Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Chronic Kidney Disease ( CKD ) merupakan gangguan fungsi renal

yang progresif dimana kemampuan tubuh tersebut gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit

sehingga terjadi uremia. Chronic Kidney Disease ( CKD ) disebabkan oleh

berbagai keadaan, meliputi penyakit – penyakit yang mengenai ginjal atau

pasokan darahnya misalnya glumeluropati, hipertensi, diabetes, Pada gagal

ginjal kronis ( GGK ) yang sudah lanjut kadar natrium, kalium, magnesium,

amino dan fosfat didalam darah semuanya akan mengalami peningkatan

sementara kadar kalsium menurun. Retensi natrium dan air akan menaikan

volume intravaskuler yang menyebabkan hipertensi (Berkowitz,2016).

Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2017) dan

Burden of disease, Gagal Ginjal Kronik telah menjadi masalah kesehatan

serius di dunia. Penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan

kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukan bahwa

penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian. Prevelensi

gagal ginjal kronik telah mengalami peningkatan cukup tinggi. Di Amerika

Serikat angka kejadian penyakit ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun, dari

data tahun 2002 terjadi 34.500 kasus, tahun 2007 menjadi 80.000 kasus, dan

pada tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu 2 juta orang yang menderita

penyakit ginjal. Dari data tersebut pravelensi penyakit ginjal kronik

1
meningkat hingga 43% selama decade tersebut (Lukman et al., 2015 ).

Penyakit Gagal Ginjal di Indonesia menempati urutan ke 10 dalam penyakit

tidak menular (Kemenkes RI, 2015). Pravelensi gagal ginjal di Indonesia

mencapai 400.000 juta orang tetapi belum semua pasien tertangani oleh

tenaga medis, baru sekitar 25.000 orang pasien yang dapat ditangani, artinya

ada 80% pasien yang tidak mendapat pengobatan dengan baik.

Pada bulan November 2016 dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah

berkerjasama dengan Rumah Sakit Umum pusat dr.Kariardi Semarang

melakukan penelitian dengan hasil penderita gagal ginjal kronik terbesar

adalah kabupaten Surakarta dengan 54,2% dari jumlah total 56 ribu penderita.

Diperkirakan tiap tahun ada 2000 pasien baru. Berdasarkan data tersebut

sekitar 60%-70% dari pasien tersebut berobat dalam kondisi sudah masuk

tahap gagal ginjal terminal. Sedangkan untuk kabupaten Kebumen

prevelensinya mencapai 3% atau sekitar 456 penderita (Dinkes Jateng, 2016).

Masalah yang dapat muncul pada pasien Gagal ginjal kronik yaitu dapat

mengalami gangguan dalam fungsi kognitif, adaptif, atau sosialisasi

dibandingkan dengan orang normal lainnya. Permasalahan psikologis yang

dialami pasien hemodialisa sebenarnya sudah ditunjukan dari sejak pertama

kali pasien divonis mengalami gagal ginjal kronik. Penanganan optimal

pasien dewasa dengan penyakit kronik tidak hanya terbatas pada masalah

medis, tetapi harus memperhatikan faktor perkembangan, psikososial, dan

keluarga sebab penyakit kronik berdampak terhadap tahap perkembangan

selanjutnya yang menimbulkan berbagai masalah dan menurunkan kualitas

2
hidupnya ( Rusmail, 2018 ). Akibat dari stress yang dialami pasien

menimbulkan ketidakpatuhan terhadap modifikasi diet, pengobatan, uji

diagnostic, pembatasan asupan cairan, dan terapi hemodialisa ( Yeh dan

Chou, 2017 ). Hal ini jelas menunjukan, bahwa dampak stress lainnya pada

pasien yang menjalani cuci darah darah ( hemodialisa ) adalah dapat

memperburuk kesehatan pasien. Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat

dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi konservatif dan terapi pengganti

ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal

ginjal secara progresif, meringankan keluhan – keluhan akibat akumulasi

toksi azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara

keseimbangan cairan elektrolit. Beberapa tindakan konservatif yang dapat

dilakukan dengan pengaturan diet pada pasien gagal ginjal kronis. Tujuan dari

terapi hemodialisa adalah untuk mengambil zat – zat nitrogen yang toksik

dari dalam darah pasien ke dialyzer tempat darah tersebut dibersihkan dan

kemudian dikembalikan ke tubuh pasien. Ada tiga prinsip mendasari kerja

hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi penderita gagal ginjal

kronis hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa

tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal dan tidak

mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang

dilaksanakan ginjal dan tampak dari ginjal serta terapinya terhadap kualitas

hidup pasien ( Cahyaningsih, 2019 ). Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi

