCP efektif,
jumlah pengunjung Wisata GCP akan terus meningkat. Namun, sebagai tempat
wisata yang memang baru diresmikan tahun 2016, pengelola Wisata GCP terus

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 24


melakukan berbagai upaya untuk memperkenalkan Wisata Geopark Ciletuh
kepada masyarakat lokal, domestik maupun internasional.
Profil dari pengunjung GCP sangat beragam, dari wisatawan lokal sampai
international, jenjang pendidikan dasar sanpai tinggi bahkan jenjang usia yang
sangat variatif. Berikut ini profil pengunjung GCP berdasarkan survey yang
dilakukan terhadap 69 responden di GCP pada tahun 2018 (Nainggolan, 2018),

Tabel 5. Jumlah Kunjungan Wisata Per Bulan

Terlihat pada tabel tersebut bahwa dominasi wisatawan berasal dari


Jabodetabek (58%) karena aksesibilitas yang cukup mudah dan terjangkau. Jika
dilihat dari usia dan jenjang Pendidikan, wisatawan yang datang tergolong kepada
kelas yang mempunya edukasi tinggi dan berusia muda. Tren ini sangat
menggembirakan karena terlihat bahwa kaum milenial dengan kelas pandidikan
tinggi cukup menjanjikan untuk terus dikembangkan. Dilakukan survey pula
terhadap responden yang sama karakteristik pengunjung wisata Geopark Ciletuh,
hasilnya adalah sebagai berikut,

Tabel 6. Karakteristik Wisatawan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 25


Wisata alam menjadi pilihan wisata yang paling sering dikunjungi oleh
responden yaitu sebesar 43% hal ini sesuai dengan Wisata GCP yang memanjakan
pengunjung dengan kekayaan alamnya. Sesuai dengan dominasi usia pengunjung,
sebesar 49% responden mengetahui informasi Wisata GCP dari internet dan 43%
dari teman/kerabat. Hal ini dapat berpengaruh bagi experiental marketing, dalam
merekomendasikan tempat wisata kepada teman/kerabat. Usia pengunjung juga
berkaitan dengan moment yang dipakai untuk berwisata yaitu mengambil cuti kerja
sebanyak 38% dan diikuti oleh libur nasional yang tidak jauh berbeda yaitu 30%
karena sebagian besar merupakan pelajar maupun karyawan seputar fresh graudate.
Begitu pula dengan waktu yang dihabiskan untuk berwisata yang didominasi
dengan 4-6 hari sebesar 42% menunjukkan bahwa pelajar maupun karyawan yang
tidak dapat mengambil liburan terlalu lama.
Status GCP yang sudah mendapatkan predikat warisan dunia yang
didalamnya terdapat komponen-komponen yang sangat komprehensif seharusnya
tidak hanya dinikmati oleh wisatawan domestik yang hanya berorientasi wisata
alam dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tetapi harus mulai di usahakan
untuk di arahkan kepada promosi yang lebih intens ke dunia luar. Sangat
disayangkan jika potensi keragaman geologi, hayati dan budaya dan sudah di
sertifikasi oleh dunia (UNESCO) tidak dimakasimalkan publikasinya ke dunia
luar.

Kesimpulan
Berikut ini kesimpulan yang dapat penulis ambil dari hasil analisa literatur
dan observasi/survey yang dilakukan di Ciletuh Palabuhanratu kabupaten
Sukabumi,
1. Jendela waktu kunjungan wisatawan yang selama ini terkonsentrasi pada waktu
liburan sekolah dan karyawan perlu di modifikasi dengan melakukan edukasi
kepada instansi penelitian, lembaga pendidikan formal ataupun lembaga non
formal lainnya dengan mengangkat tema wisata edukasi yang interaktif.
Harapannya para pemangku kepentingan bisa menyisihkan waktu untuk
berwisata pada waktu selain liburan demi mendapatkan pengetahuan yang lebih
real dilapangan.
2. Promosi yang hanya berfokus pada wisatawan lokal diharapkan bisa
dikembangkan ke wisatawan international (luar negeri) dengan melakukan
kerjasama dengan travel agent international ataupun Non Govermental
Organization (NGO) baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri.
Selain itu bisa membangun kerjasama bilateral ataupun multilateral dengan
tujuan mensosialisaskan (promosi) GCP lebih luas lagi.
3. Selain menambah PAD denga memasang target wisatawan domestik,
diperlukan juga penentuan target jumlah wisatawan asing dengan karakteristik
wisata edukasi. Hal ini secara langsung ataupun tidak langsung akan memacu
para pemegang kepentingan (stake holder) untuk berfikir keras mencapai tujuan
tersebut.
4. Geopark Palabuhanratu yang merupakan heritage dunia saat ini bukan hanya
dimiliki oleh Indonesia. Konsekuensi telah mendunianya GCP adalah dengan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 26


menjaga, merawat, mempromosikan dan melestarikaya yang tentu saja adalah
tugas dari kita semua.

Daftar Pustaka
UU Republik Indonesia No. 9 Tahun 2019.
Nainggolan, Karla. 2019. Efektivitas Bauran Promosi Wisata Geopark Ciletuh
Palabuhanratu, Jawa Barat.
Ciletuh Palabuhanratu Geopark, 2017.
Konsep Dasar Dan Penerapan A4 Dalam Dunia Pariwisata 2017. [Internet].
[Diunduh Desember 2019]. Tersedia Pada:
Https://Dinaspariwisata.Kutaitimurkab.Go.Id/News/6-Konsep-Dasar-
Dan-Penerapan-A4-Dalam-Dunia-Pariwisata
Tourism Industry Book, 2000.

3.2 Analisis Kejadian Bencana


3.2.1 Perubahan Garis Pantai Menggunakan Metode Band Ratio di Teluk
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi – Mutia Kamalia Mukhtar
(1806274373)

Abstrak
Penelitian perubahan garis pantai penting karena berubahnya garis pantai dapat
merugikan manusia. Pemantauan wilayah pesisir di Indonesia dapat lebih mudah
dikenali dengan menggunakan metode penginderaan jauh dengan proses secara
temporal dan spasial. Penggunaan metode penginderaan jauh dengan satelit
Landsat 8 dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan garis pantai dengan
menggunakan metode band ratio. Penelitian ini menghasilkan pola keruangan
perubahan garis pantai di Teluk Palabuhanratu pada tahun 2015 dan 2019 untuk
mengetahui tingkat abrasi dan akresi yang telah terjadi di Teluk Palabuhanratu.
Abrasi yang terjadi di Teluk Palabuhanratu sebesar 0,245 km2, yang terbesar
terjadi di Kecamatan Palabuhanratu dan akresi yang terjadi sebesar 0,085 km2,
yang terbesar terjadi di Kecamatan Simpenan.
Kata kunci: garis pantai, abrasi, akresi, band ratio
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau
17.504 dan garis pantai sepanjang 108.000 km memiliki potensi sumber daya
kelautan dan perikanan yang besar dan sangat beragam. Teluk Palabuhanratu
merupakan salah satu wilayah pesisir di Kabupaten Sukabumi dengan panjang
garis pantai 112 km. Pantai di sepanjang Teluk Palabuhanratu rawan akan bencana
karena merupakan perairan dalam yang curam dan dikenal memiliki ombak yang
sangat kuat sehingga dapat mengakibatkan sering terkena gelombang pasang.
Koesoemadinata (1980) menyebutkan bahwa transport sedimen sepanjang pantai
terjadi apabila pasir terangkat oleh turbulensi yang disebabkan oleh gelombang
pecah sehingga menyebabkan terjadinya erosi dan akresi di daerah pantai.
Penelitian perubahan garis pantai penting karena ekploitasi besar-besaran
terhadap pantai menyebabkan kerusakan dan berubahnya garis pantai yang
merugikan manusia (Triwahyuni, 2010). Penelitian mengenai garis pantai

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 27


diperlukan untuk memprediksi perubahan garis pantai khususnya dalam
menanggapi perubahan yang disebabkan oleh manusia (Dean dan Darlymple,
2004).
Klasifikasi wilayah pesisir dan pantai di Indonesia dapat lebih mudah
dikenali dengan menggunakan metode penginderaan jauh dengan proses secara
temporal dan spasial. Teknologi penginderaan jauh sangat mendukung dalam
identifikasi dan penilaian sumber daya di wilayah pesisir dan perubahan garis
pantai, karena memiliki keunggulan yaitu dapat meliputi daerah yang luas dengan
resolusi spasial yang tinggi, serta memberikan banyak pilihan jenis satelit
penginderaan jauh yang mempunyai keakuratan yang cukup baik dalam
mengidentifikasi obyek-obyek di permukaan bumi (Anugrahadi 2012).
Penggunaan metode penginderaan jauh dengan satelit Landsat 8 dapat
digunakan untuk mendeteksi perubahan garis pantai dengan menggunakan metode
band ratio. Dengan demikian, dalam penelitian ini akan menghasilkan pola
keruangan perubahan garis pantai di Teluk Palabuhanratu pada tahun 2015 dan
2019 untuk mengetahui tingkat abrasi dan akresi yang telah terjadi di Teluk
Palabuhanratu dan nantinya dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk
pemerintah setempat dalam menentukan rencana pengelolaan kawasan pesisir serta
pewilayahan bahaya di sepanjang kawasan Teluk Palabuhanratu.

Tinjauan Pustaka
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan.
Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat hingga cepat, tergantung
pada imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang,
pasut, dan angin. Perubahan garis pantai ditunjukkan oleh perubahan
kedudukannya, tidak saja ditentukan oleh suatu faktor tunggal tapi oleh sejumlah
faktor beserta interaksinya.
Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi terjadinya perubahan
garis pantai adalah faktor hidro-oseanografi berupa gelombang, arus, dan pasang
surut. Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai
(nearshore current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi atau abrasi di
pantai. Arus pasang surut berperan terhadap proses-proses di pantai seperti
penyebaran sedimen dan abrasi pantai. Pasang naik akan menyebarkan sedimen ke
dekat pantai, sedangkan bila surut akan menyebabkan majunya sedimentasi ke arah
laut lepas. Arus pasang surut umumnya tidak terlalu kuat sehingga tidak dapat
mengangkut sedimen yang berukuran besar. Faktor lain yang mempengaruhi
peubahan garis pantai adalah faktor antropogenik. Proses anthropogenik adalah
proses geomorfologi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Abrasi
Abrasi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan
arus laut yang bersifat merusak (Setiyono, 1996). Yuwono (2005) membedakan
antara erosi pantai dengan abrasi pantai. Erosi pantai diartikannya sebagai proses
mundurnya garis pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya
keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen. Sedang abrasi
pantai diartikan dengan proses terkikisnya batuan atau material keras seperti

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 28


dinding atau tebing batu yang biasanya diikuti oleh longsoran dan runtuhan
material.
Akresi
Akresi atau sedimentasi adalah pendangkalan atau penambahan daratan
pantai akibat adanya pengendapan sedimen yang dibawa oleh air laut (Wibowo,
2012). Akresi juga dapat merugikan masyarakat pesisir, karena selain
mempengaruhi ketidakstabilan garis pantai, akresi juga dapat menyebabkan
pendangkalan muara sungai tempat lalu lintas perahu-perahu nelayan yang hendak
melaut.

Band Ratio
Band ratio merupakan pendekatan yang digunakan untuk melengkapi
kelemahan yang dihasilkan dari pendekatan threshold. Kelemahan dari pendekan
threshold adalah tidak akurat digunakan pada pantai berlumpur dan bervegetasi.
Kemudian pendekatan band ratio digunakan untuk memperoleh piksel yang lebih
informatif. Rasio band Near infrared dengan band hijau (b2/b4 pada Landsat 5 dan
7; b3/b5 pada Landsat 8), menghasilkan batas darat-air pada daerah pantai yang
tertutup oleh vegetasi. Sedangkan rasio band SWIR-1 dengan band hijau (b2/b5
pada Landsat 5 dan 7; b3/b6 pada Landsat 8) diperoleh garis pantai dari daerah
yang tertutup oleh pasir dan tanah (Alesheikh, dkk. 2007).

Metode Penelitian

Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan melalui studi literatur dari buku-buku yang
membahas tentang pemanfaatan penginderaan jauh, serta karakteristik kawasan
pesisir yang diperoleh dari jurnal-jurnal dan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya yang berkaitan dengan perubahan kawasan pesisir. Informasi yang
didapat dari studi literatur ini akan digunakan sebagai acuan untuk membuat
penelitian ini.

Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari citra satelit Landsat 8 tahun
2015 dan 2019 Kabupaten Sukabumi yang didapat dari USGS. Data sekunder yaitu
peta RBI Kabupaten Sukabumi yang didapat dari Badan Informasi Geospasial, data
pasang surut yang didapat dari Badan Informasi Geospasial, data arus permukaan
laut yang didapat dari Badan Informasi Geospasial, dan data sistem lahan yang
didapat dari Badan Informasi Geospasial.
Setelah itu, penulis melakukan wawancara dengan pihak Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sukabumi guna mendapatkan
informasi tentang abrasi dan akresi yang terjadi di Teluk Palabuhanratu. Tahapan
selanjutnya adalah pengamatan lapangan. Pengamatan ini bertujuan untuk
verifikasi atau memeriksa kesesuaian antara data hasil studi pustaka, dan
wawancara yang diperoleh, dengan kondisi kenyataan di lapangan. Pengamatan
lapangan dilakukan juga untuk melihat kondisi terkini pantai yang terkena abrasi
maupun akresi yang terdeteksi dari citra satelit.

Analisis Data

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 29


Analisis data yang utama dalam penelitian ini berupa analisis spasial untuk
menyusun pola keruangan perubahan garis pantai di Teluk Palabuhanratu pada
tahun 2015 dan 2019. akan dilakukan pengolahan citra satelit Landsat 8 dengan
memotong citra sesuai studi kasus menggunakan peta RBI Kabupaten Sukabumi
lalu akan digunakan metode band ratio untuk menghasilkan garis pantai pada
masing-masing citra. Kedua garis pantai yang telah dihasilkan akan di overlay
untuk mendapatkan besaran luas abrasi dan akresi yang terjadi. Data sekunder yang
telah didapatkan akan dianalisis bersama dengan besaran abrasi dan akresi yang
telah ditemukan dan akan dihasilkan Peta Pola Keruangan Perubahan Garis Pantai
Dengan Metode Band Ratio di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Tahun
2015 dan 2019. Alur proses penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian


Sumber: Penulis, 2019

Deskripsi Hasil Observasi


Teluk Palabuhanratu merupakan sebuah perairan teluk yang terletak di
Kabupaten Sukabumi dan berbatasan langsung dengan 4 kecamatan yakni
Kecamatan Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, dan Kecamatan Simpenan. Teluk
Palabuhanratu berada pada koordinat 06o 57’ - 07o 07’ LS dan 106o 22’ – 106o 33’
BT. Teluk Palabuhanratu merupakan teluk terbesar di sepanjang pantai selatan
Pulau Jawa. Panjang garis pantainya mencapai 112 km.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, Teluk Palabuhanratu
merupakan wilayah yang rentan terhadap gelombang ekstrim dan abrasi. Wilayah
yang paling rentan terhadap gelombang ekstrim dan abrasi di Teluk Palabuhanratu
adalah Kecamatan Palabuhanratu. Hal ini diakibatkan letak Kecamatan
Palabuhanratu di tengah dari Teluk Palabuhanratu. Peristiwa gelombang ekstrim
ini umumnya terjadi pada saat musim hujan, karena angin dan arus yang kuat
selama musim huhan musim hujan di Teluk Palabuhanratu.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 30


Hasil dan Pembahasan

Perubahan Garis Pantai


a. Kecamatan Cisolok

Gambar 2. Perubahan Garis Pantai di Kecamatan Cisolok


Sumber: Pengolahan data, 2019

Kecamatan Cisolok mengalami abrasi terbanyak setelah Kecamatan


Palabuhanratu dengan luas abrasi sebesar 0,0495 km2. Abrasi banyak terjadi di sisi
timur, hal ini disebabkan oleh sisi timur dan barat Cisolok memiliki geologi yang
disusun oleh alluvium (gambar 2) yang merupakan pantai tipe I (pantai berpasir).
Pantai tipe ini (gambar 3) dicirikan oleh relief rendah dengan kemiringan kurang
dari 10°. Berdasarkan energi flux gelombang tipe pantai ini didominasi oleh proses
abrasi marin (Setiady et al, 2015).

