Anda di halaman 1dari 27

1

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................... Error! Bookmark not defined.


HALAMAN JUDUL.............................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1 Definisi............................................................................................... 5
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 5
2.3 Etiologi .............................................................................................. 5
2.4 Patogenesis ........................................................................................ 7
2.5 Gejala Klinis ..................................................................................... 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 22
2.7 Penatalaksanaan............................................................................. 25
BAB 3. KESIMPULAN ........................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27
3

BAB 1. PENDAHULUAN

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius, disebabkan


oleh bakteri berbentuk spiral, Treponema pallidum subspesies pallidum. Schaudinn
dan Hoffmann pertama kali mengidentifikasi Treponema pallidum sebagai
penyebab sifilis pada tahun 1905. Schaudin memberi nama organisme ini dari
bahasa Yunani trepo dan nema, dengan kata pallida dari bahasa Latin.

Angka sifilis di Amerika terus menurun sejak tahun 1990, jumlahnya


dibawah 40.000 kasus per tahun. Center for Disease Control (CDC) melaporkan
hanya 11,2 kasus sifilis per 100.000 populasi pada tahun 2000 dan kasus ini terpusat
di kota besar dan wilayah tertentu. Penyebaran sifilis di dunia telah menjadi
masalah kesehatan yang besar dan umum, dengan jumlah kasus 12 juta per-tahun.
Hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan
HAM, dari 24 lapas dan rutan di Indonesia didapatkan prevalensi sifilis 8,5% pada
responden perempuan dan 5,1% pada responden laki-laki. Penularan sifilis biasanya
melalui kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi, kontak langsung dengan
lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui
plasenta pada stadium akhir kehamilan.

Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila dibiarkan
penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi
menjadi sifilis stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis
primer, sekunder, dan laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier
(gumatous, sifilis kardiovaskular dan neurosifilis) serta sifilis laten lanjut.

Meskipun insidensi sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan,
karena merupakan penyakit berat. Hampir semua alat tubuh dapat diserang,
termasuk sistem kardiovaskuler dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita
sifilis dapat meularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis
kongenital yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian.
4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum,
sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir
seluruh alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan
dapat ditularkan dari ibu ke janin.

2.2 Epidemiologi
Insidensi sifilis di Amerika mulai meningkat pada akhir tahun 2000, dan
semakin meningkat secara nasional sampai 2009. Epidemi sifilis semakin
berkembang terutama pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki
(LSL). Insidensi dari sifilis dan penyakit infeksi menular seksual (IMS) lainnya
pada LSL telah menurun selama epidemi AIDS dan meningkatnya kejadian
berikutnya antara LSL telah dikaitkan oleh sejumlah faktor, termasuk penurunan
praktik seks aman akibat penanganan HIV yang sukses, penggunaan Internet untuk
bertemu dengan mitra seks, dan peningkatan penggunaan narkoba, termasuk
methamphetamine dan obat-obatan disfungsi ereksi. Tingkat rasio penderita sifilis
laki-laki dan perempuan sangat bervariasi, namun, umumnya lebih tinggi pada
kota-kota besar di seluruh dunia. Wabah antara pria dan wanita heteroseksual terus
terjadi secara sporadis, dan sifilis pada kalangan heteroseksual telah muncul
kembali sebagai masalah kesehatan masyarakat. Dibandingkan dengan orang yang
memiliki tidak pernah menderita sifilis, orang dengan riwayat sifilis berada pada
risiko tinggi untuk terinfeksi sifilis berulang.