diatas 75% ( gagal ginjal terminal atau tahap akhir ), proses cuci darah atau

hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut

3
merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang

usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal

yang di derita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan

kehidupan pasien yang gagal ginjal ( Wijayakusuma, 2018 ). Pada penderita

Chronic Kidney Disease gangguan pemenuhan kebutuhan cairan akan

menunjukan beberapa tanda dan gejala, mayor harus ada edema, kulit tegang

dan mengilap, minor yang mungkin ada asupan cairan lebih banyak daripada

haluaran, sesak nafas, penambahan berat badan (carpenito, 2019). Keparahan

kondisi bergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang

mendasari adalah usia pasien, manifestasi kardio vaskuler diantaranya

hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema pulmonal, perikarditis, gejala –

gejala dermatalogis diantaranya gatal – gatal hebat atau proritus, serangan

uremik karena pengobatan dini dan agresif, gejala gastrointestinal diantaranya

anoreksia, mual, muntah dan cegukan, haus, rasa kecap logam dalam mulut,

perubahan.

B. Tujuan Penulisan

C. Manfaat Penulisan

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR GAGAL GINJAL KRONIK

1. Pengertian

Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2015).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang

bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal

yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam

kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2017).

CRF (Chronic Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal

yang progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh

gagal untuk mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2015).

Jadi kesimpulannya gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi

ginjal yang progresif dan irreversible yang menyebabkan kegagalan dalam

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit.

5
2. Klasifikasi CKD

Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney

Disease (CKD). Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan

cronoic renal failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih

baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini,

kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa

masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk

menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance

creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF

(cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang

dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila

menggunakan istilah CRF.

Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3

stadium :

a. Stadium I :

Penurunan cadangan ginjal, Kreatinin serum dan kadar BUN

normal, Asimptomatik. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih,

tes GFR

b. Stadium II :

Insufisiensi ginjal, Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar

protein dalam diet), Kadar kreatinin serum meningkat, Nokturia dan

poliuri (karena kegagalan pemekatan)

c. Stadium III:

6
gagal ginjal stadium akhir atau uremia, kadar ureum dan kreatinin

sangat meningkat, ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis

cairan dan elektrolit, air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma,

dengan BJ 1,010. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality

Initiative) merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium

dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus)

3. Etiologi

Gagal ginjal kronik menurut (Mansjoer, 2017) terjadi setelah

berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar

merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.

a) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.

b) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.

c) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.

d) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus

sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.

e) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal

polikistik, asidosis tubuler ginjal.

f) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme,

amiloidosis.

g) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati

timbale.

h) Nefropati obstruktif

7
i) Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis,

netroperitoneal.

j) Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra,

anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

4. Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk

glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa

nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi

volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam

keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan

ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan

yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi

berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena

jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi

produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi

lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira

fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang

demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih

rendah itu.

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang

normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi

uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan

produk sampah, akan semakin berat.

8
a) Gangguan Klirens Ginjal

Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari

penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan

penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal

Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan

mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut

filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin

akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar

nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum

merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini

diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh

penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme

(jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.

b) Retensi Cairan dan Ureum

Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau

mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon

ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit

sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan,

meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan

hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin

angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.

Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam,

mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare

9
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk

status uremik.

d) Asidosis

Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis

metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan

muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama

akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾)

dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan ekskresi fosfat

dan asam organic lain juga terjadi

e) Anemia

Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,

memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan

untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari

saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun

dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.

f) Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat

Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah

gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan

fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya

meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui

glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya

penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum

menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada

10
gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan

sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan

pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-

dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun.

g) Penyakit Tulang Uremik

Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks

kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.

5. Tanda dan gejala

1) Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia

Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa

sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek,

bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah

retikulosit normal. Defisiensi hormone eritropoetin Ginjal sumber ESF

(Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi

sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses

hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.

2) Kelainan Saluran cerna

a. Mual, muntah, hicthcup

b. dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) →

iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.

c. Stomatitis uremia

d. Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva

banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.

11
e. Pankreatitis

3) Kelainan mata

4) Kardiovaskuler :

a. Hipertensi

b. Pitting edema

c. Edema periorbital

d. Pembesaran vena leher

e. Friction Rub Pericardial

5) Gatal

12
B. KONSEP HEMODIALISA

1. Definisi

Dialisis merupakan proses yang menggantikan secara fungsional

pada gangguan fungsi ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan

akumulasi toksin endogen atau eksogen (Doenges, 2015).

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal

dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang

berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa

metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black & Hawks, 2016; Ignatavicius &

Workman, 2016).

