Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang
menyatakan bahwa abad 20 merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari
dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman
bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih
pada negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman
adalah “bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam yang
betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana”.1 Hanya dengan Iklim
demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang dengan cepat.
Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai kemajemukan Indonesia,
termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai abad 20, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan
yang sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam).
Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda.
Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan
Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.2 Semuanya adalah gerakan keagamaan
yang memiliki trade mark dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain.
Dari sekian banyak gerakan tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah
satu organisasi yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti
dengan banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan
akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul

1
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Mizan, Bandung: 1996), h. 16.
2
Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam
Perspektif Historis dan Ideologis), (Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta:
2000), h. 55-58.

1
banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah
memberikan andil besar terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas ada beberapa hal yang penting yang menjadi
Rumusan Masalah dalam makalah ini, diantaranya yaitu:
1. Bagaimana Sejarah dan Faktor Lahirnya Muhammadiyah?
2. Apa Saja Faktor Lahirnya Muhammadiyah?
3. Apa Maksud Gerakan Pemikiran Muhammadiyah antara Purifikasi dan
Modernisasi?

C. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah Lahirnya Muhammadiyah.
2. Untuk Mengetahui Faktor Lahirnya Muhammadiyah.
3. Untuk Mengetahui Maksud dari Gerakan Pemikiran Muhammadiyah antara
Purifikasi dan Modernisasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Faktor Berdirinya Muhammadiyah


Muhammadiyah didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) pada 8
Dzulhijjah 1332 H atau 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta. Tokoh pendiri
Muhammadiyah yangbernama kecil Muhammad Darwis ini berasal dari keluarga
bangsawan keagamaan. Ayahnya yang bernama K.H Abu Bakar ibn K.H
Sulaiman, menjabat sebagai khatib, jabatan abdi dalem urusan agama yang
bertanggung jawab atas penyelenggaraan shalat Jum’at di Masjid Agung
kesultanan Yogyakarta.3
Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah
keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni
peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan
"eksperimen sejarah" yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan
ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia.
Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan
representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma'ruf nahi
mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah
merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu
memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam
menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran
Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah
berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi
kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya

3
Suwarno, Relasi Muhammadiyah, Islam dan Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
h. 13

3
keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya yang
sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah
pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni pencampuradukan dari
berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih
memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan
supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi
dalam masalah ibadah atau yang disebut bid'ah, yakni praktek keagamaan yang
tidak ada dasarnya yang jelas baik dari al-qur'an maupun as- sunnah. Keyakinan
inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan
pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang
sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh
tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama
abad 20.4 Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13
Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru
pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan.
Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah
sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum
signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan
pembenahan dibidang keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-
wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan
oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh
pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan
dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain yang juga lebih penting yang ikut memainkan
peran dalam mendukung kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut

4
Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadapPenetrasi
Misi Kristen di Indonesia, (Mizan, Bandung: 1998), h. 125.

4
oleh para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh
besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak
penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua
faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah pada tahun 1912 M.5
Menurut Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana
Indonesia agak menyepelekan "faktor misi Kristen" ini. Alasan pertama adalah
keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan
pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan
kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan
pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang berada dalam
katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini menjadi penting
khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat
digunakan untuk memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan
sedang diancam oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat
berkepentingan mencegah munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan
di antara masyarakat beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang
bisa memicu ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya pemerintah juga memainkan peranan dalam
menyembunyikan gejala bahwa Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang
Islam. Hubungan Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya
hanya sebagai upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh
keuntungan yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia.
Indikator ini bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian
bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam
mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di
Indonesia hanya berkisar 2,8%, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4% yang

5
Shihab, Alwi, Membendung Arus... h. 126

5
tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah
menimbulkan kritik keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam,
khususnya pada dekade 1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap
misi Kristen.
B. Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah
gerakan Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa
Arab disebut‘tajdid', dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua
permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan
formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu
kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat
Islam dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat.6 Cita-cita dan gerakan pembaruan yang
dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan
keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H.
Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia
menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton
dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi Islam-
tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.7
Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk
memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang
berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke
masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat
dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi
baru dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya
Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya

6
Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk
Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, (Sippres, Yogyakarta: 1994), h. 175
7
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, (Mizan, Bandung: 1998), h. 268.

6
Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya
adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap
dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam
dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid'ah dan khurafat, merupakan bukti yang
menjelaskan itu.
Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam
Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan.
Gerakan "pemurnian" (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-
sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi
lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar
melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi
sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi
(Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari
Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini.
Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada
aspek aqidah (metafisik).8 Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat)
merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang
dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya
menderukan gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa
Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada
waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan
syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-
minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan
berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan
masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa

8
Amin Abdullah, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, (Suara
Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998).

