Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

EPILEPSI SIMTOMATIK ET CAUSA STROKE NON


HEMORAGIK

Disusun oleh:
Eva Ardelia Sari 1810221038

Pembimbing:
dr. Lucie Marie Burhan, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN SARAF


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’
JAKARTA
PERIODE 4 MARET – 5 APRIL 2019
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Eva Ardelia Sari
NIM : 1810221038
Program Studi : S1 Fakultas Kedokteran
Tahun Akademik : 2019

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiarisme dalam penulisan laporan


kasus yang berjudul:

EPILEPSI SIMTOMATIK ET CAUSA STROKE NON HEMORAGIK

Apabila di kemudian hari saya terbukti melakukan plagiarisme, maka saya siap
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan sebenar-
benarnya.

Jakarta, 23 Maret 2019

Eva Ardelia Sari

i
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. SK
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Rawamangun
Masuk RS : 8 Maret 2019
Ruang Perawatan : Dahlia Bawah

I.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dan alloanamnesa ke keluarga
pasien pada tanggal 18 Maret 2019 di instalasi rawat inap Dahlia Bawah RSUP
Persahabatan.
Keluhan Utama
Kejang umum tonik sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUP Persahabatan bersama dengan dua orang anaknya
dengan keluhan kejang sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit yaitu
pada tanggal 8 Maret 2019. Kejang muncul saat istirahat. Menurut keluarga
pasien mengalami kejang di seluruh lengan dan tungkai. Lengan dan tungkai
terlihat kaku, tangan dan kaki menekuk ke arah dalam, mata terbalik, dan mulut
menutup kaku tidak ada lidah tergigit serta tidak ada liur yang menetes. Kejang
dialami selama 10 menit. Pasien mengaku sebelum kejang ia mengalami pusing.
Pasien tidak sadar saat kejang dan setelah kejang pasien menjadi lemas dan
tertidur.
Sebeumnya pasien telah mengalami kejang pertama kali hari kamis malam.
Kejang berlangsung selama 5 menit dimulai dari lengan kiri lalu menajalar
sampai kaki. Pasien tidak sadar saat kejang dan menjadi lemas setelah kejang.

1
2

Diantara kedua kejang ini Pasien menyangkal adanya demam, leher kaku, mual
dan muntah.
Selain kejang, pasien juga merasakan lemah di anggota gerak kiri namun
masih bisa digerakkan ke atas. Hal ini dirasakan 2 hari kemudian setelah
terjadinya kejang. Bicara terkesan pelo. Tidak ada penurnan kesadaran, sakit
kepala, dan mual muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 sudah sejak 8 tahun
yang lalu. Pasien mengatakan rutin minum metformin dan 1 obat yang hanya
diminum sekali. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi tetapi terkadang lupa
untuk minum obat. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Sakit dengan keluhan serupa disangkal.
b. Kakek pernah ada yang meninggal karena stroke.
c. Kedua orang tua pasien menderita DM.
d. Ayah memiliki hipertensi.
e. Alergi disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
a. Tidak merokok.
b. Pasien adalah ibu rumah tangga yang membuka usaha warung makan.
c. Pasien memiliki 3 orang anak yang sudah tidak tinggal bersama dengan
dirinya.

I.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Internis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
GCS : E4V5M6.
Tanda vital
1) Tekanan darah : 170/90 mmHg
2) Nadi : 88 x/menit
3) Laju nafas : 20 x/menit
3

4) Suhu : 36.7⁰C
5) SpO2 : 97%
Pemeriksaan generalis
Kepala : Normocephal.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak
ikterik.
Leher : Tidak nampak peningkatan JVP.
Thoraks
1) Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), gallop (-).
2) Paru : Vesicular breathing sound (-), rhonki (-).
Abdomen : Datar, nyeri tekan (-/-), bising usus (+).
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik.
b. Status Neurologis
Kesadaran : E4V5M6, compos mentis.
Rangsang meningeal
Kaku kuduk : Tidak diapatkan tahanan.
Laseque : >70⁰ kaki kanan dan kiri.
Kerniq : >135⁰ kaki kanan dan kiri.
Brudzinsky I : Tidak ada fleksi kedua tungkai.
Brudzinsky II : Tidak ada fleksi pada sisi tungkai yang lain.
Nervus kranialis
1) N.I (Olfaktorius)
Daya penghidu : Tidak dinilai.
2) N.II (Optikus)
Ketajaman penglihatan : Dapat menghitung jari pada jarak 60
cm
Lapang pandang : Luas.
Warna : Dapat mengenal warna mata kanan
dan kiri
Funduscopy : Tidak dinilai.
4