Sedangkan menurut Baradero (2018), hemodialisis adalah

pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara

difusi dan ultrafiltrasi yang kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh

pasien.Bagi pasien dengan penyakit ginjal kronik, hemodialisis merupakan

salah satu terapi yang mampu memperpanjang kehidupan (Smeltzer et al,

2018).

Jadi Hemodialisa adalah suatu proses pencucian darah dengan

ginjal buatan dengan menggunakan selaput membran semipermeabel

untuk mengeluarkan sisa metabolisme dan gangguan keseimbangan cairan

dan elektrolit serta untuk memperpanjang hidup penderita gagal ginjal

tersebut.

2. Epidemiologi

13
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai

Desember tahun 2015, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang

tercatat dari Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat

inap dan laporan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2017 jumlah

pasien yang mengalami rawat jalan adalah 661. Peningkatan kasus baru

hemodialisa sebesar 33% pertahun. Diperkirakan telah lebih dari 100.000

pasien yang akhir-akhir ini menjalani dialisis. ). Sementara di RSUP H. Adam

Malik Medan didapatkan total pasien HD pada Februari 2018 sebanyak 197

pasien dengan jumlah tindakan hemodialisis sebanyak 1.081 (Maruli, 2018).

3. Tujuan Hemodialisa

a. Meningkatkan kualitas hidup pasien menderita penurunan fungsi ginjal.

b. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer (asam basa) tubuh.

c. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan lain.

Tujuan hemodialisa adalah menghilangkan gejala, yaitu mengendalikan

uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada

pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir. Hemodialisa efektif mengeluarkan

cairan, elektrolit, dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung

bertujuan untuk memperpanjang umur klien

Menurut Brunner dan Suddarth (2017), tujuan hemodialisa adalah untuk

mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air

yang berlebihan. Pada hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan

limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut

dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien

14
4. Indikasi Hemodialisa

a. Gagal ginjal akut

b. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit

c. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l

d. Ureum lebih dari 200 mg/dl

e. pH darah kurang dari 7,1

f. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari

g. Intoksikasi obat dan zat kimia

h. Sindrom hepatorenal

Menurut Daugirdas, Blake & Ing (2017), indikasi hemodialisis dibedakan

menjadi 2 yaitu: hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan

hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis dilakukan pada keadaan

kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria

(produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam),

hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I),

asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150

mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis

uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia dan

keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.

Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan

berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin

hemodialysis. Dialisis dimulai jika GFR <15 ml/menit, keadaan pasien yang

15
mempunyai GFR <15 ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap

baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari: 1) GFR <15 ml/menit,

tergantung gejala klinis; 2) gejala uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea

dan muntah;, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot; 4) hipertensi

yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan dan 5) komplikasi metabolik

yang refrakter

5. Kontraindikasi Hemodialisa

a. Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa.

b. Akses vaskuler sulit.

c. Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal,

dan sindrom otak organic (Pernefri, 2016)

6. Faktor yang Mempengaruhi Hemodialisa

a. Aliran darah

Secara teori seharusnya aliran darah secepat mungkin. Hal-hal yang

membatasi kemungkinan tersebut antara lain: tekanan darah dan jarum yang

digunakan. Terlalu besar aliran darah bisa menyebabkan syok pada

penderita.

b. Luas selaput/membran yang dipaka

Luas selaput yang biasa dipakai adalah 1−1,5 cm2 tergantung dari besar

badan/ berat badan pasien.

c. Aliran dialisat

16
Semakin cepat aliran dialisat semakin efisien proses hemodialisa, sehingga

dapat menimbulkan borosnya pemakaian cairan.

d. Temperatur suhu dialisat

Temperature dialisat tidak boleh kurang dari 360C karena bisa terjadi

spasme dari vena sehingga aliran darah melambat dan penderita menggigil.

Temperatur dialisat tidak boleh lebih dari 420C karena bisa menyebabkan

hemolisis.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2015).

Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3

stadium :

d. Stadium I :

Penurunan cadangan ginjal, Kreatinin serum dan kadar BUN

normal, Asimptomatik. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih,

tes GFR

e. Stadium II :

Insufisiensi ginjal, Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar

protein dalam diet), Kadar kreatinin serum meningkat, Nokturia dan

poliuri (karena kegagalan pemekatan)

f. Stadium III:

gagal ginjal stadium akhir atau uremia, kadar ureum dan kreatinin

sangat meningkat, ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis

cairan dan elektrolit, air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma,

dengan BJ 1,010. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality

18
Initiative) merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium

dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus)

B. Saran

Bagi pendidikan keperawatan karya tulis ilmiah ini di harapkan dapat

menambah wawasan bagi tenaga kesehatan dalam proses pemberian asuhan

keperawatan dalam praktik klinik keperawatan.

19

Anda mungkin juga menyukai