Gambar 3. Kondisi Pantai Kecamatan Cisolok


Sumber: Penulis, 2019

Kecamatan Cisolok mengalami akresi sebesar 0,0117 km 2. Akresi banyak


terjadi di tengah Kecamatan Cisolok yang merupakan pantai tipe IV (gambar 4).
Pantai tipe ini dicirikan oleh singkapan batuan dasar berupa batupasir, breksi, dan
terumbu koral.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 31


Gambar 4. Kondisi Pantai di Kecamatan Cisolok
Sumber: Penulis, 2019

b. Kecamatan Cikakak

Gambar 5. Perubahan Garis Pantai di Kecamatan Cikakak


Sumber: Pengolahan data, 2019

Kecamatan Cikakak mengalami abrasi sebesar 0,0351 namun Kecamatan


Cikakak tidak mengalami akresi sama sekali. Pantai di Kecamatan Cikakak
didominasi oleh batuan extrusive berupa batuan dari lava andesit dan polymict
(gambar 5) yang diklasifikasikan sebagai pantai tipe II (pantai berpasir, berkerikil
dan berbongkah atau gravel). Pantai tipe ini secara umum dicirikan oleh
kemiringan paras pantai yang relatif rendah hingga sedang (10° -15°) dengan
pelamparan batuan lepas berukuran kerikil hingga bongkah dengan bentuk butir
relatif membundar (gambar 6). Batuan lepas ini hasil rombakan batuan Anggota
Ciseureuh yang tersingkap (Setiady et al, 2015). Karena pantainya yang berkerikil,
sehingga akresi sulit terjadi dan abrasi pun hanya sedikit terjadi di Kecamatan ini.

Gambar 6. Kondisi Pantai di Kecamatan Cikakak

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 32


Sumber: Penulis, 2019

c. Kecamatan Palabuhanratu

Gambar 7. Perubahan Garis Pantai di Kecamatan Palabuhanratu


Sumber: Pengolahan data, 2019

Kecamatan Palabuhanratu mengalami abrasi yang sangat signifikan


sebesar 0,150 km2 sehingga Kecamatan Palabuhanratu mengalami akresi yang
sangat kecil sebesar 0,0009 km2. Pantai di Kecamatan Palabuhanratu didominasi
oleh pantai tipe I (pantai berpasir) seperti di gambar 8. Pantai tipe ini dicirikan oleh
relief rendah dengan kemiringan kurang dari 10° (Setiady et al, 2015). Geologi nya
disusun oleh alluvium yang ditunjukkan berwarna oranye muda pada gambar 7,
karena pantainya yang berpasir sehingga mudah terjadi abrasi.

Gambar 8. Kondisi Pantai di Kecamatan Palabuhanratu


Sumber: Penulis, 2019

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 33


d. Kecamatan Simpenan

Gambar 9. Perubahan Garis Pantai di Kecamatan Simpenan


Sumber: Pengolahan data, 2019

Kecamatan Simpenan mengalami abrasi yang sangat kecil yaitu 0,010 km2
namun Kecamatan Simpenan mengalami akresi terbesar di Teluk Palabuhanratu
sebesar 0,0729 km2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiady et al
(2015) pantai di selatan muara sungai Ci Mandiri merupakan pantai tipe I (pantai
berpasir). Pantai tipe ini dicirikan oleh relief rendah dengan kemiringan kurang dari
10°. Geologi nya disusun oleh alluvium yang ditunjukkan berwarna oranye muda
pada gambar 9, berukuran pasir homogen hasil pelapukan dan transportasi Sungai
Cimandiri yang dipengaruhi proses marin dimana pasir pantainya membentuk delta
sepanjang kurang lebih 1,5 km (gambar 10).

Gambar 10. Kondisi Pantai di Kecamatan Simpenan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 34


Sumber: Penulis, 2019

Sedangkan sisanya merupakan pantai tipe III (batuan dasar lava andesit),
pantai tipe ini dicirikan oleh kemiringan paras pantai tinggi (di atas 15°) bahkan di
beberapa lokasi mencapai 20°, dengan reilef bertebing (gambar 11). Paras
pantainya merupakan satuan batuan Formasi Jampang. Formasi Jampang berasal
dari lava andesit basal yang ditunjukkan berwarna biru tua pada gambar 9, breksi,
dan batupasir. Berdasarkan energi flux gelombang pada pantai tipe ini proses abrasi
dan akrasi relatif seimbang (relatif stabil).

Gambar 11. Kondisi Pantai di Kecamatan Simpenan


Sumber: Penulis, 2019

Faktor Oseanografi
Gelombang yang terekam di perairan Teluk Pelabuhan Ratu adalah swell
yang datang dari Samudera Hindia (Chen et al, 2015) Teluk Pelabuhan Ratu
membuka ke arah baratdaya dan dikelilingi oleh kawasan pegunungan. dengan
konfigurasi seperti itu memberikan gambaran bahwa perairan teluk itu terlindungi
dari angin yang datang dari arah timur. Peristiwa tersebut dapat di analisis dari arus
permukaan laut serta pasang surut.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 35


a. Arus

(a) (b)
Gambar 12. Arus Laut di Teluk Palabuhanratu (a) 2015, (b) 2019
Sumber: tides.big.go.id, 2019

Arus di perairan Teluk Palabuhanratu didominasi oleh pengaruh dari


pasang surut. Kecepatan arus laut yang terekam pada tanggal 2 Oktober 2015 dan
13 Oktober 2019 (gambar 12) antara 0,178 – 0,539 m/s. Pada saat menuju surut
ataupun menuju pasang kecepatan arus laut semakin besar sedangkan pada saat
pasang maksimum dan surut minimum, arus melemah. Pada tanggal 2 Oktober
2015 arah arus di perairan Teluk Palabuhanratu datang dari arah Barat Daya dan
kemudian berbelok ke arah Selatan dengan kecepatan 0,178 m/s. Pada tanggal 13
Oktober 2019 arah arus di perairan Teluk Palabuhanratu datang dari arah Selatan
menuju ke arah Barat Daya dengan kecepatan 0,539 m/s.
b. Pasang Surut

Gambar 13. Pasang Surut Air Laut di Teluk Palabuhanratu


Sumber: Pengolahan data, 2019

Perairan Teluk Palabuhanratu merupakan wilayah yang berada di Pantai


Selatan Jawa. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, perairan Teluk
Palabuhanratu memiliki tipe pasang-surut tipe campuran condong ke harian ganda
(mixed tide prevailing semidiurnal) seperti pada gambar 13. Pasang-surut tipe ini
memiliki karakteristik dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan dua kali surut
tetapi dengan tinggi dan periode yang berbeda. Data pasang surut yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data prediksi pasang surut yang berasal dari data
reanalysis oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 36


Dapat dilihat pada tanggal 2 Oktober 2015 terjadi pasang pertama pada
pukul 03.00 dengan ketinggian muka air mencapai 0,433 m. Pasang kedua terjadi
pada pukul 15.00 dengan ketinggian muka air mencapai 0,772 m. Kondisi surut
pada tanggal 2 Oktober 2015 juga terjadi dua kali yaitu pada pukul pada pukul 9.00
dengan ketinggian -0,555 m dan pada pukul 22.00 dengan ketinggian -0,618 m.
Citra Landsat 8 biasanya melakukan perekaman citra pada pukul 10.00. Dapat
dilihat dari gambar, kondisi perairan sedang dalam keadaan surut. Pada tanggal 2
Oktober 2015 ketinggian muka air pada pukul 10.00 adalah -0,458 m dan pada 13
Oktober 2019 ketinggian muka airnya adalah 0,139 m.

Kesimpulan
Pemanfaatan penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau
perubahan garis pantai di daerah yang luas. Abrasi yang terjadi di Teluk
Palabuhanratu sebesar 0,245 km2, yang terbesar terjadi di Kecamatan
Palabuhanratu dan akresi yang terjadi sebesar 0,085 km2, yang terbesar terjadi di
Kecamatan Simpenan. Umumnya pantai yang mengalami abrasi memiliki pantai
tipe I (pantai berpasir) yang berrelief rendah dan geologinya disusun oleh alluvium
seperti di Kecamatan Palabuhanratu. Sedangkan pantai yang mengalami akresi
umumnya disebabkan oleh sedimentasi dari muara sungai Cimandiri.

Daftar Pustaka
Alesheikh, dkk, 2007. Coastline Change Detection Using Remote Sensing, Int. J.
Environ. Sci. Tech., 4 (1): 61-66, 2007, ISSN: 1735-1472, © Winter 2007,
IRSEN, CEERS, IAU.
Anugrahadi, A, dkk. 2012. Analisis Citra Aster GDEM untuk Mengetahui Slope di
Daerah yang Terkena Abrasi dan Akresi. Mataram: Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) ISOI IX (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia).
Chen, S., Liang, G., Chen, H. & Zhou, R. (2015). The effect of long-time strong
wave condition on breakwater construction. Procedia Engineering. 116,
203-212. DOI: 10.1016/j.proeng. 2015.08.283.
Dean RG, Dalrymple RA. 2004. Coastal Processes with Engineering Applications.
Cambridge (UK): Cambridge Press.
Koesoemadinata, R.P., 1980, Geologi Minyak Dan Gas Bumi Jilid 1 dan 2, Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Triwahyuni A, PurbaM, Agus SB. 2010. Pemodelan Perubahan Garis Pantai Timur
Tarakan, Kalimantan Timur. Ilmu Kelautan: Indonesia. J Mar Sci (Edisi
Khusus). 1: 9-23.
Setiyono. (1996). Kamus Oceanografi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Setyadi, D., Sarmili, L. 2015. Proses Akrasi Dan Abrasi Berdasarkan Pemetaan
Karakteristik Pantai Dan Data Gelombang Di Teluk Pelabuhan Ratu Dan
Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Geologi Kelautan: 13-
37
Yuwono N., 2005,” Pedoman Teknis Perencanaan Tanggul dan Tembok Laut (Sea
Dikes and Sea Wall)”, Jakarta.
Wibowo, Y.A. 2012. Studi Perubahan Garis Pantai di Muara Sungai Porong.
[Skripsi]. Universitas Hang Tuah Surabaya.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 37


3.2.2 Pola Sebaran Kekeringan di Kecamatan Simpenan Menggunakan
Metode SPI (Standardized Precipitation Index) - Ratri Widyastuti
(1806274392)

Abstrak
Monitoring kekeringan menjadi kegiatan yang penting untuk dilakukan dengan
berbagai macam metode. Salah satu metode yang biasa digunakan yaitu
Standardized Precipitation Index (SPI). Metode ini dapat mengukur kekurangan
curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Perhitungan
nilai SPI dilakukan berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan sebagai
fungsi frekuensi atau peluang kejadian dengan menggunakan software SCOPIC.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran kekeringan di Kecamatan
Simpenan berdasarkan analisis indeks presipitasi terstandarisasi yaitu sangat
basah, basah, agak basah, normal, kering, agak kering, sangat kering, dan kaitannya
dengan produktivitas pertanian unggulan di Kecamatan Simpenan yaitu padi sawah
dan bawang merah. Hasil analisis kemudian dipetakan dengan arcgis menggunakan
metode Inverse Distance Weighted (IDW) untuk melihat secara spasial pola
sebaran kekeringan. indeks SPI, dan pengaruhnya terhadap hasil produktivitas
pertanian unggulan yaitu padi sawah dan bawang merah. Peningkatan produksi
pertanian dapat dilakukan melalui berbagai strategi adaptasi dan upaya penanganan
bencana, salah satu upaya tersebut adalah dengan penyediaan informasi iklim
terkait penentuan daerah-daerah rawan kekeringan. Hasil penelitian ini
menunjukkan indeks kekeringan di Kecamatan Simpenan bervariasi setiap
bulannya diikuti dengan penurunan hasil produktivitas pertanian padi sawah dan
bawang merah.

Kata kunci: Kekeringan, Standard Perecipitation Index, Inverse Distance


Weighted

Pendahuluan
Kekeringan merupakan ancaman yang rutin terjadi setiap tahunnya di
beberapa wilayah Indonesia. Daerah aliran sungai yang mengering dan sumur yang
mengering adalah salah satu dampak besar dari ancaman kekeringan yang dapat
mengakibatkan terganggunya manusia dalam melakukan aktifitas. Kekeringan
adalah salah satu ancaman yang terjadi secara perlahan dan berlangsung lama
hingga musim hujan tiba. Kekeringan erat kaitannya dengan berkurangnya curah
hujan, suhu udara di atas normal, kelembaban tanah rendah, dan pasokan air
permukaan yang tidak mencukupi.
Permasalahan kekeringan di Indonesia dirasakan di sebagian wilayah
termasuk di Kabupaten Sukabumi. Dalam hal ini merupakan tanggung jawab
pemerintah untuk menanggulangi bencana kekeringan yang terjadi. Kekeringan
merupakan permasalahan bagi masyarakat yang dapat menganggu aktivitas sehari
– hari seperti krisis air untuk kebutuhan makan, cuci, mandi dan minum serta dapat
menyebabkan turunnya kualitas panen, bahkan menyebabkan gagalnya panen, dan
berpotensi menyebabkan kebakaran hutan ketika musim kemarau. Untuk
Kabupaten Sukabumi meliputi Sembilan kecamatan yang berada di kawasan
pesisir selatan Pajampangan hingga Cisolok. Antara lain Surade, Sumber Jaya

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 38


(Tegal buled), Jampangkulon, Ciracap, Simpenan, Palabuhanratu, Ciemas,
Jampang Tengah, Cikakak dan Cisolok (Republika, 2019)
Salah satu indeks sederhana yang digunakan untuk mengetahui kejadian
kekeringan adalah metode Standardized Precipitation Index (SPI) yang
dikembangkan oleh McKee tahun 1993, dengan mengukur kekurangan/defisit
curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Indeks SPI
mengandalkan prinsip defisit curah hujan di suatu daerah dari rata ratanya, hanya
saja untuk perhitungan indeks SPI data curah hujan telah distandarkan terlebih
dahulu.
Metode SPI banyak digunakan dalam analisa kekeringan di Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh kemampuan SPI dalam mengatasi keragaman karakteristik
curah hujan berbagai daerah, sehingga dalam analisa kekeringan, setiap nilai SPI
menggambarkan kondisi kekeringan yang sama di setiap daerah. Kelebihan ini
mempermudah kegiatan analisa, ketika harus melakukan analisa spasial
kekeringan. Selain itu, indeks SPI juga dapat digunakan pada berbagai skala waktu,
sehingga mudah untuk melihat kekeringan yang terjadi apakah merupakan hasil
dari defisit hujan untuk waktu yang lebih panjang atau pendek. Dengan demikian,
penelitian ini akan menghasilkan peta sebaran kekeringan tahun 2019 dan
kaitannya dengan produksi pertanian unggulan di Kecamatan Simpenan.
Tinjauan Pustaka
Kekeringan
Kekeringan sulit untuk dapat didefinisikan secara tepat. Secara umum
kekeringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan air untuk
memenuhi kebutuhan (Bayong, 2002). Adapun definisi lain kekeringan merupakan
suatu fenomena yang normal, biasanya terjadi secara berulang sesuai dengan
iklimnya. Kekeringan hampir terjadi dimanapun, walaupun kejadiannya bervariasi
dari wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Mendefinisikan kekeringan
merupakan hal yang sulit karena sangat bergantung pada perbedaan wilayah,
kebutuhan, sudut pandang disiplin ilmu. Secara garis besar, kekeringan terjadi
akibat kurangnya curah hujan yang turun selama beberapa kurun waktu tertentu
dan mengakibatkan kekurangan air untuk beberapa kegiatan, kelompok, di
beberapa wilayah (The National Drought Mitigation Center, 2014).
Menurut Shelia B. Red (1995) kekeringan bisa dikelompokan berdasarkan
jenisnya yaitu: kekeringan meteorologis, kekeringan hidrologis, kekeringan
pertanian, dan kekeringan sosial ekonomi.
a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan besaran curah hujan yang terjadi
berada dibawah kondisi normalnya pada suatu musim. Perhitungan tingkat
kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi
kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis adalah
sebagai berikut :
1. Kering apabila curah hujan antara 70% - 85% dari kondisi normal (curah
hujan dibawah normal).
2. Sangat kering : apabila curah hujan antara 50% - 70% dari kondisi normal
(curah hujan jauh dibawah normal).