Kesan tidak ada gangguan pada tajam penglihatan dan lapang


pandang.
3) N.III, IV, VI (Okulomotorius, troklearis, abducens)
a) Pupil
Kanan Kiri
Ukuran pupil Ø3mm Ø3mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Isokor/anisokor Isokor Isokor
Posisi Sentral Sentral
Rf cahaya miosis Miosis
langsung
Rf cahaya tidak miosis Miosis
langsung
Penglihatan Tidak ada Tidak ada
ganda

b) Kelopak mata : Kedua kelopak mata atas tidak


terjatuh, kelopak mata dapat menutup dan membuka.
c) Gerakan bola mata : Kedua mata baik kanan dan kiri
menuju arah yang sama dan pada saat yang bersamaan.
d) Gerakan involuntar : Tidak ditemukan nistagmus.
Kesan : Tidak ada parese pada nervus cranialis III, IV, dan VI.
4) N.V (Trigeminus)
Sensorik : Pasien dapat merasakan benda halus
yang disentuhkan ke pasien.
Menggigit : Kontraksi otot rahang simetris.
Rf limbus kornea : Tidak dilakukan.
Kesan : Tidak ada parestesia pada nervus cranalis V sensorik
dan parese pada nervus cranialis V motorik.
5) N.VII (Fasialis)
Daya pengecapan 2/3 depan : Tidak dilakukan.
Mengangkat alis : Garis pada lipatan dahi simetris
5

antara kanan dan kiri.


Menutup mata : Kontraksi mata kanan dan kiri
simetris dan sama kuat.
Meringis : Lipatan nasolabial simetris antara
kanan dan kiri, tidak ada
pendangkalan di salah satu sisi.
Kesan : Tidak ada parese atau paralisis nervus cranialis VII.
6) N.VIII (Vestibulokoklearis)
Suara gesekan jari tangan : Dapat mendengar.
Tes Swabach, Rinne, Weber : Tidak dilakukan.
Kesan : Tidak ada gangguan pendengaran pada nervus cranialis
VIII.
7) N.IX dan X (Glossofaringeus dan Vagus)
Daya pengecapan 1/3 belakang : Tidak dilakukan.
Posisi uvula : Di tengah, tidak ada deviasi
Posisi arkus faring : Simetris, tidak ada bagian
yang lebih rendah
Menelan : Pasien masih mampu
menelan dengan baik.
Kesan : Tidak ada parese nervus cranialis IX dan X.
8) N.XI (Accesorius)
Memalingkan kepala : Mampu menoleh wajah ke
kanan maupun ke kiri dan
menahan tahanan pemeriksa.
Mengangkat bahu : Tidak atrofi, bahu kanan dan
kiri sama tinggi, bahu
mampu menahan tahanan
pemeriksa.
Kesan : Tidak ada parese nervus cranialis XI.
6

9) N.XII (Hipoglossus)
Menjulurkan lidah : Di tengah, tidak ada deviasi
baik saat istirahat maupun
dijulurkan.
Atrofi lidah : Tidak ada.
Tremor lidah : Tidak ada.
Artikulasi : Sedikit pelo, suara sangau.
Kesan : Terdapat parese nervus XII.

Pemeriksaan motorik
1) Inspeksi : Tidak tampak gerakan involunteer.
2) Tonus : Normotonus.
3) Kekuatan motorik : 5555 4444
5555 4444

Tungkai kiri diamputasi sampai di bawah


lutut.
Refleks fisiologis
Refleks Tendon Kanan Kiri
Refleks biseps +2 +2
Refleks triseps +2 +2
Refleks patella +2 +3
Refleks Achilles +2 +3
Kesan : Terdapat peningkatan refleks tendon achilles dan patella
kiri

Refleks patologis
Kanan Kiri
Hoffman Tromner - -
Babinzki - -
Chaddock - -
Gordon - -
7

Oppenheim - -
Scheifner - -
Rosolimo - -

Koordinasi dan keseimbangan


1) Tes romberg : Mampu berdiri tegap selama 30
detik
2) Tes Tandem Walking : Bergeser kurang dari 1m.
3) Tes telunjuk : Tidak ada penyimpangan.

Fungsi Vegetatif : Baik


BAB (+), BAK (+), Retensi urin (-) keringat (+)

I.4 Diagnosis Kerja


Diagnosis klinis : Bangkitan umum tonik
Hemiparese sinistra tipe UMN
Bicara pelo
Diabetes Mellitus tipe 2
Hipertensi tidak terkontrol
Diagnosis topis : Korteks serebri bagian lobus frontoparietalis
dekstra
Diagnosis etiologis : Stroke iskemik DD/Hiperglikemia
Gangguan elektrolit
Diagnosis patologis :-