2.3 Etiologi
Penyebab sifilis adalah bakteri dari famili Spirochaetaceae, ordo
Spirochaetales dan Genus Treponema spesiesTreponema pallidum. Pada tahun
1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman yaitu Treponema
pallidum. Treponema berupa spiral halus, panjang 5-15 mikron dan diameter 0,009-
0,5 mikron, setiap lekukan gelombang berjarak 1 mikron dan rata-rata setiap bakteri
terdiri dari 8-14 gelombang dan bergerak secara aktif. karena spiralnya sangat halus
5

maka hanya dapat dilihat pada mikroskop lapangan gelap dengan menggunakan
teknik immunofluoresensi. Terdapat dua lapisan, sitoplasma merupakan lapisan
dalam mengandung mesosom, vakuol ribosom dan bahan nukleoid, lapisan luar
yaitu bahan mukoid. Kuman ini bersifat anaerob dan diantaranya bersifat pathogen
pada manusia. Potongan melintang Treponema pallidum dapat dilihat pada Gambar
1.
Taksonomi dari Treponema palidum
Kingdom : Bacteria
Phylum : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetales
Family : Spirochaetaceae
Genus : Treponema
Species : T. pallidum
Subspecies : pallidum

Gambar 1. Potongan melintang Treponema pallidum, tampak PF= Periplasmic


flagella dan OS= Outer sheth (CDC, 2010)

Ada tiga macam antigen Treponema pallidum yaitu protein tidak tahan
panas, polisakarida, dan antigen lipoid. Dalam keadaan anaerob pada suhu 25°C,
Treponema pallidum dapat bergerak secara aktif dan tetap hidup selama 4-7 hari
dalam perbenihan cair yang mengandung albumin, natrium karbonat, piruvat,
sistein, ultrafiltrat serum sapi. Kuman ini sukar diwarnai dengan zat warna lilin
tetapi dapat mereduksi perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat pada
permukaan sel kuman. Kuman berkembang biak dengan cara pembelahan
melintang. Waktu pembelahan kuman ini kira-kira 30 jam.
6

Pembiakan umumnya tidak dapat dilakukan di luar tubuh. Di luar tubuh,


kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk tranfusi dapat hidup 72
jam.

2.4 Patogenesis
Patogenesis dari penyakit sifilis ini dibagi menjadi 2 stadium yakni:
1. Stadium Dini
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu
yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.
Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh dan
kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran darah,
kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial
jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa
jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi
belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun
yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembang biak
Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi
primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasa-nya bertahan selama 4-
6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman
mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang
terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat
sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat masuknya
kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum berada diantara
endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang
dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan
vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut berkurang
sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre. Pada pemeriksaan
klinis disebut sebagai S I.
Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional
secara limfogen dan berkembang biak. Pada saat itu, terjadi pula penjalaran
7

hematogen dan menyebar secara cepat serta melakukan multiplikasi. Multiplikasi


ini diikuti oleh reaksi jaringan sekitar yang disebut sebagai S II, yang terjadi 6-8
minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat
tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblast-fibroblas dan
akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga akan mengalami regresi perlahan dan
lalu menghilang.
Stadium laten merupakan stadium yang tidak disertai gejala meskipun
masih terdapat infeksi yang aktif. Sebagai contoh pada stadium ini yaitu ibu yang
melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Terkadang, proses imunitas gagal
mengontrol infeksi sehingga Treponema pallidum berkembangbiak lagi pada lesi
SI dan menimbulkan lesi rekuren. Kuman tersebut juga dapat menyebar melalui
jaringan dan menyebabkan reaksi yang serupa dengan S II atau lesi S II rekuren.
Lesi menular ini dapat terjadi berulang-ulang, namun biasanya tidak melebihi 2
tahun.

2. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlang bertahun-tahun karena Treponema pallidum dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian, antibodi untuk kuman tersebut masih ada
dalam tubuh penderita. Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum
dipahami selengkapnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik
karena didalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin.
Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan
kerusakan jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar
sel akan terbunuh oleh fagosit tetapi ada sejumlah kecil Treponema yang dapat tetap
dapat bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainnya yang bukan fagosit
misalnya sel endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk
mengapa Treponema pallidum dapat hidup dalam tubuh manusia dalam jangka
waktu yang lama, yaitu selama masa asimtomatik yang merupakan ciri khas dari
penyakit sifilis. Sifat invasif Treponema sangat membantu memperpanjang daya
tahan kuman di dalam tubuh manusia. Keseimbangan antara jumlah Treponema
pallidum dan reaksi jaringan terhadap kuman dapat berubah dengan seketika karena
8