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 39


3. Amat sangat kering : apabila curah hujan < 50% dari kondisi normal (curah
hujan amat jauh dibawah normal)
b. Kekeringan hidrologis
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka
air sungai, waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya
curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air
tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal
terjadinya kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis
adalah sebagai berikut :
1. Kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran dibawah
periode 5 tahunan.
2. Sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh
dibawah periode 25 tahunan
3. Amat sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran
amat jauh dibawah periode 50 tahunan.
c. Kekeringan Pertanian
Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air
dalam tanah (lengas tanah) sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi
setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Intensitas kekeringan
berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut :
1. Kering : apabila ¼ daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena
ringan s/d sedang).
2. Sangat kering : apabila ¼ -2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun
(terkena berat).
3. Amat sangat kering : apabila seluruh daun kering (terkena puso)
d. Kekeringan sosioekonomi
Berhubungan dengan ketersediaan dan permintaan akan barang–barang
dan jasa dengan tiga jenis kekeringan yang disebutkan diatas. Ketika
persediaan barang–barang seperti air, jerami atau jasa seperti energi listrik
tergantung pada cuaca, kekeringan bisa menyebabkan kekurangan. Konsep
kekeringan sosioekonomi mengenali hubungan antara kekeringan dan
aktivitas–aktivitas manusia. Sebagai contoh, praktek–praktek penggunaan
lahan yang jelek semakin memperburuk dampak–dampak dan kerentanan
terhadap kekeringan di masa mendatang.
Ada gejala dan tanda-tanda akan terjadi kekeringan pada suatu wilayah, dan
biasanya BMKG bisa memprediksi bencana kekeringan. Gejala dan tanda-tanda
ancaman kekeringan antara lain sebagai berikut:
a. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah
normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis
merupakan indikasi pertama adanya bencana kekeringan.
b. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka
air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan hidrologis bukan
merupakan indikasi awal adanya kekeringan.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 40


c. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah
(kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah
yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.

Standardized Precipitation Index (SPI)


Metode SPI (Standardized Precipitation Index) pertama kali dikembangkan
oleh McKee tahun 1993 yang merupakan salah satu metode perhitungan indeks
kekeringan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi peristiwa kekeringan
dan untuk mengevaluasi tingkat kekeringan berdasarkan nilai-nilai dari klasifikasi
tingkat kekeringannya (McKee et al. 1993). Menurut Bordi et al. (2009), SPI
banyak digunakan karena dapat memberikan perbandingan yang handal dan relatif
mudah digunakan pada kondisi iklim dan
tempat yang berbeda. Metode ini dapat menggambarkan dampak kekeringan baik
jangka pendek maupun jangka panjang karena menggunakan data statistik yang
konsisten.
SPI dapat dihitung pada skala waktu 1 bulanan, 2 bulanan, dan maksimal 72
bulanan (World Meteorological Organization, 2012). SPI yang digunakan dalam
penelitian ini adalah SPI 1 bulanan dan SPI 3 bulanan. SPI 1 bulanan dan 3 bulanan
cocok untuk analisa pertanian karena berkaitan dengan lengas tanah. Selain itu, SPI
3 bulanan juga sesuai untuk estimasi pada tipe hujan musiman (World
Meteorological Organization, 2012).
Pada perhitungan SPI semakin panjang data historis yang digunakan, maka
akan menghasilkan hasil yang semakin baik. Contohnya, apabila kita
menggunakan data historis curah hujan selama 50 tahun, maka hasilnya akan lebih
baik dari pada menggunakan data historis 20 tahun. Namun, untuk membentuk
suatu peluang kumulatif dari curah hujan lebih baik menggunakan data historis
minimal 30 tahun. Data curah hujan diolah menjadi nilai SPI menggunakan
software SCOPIC. Data indeks hasil running dari software SCOPIC yang
kemudian digunakan untuk menentukan kondisi kekeringan seperti disajikan pada
Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Klasifikasi Kekeringan Berdasarkan Nilai SPI
Klasifikasi kekeringan Nilai SPI
Sangat basah ≥ 2,00
Basah 1,50 sd 1,99
Agak basah 1,00 sd 1,49
Normal -0,99 sd 0,99
Agak Kering -1,00 sd -1,49
Kering -1,50 sd -1,99
Sangat kering ≤ -2,00
Sumber: T.B. Mc Kee dalam Sani. I, 2006

Data dan Metode Penelitian


Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 41


a. Data curah hujan dari pos penakar hujan di Kecamatan Simpenan tahun
2019 yang bersumber dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG).
b. Data produksi pertanian padi sawah dan bawang merah tahun 2019 di
Kecamatan Simpenan yang bersumber dari Dinas Pertanian Kabupaten
Sukabumi.
Metode Penelitian
Secara garis besar tahapan yang dilakukan dalam penelitian ni adalah
sebagai berikut:
a. Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan jurnal-jurnal
penelitian terdahulu yang membahas tentang studi kekeringan
menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index). Hasil dari
studi literatur ini yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam
pembahasan dalam penelitian ini.
b. Tahap pengumpulan data
Mengumpulkan data primer yaitu curah hujan bulanan Kecamatan
Simpenan dari pos penakar hujan yang berasal dari stasiun hujan milik
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).Kemudian
Penulis melakukan pengumpulan data produksi pertanian di Kecamatan
Simpenan dengan mengunjungi langsung Dinas Pertanian Kabupaten
Sukabumi guna mendapatkan informasi langsung dari pihak terkait.
c. Menghitung rata-rata curah hujan bulanan
Curah hujan bulanan dihitung dengan membagi jumlah curah hujan
bulanan (mm) dengan jumah hari hujan setiap bulannya.
d. Pembobotan Kekeringan
Hasil perhitungan rata-rata curah hujan bulanan kemudian dikonversi
kedalam nilai indeks kekeringan SPI yang didapatkan dari hasil running
menggunakan software SCOPIC.
e. Pemetaan Indeks Kekeringan
Pembuatan peta administrasi Kecamatan Simpenan serta input data
dengan menggunakan software ArcGIS 10.4 melalui metode Metode
Inverse Distance Weighted (IDW) memiliki asumsi bahwa setiap titik
input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal dan berkurang terhadap
jarak. Pada metode interpolasi IDW pada umumnya dipengaruhi oleh
inverse jarak yang diperoleh dari persamaan matematika. Pengaruh akan
lebih besar dari titik input dengan titik yang lebih dekat sehingga
menghasilkan permukaan yang lebih detail. Namun seiring bertambahnya
jarak pengaruh akan semakin berkurang detailnya dan terlihat lebih halus
untuk mengetahui persebaran secara spasial dan identifikasi daerah yang
mengalami kekeringan.
f. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian dilakukan berupa analisis spasial pola
sebaran kekeringan berdasarkan hasil pengolahan pemetaan indeks
kekeringan guna mengetahui pola sebaran kekeringan yang terjadi di
Kecamatan Simpenan sepanjang tahun 2019. Data produksi pertanian

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 42


dilakukan menggunakan analisis deskriptif guna mengetahui jumlah
produksi pertanian di Kecamatan Simpenan dan dihubungkan dengan
kejadian kekeringan yang terjadi di Kecamatan Simpenan tahun 2019.
Alur proses penelitian ditampilkan pada gambar sebagai berikut :

Gambar 14. Diagram Alir Penelitian


Sumber: Penulis, 2019

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 43


Hasil dan Pembahasan
Analisis Sebaran Kekeringan Bulan Januari – April 2019

Gambar 2. Peta Sebaran Kekeringan Januari-April 2019


Sumber: Penulis, 2019

Pada bulan Januari hingga Februari secara keseluruhan kondisi di


Kecamatan Simpenan berada pada kategori Agak Basah hingga Basah (1-1,71).
Memasuki bulan Maret sebagian wilayah Kecamatan Simpenan berada pada
kategori normal (-0,99) yaitu di wilayah Loji, Sangrawayang bagian utara,
Kertajaya bagian Barat Laut, Cidadap bagian Barat, Cibuntu bagian Selatan. Pada
bulan April sebagian besar wilayah di Kecamatan Simpenan berada pada kategori
normal kecuali di wilayah Loji berada pada kategori Agak Kering (-1,09).

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 44


Analisis Sebaran Kekeringan Bulan Mei-Agustus 2019

Gambar 15. Peta Sebaran Kekeringan Bulan Mei-Agustus 2019


Sumber: Penulis, 2019

Pada bulan Mei hingga Juni 2019 beberapa wilayah di Kecamatan


Simpenan sudah mulai memasuki kategori agak kering hingga sangat kering .
Kategori sangat kering terjadi di wilayah Kertajaya bagian Timur dan sebagian
kecil wilayah Loji bagian Tenggara. Untuk kategori normal pada bulan Mei masih
terdapat di sebagian wilayah Mekarasih dan Sangrawayang hingga bulan Juni.
Memasuki bulan Juli hingga Agustus 2019 kondisi wilayah di Kecamatan
Simpenan secara keseluruhan berada pada kategori agak kering hingga kering yang

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 45


merata di seluruh wilayah Loji, Cidadap, Cibuntu, Mekarasih, Sangrawayang,
Kertajaya, Cihaur.

Analisis Sebaran Kekeringan Bulan September-Oktober 2019

Gambar 4. Peta Sebaran Kekeringan Bulan September-Oktober


Sumber: Penulis, 2019

Pada Bulan September hingga November kondisi wilayah di Kecamatan


Simpenan yang meliputi desa Mekarasih, Cibuntu, Cidadap, Loji, Kertajaya,
Cihaur, Sangrawayang secara keseluruhan berada pada kategori Kering.

Analisis Produktivitas Pertanian di Kecamatan Simpenan Tahun 2019

Gambar 5. Grafik Produktivitas Tanaman Padi Sawah Dan Bawang Merah Tahun 2019

Pada proses produksi pertanian kondisi iklim merupakan faktor eksogen


yang sulit dikontrol sehingga pada penggunaan input dan teknologi yang sama
produksi yang dicapai petani tidak selalu sama dengan produksi yang diharapkan
akibat pengaruh cuaca dan iklim. Di Kecamatan Simpenan terdapat 2 jenis varietas
pertanian yang menjadi unggulan yaitu padi dan bawang merah. Produktivitas
tanaman padi seperti terlihat pada gambar 5 pada bulan Januari hingga Oktober

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 46


mengalami penurunan. Produktivitas tertinggi terjadi pada bulan Maret yang
mencapai 296 ton/ha. Sedangkan produktivitas terendah terjadi pada bulan Agustus
sebesar 54 ton/ha. Berdasarkan hasil perhitungan indeks SPI pada bulan Maret
kondisi kekeringan di Kecamatan Simpenan berada pada kategori Agak Basah
hingga normal, sedangkan pada bulan Agustus kondisi di Kecamatan Simpenan
berada pada kategori kering.
Untuk produktivitas bawang merah, hasil produksi tertinggi terjadi pada
bulan Februari yang mencapai 70 kwintal/ha, sedangkan produktivitas terendah
terjadi pada bulan Agustus sebesar 43 kwintal/ha. Sesuai dengan hasil perhitungan
indeks SPI bahwa pada bulan Februari kondisi di Kecamatan Simpenan berada
pada kategori basah hingga agak basah, sedangkan pada bulan Agustus berada pada
kategori kering.
Pada periode kekeringan yaitu bulan Mei hingga Oktober produktivitas
pertanian memang mengalami penurunan namun masih dalam taraf aman dan tidak
mengalami gagal panen (puso). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara
dengan petani di Kecamatan Simpenan untuk mengatasi kekeringan mereka
membuat tampungan air sendiri seperti yang terjadi di desa Loji, para petani
menampung air di musim hujan (bank air) kemudian dialirkan ke sawah di musim
kemarau menggunakan pompa. Ada juga yang membuat membangun sumur
dangkal (sumur bor) di lahan-lahan yang mengalami kekeringan. Sumur bor ini
dalamnya bisa mencapai 60 meter. Ini juga cukup membantu dalam mengatasi
kekeringan dan mengantisipasi terjadinya gagal panen.

Gambar 6. Kondisi Sawah Di Desa Loji, Oktober 2019

Kesimpulan
Besaran indeks kekeringan dengan metode Standardized Precipitation
Indeks (SPI) di Kecamatan Simpenan menunjukkan hasil indeks yang berbeda-
beda pada masing-masing periode defisit 1 bulan. Indeks kekeringan tertinggi
terjadi pada bulan Januari – Februari (1-1,71) dengan kategori agak basah hingga
basah. Indeks kekeringan terendah terjadi pada bulan September- Oktober (-1,50
s/d -1,99). Hasil kekeringan dengan metode Standardized Precipitation Indeks
(SPI) terhadap hasil produktivitas pertanian unggulan di Kecamatan Simpenan
yaitu bawang merah dan padi sawah mengindikasikan adanya kesesuaian.
Produktivitas padi sawah tertinggi pada bulan Maret dimana kondisi ini
sesuai dengan indeks kekeringan yang terjadi di bulan Maret berada pada kategori
agak basah hingga normal. Produktivitas padi sawah terendah terjadi pada bulan
Agustus dimana kondisi ini sesuai dengan hasil indeks kekeringannya yang berada
pada kategori kering. Sedangkan produktivitas bawang merah tertinggi terjadi di
bulan Februari dimana kondisi ini sesuai dengan indeks kekeringannya yang

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 47


berada pada kategori agak basah hingga basah. Produktivitas bawang merah
terendah terjadi pada bulan Agustus, dimana hal ini sesuai dengan indeks
kekeringan pada bulan Agustus yang berada pada kategori kering.