7
gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada
lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang
jawa juga percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang
garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula bermacam-macam ajian,petung
(hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk
antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada
termenologi al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari
perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung
membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan
Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do'a, dan zikir, akibatnya ialah
adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar
yangrasional, maka yang terjadi adalah rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu
yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara
mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak
menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan
ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi
murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai
sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut
oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi
masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari
pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan.
Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata
lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.
Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan
beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk
desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam
masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan puritanisasi itu. Begitu
juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa

8
seperti konsep mengenai ‘'sing mbau rekso" juga mulai mengguncang tertib
masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam
itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan
kesejahteraan desa.9
Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang
dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya,
gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat
menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa
yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja
sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan
desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun
Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama
terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri
masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang
memadahi hingga menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga
tampak dalam pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak
adanya ikatan antara guru-murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki
sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan
hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren,
dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam
lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar
budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah
ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang
adalah apakah Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah
justru terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?

9
Kuntowijoyo, Paradigma Islam,... h. 268

9
Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan
penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak
kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah
terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam
melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas
historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan
elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat
menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata
pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi
merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu
sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita
profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap
masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang
diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat
110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai
karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan
transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju
cita-cita sosial-etiknya di masa depan.10
Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan
manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi
karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat
abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan
mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan
reduksionistik yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah

10
Kuntowijoyo, Paradigma Islam,... h. 289

10
liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan
pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang
terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh
kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari
belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah
dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus
hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus
dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi
transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah,
lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi
Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga
tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis keagamaan
yang didukung oleh nilai-nilaisosial-religius.
Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan)
disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis
Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan
dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang
sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia
pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu
dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek
yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan pandangan hidup yang
menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya berada di luar
kesadaran keagamaan.11
C. Modernisasi (Tajdid)
Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan
cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi

11
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman
Kontemporer, (Mizan, Bandung: 2000), h. 147.

11
(tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari
pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al-
Qur'an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga
memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.12
Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi
penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu.
Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah usaha
dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi pengertian
dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan
perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam
membumikan konteks waktu dan ruang.13
Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu
pertama, pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak
pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam,
masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri
Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri
Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan
statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan
otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah
bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan bantuan
sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas
landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip
rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan
oleh para sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan

12
Amien Rais, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, (Logos Publishing House, Jakarta: 1995), h. 7.
13
Ahmad Syafi'i Ma'arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, (Logos Publishing House, Jakarta: 1995), h. 11

12
Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang
Prajurit Islam menang perang.14
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan
dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan
pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang
lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang
senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau
mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif
juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian
serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-
batasan atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan
manusia dengan merujuk pada maqasid al syari'ah.
Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani
masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih.
Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan
sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya
berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial
kemasyarakatan.
Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat
industri, lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial
society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola
kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih
dengan Pengembangan Pemikiran Islam.
Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah
menjadi lembaga yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-
budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap

14
Syafi'i Ma'arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad,... h. 13

13
Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin
meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah
memadukan antara dimensi "normativitas" wahyu dengan "historisitas"
pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah, dan Tajdid
atau Ijtihad15 berjalan sealur dan seirama.
Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap
perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang
dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi.
Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan mampu
menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru.
Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari
permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab secara tepat.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-
persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.
Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan
antara teks"normatifitas" dengan teks "historisitas". Dua wilayah ini dalam
garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H.
Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma'un kepada santri-santrinya
menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada
wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusahaconcern terhadap problem sosial
yang harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah
menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu,
Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan,
Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.

15
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam,... h. 150

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam
Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama
tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang
mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap
penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid
pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua sudah mulai terlihat
pentingnya menyelesaikan masalah yang sama sekali baru yang dihadapi umat
Islam. Pada pase ini mulai dibahas bahkan dirumuskan tajdid dalam arti
modernisasi dan dinamisasi.
Rumusan dan konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan
masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ini tidak
lagi berkutat pada pemurnian aqidah dan masalah-masalah khilafiyah dalam fikih,
tetapi lebih diarahkan pada ijtihad insya’i. Sedangkan pada pase terakhir, tema
tajdid dalam Muhammadiyah tidak terbatas pada masalah purifikasi dan
dinamisasi, tetapi menuju rekonstruksi dan bahkan dalam batas tertentu melakukan
dekonstruksi terhadap ajaran normatif, menuju ajaran islam yang bersifat
historis.sama kuatnya dengan kecenderungan liberalis.
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun mengenai gerakan pembaharuan
muhammadiyah, kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan olehnya itu kritik dan saran dari pembaca maupun dosen
pembimbing sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Amin, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, (Suara


Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998).

Abdullah M. Amin, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman


Kontemporer, (Mizan, Bandung: 2000).

Amal Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman, (Mizan, Bandung: 1996).

Kamal Mustafa dan Adaby Ahmad, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam
Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam (LPPI), (Yogyakarta: 2000).

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, (Mizan, Bandung: 1998).

Ma'arif Ahmad Syafi'i, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis
Tarjih Muhammadiyah, (Logos Publishing House, Jakarta: 1995).

Rais Amien, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, (Logos Publishing House, Jakarta: 1995).

Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah


terhadapPenetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Mizan, Bandung: 1998).

Suwarno, Relasi Muhammadiyah, Islam dan Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2010).

Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi
untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, (Sippres, Yogyakarta:
1994).

16

Anda mungkin juga menyukai