berbagai macam factor, salah satunya yaitu trauma. Pada saat itu muncullah S III
berbentuk guma (Djuanda, 2015).
Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan nekrosis
sentral, muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi awal, meskipun guma bisa
juga muncul lebih lambat. Lesi ini bersifat merusak biasanya mengenai kulit dan
tulang, meskipun bisa juga muncul di hati, jantung, otak, lambung dan traktus
respiratorius atas. Lesi jarang yang sembuh spontan tetapi dapat sembuh secara
cepat dengan terapi antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak menyebabkan
komplikasi yang serius, disebut dengan sifilis benigna lanjut (late benign syphilis).
Skema patogenesis pada sifilis dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Patogenesis Sifilis


9

2.5 Gejala Klinis


1. Sifilis Akuisita
a. Sifilis dini
i. Sifilis primer (S I)
Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya
menjadi erosi. Papul membesar dengan ukuran 0,5 – 1,5 cm kemudian
mengalami ulserasi, membentuk ulkus. Ulkus tersebut biasanya
berbentuk bulat dengan diameter 1-2 cm, tidak nyeri, bagian dasar
terdapat jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, sedangkan di
bagian atas tampak serum saja, soliter tetapi dapat juga multipel, indolen
dan teraba indurasi sehingga disebut ulkus durum. Kelainan tersebut
dinamakan afek primer. (Djuanda, 2016; Suryani dan Sibero, 2014).
Afek primer biasanya berlokasi di genitalia eksterna. Pada pria
sering dijumpai pada sulkus koronarius, pada wanita di labia minor dan
mayor, sedangkan untuk ekstragenital sering dijumpai pada lidah, tonsil,
dan anus. Tanpa pengobatan, afek primer dapat sembuh sendiri antara
tiga sampai sepuluh minggu. Seminggu setelah afek primer, pembesaran
kelenjar getah bening biasanya terjadi di regional inguinalis medialis.
Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar,
indolen, tidak lunak, biasanya lentikular, tidak supratif, dan terdapat
tanda-tanda radang akut pada kulit di atasnya.

Ulkus Sifilis primer di penis


10

Ulkus sifilis primer di anus (kiri) dan di vagina (kanan)

ii. Sifilis sekunder (S II)


Biasanya timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I.
Lama S II bisa sampai sembilan bulan. Pada S II dapat disertai gejala
konstitusi berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala,
demam yang tidak tinggi, dan atralgia. Kelainan kulit yang membasah
pada S II sangat menular misalnya kondiloma lata dan plaque
muqueuses, sedangkan kelainan kulit yang kering kurang menular.
Kelainan kulit pada S II umumnya tidak gatal, sering disertai limfadenitis
generalisata.
Pada S II dini kelainan kulit generalisata, simetrik, lebih cepat hilang
(beberapa hari hingga beberapa minggu), juga terjadi pada telapak tangan
dan kaki. Kelainan kulit pada S II lanjut sudah tidak berupa generalisata
melainkan setempat-setempat, tidak simetrik dan lebih lama bertahan
(beberapa minggu hingga beberapa bulan) (Djuanda, 2016).
Bentuk lesi pada S II dapat berupa roseola, papul, dan pustul, atau bentuk
lain.
 Roseola
Roseola merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II,
berupa eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak,
warna merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong. Roseola akan
menghilang dalam beberapa hari/ minggu, namun dapat bertahan
hingga beberapa bulan. Roseola dapat residif dengan jumlah yang
11

lebih sedikit akan tetapi lebih bertahan lama, dapat anular, dan
bergerombol. Jika menghilang kadang-kadang meninggalkan bercak
hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum), namun pada umumnya
roseola tidak menginggalkan bekas.

Kaki penderita sifilis

 Papul
Papul merupakan bentuk yang paling sering ditemui pada S II.
Bentuknya bulat, terkadang terlihat bersama-sama dengan roseola.
Papul tersebut dapat berskuama. Pada S II dini, papul generalisata
dan simetrik, sedangkan pada S II lanjut bersifat setempat dan
tersusun secara khusus (arsinar, sirsinar, polisiklik, dan
korimbiformis).