Daftar Pustaka
Adi Prasetya, Nugraha. (2012). Analisis Kekeringan Daerah Aliran Sungai
Keduang dengan Menggunakan Metode Palmer. Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
Hadiyanto, S. 2007. Pola Tingkat Kerawanan Kekeringan di Jawa Tengah. Tesis :
Departemen Geografi FMIPA UI.
Hayes, M.J. et al. (1999). Monitoring the 1996 Drought Using the Standardized
Precipitation Index. Bulletin of the American Meteorological Society, Vol.
80, No. 3, March 1999.
Kumar, M. N., Murthy, C. S., Sai, M. V. R. S., Roy, P. S. (2009). On the Use of
Standardized Precipitation Index (SPI) for Drought Intensity Assessment.
Meteorological Application, 16 (3), hal 381-389.
Muliawan, Hadi. (2012). Analisa Indeks Kekeringan Dengan Metode Standardized
Precipitation Index (Spi) Dan Sebaran Kekeringan Dengan Geographic
Information System (Gis) Pada Das Ngrowo. Universitas Brawijaya, Malang
McKee, T. B., Doesken, N. J., dan Kleist, J. (1993). The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scales, Dalam: Conference on Applied
Climatology, diedit oleh: Department of Atmospheric Science – Colorado
State University, Anaheim California.
Nugroho, S. P. (2001). Prediksi Kekeringan Pengaruh El Nino Tahun 2001-2002
dan Pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Mengantisipasinya.
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 2 (1), hal. 75-80.
Triatmoko, D., Susandi,A., Mustofa, M.A., dan Makmur, E.E.S. (2012).
Penggunaan Metode Standardized Precipitation Index Untuk Identifikasi
Kekeringan Meteorologi di Wilayah Pantura Jawa Barat. Tim Publikasi
Online Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,
Institut Teknologi Bandung
Tri Nurjianto, Bayu. (2012). Analisis Kekeringan DAS Amprong-Malang dengan
Metode (SPI) Standardized Precipitation Index. Universitas Pembangunan
Nasional Veteran, Jawa Timur
World Meteorological Organization. (2012). Standardized Precipitation Index
User Guide (WMO-No. 1090). Geneva: World Meteorological Organization.
Utami, Dwi. (2013). Prediksi Kekeringan Berdasarkan Standardized Precipitation
Index (Spi) Pada Daerah Aliran Sungai Keduang Di Kabupaten Wonogiri.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 48


3.2.3 Pola Persebaran Tingkat Kerawanan Banjir di Kecamatan Pelabuhan
Ratu, Kabupaten Sukabumi - Kartika (1806241910)

Abstrak
Palabuhanratu merupakan salah satu kabupaten di Sukabumi yang sering terjadi
banjir saat musim penghujan. Selain faktor curah hujan yang tinggi, beberapa
faktor lain seperti kemiringan lereng dan ketinggian lahan, jenis tanah dan
penggunaan lahan serta sungai digunakan sebagai parameter pada penelitian
tingkat kerawanan banjir. Penelitian ini menggunakan metode overlay dengan
scoring antara parameter-parameter yang ada, dimana setiap parameter dilakukan
proses scoring dengan pemberian bobot dan nilai yang sesuai dengan
pengklasifikasiannya masing-masing yang kemudian dilakukan overlay
memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil analisis persebaran lokasi
rawan banjir terjadi di hampir seluruh bagian di Kecamatan Palabuhanratu. Rincian
kategori daerah rawan banjir yaitu sebesar 34,04% atau seluas 5537583 m2, daerah
cukup rawan banjir sebesar 64,20% atau seluas 10442819 m2 dan daerah tidak
rawan banjir sebesar 1,76% atau seluas 285596 m2. Sementara itu, kemiringan
lereng menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir. Hal ini disebabkan oleh
wilayah yang cenderung datar dan rendah sehingga berpotensi menjadi tampungan
air ketika hujan yang mengakibatkan terjadi banjir.
Kata Kunci: Banjir, Palabuhanratu, Overlay, Scoring, Sistem Informasi Geografis

Pendahuluan
Besarnya air yang menjadi limpasan menyebabkan meluapnya air sungai
sehingga air menggenang di daerah sekitar sungai tersebut yang disebut banjir. Air
hujan yang jatuh ke daerah aliran sungai (DAS) sebagai input mengalami infiltrasi
ke dalam tanah, intersepsi maupun jatuh langsung ke dalam sungai. Tanah yang
telah mengalami jenuh air membuat air hujan menjadi air limpasan permukaan
sebagai output. Limpasan permukaan yang kecil tidak mengganggu sistem sungai
namun limpasan permukaan yang besar mengganggu sistem sungai dan kehidupan
manusia. Daerah-daerah yang tergenang ataupun mengalami kebanjiran
mengganggu aktivitas manusia. Daerah-daerah yang rawan terjadi banjir
dipengarui oleh beberapa factor fisik lingkungan seperti kemiringan lereng,
ketinggian lahan, penggunaan lahan, jenis tanah, kerapatan sungai, penggunaan
lahan, dan curah hujan.
Palabuhanratu merupakan Kawasan wisata di pesisir Samudra Hindia
tepatnya di Provinsi Jawa Barat. Banjir yang terjadi di Palabuhanratu merupakan
bencana yang sering terjadi setiap tahun. Banjir yang terjadi karena saluran sungai
yang tidak dapat menampung air limpasan ketika hujan terjadi di Palabuhanratu
saat musim hujan. Palabuhanratu memiliki lingkungan fisik perbukitan hingga
dataran rendah dengan jarak yang cukup pendek. Penggunaan lahan terbangun juga
cukup banyak karena daerah Palabuhanratu sebagai destinasi wisata.
Penggunaan lahan mempengaruhi besaran limpasan permukaan.
Penggunaan lahan terbangun tidak dapat meresapkan air hujan ke dalam tanah
sedangkan penggunaan lahan alami vegetasi seperti hutan, kebun dan ladang dapat
meresapkan air hujan ke dalam tanah sehingga dapat memperkecil limpasan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 49


permukaan (Rahman, 2009). Banjir yang terjadi menyebabkan kerugian bagi
masyarakat sekitar sehingga diperlukan daerah persebaran kerawan bajir di
Kabupaten Palabuhanratu. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat
kerawanan banjir yang terjadi di Kabupaten Palabuhanratu, mengetahui faktor
yang paling dominan yang menjadi penyebab kerawanan banjir di Kabupaten
Palabuhanratu.

Tinjauan Pustaka
Kerawanan Banjir Kerawanan banjir adalah keadaan yang
menggambarkan mudah atau tidaknya suatu daerah terkena banjir dengan
didasarkan pada faktor-faktor alam yang mempengaruhi banjir antara lain faktor
meteorologi (intensitas curah hujan, distribusi curah hujan, frekuensi dan lamanya
hujan berlangsung) dan karakteristik daerah aliran sungai (kemiringan
lahan/kelerengan, ketinggian lahan, testur tanah dan penggunaan lahan) (Suherlan,
2001). Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat digunakan sebagai parameter
penelitian, yaitu:
1. Kemiringan Lahan / Kelerengan
Kelerengan atau kemiringan lahan merupakan perbandingan persentase
antara jarak vertikal (tinggi lahan) dengan jarak horizontal (panjang lahan
datar). Semakin landai kemiringan lerengnya maka semakin berpotensi terjadi
banjir, begitu pula sebaliknya. Semakin curam kemiringannya, maka semakin
aman akan bencana banjir. Pada Tabel II.1 disusun pemberian nilai untuk
parameter kemiringan lahan.
Tabel 1. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Kemiringan
No Deskripsi Nilai
(%)
1 0-8 Datar 5
2 >8-15 Landai 4
3 >15-25 Agak Curam 3
4 >25-45 Curam 2
5 >45 Sangat Curam 1

2. Jenis Tanah
Jenis tanah pada suatu daerah sangat berpengaruh dalam proses
penyerapan air atau yang biasa kita sebut sebagai proses infiltrasi. Infiltrasi
adalah proses aliran air di dalam tanah secara vertikal akibat adanya potensial
gravitasi. Secara fisik terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi infiltrasi
diantaranya jenis tanah. Laju infiltrasi pada tanah semakin lama semakin kecil
karena kelembaban tanah juga mengalami peningkatan (Harto, 1993).
Tabel 2. Klasifikasi Jenis Tanah
No Jenis Tanah Infiltrasi Nilai
1 Aluvial, Planosol Tidak Peka 5
2 Latosol Agak Peka 4
3 Tanah hutan coklat, Tanah Mediteran Kepekaan Sedang 3
4 Andosol, Grumusol Peka 2

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 50


5 Regosol, Litosol, Organosol Sangat Peka 1
Sumber: Asdak (1995), dengan modifikasi penulis
3. Curah Hujan
Pemberian skor paramater curah hujan dibedakan berdasarkan jenis data
curah hujan tahunan, dimana data curah hujan dibagi menjadi lima kelas.
Dimana skor 5 diberikan kepada daerah yang sangat basah dengan curah hujan
rata- rata diatas 2500 mm, sedangkan skor 1 diberikan kepada daerah yang
sangat kering dengan curah hujan rata - rata dibawah 1000 mm. Pada tabel II.3
disusun pemberian nilai untuk parameter curah hujan.
Tabel 3. Klasifikasi Curah Hujan
No Kelas Skor
1 >2500 (sangat basah) 5
2 2001-2500 (basah) 4
3 1501-2000 (cukup basah) 3
4 1000-1500 (kering) 2
5 <1000 (sangat kering) 1
4. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan akan mempengaruhi kerawanan banjir suatu daerah,
penggunaan lahan akan berperan pada besarnya air limpasan hasil dari hujan
yang telah melebihi laju infiltrasi. Lahan yang banyak ditanami oleh vegetasi
maka air hujan akan banyak diinfiltrasi dan lebih banyak waktu yang ditempuh
oleh limpasan untuk sampai ke sungai sehingga kemungkinan banjir lebih kecil
daripada daerah yang tidak ditanami oleh vegetasi.
Tabel 4. Klasifikasi Penutupan Lahan
No Penggunaan Lahan Nilai
1. Hutan 1
2. Semak Belukar 2
3. Ladang/Tegalan/Kebun/ Tanah kosong 3
4. Sawah/Tambak 4
5. Pemukiman 5
Sumber: Theml, S (2008)
5. Panjang Sungai
Pembuatan peta sungai dihasilkan melalui teknik garis (Theme Line) pada
peta rupa bumi Sukabumi. Panjang sungai yang melewati setiap kecamatan
dijumlahkan kemudian bagi dengan luas are kecamatan tersebut lalu dikalikan
dengan 100% untuk mendapatkan persentase dari panjang sungai tersebut.
Tabel 5. Klasifikasi Skor Sungai
No Parameter Sungai Deskripsi Nilai
1 0%-17,6% Bebas 1
2 17,7%-32% Tidak rawan 2
3 32,1%-50% Agak rawan 3
4 50,1%-51,4% Rawan 4
5 61,5%-100% Sangat Rawan 5

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 51


Metode Penelitian
Overlay yaitu kemampuan untuk menempatkan grafis satu peta diatas
grafis peta yang lain dan menampilkan hasilnya di layar komputer atau pada plot.
Secara singkatnya, overlay menampalkan suatu peta digital pada peta digital yang
lain beserta atribut-atributnya dan menghasilkan peta gabungan keduanya yang
memiliki informasi atribut dari kedua peta tersebut. Overlay merupakan proses
penyatuan data dari lapisan layer yang berbeda. Secara sederhana overlay disebut
sebagai operasi visual yang membutuhkan lebih dari satu layer untuk digabungkan
secara fisik (Guntara, I., 2013). Overlay dilakukan dengan terlebih dahulu
menscoring parameter yang ada, yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan,
penggunaan lahan dan sungai.

Data
Data yang digunakan:
a. Shapefile (Shp) peta administrasi kabupaten Palabuhanraatu
b. Data ASTER Global DEM kabupaten Palabuhanraatu
d. Shapefile (Shp) peta jenis tanah kabupaten Palabuhanraatu
e. Shapefile (Shp) peta penggunaan lahan kabupaten Palabuhanraatu
f. Shapefile (Shp) peta sungai kabupaten Palabuhanraatu
Data non-spasial yang digunakan adalah:
a. Data curah hujan kabupaten Palabuhanratu tiga tahun terakhir (2016-2018)

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 52


Deskripsi Hasil Observasi
Pelabuhan Ratu merupakan Kawasan wisata di pesisir Samudra Hindia
tepatnya di Provinsi Jawa Barat. Topografinya berupa perpaduan antara pantai
yang curam dan landai, tebing karang terjal, hempasan ombak, dan hutan cagar
alam. Wilayah pesisir merupakan kawasan dataran rendah yang memiliki
kompleksitas permasalahan yang cukup tinggi, terutama di wilayah dengan
kepadatan penduduk tinggi ataupun daerah wisata yang banyak dikunjungi
wisatawan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara , Kecamatan Palabuhanratu
rawan terhadap beberapa bencana, salah satunya adalah banjir. Banjir yang terjadi
di Palabuhanratu umumnya terjadi karena hujan yang terjadi di hulu yang
dikirimkan ke hilir sungai sebagai drainase alami. Tingkat kemiringan lereng yang
curam di hulu dan dataran di hilir membuat bahaya banjir cukup tinggi di daerah
ini.

Hasil dan Pembahasan


Hasil Klasifikasi Jenis Tanah
Daerah Palabuhanratu secara umum memiliki 5 jenis tanah yang dominan
yaitu Aluvial, Andosol, Latosol, Litosol dan Regosol. Jenis tanah mempengaruhi
laju infiltrasi air ke dalam tanah saat terjadi hujan sehingga mempengaruhi
limpasan permukaan yang menyebabkan banjir. Jenis tanah Aluvial dan Litosol
tersebar di sebelah Timur Palabuhanratu. Jenis tanah Andosol dan Regosol tersebar
di sebelah Barat Palabuhanratu. Jenis tanah Latosol sebagian besar berada di
tengah Palabuhanratu dan juga tersebar di sebelah Timur dan Barat Palabuhan ratu
seperti pada gambar V.1.