Papuloskuamosa
12

 Pustul
Bentuk ini jarang didapat. Mulanya berbentuk banyak papul
kemudian berubah jadi vesikel dan akhirnya terbentuk pustul.
Timbulnya pustul ini lebih sering disertai demam intermiten dan
penderita tampak sakit hingga berminggu-minggu.
 Bentuk lain
Kelainan lain yang dapat dilihat pada S II adalah banyak papul,
pustul, dan krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo
sehingga disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai
ulkus yang ditutupi oleh krusta sehingga disebut ektima sifilitikum,
bila krustanya tebal maka disebut rupia sifilitika, sedangkan bila
ulkus meluas ke perifer hingga berbentuk kulit kerang maka disebut
sifilis ostrasea.
S II pada mukosa
S II pada mukosa biasanya timbul bersama dengan eksantema pada
kulit, kelainan pada mukosa ini disebut enantem, terutama pada mulut
dan tenggorokan. Umumnya berupa makula eritematosa, yang cepat
berkonfluensi membentuk eritema yang difus, berbatas tegas. Umumnya
disertai keluhan nyeri tenggorok, terutama waktu menelan, suara parau,
eritema berbentuk bercak putih keabu-abuan dapat erosif dan nyeri.
Kelainan lain adalah mucous patch, berupa papul eritematosa,
permukaannya datar, biasanya miliar atau lentikular, timbul bersama
dengan S II bentuk papul pada kulit.
S II pada rambut
Pada S II yang masih dini, sering terjadi kerontokan rambut,
umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Pada S
II lanjut dapat terjadi kerontokan setempat-setempat, tampak bercak yang
ditumbuhi oleh rambut yang tipis, tidak botak seluruhnya, tampak seperti
digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris (mouth eaten hairloss).
13

Mouth eaten hairloss


S II pada kuku
Kelainan pada kuku dapat berupa warna kuku berubah menjadi
putih, kabur. Kuku menjadi rapuh, bagian distal lempeng kuku menjadi
hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Kelainan ini disebut onikia
sifilitika. Pada paronkia sifilitika, timbul radang kronik, kuku menjadi
rusak dan kadang terlepas.
S II pada alat lain
Kelainan yang ditimbulkan oleh S II dapat muncul pada kelenjar
getah bening berupa limfadenopati generalisata. Pada mata berupa iritis,
uveitis, chorioretinitis. Gejala klinis pada mata berupa fotofobia,
lakrimasi nyeri, hingga kebutaan. Kelainan pada hepar dapat berupa
hepatitis akut, pada spleen berupa splenomegali, pada renal berupa
glomerulonefritis akut, pada hematologi berupa anemia dan leukositosis,
pada sistem auditorik berupa meniere disease, pada tulang berupa
periostitis, dan pada saraf berupa meningitis maupun
meningoencephalitis.
iii. Sifilis laten dini
Tidak terdapat gejala klinis maupun kelainan, akan tetapi infeksi
masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor
serebrospinalis negatif.
14

iv. Stadium rekuren


Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip S
II, maupun serologik yang telah negatif menjadi positif. Hal ini terjadi
pada sifilis yang tidak diobati atau mendapat pengobatan namun tidak
cukup. Kadang relaps terjadi pada tempat afek primer dan disebut
monorecidive. Relaps dapat memberikan kelainan pada mata, tulang,
organ dalam, susunan saraf pusat, dan pada bayi dapat terlahir dengan
sifilis kongenital.
b. Sifilis lanjut
i. Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
tes serologik. Lama masa laten dapat terjadi dalam beberapa tahun
hingga bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Likuor serebrospinalis
sebaiknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik.
Demikian pula sinar X-aorta untuk melihat apakah ada aortitis.
ii. Sifilis tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah
S I. Berdasarkan Djuanda (2016), kelainan kulit sifilis tersier ada 3 yaitu:
- Guma
Kelainan yang khas adalah guma, yaitu infiltrat berupa nodul
subkutan sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif.
Guma paling sering terjadi pada daerah kulit kepala dan dahi. Guma
dapat menyebabkan destruksi dari kartilago dan tulang hidung
sehingga menyebabkan saddle nose.