Gambar V.1. Peta Klasifikasi Jenis Tanah Palabuhanratu

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 53


Tabel V.1. Skor Klasifikasi Jenis Tanah
No Jenis Tanah Infiltrasi Nilai Bobot Skor
1 Aluvial, Planosol Tidak Peka 5 0,25 1,25
2 Latosol Agak Peka 4 0,25 1
3 Tanah hutan coklat, Tanah Mediteran Kepekaan Sedang 3 0,25 0,75
Andosol, Grumusol
4 Peka 2 0,25 0,5
5 Regosol, Litosol, Organosol Sangat Peka 1 0,25 0,25
Berdasarkan tabel V.1. dapat terlihat bahwa tanah yang dominan yaitu
Andosol memiliki tingkat infiltrasi yang peka sehingga memudahkan air hujan
yang terjadi masuk ke dalam tanah sedangkan tanah Latosol memiliki tingkat
infiltrasi yang agak peka. Semakin besar daya serap atau infiltrasinya terhadap air
maka tingkat kerawanan banjirnya akan semakin kecil. Begitu pula sebaliknya,
semakin kecil daya serap atau infiltrasinya terhadap air maka semakin besar potensi
kerawanan banjirnya (Matondang, J.P., 2013).
Hasil Klasifikasi Kemiringan Lereng
Hasil kemiringan lereng didapatkan dari hasil analisis data DEM di
Palabuhanratu. Klasifikasi kemiringan lereng yang dominan di Palabuhanratu
adalah daerah datar dengan persentase kemiringan 0-8%. Daerah datar lebih
berpotensi terjadi banjir karena terdapat dataran alluvial yang bisa menjadi daerah
tampungan saat terjadi hujan. Air hujan yang turun ke daerah kemiringan curam
akan mengalirkan air ke tempat yang lebih datar.. Sedangkan daerah Palabuhanratu
yang memiliki kemiringan lerenga agak curam dan curam tersebar di wilayah
tengah sehingga lebih aman dari bahaya banjir. Hasil klasifikasi dan analisis dapat
dilihat pada tabel V.2. dan gambar V.2.

Gambar V.2. Peta Kemiringan Lereng Palabuhanratu

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 54


Tabel V.2. Skor Klasifikasi Kemiringan Lereng
No Kemiringan (%) Deskripsi Nilai Bobot Skor
1 0-8 Datar 5 0,2 1
2 >8-15 Landai 4 0,2 0,8
3 >15-25 Agak Curam 3 0,2 0,6
4 >25-45 Curam 2 0,2 0,4
5 >45 Sangat Curam 1 0,2 0,2

Hasil Klasifikasi Penggunaan Lahan


Klasifikasi penggunaan lahan daerah Palabuhanratu ada 5 yaitu hutan,
tegalan/kebun/lahan kosong, semak belukar, sawah, dan pemukiman. Penggunaan
lahan mempengaruhi limpasan permukaan di suatu daerah. Daerah dengan
penggunaan lahan terbangun seperti pemukiman akan memiliki limpasan
permukaan yang besar sedangkan penggunaan lahan vegetasi akan memiliki
limpasan permukaan yang kecil seperti pada tabel V.3. Daerah Palabuhanratu
memiliki penggunaan lahan dominan kebun/tegalan/ tanah kosong sedangkan
penggunaan lahan pemukiman didaerah barat atau mendekati pantai

Gambar V.3. Peta Penggunaan Lahan Palabuhanratu


.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 55


Tabel V.3. Klasifikasi Penutupan Lahan
No Penggunaan Lahan Nilai Bobot Skor
1. Hutan 1 0,2 1
2. Semak Belukar 2 0,2 0,8
Ladang/Tegalan/Kebun/
3
3. Tanah kosong 0,2 0,6
4. Sawah/Tambak 4 0,2 0,4
5. Pemukiman 5 0,2 0,2

Hasil Klasifikasi Curah Hujan


Daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi akan lebih
mempengaruhi terhadap kejadian banjir. Berdasarkan hal tersebut, maka
pemberian skor untuk daerah curah hujan tersebut semakin tinggi sesuai table V.4.
Data curah hujan yang digunakan adalah curah hujan rata-rata 3 tahun yaitu tahun
2016, 2017, dan 2018 pada 2 stasiun hujan di Palabuhan ratu. Persebaran hujan
seperti pada gambar V.4. terlihat bahwa curah hujan cukup basah (1501-2000 mm)
mendominasi daerah Palabuhanratu. Hal ini dapat menyebabkan banjir karena
hujan yang terjadi pada daerah tersebut akan mengalir ke daerah yang lebih
rendah/datar.

Gambar V.4. Peta Curah Hujan Palabuhanratu

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 56


Tabel V.4. Klasifikasi Curah Hujan
No Hujan (mm) Nilai Bobot Skor
1 >2500 (sangat basah) 5 0,2 1
2 2001-2500 (basah) 4 0,2 0,8
3 1501-2000 (cukup basah) 3 0,2 0,6
4 1000-1500 (kering) 2 0,2 0,4
5 <1000 (sangat kering) 1 0,2 0,2

Hasil Klasifikasi Sungai


Klasifikasi sungai berdasarkan persentase panjang sungai di
desa/kelurahan Palabuhanratu yaitu agak rawan, tidak rawan, dan bebas.
Persebaran sungai agak rawan berada di desa Citarik dan yang tidak rawan di desa
Tonjong. Dominan sungai yang bebas dari rawan berada hamper di semua desa.
Hal ini terjadi karena sungai yang mengalir bukanlah sungai-sungai besar. Semakin
panjang sungai terutama sungai-sungai besar maka potensi terjadi banjir lebih
besar karena air yang menggenangi sungai tersebut dalam jumlah besar dan pada
area wilayah yang lebih luas (dari hulu ke hilir).

Gambar V.5. Peta Klasifikasi Sungai Palabuhanratu

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 57


Tabel V.5. Klasifikasi Skor Sungai
No Parameter Sungai Deskripsi Nilai Bobot Skor
1 0%-17,6% Bebas 1 0,15 0,15
2 17,7%-32% Tidak rawan 2 0,15 0,3
3 32,1%-50% Agak rawan 3 0,15 0,45
4 50,1%-51,4% rawan 4 0,15 0,6
5 61,5%-100% Sangat rawan 5 0,15 0,75

Hasil Overlay Semua Parameter (Peta Kerawanan Banjir)

Gambar V.6. Peta Kerawanan Banjir Palabuhanratu


Daerah Palabuhanratu memiliki daerah persebaran rawan banjir yang
dominan adalah cukup rawan yaitu berada di daerah hulu, tengah sampai daerah
barat. Yaitu di desa Buniwangi, Cikadu, Cimanggu, Citarik, Citepus, Jayanti, dan
Palabuhanratu. Sedangkan dibagian timur tenggara dan barat daya daerahnya
sangat rawan banjir yaitu di desa Pasirsuren dan Tonjong. Daerah yang tidak rawan
ada di sebelah utara yaitu di desa Cimanggu.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 58


1,76%

34,04%

64,20%

Cukup rawan Sangat rawan Tidak rawan

Gambar V.7. Diagram Luas Cakupan Daerah Rawan Banjir


Luas cakupan daerah rawan banjir sesuai gambar V.7 yaitu sebesar 34,04%
atau seluas 5537583 m2, daerah cukup rawan banjir sebesar 64,20% atau seluas
10442819 m2 dan daerah tidak rawan banjir sebesar 1,76% atau seluas 285596 m 2.
Oleh karena itu daerah Palabuhanratu harus menjadi perhatian pemerintah
setempat karena sebagaian besar wilayahnya rawan bencana banjir.
Kesimpulan
1. Persebaran lokasi rawan banjir terjadi di hampir seluruh bagian di Kecamatan
Palabuhanratu. Rincian kategori daerah rawan banjir yaitu sebesar 34,04% atau
seluas 5537583 m2, daerah cukup rawan banjir sebesar 64,20% atau seluas
10442819 m2 dan daerah tidak rawan banjir sebesar 1,76% atau seluas 285596
m2 .
2. Faktor yang paling dominan yang menjadi penyebab kerawanan banjir di
Kecamatan Palabuhanratu adalah kemiringan lereng. Hal ini disebabkan oleh
wilayah yang cenderung datar dan rendah sehingga berpotensi menjadi
tampungan air ketika hujan yang mengakibatkan terjadi banjir. Selain memiliki
bobot yang besar, sebaran kemiringan 0-8% di hampir seluruh wilayah
mempunyai kategori sangat rawan dan cukup rawan akan bencana banjir.
Daftar Pustaka
A.L. Adiyansah.et.al.2019. Analysis Of Flood Hazard Zones Using Overlay
Method With Figused-Based Scoring Based On Geographic Information
Systems: Case Study In Parepare City South Sulawesi Province. The 4th
International conferenceof Indonesia society for remote sensing 280.2019
Asdak, 1995. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Darmawan Kurnia, Hani’ah, Andri Suprayogi. 2017. Analisis Tingkat Kerawanan
Banjir Di Kabupaten Sampang Menggunakan Metode Overlay Dengan
Scoring Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal Geodesi Undip
Harto, BR.S. (1993). Analisis Hidrologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 59


Matondang, J.P., 2013. Analisis Zonasi Daerah Rentan Banjir Dengan
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis. Unversitas Diponegoro.
Semarang.
Primayuda, A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan
Sistem Informasi Geografis : studi kasus Kabupaten Trenggalek, Jawa
Timur. Skripsi Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Purnama, A. 2008. Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai
Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Institut Pertanian
Bogor.
Rincon, D, usman T khan, Costas Armenakis. 2018. Flood Risk Mapping Using
GIS And Multi-Criteria Analysis: A greater Toronto Area Case Study.
Geosciences.2018.8.275
Theml, S. 2008. Katalog Methodologi Penyusunan Peta Geo Hazard dengan GIS.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Banda Aceh.

3.2.4 Ayu Adi Justicea (1906412444)

3.3 Peran Masyarakat Terhadap Bencana


3.3.1 Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Pengelolaan Perladangan
Masyarakat (Studi Kasus: Kecamatan Simpenan, Kabupaten
Sukabumi) - Anika Putri (1806274322)

Abstrak
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bentuk bencana hidrometereologi
yang terdapat di Kabupaten Sukabumi. Kejadian ini dapat menimbulkan kerugian
berupa nyawa maupun materiil. Pembukaan lahan oleh masyarakat dengan cara
pembakaran merupakan faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai
kejadian kebakaran hutan dan lahan, serta pengelolaan perladangan di Kecamatan
Simpenan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian geografi ekplanatif dengan
menggunakan metode analisis berupa analisis overlay dan analisis deskriptif. Hasil
yang didapatkan dari penelitian ini yaitu terdapat 8 kejadian kebakaran hutan dan
lahan di Kecamatan Simpenan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan mengalami
peningkatan pada tahun 2019 dari sebelumnya hanya ada 1 kejadian menjadi 7
kejadian sampai bulan Oktober 2019. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah
berkurangnya curah hujan dan lebih lamanya musim kemarau dibandingkan tahun
sebelumnya. Kejadian kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh banyaknya
bahan bakar, seperti semak dan belukar keringa yang mudah terbakar. Perladangan
yang ada di Kecamatan Simpenan merupakan usahatani menetap. Pengelolaan
perladangan untuk pembukaan lahan terdiri dari tiga macam yaitu tebas-cacah,
herbisida, dan pembakaran. Peladang telah melakukan pembakaran diawasi
sehingga meminimalkan resiko kebakaran meluas yang merupakan hasil dari

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 60


kegiatan sosialisasi BPP dan P2BK Kecamatan Simpenan guna meminimalisir
terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Kata Kunci : kebakaran hutan dan lahan, perladangan, persebaran kebakaran


hutan dan lahan.

Pendahuluan
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di
Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Sukabumi memiliki berbagai macam sumberdaya
alam yang tersebar di berbagai tutupan lahan yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki kabupaten tersebut juga memiliki
bahaya yang meliputinya. Bahaya tersebut dapat disebabkan oleh alam maupun
manusia. Perubahan berbagai kawasan menjadi wilayah yang tidak sesuai dengan
peruntukkannya meningkatkan potensi bahaya yang dimiliki wilayah tersebut.
Potensi bahaya yang dimiliki Kabupaten Sukabumi antara lain adalah banjir, banjir
rob, longsor, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan dan lahan, serta berbagai
macam potensi bahaya lainnya.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bahaya yang terdapat di
Kabupaten Sukabumi. Kejadian kebakaran hutan dan lahan perlu menjadi
perhatian khusus di daerah ini. Hal ini dikarenakan Kabupaten Sukabumi
merupakan salah satu lokasi yang memiliki potensi kebakaran hutan dan lahan
terluas ke-dua se-Jawa dan Bali. Data kebakaran hutan dan lahan yang dihimpun
berdasarkan informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
menunjukkan dari bulan Juli sampai dengan awal bulan September tahun 2019
telah terjadi 6 kali kebakaran hutan dan lahan yang tersebar di lima kecamatan
berbeda, diantaranya Kecamatan Cibadak, Kecamatan Cisaat, Kecamatan
Cicantayan, Kecamatan Cisolok, dan Kecamatan Simpenan. Penyebab kejadian
kebakaran ini pun ada yang disengaja berupa pembakaran untuk pembukaan lahan
namun pengontrolannya kurang sehingga api menyebar ke daerah lain maupun
kebakaran yang disebabkan oleh puntung rokok yang masih menyala. Luasan
wilayah yang menjadi lokasi kebakaran hutan dan lahan tergolong beragam.
Kecamatan Simpenan merupakan salah satu dari 47 kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Sukabumi. BPBD Kabupaten Sukabumi menyatakan bahwa
kecamatan ini termasuk salah satu dari 12 kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang
tergolong terdampak kekeringan pada tahun 2019. Hal tersebut tergolong juga
mendorong potensi terjadinya kebakaran di lokasi tersebut. Faktor lain yang
mendukung meningkatnya potensi kebakaran di Kecamatan Simpenan adalah
akibat pembukaan lahan oleh petani dengan cara pembakaran.
Perladangan berpindah atau bergilir memiliki makna bahwa suatu lahan
memiliki dua masa tanam yang terdiri dari masa tanam dan masa bera yang
berlangsung secara bergiliran (Mulyoutami et al 2010). Teknik penyiapan awal
yang diterapkan pada ladang berpindah berupa “sistem tebas dan bakar”. Syaufina
dan Tambunan (2013) berdasarkan hasil wawancara dengan kepala adat
Kasepuhan Ciptagelar Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, menyatakan bahwa
terdapat lima tahapan dalam pembukaan lahan dengan cara pembakaran, yaitu
terdiri dari pemilihan calon ladang, penebasan (nyacar), pembakaran (ngahuru),
pembakaran kembali (ngaduruk), dan penanaman (ngaseuk). Ladang berpindah

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 61


termasuk sistem pertanian tradisional yang ada di Indonesia dan salah satu daerah
yang masih menerapkannya adalah di daerah Sukabumi Selatan Jaya (Soemitro
1985 dalam Monk 2000). Pembukaan lahan dengan cara pembakaran merupakan
salah satu kebiasaan turun menurun yang dikarenakan kemudahan dan keefektifan
dalam pelaksanaannya (Kuswandi 2006).
Pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang tidak diawasi akan
menyebabkan resiko meluasnya daerah yang terbakar. Pendataan terkait lokasi
kejadian yang pernah mengalami kebakaran perlu dilakukan. Hal ini berguna
sebagai tindakan kesiapsiagaan guna meminimalisir resiko terjadinya kebakaran.
Terkait dengan hal itu maka tujuan dari penelitian ini yaitu mengumpulkan data
dan informasi terkait kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di
Kecamatan Simpenan. Selain itu juga mengumpulkan informasi terkait
pengelolaan perladangan masyarakat di Kecamatan Simpenan.