Gumma
15

Saddle nose
- Nodul granulomatous
Lesi berupa nodul yang central healing yang berubah menjadi
plak berbentuk anular dan bersifat serpiginosa. Lesi paling sering
terdapat pada daerah lengan, punggung, dan muka.
- Plak granulomatous psoriasiformis
Lesi berupa plak psoriasiformis (plak dengan skuama berlapis-lapis).
S III pada mukosa
Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat (pada mulut,
tenggorok atau septum nasi) atau menyebar. Guma akan melunak,
membentuk ulkus, bersifat destruktif sehingga dapat merusak tulang
rawan septum nasi atau pallatum mole.
S III pada tulang
Sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula dan
humerus. Terdapat dua bentuk yaitu periostitis gumatosa dan osteitis
gumatosa.
S III pada alat dalam
Hepar merupakan organ intraabdominal yang paling diserang. Guma
bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami
16

retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar


lobatum. Meskipun jarang, guma juga dapat menyerang esofagus,
lambung, paru, ginjal, vesika urinaria, prostat, ovarium, dan testis.
2. Sifilis Kardiovaskular
Sifilis kardiovaskuler dengan masa laten 15-30 tahun, bermanifestasi pada
S III. Biasanya menyerang pada usia 40-50 tahun dengan tingkat insidensi pria
tiga kali lebih banyak dibanding wanita. Pada dinding aorta terjadi infiltrasi
perivaskular yang terdiri atas sel limfosit dan sel plasma. Enarteritis akan
menyebabkan iskemia. Lapisan intima dan media juga dirusak sehingga terjadi
pelebaran aorta yang menyebabkan aneurisma (Djuanda, 2016).
Aortitis yang tersering ialah yang mengenai aorta ascendens, katup
mengalami kerusakan sehingga darah mengalir kembali ke ventrikel kiri.
Aortitis juga sering mengenai arteria koronaria dan menyebabkan iskemia
miokardium. Aortitis dapat terjadi tanpa komplikasi dan tidak menunjukkan
gejala. Angina pektoris merupakan gejala umum aortitis karena sifilis,
disebabkan oleh stenosis muara arteria koronaria, karena jaringan granulasi dan
deformitas, serta dapat menyebabkan kematian mendadak. Heart block juga
merupakan kelainan aritmia jantung yang jarang dan kadang-kadang disebabkan
oleh sifilis, miokarditis karena sifilis sangat jarang terjadi, demikian pula guma
pada cor.
Kelainan lain adalah aneurisma pada aorta yang dapat fusifromis atau
sakular, biasanya tidak tampak gejala selama beberapa tahun. Aneurisma dapat
mengenai aorta asendens yang dapat memberikan benjolan dan pulsasi pada
dada sebelah kanan atas sternum. Jika aneurisma tersebut membesar, dapat
menggeser trakea dan menyumbat vena kava superior. Kematian biasanya
disebabkan oleh ruptur ke pleura, perikardium, dan bronkus (Djuanda, 2016).
Aneurisma pada arkus aorta akan menyebabkan tekanan pada alat-alat tubuh
di mediasternum superior. Tekanan pada trakea menyebabkan stridor. Selain itu
aneurisma tersebut dapat menekan bronkus kiri dan menyebabkan kolaps paru,
dapat pula menekan nervus laringeal dan menyebabkan suara parau. Kematian
disebabkan oleh ruptur ke trakea, pleura, perikadium, atau mediastinum
17

Aneurisma aorta abdominalis hampir selalu terjadi karena perubahan


arteriosklerotik, biasanya tidak tampak gejala. Diagnosis aneurisma aorta
ditegakkan dengan sinar-X. Tes serologik positif pada 80 % kasus.
3. Neurosifilis
Neurosifilis saat ini jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada orang
berkulit putih daripada orang kulit berwarna, serta lebih sering terjadi pada pria
dibanding wanita. Neurosifilis dapat diakibatkan oleh pengobatan sifilis dengan
penisilin. Infeksi terjadi pada stadium dini. Sebagian besar kasus baru
menunjukkan gejala setelah bertahun-tahun. Sekitar 20-37 % kasus terdapat
kelainan pada likuor serebrospinalis, sebagian kecil diantaranya dengan kelainan
meningeal. Neurosifilis dapat dibagi menjadi neurosifilis asimtomatik sekitar
20%, sifilis meningovaskular (meningitis, meningomielitis, endarteritis
sifilitika) sekitar 20%, sifilis parenkim (tabes dorsalis dan demensia paralitika)
sekitar 60%, dan guma dengan frekuensi perkiraan sangat jarang.
4. Sifilis Kongenital
a. Sifilis kongenital dini
Kulit, rambut, dan kuku
- Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir adalah
bulla bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-
kadang banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini disebut
pemfigus sifilitika.
- Kelainan lain biasanya timbul saat bayi berumur beberapa minggu
dan mirip erupsi pada S II. Pada umumnya berbentuk papul atau
papuloskuamosa yang simetris dan generalisata. Pada tempat yang
lembab, papul dapat mengalami erosi seperti kondiloma lata.
- Ragades merupakan kelainan umum dengan bentuk memancar
(radiating) yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus.
- Dapat terjadi alopesia terutaa pada sisi dan belakang kepala.
- Onikia sifilitika: kuku terlepas akibat papul di bawahnya
18

Mukosa
Dapat terlihat plaque muqueuses seperti pada S II. Kelainan ini sering
terdapat pada daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan
timbulnya rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai
sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan
menyebabkan sumbatan sehingga pasien sulit bernapas dengan hidung.

Lesi mukokutaneus pada sifilis kongenital


Organ lain
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Kelainan ginjal (albuminuria, terdapat hialin dan granular cast pada
urin)
- Paru-paru (infiltrasi yang disebut “pneumonia putih”)
- Tulang: osteokondritis
- Mata: koroiditis dan uveitis (jarang)
- Hematologi: umumnya terdapat anemia berat
- Saraf: neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%, gangguan nervus II,
destruksi serabut traktus piramidalis
b. Sifilis kongential lanjut
- Umumnya terjadi antara umur 7-15 tahun
- Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir dan organ
dalam
- Guma pada hidung dan mulut (khas)
19

- Tulang: periostitis sifilika pada tibia umumnya mengenai 1/3 tengah


tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia.
Osteoporosis setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang
disebut Parrot Nodus, umumnya terjadi pada daerah frontal dan
parietal.
- Mata: keratitis interstitial

Keratitis interstisial
- Clutton’s joints: pembengkakan kedua sendi lutut disertai efusi
- Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata
c. Stigmata
Stigmata pada lesi dini
- Wajah
Rinitis parah dan terus menerus pada bayi menyebabkan gangguan
pertumbuhan septum nasi dan tulang lain pada kavum nasi. Terjadi
depresi pada jembatan hidung (saddle nose). Maksila tumbuh lebih
kecil daripada mandibula (bulldog jaw).
- Gigi
o Gigi Hutchinson yaitu hanya terdapat pada gigi seri
permanen. Gigi tampak lebih kecil dari normal, sisi gigi
konveks, sedangkan daerah untuk menggigit konkaf.
20

Gigi Hutchinson

o Moons molar, terdapat pada gigi molar pertama.


Permukaannya berbintil-bintil sehingga mirip murbai.
Enamel gigi tipis sehingga mudah karies dan cepat tanggal
- Ragades
Ragades terutama pada sudut mulut, jarang pada lubang hidung dan
anus. Terbentuk dari papul-papul yang berkonfluensi; akibat
pergerakan mulut terjadi fisura yang kemudian mengalami infeksi
sekunder, jika sembuh meninggalkan jaringan parut linear di sudut
mulut.
- Jaringan parut koroid
Koroidenitis pada sifilis kongenital dini meninggalkan kelainan
permanen di fundus okuli.
- Kuku
Onikia akan merusak dasar kuku dan meninggalkan kelainan yang
permanen; kelainan ini tidak khas.
Stigmata pada lesi lanjut
- Kornea
Keratitis interstitial dapat meninggalkan kekeruhan pada lapisan
dalam kornea
21

- Sikatriks gumatosa
Guma pada kulit meninggalkan sikatriks. Pada palatum dan septum
nasi meninggalkan perforasi.
- Atrofi optikus
Atrofi optikus primer terjadi jika sifilis menyerang susunan saraf
pusat
- Trias Hutchinson
Adalah sindrom yang terdiri atas keratitis interstitial, gigi
Huctchinson, dan kelumpuhan nervus VIII (tuli).