Tinjauan Pustaka

Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran hutan berdasarkan ketentuan umum Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 12 P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan memiliki definisi yaitu suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian
ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan memiliki
perbedaan berupa lokasi kejadian kebakaran tersebut berlangsung. Kebakaran
lahan terjadi di luar kawasan hutan.
Proses terjadinya suatu peristiwa kebakaran harus melibatkan tiga faktor
yang disebut dnegan segitiga api (fire triangle) yang terdiri dari bahan bakar, zat
pembakar, dan oksigen. Salah satu prinsip dalam penghentian kebakaran hutan
adalah dengan memutus salah satu mata rantai dalam segitiga api. Proses
kebakaran hutan dan lahan dapat diakibatkan oleh alam maupun manusia. Proses
alam yang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran berupa kilat yang menyambar
tajuk pohon, letusan gunung berapi, maupun gesekan antar ranting tumbuhan
kering yang mengandung minyak sehingga menimbulkan percikan api atau panas
(Notohadinegoro 2006). Kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia antara
lain upaya pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang tidak terkendali
maupun ketidaksengajaan berupa percikan api dari puntung rokok yang masih
menyala.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bahaya yang terdapat di
Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut antara berupa kabut asap
dan degradasi hutan (Tacconi 2003), serta hilangnya sejumlah mata pencaharian
masyarakat di sekitar hutan (Syaufina dan Tambunan 2013). Bencana kebakaran
hutan dan lahan yang terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1997/1998. Luas
wilayah yang mengalami kebakaran hutan mencapai 11,7 juta Ha (Tacconi 2003).
Kerugian yang dialami terjadi baik berupa kerusakan langsung pada kawasan
tersebut, penyebaran kabut asap ke berbagai daerah, maupun berbagai kerugian
kesehatan dan ekonomi lainnya.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 62


Darwiati dan Tuheteru (2010) menyatakan bahwa hampir 99% peristiwa
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi akibat kegiatan manusia baik karena
kelalaian maupun disengaja untuk pembukaan lahan. Faktor-faktor penyebab
akibat kegiatan manusia tersebut dijabarkan sebagai berikut konversi lahan (34%),
peladangan liar (25%), pertanian (17%), kecemburuan sosial (14%), dan proyek
transmigrasi (8%). Peningkatan potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan juga
dipengaruhi oleh kondisi iklim yang ekstrim, sumber energi berupa kayu, deposit
batubara, dan keberadaan gambut.
Proses pembakaran merupakan metode yang tergolong sudah lama
diterapkan. Metode ini tergolong cepat, efektif, dan murah. Namun proses
pembakaran yang tidak didasari dengan perencanaan yang matang dan pengawasan
yang ketat tentu akan memiliki resiko berupa terjadinya kebakaran yang meluas ke
daerah lain yang disebabkan oleh loncatan api.

Perladangan
Perladangan merupakan salah satu tipe bertani yang telah lama dilakukan
di Indonesia. Mulyoutami et al (2010) membedakan perladangan berdasarkan
sejarah evolusinya menjadi tiga model, yaitu agroforest, sistem pastura atau padang
penggembalaan, dan pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian.
Sistem ladang berpindah merupakan salah satu bagian dari tipe pertanian yang
lokasinya tidak menetap dan berpindah seiring selesainya suatu masa tanam. Lahan
yang ditinggalkan setelah proses tanam tersebut kemudian masuk ke dalam masa
bera atau masa ketika lahan mengalami suksesi pasca-tanam. Jenis lahan bera ini
pun dapat dibedakan menjadi tiga tipe bila didasarkan pada penggunaan lahannya
(Mulyoutami et al 2010), yaitu jika tutupan lahan yang dibuka adalah hutan
sekunder maka penggunaan lahannya dikategorikan sebagai perladangan, jika
tutupan lahan yang dibuka merupakan hutan sekunder muda maka penggunaan
lahannya disebut dengan perladangan dengan rotasi masa bera panjang, dan jika
tutupan lahan yang dibuka merupakan semak belukar maka penggunaan lahannya
disebut dengan perladangan dengan rotasi masa bera pendek.
Sistem perladangan berdasarkan tujuan ekonominya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu tipe perladangan subsisten dan tipe perladangan komersil. Tipe
perladangan subsisten tujuannya hanya untuk pemenuhan kebutuhan primer
masyarakat, sedangkan tipe perladangan komersil tujuannya juga untuk mencari
keuntungan dari hasil perladangan yang dilakukan. Pembukaan lahan untuk
keperluan perladangan umumnya dilakukan dengan cara “sistem tebas dan bakar”.
Sistem perladangan dengan cara tebas dan bakar memiliki keuntungan berupa
meningkatkan kandungan unsur hara, memberantas gulma, mengurangi timbulnya
hama penyakit dan meningkatkan produksi tanaman pangan ( Eviazi dan Bayan
dalam Beja 2015), namun hal tersebut sering dihubungkan dengan kagiatan
pengrusakan atau perambahan hutan yang dikarenakan kegiatan pembakaran hutan
dilakukan secara luas oleh perkebunan besar ataupun petani pendatang
(Mulyoutami et al 2003).
Pengelolaan ladang masyarakat adat Dayak di Kalimantan merupakan
salah stau pengelolaan ladang berpindah yang memperhatikan aspek lingkungan
(Wibowo 2008 dalam Sulistinah 2014). Pengelolaan ladang yang dilakukan oleh

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 63


masyarakat adat Dayak bukan hanya untuk keperluan hidup namun juga untuk
membentuk peradaban dan terdapat aturan yang harus diikuti. Syaufina dan
Tambunan (2013) menyatakan bahwa secara tradisional masyarakat adat sudah
terbiasa dengan teknik teknik membakar yang ramah lingkungan yang sudah
disesuaikan dengan kondisi alam setempat sehingga tidak menimbulkan kebakaran
hutan dan lahan.
Alur pikir untuk penelitian ini berdasarkan tujuan penelitian dan hubungan
antar variabel yang akan digunakan tersaji pada Gambar 1. Fokus yang diambil
pada penelitian ini yaitu pada bagian bahan bakar yang dipengaruhi berdasarkan
penggunaan lahan dan curah hujan. Lalu kedua hal tersebut akan memiliki sebaran
lokasi dan luasan wilayah terbakar sehingga dapat dibentuk distribusi sebaran dari
kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Simpenan. Penggunaan lahan
atau land use akan memengaruhi keberadaan lokasi perladangan dan tiap lokasi
memiliki cara pembukaan lahan yang berbeda sehingga dapat diketahui
pengelolaan perladangan seperti apa yang dapat meminimalisir kejadian kebakaran
hutan dan lahan.

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian

Metode Penelitian
Studi Pendahuluan
Penelitian terkait kebakaran hutan dan lahan yang pernah dilakukan di
Kabupaten Sukabumi telah dilakukan oleh Syaufina dan Tambunan (2013) di
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa di desa tersebut terdapat
dua tipe peladang, yaitu peladang berpindah dan menetap. Selain itu, di lokasi

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 64


tersebut untuk pembukaan lahannya dilakukan dengan cara pembakaran tumpukan
(pile burning) searah arah angin.

Waktu dan Lokasi Penelitian


Waktu penelitian dilakukan dari Bulan Oktober hingga Bulan November.
Daerah yang menjadi lokasi penelitian bertempat di Kecamatan Simpenan,
Kabupaten Sukabumi. Gambar 2 merupakan ilustrasi lokasi penelitian.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan menggunakan beberapa metode, yaitu
studi literatur, observasi lapangan, dan wawancara. Studi literatur dilakukan
dengan cara mengidentifikasi kejadian-kejadian kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di lokasi tersebut berdasarkan informasi yang bersumber dari laporan
kegiatan maupun situs berita. Observasi lapangan dilakukan pada lokasi yang
mengalami kabakaran hutan dan lahan. Responden yang menjadi narasumber
untuk wawancara dipilih secara purposive. Metode wawancara yang dilakukan
berupa tipe wawancara semi-terstruktur. Hal ini dikarenakan peneliti telah
memiliki pokok-pokok inti yang ingin ditanyakan serta lebih mudah untuk
memfokuskan pada pokok bahasan yang diinginkan.

Analisis Data
Analisis data yang dilakukan terdiri dari dua bagian yaitu analisis
tumpangsusun (overlay) dan analisis deskriptif. Analisis tumpangsusun dilakukan
pada data kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan kondisi fisik wilayah lokasi
penelitian. Gambar 3 merupakan ilustrasi proses analisis tumpangsusun yang
dilakukan. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan data dan informasi
yang didapatkan dari hasil pengolahan data yang dilakukan.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 65


Gambar 3. Alur Analisis Tumpangsusung/ Overlay

Deskripsi Hasil Observasi


Kecamatan Simpenan terbagi ke dalam 7 desa yang terdiri dari Desa
Cidadap, Desa Loji, Desa Sangrawayang, Desa Cibuntu, Desa Mekarasih, Desa
Kertajaya, dan Desa Cihaur. Lokasi yang diobservasi secara langsung yaitu Desa
Cidadap, Desa Loji, dan Desa Sangrawayang. Kondisi di wilayah tersebut
tergolong kering yakni terdapatnya banyak semak belukar yang menguning dan
kondisi sungai yang tergolong menyusut. Rata-rata masyarakat berprofesi sebagai
petani dan yang berdekatan dengan pantai berprofesi sebagai nelayan. Komoditas
pertanian utama di kecamatan ini yaitu padi sawah, padi gogo, produk holtikultura,
dan buah-buahan. Padi sawah umumnya ditemukan berdekatan dengan daerah
pantai, sedangkan untuk padi gogo ditemukan di daerah perbukitan.

Pembahasan dan Hasil

Sebaran Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu potensi bencana yang
terdapat di Kabupaten Sukabumi. Data kebakaran hutan dan lahan yang tersaji pada
laporan rencana penanggulangan bencana 2018-2023 menyatakan bahwa terdapat
3 kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2017,
namun hal ini tergolong berbeda dengan data yang dilampirkan dari Dinas
Pemadam Kebakaran. Data kebakaran hutan dan lahan untuk tahun 2017 hingga
Oktober 2019 tergolong sangat fluktuatif. Jumlah kebakaran hutan dan lahan untuk
tahun 2017, 2018, dan 2019, yaitu sebanyak 28, 27, dan 70 kejadian. Dari data
tersebut untuk di Kecamatan Simpenan terdapat 8 kejadian kebakaran hutan dan
lahan, yaitu 1 kejadian di tahun 2018 dan 7 kejadian pada tahun 2019. Peningkatan
yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2019 baik untuk wilayah Kecamatan
Simpenan maupun keseluruhan wilayah Kabupaten Sukabumi. Kejadian
kebakaran hutan dan lahan untuk wilayah Kabupaten Sukabumi mengalami puncak
tertinggi pada bulan Juli, Agustus, dan September. Pola seperti itu pun terjadi pada
wilayah Kecamatan Simpenan, yakni pada bulan Agustus, September, dan
Oktober. Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi pada bulan-bulan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 66


tersebut dapat dihubungkan dengan penurunan curah hujan yang terjadi untuk
wilayah Pulau Jawa dan Bali dikarenakan bulan-bulan tersebut merupakan puncak
musim kemarau (Naylor et al 2007). Ilustrasi perbandingan jumlah kejadian
kebakaran hutan dan lahan untuk Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Simpenan
terdapat pada Gambar 4.
Kab. Sukabumi Kec. Simpenan
70
80

JUMLAH KEJADIAN
60
28 27
40
20 0 1 7

0
2017 2018 2019
TAHUN

Gambar 4. Jumlah Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kab. Sukabumi dan Kec.
Simpenan
Distribusi spasial untuk sebaran kejadian kebakaran hutan dan lahan di
Kecamatan Simpenan tersebar di tiga desa, yaitu Desa Cidadap, Desa Loji, dan
Desa Sangrawayang. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2018 hanya berjumlah
1 kejadian yang berlokasi di Desa Cidadap dengan luas lahan terbakar seluas 5 Ha
ladang warga. Kejadian kebakaran hutan dan lahan hingga Bulan Oktober 2019
yaitu berjumlah 7 kejadian. Lokasi kejadiannya tersebar di Desa Cidadap 2
kejadian, Desa Loji 1 kejadian, dan Desa Sangrawayang 4 kejadian. Lokasi
kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi ada yang dekat jalan raya ada pula
yang jauh dari jalan raya. Aryadi et al (2017) menyatakan bahwa semakin dekat
dnegan jalan maka jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan juga semakin
meningkat. Hal ini dapat dihubungkan dengan kebiasaan buruk masyarakat yang
suka membuang puntung rokok maupun korek api di sekitar jalan raya yang bisa
memicu kebakaran hutan dan lahan dikarenakan banyak semak-semak kering yang
mudah terbakar di sekitar wilayah tersebut. Lalu untuk wilayah yang terletak jauh
dari jalan raya dapat dihubungkan dengan kegiatan pembukaan lahan/huma dengan
cara dibakar namun tidak diawasi sehingga api meluas ke wilayah di sekitarnya.
Gambar 5 merupakan ilustrasi distribusi lokasi kejadian kebakaran hutan dan lahan
di Kecamatan Simpenan.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 67


Gambar 5. Distribusi Sebaran Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kecamatan
Simpenan

Peningkatan jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan


Simpenan dapat dihubungkan dengan kondisi curah hujan yang tergolong rendah
di lokasi tersebut pada tahun 2019 bila dibandingkan dengan periode yang sama
pada tahun sebelumnya. Itsnaini et al (2017) menyatakan curah hujan tidak secara
langsung memengaruhi kebakaran hutan dan lahan, namun dengan menurunnya
curah hujan akan memengaruhi kondisi kelembaban bahan bakar dan semakin
keringnya bahan bakar yang ada akan meningkatkan potensi kejadian kebakaran
hutan dan lahan. Jumlah curah hujan untuk Bulan Agustus dari tahun 2017- 2019
tergolong konstan yakni sebesar 0 mm atau tidak terjadi hujan pada bulan tersebut.
Lalu jumlah bulan tanpa hujan pun meningkat yakni tahun 2018 sebanyak 2 bulan
dan pada tahun 2019 sebanyak 4 bulan. Faktor yang memengaruhi panjangnya
musim kemarau yang terjadi pada tahun 2019 berdasarkan informasi BMKG, yaitu
dipengaruhi oleh terjadinya El-Nino, kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) yang
berkategori positif di wilayah Indonesia bagian barat, Sea Surface Temperature
(SST) yang masih dingin sehingga potensi terbentuknya awan hujan menjadi kecil,
arah monsun asia yang tergolong terlambat apabila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, dan tidak aktifnya MJO (Madden Julian Oscillation) sehingga
memperlambat musim hujan yang datang pada tahun 2019. Jumlah besaran curha
hujan untuk Kecamatan Simpenan dari tahun 2017 hingga Oktober 2019 tersaji
pada tabel 1.
Curah hujan (mm)
Bulan
2017 2018 2019
1 723 948 440
2 678 442 290
3 380 453 331
4 179 261 275
5 166 202 131
6 147 87 0
7 49 0 0
8 0 0 0
9 122 48 0
10 417 10 7
11 629 298
12 461 630
Total Curah Hujan 3951 3379 1467

Tabel 1. Curah Hujan Kecamatan Simpenan Dari Tahun 2017-2019


Sumber: Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Distribusi lokasi kejadian kebakaran hutan dan lahan di lokasi ini


berdasarkan penggunaan lahannya tersebar di kawasan hutan dan lahan yang
berupa kebun warga. Kebakaran yang terjadi di hutan berjumlah sebanyak 2
kejadian yang tersebar di Desa Sangrawayang dan Desa Loji, sedangkan untuk

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 68


kebakaran di lahan terjadi sebanyak 6 kejadian yang tersebar di Desa
Sangrawayang dan Desa Cidadap. Zulkifli et al (2017) menyatakan bahwa
penyebab kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat
alami maupun perbuatan manusia yang menyebabkan terjadinya proses penyalaan
serta pembakaran bahan bakar hutan dan lahan. Syaufina (2018) menyatakan
bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 99% disebabkan oleh manusia baik
disengaja maupun tidak disengaja, sedangkan 1% disebabakan oleh alam. Sumber
api alami bisa ditimbulkan dari kilat yang menyambar, letusan gunung api yang
menebarkan bongkahan bara api, dan gesekan antara ranting tumbuhan kering
karena goyangan angin yang menimbulkan panas atau percikan api
(Notohadinegoro 2006). Kebakaran yang terjadi di Kecamatan Simpenan dapat
dikarenakan oleh faktor manusia, yakni berupa pembakaran yang dilakukan
dengan cara disengaja namun kurang diawasi sehingga api menyebar ke lokasi
yang lain. Selain itu, kejadian kebakaran yang terjadi di hutan yang jauh dari
pemukiman penduduk dapat dihubungkan dengan faktor alam. Hal ini didukung
dengan pernyataan yang disampaikan oleh anggota P2BK Kecamatan Simpenan
yang menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan yang khususnya terjadi di hutan
di Desa Sangrawayang dapat dihubungkan dengan faktor alam berupa gesekan
antara ranting-ranting kering sehingga menimbulkan percikan api, karena di sekitar
lokasi kejadiannya tidak terdapat lahan penduduk dan juga akses menuju lokasi
tergolong sulit. Gambar 6 merupakan ilustrasi sebaran kejadian kebakaran hutan
dan lahan berdasarkan penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Simpenan.