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan T. pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat
bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan
dilakukan tiga hari berturut-turut, jika hasil pada hari I dan II negatif.
Sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan
selalu diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit.
Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap.
Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan
melintasi lapangan pandang.
Pemeriksaan lain dengan pewarnaan. Menurut Buri, tidak dapat
dilihat pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya
tampak bentuknya saja. Sementara itu lesi di kompres dengan larutan garam
faal setiap hari. Pemeriksaan yang tidak rutin adalah teknik fluoresen.
T. pallidum tidak dapat dibedakan secara mikroskopik dan serologik
dengan T. pertenue penyebab frambusia dan T. carateum penyebab pinta.
2. Tes Serologik Sifilis (T.S.S)
T.S.S merupakan pembantu diagnosa yang penting bagi sifilis. Sebagai
ukuran untuk mengevaluasi tes serologi adalah sensitivitas dan spesifisitas.
Sensitivitas adalah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis.
Sedangkan spesifisitas berarti kemampuan nonreaktif pada penyakit bukan
22

sifilis. Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut digunakan
untuk skrining. Tes dengan spesifitas yang tinggi sangat baik untuk
diagnosis.
T.S.S dibagi menjadi dua pemeriksaan berdasarkan antigen yang
dipakai:
a) Nontreponemal (tes reagin)
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol, karena itu tes ini
dapat memberi Reaksi Biologi Semu (RBS).
Antibodinya disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi
dengan T. Pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai
penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat bersatu
dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan,
menggumpal membentuk massa yang dapat dilihat pada tes
flokulasi. Massa tersebut dapat bersatu dengan komplemen yang
merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen.
Contoh tes nontreponemal:
 Tes fiksasi komplemen: Wasserman (WR), Kolmer
 Tes flokulasi: VDRL (Venereal Disease Research
Laboratories), Kahn, RPR, ART, dan RST.
Diantara tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR
secara kuantitatif, karena teknis lebih mudah dan lebih cepat
daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitif daripada tes
Wasserman, dan baik untuk menilai terapi. Tes RPR dilakukan
dengan antigen VDRL, kelebihan RPR adalah flokulasi dapat dilihat
secara makroskopik, lebih sederhana, serta dapat dibaca setelah
sepuluh menit seningga dapat dipakai untuk skrining.
Pada tes flokulasi dapat terjadi reaksi negatif semu karena
terlalu banyak reagin sehingga flokulasi tidak terjadi. Reaksi
demikian disebut reaksi prozon. Jika serum diencerkan dan dites
lagi, hasilnya menjadi positif.
23

b) Tes Nontreponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennya adalah treponema dan
dapat digolongkan menjadi 4 kelompok:
 Tes imobilisasi: TPI (Treponemal pallidum imobilization
test)
Merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai
kekurangan: biaya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu
yang banyak. Selain itu reaksinya juga lambat, baru positif
pada stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai
hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan
sangat lanjut.
 Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement
Fixation Test)
Sering digunakan untuk tes screening karena biayanya
murah, kadang-kadang dapat didapatkan reaksi positif semu.
 Tes imunofluoresen: FTA-Abs (Fluorescent Treponemal
Antibody Absorption Test), ada dua: IgM, IgG; FTA-Abs
DS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test
Double Straining).
FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua macam yaitu
IgM dan IgG sudah positif pada waktu timbul kelain S I. IgM
sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer
IgM cepat turun, sedangkan IgG lambat.
 Tes hemoglutinasi: TPHA (Treponemal pallidum
Haemoglutination Assay), SPHA (Solid-phase
Hemabsorption Assay), MHA-TP (Microhemagglutination
Assay for Antibodies to Treponema Pallidum).
TPHA merupakan tes nontreponemal yang dianjurkan
karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup
spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini.
Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil
24

terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama.


Sebaiknya dilakukan pengenceran antara 1/80 – 1/1024.
3. Pemeriksaan yang lain
Sinar rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang dapat
terjadi pada SII dan S III, dan sifilis kongenital.

2.7 Penatalaksanaan
Pada pengobatannya jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang untuk bersenggama. Pengobatan dimulai
sedini mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud
mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik
lain.
1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus
plasenta sehingga mencegah infeksi pada janin dan dapat menyembuhkan
janin yang terinfeksi. Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlakukan,
asal jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadarnya harus
bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat belas hari untuk sifilis
dini dan lanjut, dua puluh satu hari untuk neurosifilis dan sifilis
kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari
dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang
biak.
Menurut lama kerjanya, terdapat 3 macam penisilin:
a) Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat
jam, jadi bersifat kerja singkat.
b) Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c) Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan secara intramuskular. Derivat
penisilin per oral tidak disarankan karena absorpsi oleh saluran cerna kurang
25

dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai


dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang
kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga setiap minggu.
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat
dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak
perlu disuntik setiap hari. Obat ini memiliki kekurangan, yakni tidak
dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam darah di otak,
sehingga yang dianjurkan adalah penisilin G prokain dalam akua. Karena
penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada daerah suntikan, maka ada
yang tidak menganjurkan pemberian penisilin G benzatin pada bayi.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan
penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan
interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan iadalah
penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta
unit, i.v setiap 4 jam selama 10-14 hari.
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya adalah penisilin G prokain
dalam akua 100.000-150.000 satuan/KgBB per hari yang diberikan 50.000
unit/KgBB, i.m., setiap hari selama 10 hari.
2. Antibiotik lain
Selain penisilin masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan
sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.
Bagi penderita yang memiliki alergi dengan penisilin, dapat
diberikan tetrasiklin 4x500 mg/hari, atau eritromisin 4x500 mg/hari, atau
doksisiklin 2x100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan
30 hari pada stadium laten.
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin
4x500 mg/hari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gram, dosis
tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari. Azitromisin juga dapat digunakan
untuk S I dan S II, dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama
pengobatan 10 hari.
26

BAB 3. KESIMPULAN

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius, disebabkan


oleh bakteri berbentuk spiral, Treponema pallidum subspesies pallidum.
Penyebaran sifilis di dunia telah menjadi masalah kesehatan yang besar dengan
jumlah kasus 12 juta pertahun. Infeksi sifilis dibagi menjadi sifilis stadium dini dan
lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder, dan laten dini.
Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardiovaskular dan
neurosifilis) serta sifilis laten lanjut. Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala
klinis ditemukannya satu atau lebih chancre (ulser). Sifilis sekunder ditandai
dengan ditemukannya lesi mukokutaneus yang terlokalisir atau difus dengan
limfadenopati. Sifilis laten tanpa gejala klinis sifilis dengan pemeriksaan
nontreponemal dan treponemal reaktif, riwayat terapi sifilis dengan titer uji
nontreponemal yang meningkat dibandingkan dengan hasil titer nontreponemal
sebelumnya. Sifilis tersier ditemukan guma dengan pemeriksaan treponemal
reaktif, sekitar 30% dengan uji nontreponemal yang tidak reaktif.
27

DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. (2010). Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2010.


Morbidity and Mortality Weekly Report. Vol. 59 No. RR-12. CDC:
Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat

2. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.


Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

3. Djuanda, A. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

4. Djuanda, Adi dan E.C. Natahusada. 2010. Sifilis. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam: cetakan ketiga. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Wiraguna, A. A. G. P. Pengobatan terbaru pada sifilis. Fakultas Kedokteran


UNUD: 2016

6. Suryani, D.P.A., H.T. Sibero. 2014. Syphilis. J Majority Vol 3 No 7.

Anda mungkin juga menyukai