Gambar 6. Distribusi Sebaran Kejadian Kebakaran Hutan Dan Lahan Berdasarkan


Penggunaan Lahan

Pengelolaan Perladangan
Petani di Kecamatan Simpenan terdiri dari petani sawah basah dan petani
lahan kering, khusus untuk petani ladang kering disebut dengan peladang. Status
kepemilikan lahan yang dikelola oleh para peladang terdiri dari tiga macam, yaitu

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 69


lahan milik sendiri, lahan garapan, dan lahan perkebunan. Keberadaan lokasi lahan-
lahan tersebut berstatus tetap. Lokasi lahan yang digarap oleh peladang umumnya
terletak di perbukitan dan sistem ladangnya berupa sawah tadah hujan tetapi ada juga
yang berupa pengairan apabila lokasi ladang tersebut berdekatan dengan sungai.
Komoditas yang berasal dari peladang berupa padi gogo, jagung, cabe rawit, kacang
tanah, dan kedelai. Pemanenan yang dilakukan pada pagi gogo dilakukan sebanyak
satu kali setahun dikarenakan masa penanamannya mengikuti musim hujan.
Tipe perladangan yang ada di Kecamatan Simpenan sudah tergolong dalam
usahatani menetap. Hal ini dikarenakan dalam pembukaan lahan dilakukan di lokasi
yang sama dan tidak berpindah ke lokasi yang baru. Cara-cara pembukaan lahan oleh
peladang yang dilakukan di Kecamatan Simpenan terdiri dari tiga macam, yaitu
tebas-cacah, penggunaan herbisida, dan pembakaran. Kegiatan pembukaan lahan
dengan cara pembakaran secara aturan hukum masih diizinkan, yakni mengacu pada
pasal 69 ayat 2 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan yang menyatakan bahwa pembukaan lahan dengan cara
membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-
masing dan luasan wilayah maksimal seluas 2 ha dan harus dikelilingi sekat bakar
agar tidak ada penjalaran api ke daerah yang lain. Selain itu, aturan lain yang
mendukung perijinan pembakaran tertuang pada Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No 10 Tahun 2010 Tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan
dan/atau Lahan pada pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa luas lahan yang boleh
dilakukan pembakaran lahan seluas 2 ha per kepala keluarga dan wajib
memberitahukan kepada kepala desa dan juga pada ayat 3 dinyatakan bahwa
kegiatan pembakaran lahan tersebut tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah
normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering. Pembukaan lahan dengan cara
pembakaran cenderung meningkat di musim kemarau, sehingga dalam upaya
mengurangi resiko kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Simpenan pihak Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) dan juga P2BK telah melakukan berbagai himbauan
kepada para peladang untuk tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara
pembakaran. Selain itu, dari pihak peladang telah melakukan pencegahan dengan
cara mengawasi proses pembakaran yang terjadi.
Pembukaan lahan dengan cara pembakaran dipilih oleh petani dikarenakan
kegiatan tersebut tergolong lebih cepat dan efektif untuk membersihkan lahan.
Meskipun petani sudah melakukan pengendalian pembakaran dengan cara
pembakaran terkendali namun terkadang terjadi loncatan api yang terbawa angin dan
mengenai lahan lain sehingga terjadi kebakaran meluas yang tidak terduga (Pasaribu
dan Friyatno 2008). Resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat
diminimalisir apabila mengikuti aturan yang ada. Pada masyarakat adat dalam
pembukaan lahan dengan cara pembakaran memiliki aturan tertentu yang harus
dipatuhi. Akbar (2011) dalam penelitian menyatakan bahwa pada masyarakat Dayak
sebelum melakukan pembakaran, masing-masing anggota kelompok membersihkan
tatas (sekat bakar) yang telah dibuat sebelumnya dengan menggunakan alat tebas
berupa parang dan sebatang kayu untuk mengumpulkan bahan bahan bakar pada
tatas (sekat bakar) dipindahkan ke tengah areal ladang yang akan dibakar. Bahan
bakar lainnya berupa vegetasi semak dan pohon kecil di dalam ladang ditebas hingga

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 70


rebah. Selanjutnya dikeringkan selama beberapa minggu. Setelah sekat dianggap
aman maka salah satu anggota kelompok memulai membakar menggunakan alat
korek api, obor bambu, atau obor yang dibuat dari ikatan rumput-rumputan yang
sudah kering. Pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah angin. Gambar 7
merupakan skema pembakaran yang diterapkan pada pembakaran tekendali di
masyarakat Dayak.

Gambar 7. Skema Pembakaran Terkendali Masyarakat Dayak


(Sumber: Akbar 2011)
Pembukaan lahan dengan cara dibakar juga masih dilakukan di masyarakat
adat Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi berdasarkan penelitian Syaufina dan
Tambunan (2013) dikarenakan dengan pembakaran penyiapan lahan dapat dilakukan
dengan lebih cepat dan mudah. Namun kejadian kebakaran hutan dan lahan juga
masih terjadi di masyarakat adat Ciptagelar yang dikarenakan oleh faktor kelalaian
dalam penyiapan lahan. Hal ini pula yang cenderung terjadi di Kecamatan Simpenan
meskipun peladang telah melakukan pengawasan namun faktor kelalaian seperti itu
masih dapat ditemukan. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya
kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Simpenan lebih dititikberatkan pada
tindakan sosialisasi ke peladang mengenai bahaya yang ditimbulkan dari kegiatan
pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang tidak diawasi. Selain itu, ladang
yang terdapat di Kecamatan Simpenan untuk penanamannya cenderung dilakukan
dengan tumpangsari dnegan tanaman palawija lain, seperti jagung., kedelai, kacang
tanah, dan cabe rawit. Lahan yang ditanami jenis-jenis tersebut cenderung memiliki
bahaya kebakaran yang kecil dikarenakan lahan dikelola secara intensif sehingga
lahan bersih dari gulma (Akbar 2011).

Kesimpulan
Kejadian kebakaraan hutan dan lahan di Kecamatan Simpenan mengalami
peningkatan pada tahun 2019 sebanyak 7 kejadian hingga bulan Oktober 2019,
sedangkan pada tahun 2018 hanya terjadi 1 kejadian. Peningkatan kejadian ini dapat
dihubungkan dengan kondisi curah hujan yang berkurang pada tahun ini
dibandingkan dnegan tahun sebelumnya. Selain itu, kegiatan pengelolaan
perladangan dalam pembukaan lahan di Kecamatan Simpenan terdiri dari tiga
macam, yaitu tebas-cacah, herbisida, dan pembakaran. Kegiatan pembakaran

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 71


merupakan salah satu faktor yang meningkatkan kejadian kebakaran hutan dan lahan
di Kecamatan Simpenan dikarenakan kegiatan pembakaran yang dilakukan kurang
terawasi sehingga terjadi kebakaran meluas ke lokasi yang lain serta didukung pula
dengan banyaknya bahan bakar yang ada, seperti semak belukar dan daun-daun
kering.

3.3.2 Adaptasi Masyarakat Tani Sebagai Kearifan Lokal Dalam menghadapi


Bencana Kekeringan di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat – Muhammad Zakaria (1806274360)

Abstrak
Masyarakat tani tidak pernah terlepas dari bencana kekeringan sebagai siklus
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi yang dibentuk oleh
lingkungan bencana hidrometeologi sebagai faktor terpenting pembentuk kearifan
lokal membentuk adaptasi petani terhadap iklim. Penelitian ini menggunakan
triangulasi data untuk mendapkan klarifikasi informasi perbedaan dan persamaan
informasi mendalam dan proses adaptasi. Dalam penelitian ini menemukan
tahapan adaptasi dalam ketangguhan menghadapi bencana kekeringan.

Pendahuluan

Latar Belakang

Kabupaten Sukabumi terletak antara 106º 49 samapi 107º Bujur Timur 60º
57 - 70º 25 Lintang selatan dgn batas wilayah administrasi, sebelah Utara dengan
Kab. Bogor, sebelah Selatan dgn samudera Indonesia, sebelah Barat dgn Kab.
Lebak, disebelah timur dgn Kab. Cianjur. Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi
mempunyai potensi wilayah lahan kering yang luas, saat ini sebagaian besar
merupakan wilayah perkebunan, tegalan dan hutan. Kabupaten Sukabumi
mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B (Oldeman) dengan curah hujan rata-
rata tahunan sebesar 2.805 mm hari hujan 144 hari. Suhu udara berkisar antara 20
- 30 derjat C dengan kelembaban udara 85 - 89 persen. Curah hujan antara 3.000 -
4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah hujan antara 2.000 -
3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi
Luasan lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat terus meluas. Ini karena hingga akhir Agustus 2018 tercatat
ada seluas 575 hektare areal pertanian yang terdampak kekeringan dan seluas 178
hektare terancam. Ke-22 kecamatan itu terang Dedah yakni Simpenan,
Gunungguruh, Cikakak, Cisolok, Ciracap, Palabuhanratu, Ciemas, Waluran,
Cimanggu, Cidahu, dan Cicurug. Selanjutnya Kecamatan Gegerbitung,
Bantargadung, Warungkiara, Kadudampit, Cireunghas, Nagrak, Cisaat,
Sagaranten, Lengkong, Purabaya, dan Cicantayan. (Republika 2018).
Kecamatan Simpenan dikenal sebagai penghasil komoditi pertanian dan
daerah wisata yang menawarkan keindahan yang mempesona. Seluruh potensi dan
pesona Kecamatan Simpenan terbagi rata di 7 desa. Di antaranya Desa Cidadap,
Loji, KertaJaya, Cihaur, Cibuntu, Mekarasih dan Sangrawayang. Dengan luas
wilayah yang mencapai 17.069,27 hektare, Kecamatan Simpenan memiliki 1.120
hektare lahan sawah, 9.599,50 hektare lahan bukan sawah, dan 6.712,50 hektare

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 72


lahan bukan sawah. Selain sawah, Kecamatan Simpenan juga memiliki hamparan
kebun teh yang sangat luas. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah penduduk saat
ini mencapai 55.094 jiwa dalam 16.938 kepala keluarga. Desa Cidadap menjadi
desa dengan penduduk terpadat.

Tabel 1 Curah Hujan Kecamatan Simpenan dari Tahun 2017-2019

Sumber : Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Manusia sebagai makhluk hidup telah menyesuaikan diri dengan


lingkungan geografis tertentu. Kondisi tanah gersang dengan batuan dominan juga
menghadapi tantangan. Oleh karena itu, masyarakat setempat memiliki tindakan
adaptasi terhadap lingkungan alam. Langkah adaptasi ini kemudian menjadi
kebiasaan atau tradisi, yang dilekatkan sebagai kearifan lokal. Perubahan perilaku
manusia mengingat prosedur kesesuaian dengan alam telah melahirkan
penyesuaian sosial. Dalam menghadapi bencana disetiap daerah tentunya memiliki
budaya yang bebeda di setiap wilayah makadalam penelitian ini peneliti
mengambil kearifan lokal sebagai variable yang penting untuk menganalisis
adaptasi masyrakat terhadap bencana kekeringan.

Identifikasi Masalah
Beberapa hal yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana adaptasi masyarakat petani dalam menghadapi kekeringan.
2. Bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi kekeringan.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Diperolehnya hasil adaptasi masyrakat petani terhadap kekeringan.
2. Diperolehnya kearifan local masyrakat tani dalam menghadapi kekeringan.

Batasan penelitian

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 73


1. Batasan penelitian ini adalah batas administrasi Kecamatan Simpenan,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
2. Data kekeringan Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian adalah Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat. Adapun waktu pelaksanaan adalah dari bulan November
sampai dengan Desember 2019.

Gambar1. Lokasi Penelitian


Tinjauan Pustaka

Kearifan Lokal
Local wisdom atau yang lebih dikenal dengan kearifan lokal dalam bahasa
Indonesia, ialah suatu gagasan-gagasan yang bijaksana, syarat akan nilai dan penuh
kearifan yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat di suatu daerah.
Kearifan lokal memiliki peran penting dalam kehidupan manusia dengan alam.
Sartini (2004) menuturkan bahwa fungsi kearifan lokal adalah; konservasi dan
pelestarian sumber daya alam, pengembangan sumber daya manusia,
pengembangan aspek kebudayaan dan ilmu pengetahuan, petuah, kepercayaan,
sastra dan pantangan, bermakna sosial misal nya upacara integrasi
komunal/kerabat, bermakna etika dan moral, bermakna politik misalnya upacara
ngangkuk merana dan kekuasaan patron client. Kearifan lokal merupakan bagian
dari kebudayaan. Kearifan lokal adalah segala bentuk yang diciptakan dari hasil
budaya yang didukung oleh lingkungan alam sekitar manusia itu sendiri.

Adaptasi
Purwaningsih (2004:101) pada dasarnya manusia dalam beraktifitas selalu
melakukan kegiatan adaptasi (penyesuaian diri). Penyesuaian diri ini menunjukkan
pengertian adanya sesuatu yang disesuaikan terhadap sesuatu yang lain
(lingkungan). Proses adaptasi dapat diartikan sebagai perubahan dalam pola
kegiatan atau tingkah laku untuk tetap dapat memenuhi syarat minimal agar dapat

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 74


bertahan hidup dalam suatu lingkungan. Pada serangkaian proses adaptasi,
individu–individu yang terlibat di dalamnya harus menggunakan pengetahuan
yang dimiliki mengenai lingkungannya, baik fisik, sosial maupun budaya. Dengan
demikian, alat terpenting dalam setiap proses adaptasi yang dilakukan oleh
manusia adalah pengetahuannya mengenai lingkungan yang ada serta cara–cara
untuk menghadapi dan memanfaatkannya.
Hardesty dalam Siswono (2015:82) mengemukakan tentang adaptasi
bahwa: “adaptation is the process through which beneficial relationships are
established and maintained between an organism and its environment”
maksudnya, adaptasi adalah proses terjalinnya dan terpeliharanya hubungan yang
saling menguntungkan antara organisme dan lingkungannya.
Dalam perubahan iklim terdapat 2 peran adaptasi yaitu sebagai bagian dari
penilaian dampak dengan kata kunci yaitu (1) adaptasi yang dilakukan, dan (2)
respon kebijakan dengan kata kunci rekomendasi adaptasi. Kerangka dalam
mendefiniskan adaptasi adalah dengan mempertanyakan: (1) adaptasi terhadap apa,
(2) siapa atau apa yang beradaptasi, dan (3) bagaimana adaptasi berlangsung. Hal
ini berarti bahwa adaptasi adalah proses adaptasi dan kondisi yang diadaptasikan.

Gambar 2. Konsep Adaptasi Berdasarkan Penyesuaian Dalam Perubahan Iklim


Oleh Smit Dkk (1999)

Adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan ekologi


tertentu, di dalam perubahan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir, konsep
adaptasi mengacu pada strategi: (1) perlindungan terhadap wilayah daratan dari
lautan, sehingga penggunaan lahan dapat terus berlanjut; (2) akomodasi yaitu
melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya; dan (3) strategi menghindar
atau migrasi yaitu meninggalkan wilayah pesisir ke daerah lain yang lebih aman.
Di dalam teori adaptasi terdapat tiga dimensi yang dapat membuat stimulus
yang muncul pada seseorang menjadi optimal. Adapun dimensi tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Intensitas stimulus yang mengenai manusia, ketika berinteraksi dengan


lingkungan. Apabila seseorang menerima stimulus yang berlebih atau
terlampau kecil intensitasnya maka ia akan terganggu secara psikologis.
2. Keragaman stimulus yang menerpa manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Apabila manusia hendak berada pada lingkungn yang kurang
memberikan stimulasi, maka akan muncul kebosanan. Tetapi terlampau
beragam stimulus akan dirasakan melelahkan.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 75


3. Pola stimulus yang dipersepsi adalah meliputi struktur dan kejelasan polanya.
Apabila seseorang menerima stimulus dengan pola yang tidak jelas atau sangat
bervariasi sehingga mengaburkan struktur stimulusnya akan dirasakan sebagai
menganggu.

Gambar 3. Diagram hubungan antara kondisi lingkungan, adaptasi psikologis


dan fenomena perilaku oleh Holahan, dalam Shalih (2012)
Faktor Pembentuk Adaptasi
Dalam analisis bentuk adaptasi terhadap lingkungan (perubahan
lingkungan seperti banjir), tema keterkaitan antara manusia dengan lingkungan
yang menjadi penekanan adalah perilaku (behavior) manusia. perilaku manusia
sendiri didasarkan dengan berbagai hal antara lain persepsi, prefensi, dan aksi
menentukan sesuatu dan sesuatu tercipta karena berbagai faktor. Pemikiran
manusia di permukaan bumi tidak setuju dengan sendirinya, namun disebabkan
oleh pengaruh yang berasal dari dirinya (internal faktor) maupun pengaruh yang
berasal dari luar dirinya. Keterkaitan antara manusia (behavior) dengan elemen
lingkungan dijelaskan pada bagan di bawah ini.

Gambar 4. Keterkaitan antara Perilaku Manusia (Behavior) dengan Elemen


Lingkungan

Kerentanan terbagi menjadi dua, yaitu:


1. Eksternal: meliputi keterpaparan terhadap tekanan dan guncangan luar.
2. Internal: terkait dengan ketidak berdayaan atau tidak ada kapasitas
memadai, ketidak mampuan untuk bertahan

Kekeringan
Kekeringan adalah salah satu bencana alam yang terjadi secara perlahan
berlangsung lama hingga musim hujan tiba yang mempunyai dampak yang luas.
Kekeringan terjadi akibat adanya penyimpangan kondisi cuaca dari kondisi
normalyang terjadi di suatu wilayah. Penyimpangan tersebut dapat berupa
berkurangnya curah hujan dibandingkan dengan kondisi normal. Kekeringan erat
kaitannya dengan berkurangnya curah hujan, suhu udara di atas normal,
kelembaban tanah rendah, dan pasokan air permukaan yang tidak mencukupi.
Perspektif kebencanaan kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan
curah hujan dalam periode waktu tertentu (umum-nya dalam satu musim atau
lebih) yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kebutuhan. Kekurangan
air tersebut berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan pada suatu DAS.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 76


Pada umumnya bencana kekeringan tidak dapat diketahui mulainya, namun dapat
dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat air yang ada sudah tidak lagi mencukupi
untuk kebutuhan sehari-hari. (Indarto dkk, 2014).

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-
lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Tujuan lain dalam penelitian kualitatif yaitu, memahami suatu
situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi dan kelompok (Moleong, 2006).

Gambar 5. Diagram Alur Pikir


Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan mencakup studi tentang kearifan lokal dalam adaptasi
masyarakat yang bekerja di sektor pertanian untuk mengetahui peran lingkungan
sebagai pembentuk adaptasi dan kearifan lokal.
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan data
primer. Data primer bersumber dari hasil observasi di lokasi objek penelitian secara
langsung serta melakukan diskusi dan wawancara dengan berbagai pihak sebagai
responden kunci, petani, pemimpin Kelompok Kerja Lokal (POKJA), pemerintah
daerah. Analisis data dilakukan untuk menjawab pertanyaan apa (yang dilakukan),
mengapa (hal itu dilakukan) dan bagimana (cara melakukannya) uraian naratif
merajut pemaparan suatu fenomena. Penelitian ini bersifat kelembagaan
masyarakat yang berinteraksi langsung dengan kekeringan. Penelitian kualitatif
mamandang bahwa keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih penting dari pada
satu-satu bagian. Karena itu berbagai masalah penelitian tidak dipandang saling
lepas akan tetapi saling berkaitan satu sama lain

Analisis Data
Analisis data yang digunakan meng-gunakan metode site Triangulasi data.
Hasil dari wawancara mendalam kepada petani sebagai objek yang diteliti. Dengan
menggunakan metode kualitatif berikut adalah adaptasi masyarakat Adaptasi

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 77


Masyarakat Tani Sebagai Kearifan Lokal Dalam menghadapi Bencana
Kekeringan.

Gambar 6. Alur Penelitian

Deskripsi Hasil Observasi


Hasil obsevasi dari peneltian ini adalah proses yang sebagai pembentuk
dari adaptasi itu sendiri adalah faktor internal, faktor eksternal dan faktor
kelembagaan. Tahapan ini sudah pada proses kearifan lokal dengan sikap gotong
royong dalam menjaga sistem dan kemampuan lahan untuk memenuhi kebutuhan.

Pembahasan dan Hasil


Faktor internal akan tentu didasari oleh kemampuan pengetahuan yang
dialami melalu proses interaksi manusia dengan Faktor eksternal. Kemudian akan
menjadi kumpulan pengetahuan dan tindakan terhadap keberadaan lingkungan
tersebut dan diwujudkan dalam satu tindakan untuk menjaga kemapuan lahan
dalam memenuhi kebutuhan. Petani Kecamatan Simpenan sudah memiliki
pengtahuan keterkaitan antar ruang sebagai komponen penting dalam mejaga
stabilitas ketersediaan daerah resapan Air seperti di Desa Loji sudah kepada tahap
kearifan lokal yang sudah memiliki ketangguhan bencana yang di wujudkan
melalui sistem sosial masyarakat tani dalam menyesuaikan dengan ruang tempat
tinggal dengan menyesuaikan pola masa tanam, persiapan kekeringan dengan
membuat penampungan air saat musim hujan secara gotong royong, upaya
penanaman jenis farietas holtikultura yang sesuai dengan kondisi iklim untuk
mempertahankan lahan tetap produktif. Desa Cidadap dengan tingkat adaptasi
lokal tersebut dengan dataran alluvial yang berdekatan dengan sungai Cidadap
masih dalam tahap genius yang di wujudkan dalam tingkat pengetahuan yang
kemudian di sertakan dengan sikap dan cara kemudian timbul rasa dan tindakan
terhadap fenomena dalam proses bertani dan faktor internal tentunya akan
menghasilkan keputusan namun system sosial dari ketangguhan masyarakat Desa
Cidadap masih di dasari dasar perseorangan dan belum membentuk sistem kearifan

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 78


lokal , keilmuan dan sikap terhadap fenomena alam yang terjadi ditempat mereka
berkativitas.
Pengetahuan dasar yang menjadi dasar petani sebagai local knowledge
diwujudkan dalam pengetahuan yang mendasari tindakan tahapan ini hanya
sekedar mengetahui fenemona lingkungan, waktu tanam dan cadangan air sebagai
dasar untuk memilih tindakan dan local genius dalam fase ini petani sudah
memiliki knowledge, pada tahapan ini diwujudkan dengan sikap dan cara untuk
mewujudkan ketangguhan bencana kekeringan namun belum membentuk sistem
sosial dan komunitas dalam menyesuaikan dengan fenomena, kemudian Wisdome
diimplementasikan pada kemampuan ketangguhan terhadap bencana yang
diwujudkan dengan sikap dan sistem sosial yang kemudian membentuk komunitas
dalam wujud ketangguhan dengan system dan cara masing-masing sesuai dengan
lingkungan fisik sebagai wadah pembentuk ketangguhan adaptasi masyarakat tani
kecamatan Simpenan.
Faktor eksternal Petani Kecamatan Simpenan melalui gejala-gejala
lingkungan yang dialami kemudian gejala yang mimiliki siklus kemudian
menghasilkan tindakan yang berbeda antar wilayahnya dengan karakter fisik yang
berbeda dengan kemampuan internal dan keadaan eksternal tentunya gejala dari
adaptasi akan berbeda dengan pemahaman petai terhadap lahan dan fungsi ruang
yang menjadi kebutuhan, dibuktikan dengan pengetahuan sumber daya air dan
siklus masa tanam sampai dengan ketersediaanya proses ini didasari oleh
ketersediaan sumber air yang berbeda disetiap lokasi. Kemudian ini adalah dasar
dari proses adaptasi saat bulan kering untuk memenuhi kebutuhan air petani dari
faktor eksternal atau lingkungan sebagai penentu sikap dan tindakan. Peneliti
mendapatkan temuan terhadap faktor eksternal ini dalam bentuk siklus kekeringan
yang panjang tentunya siklus kekeringan panjang ini dapat merubah dari siklus
adaptasi.
Faktor kelembagaan masyrakat tani Kecamatan Simpenan sudah pada
tahap pola pergerakan sistem kearifanl lokal didesa Loji, kemudian sistem di
bentuk oleh proses eksternal yaitu lingkungan yang menjadi faktor utama
ketangguhan dan diwujudkan dengan faktor internal berupa pengalaman individu
kemudian menghasilkan pengetahuan sebagai pertimbangan sikap dan tindakan
individu kemudian dalam sistem sosial yang ada jika sikap dan tindakan individu
yang diakui kebenarannya dalam system sosial menjadikan dasar bagi individu lain
untuk melakukan sikap dan tindakan kemudian berkembang menjadi system sosial
dalam ketangguhan menghadapi bencana kekeringan, siklus yang berjalan sama
akan menghasilkan kultur masyrakat tani dan tindakan sosial secara bersama-sama
dengan asa lebersamaan kemudian membentuk kelembagaan masyrakat tani dalam
sikap dan tindakan bersama yang menjadikan sistem sosial tersebut sebagai
kearifan lokal. Dalam fungsi kelembagaan kelompok tani sebagai pemersatu
presepsi terhadap fenomena lingkungan dan tindakan kemudian faktor pemerintrah
sebagai pendukung dalam proses pemahaman dan sikap dengan wujud bantuan dan
pelatihan terhadap petani.
Adaptasi adalah dimana kemampuan adaptasi dari diri sendiri melalui
beragam peristiwa dan pengalaman terhadap fenomena kejadian dalam proses
adaptasi yang menjadikan ketangguhan terhadap lingkungan, kemudian proses
waktu pengalaman akan menimbulkan gejala siklus terhadap fenomena yang dapat
terulang dalam proses ini akan menghasilkan tindakan siklus dengan proses
adaptasi penyesuaian dengan lingkungan, kemudian kelembagaan adalah peran

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 79


penting dalam proses adaptasi sebagai pemersatu pandangan dan kemudian di
wujudkan dengan tindakan kemudian tindakan yang di bentuk oleh lingkungan.

Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian adalah kearifan local yang terjadi di
Kecamatan Simpenan yang terbentuk dengan proses gotongroyong dengan asas
kebersamaan landasan kepentingan bersama dalam pemenuhan kebutuhan yang
sama. Kemudian adanya aturan sosial yang dibentuk oleh asas kebersamaan
dengan aturan-aturan sosial dengan sistem budaya persamaan antar petani untuk
mewujudkan ketangguhan kekeringan. Jadi kearifan local ini terbentuk oleh
kepentingan ekonomi demi keberlangsungan matapencaharian petani dalam
mempertahankan kemampuan lahannya.

Daftar Pustaka
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
https://sains.kompas.com/read/2019/08/20/200600123/bmkg-
jelaskan-penyebab-musim-hujan-2019-2020-di-indonesia-
terlambat?page=all [diakses pada: 04 Desember 2019]
A.T. Mosher, Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Jakarta: Jayaguna,
1968
Fadholi Hernanto. (1996). Ilmu Usahatani. Jakarta: Penerbit Swadaya
Hardoyo, Su Rito. 2011. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi
Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan. Yogyakarta:
Percetakan Pohon Cahaya.
Iskandar, Zulrizka. 2012. Psikologi Lingkungan: Teori dan Konsep. Bandung:
PT Refika Aditama.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Purwaningsih, E. 2004. Patrawidya Vol 5 No. 4. Yogyakarta: BKSNT. 2004
Ramli, Soehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster
Management). Jakarta: Dian Rakyat.
Shalih, Osmar. 2012. Adaptasi Penduduk Kampung Melayu Jakarta Terhadap
Banjir Tahunan. Depok: Skripsi.
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. Dalam:
Jurnal Filsafat.
Siswono, Eko. 2015. Ekologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani
Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Jakarta: Djambatan.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 80


BAB IV
PENUTUP

Demikian laporan kegiatan Kuliah Lapang ini kami buat. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pihak-pihak terkait (stakeholders)
pengambil kebijakan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Oleh karenanya, atas
dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak kami ucapkan terima kasih.

Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 81


Laporan Kuliah Lapang 2018-B | 82

Anda mungkin juga menyukai