I.5 Resume
a. Subjektif
Pasien Ny. SK perempuan usia 63 tahun dibawa oleh kedua anaknya
ke RSUP Persahabatan dengan kejang. Kejang muncul saat pasien
beristirahat. Kejang muncul secara tiba-tiba saat istirahat tetapi sebelum
kejang pasien merasakan pusing. Pasien tidak sadarkan diri selama kejang
dan menurut keluarga yang melihat kejang yang dialami pasien membuat
mata pasien terbalik, mulut seperti kaku terkunci, tangan dan kaki kaku dan
8

tertekuk. Setelah kejang berakhir, pasien menjadi lemas dan tertidur. Pasien
sebelumnya pernah kejang yaitu hari Kmais malam dengan durasi 5 menit
lamanya. Selain kejang, pasien mengeluhkan lemas di anggota gerak tangan
dan kaki kiri 2 hari kemudian.
Pasien memiliki riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu dan masih
sering mengkonsumsi obat. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi tidak
terkontrol. Riwayat trauma disangkal
b. Objektif
Keadaan umum : Sakit sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
GCS : E4V5M6.
Tekanan darah : 170/90 mmHg.
Nadi : 88 x/menit.
Laju nafas : 20 x/menit.
Suhu : 36.7⁰C.
SpO2 : 97%.
1) Nervus kranialis : Parese N.XII (hipoglossus) ditandai dengan
pelo.
2) Pemeriksaan motorik : Tonus dalam batas normal (normotonus).
3) Kekuatan motorik : 5555 4444
5555 4444

4) Koordinasi dan keseimbangan : Baik.


5) Fungsi sensorik : Baik, tidak ada parestesia.
6) Refleks fisiologis : Hiperrefleks pada tendon patella dan
achilles kiri.
7) Refleks patologis : Tidak ada.
8) Fungsi vegetatif : Fungsi perkemihan baik tidak ada retensi
urin, fungsi defekasi baik.
9

I.6 Pemeriksaan Anjuran


a. EKG
b. Pemeriksaan laboratorium:
 Darah perifer lengkap
 Elektrolit: Natrium, kalium, clorida, calsium
 Fungsi ginjal: Ureum, kreatinin, LFG
 Fungsi hati: SGOT, SGPT
 Profil lipid: Kolesterol, LDL, HDL, Trigliserida
 Fungsi pembekuan darah: PT, APTT, agregasi trombosit
c. Foto thoraks
d. CT Scan kepala non kontras
e. Konsul IPD

I.7 Tatalaksana
a. Umum
1) IVFD Nacl 0,9% tpm
2) O2 nasal kanul 3 lpm
3) Diazepam injeksi 5mg/ml, 2x1
4) Insulin 1x1 IU
5) Captopril 1x12,5 mg
6) KSR 2x600 mg
b. Khusus
1) Medikamentosa
 Aspilet 1x1
 Fenitoin 2x100 mg
2) Non medikamentosa
 Jika kejang kembali terjadi, pastikan dalam posisi yang aman
dan tidak memasukan apapun ke mulutnya.
 Melakukan diet untuk mengontrol hipertensi dan gula darah.
 Rencana fisioterapi.
10

I.8 Prognosis
a. Quo ad vitam: Ad bonam.
b. Quo ad functionam: Dubia ad bonam.
c. Quo ad sanationam: Dubia ad bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Epilepsi


Definisi Konseptual
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
meimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.
Bangkitan epilepsi adalah terjadinya tanda atau gejala yang bersifat sesaat
akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
Definisi Operasional/Praktis
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala
berikut:
a. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
b. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang
selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa
provokasi dalam 10 tahun mendatang.
c. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah angkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor
pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan
somatomotor.

II.2 Epidemiologi Epilepsi


Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemuakan pada
semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga sekitar 50
juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO, 2012).
Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada
negara maju. Dilaporkan prevalensi dinegara maju berkisar antara 4-7/1000 orang
dan 5-74/1000 orang dinegara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki
angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-
49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan. Pada negara sedang

11
12

berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100-190/100.000 orang/tahun).


Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang. Beberapa negara
berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa muda,
tanpa peningkatan pada usia tua (PERDOSSI, 2014)

II.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi
(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk Bangkitan Epilepsi
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi
Umum
2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
13

2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk Sindrom Epilepsi
1. Fokal/partial (localized related)
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
Sentrotemporal (childhood epilepsi with
centrotemporal spikesI)
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada
daerah oksipital.
1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading
epilepsi)
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada
anak-anak (Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh
suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi
kortikal tinggi, membaca)
1.2.3 Epilepsi lobus temporal
1.2.4 Epilepsi lobus frontal
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
1.2.6 Epilepsi oksipital
1.3 Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
14

2.1.5 Epilepsi lena pada remaja


2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada
saat terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi
yang spesifik
2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan
peningkatan usia)
2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologi nonspesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression
Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak
termasuk di atas
2.3.2 Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
2. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.

II.5 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
15

b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.


Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural
pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Panayiotopoula CP. 2005.

II.6 Patogenesis
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksismal
akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara
neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori
seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter
eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal.
Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil
kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin
dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron)
yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga
diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal i on, dan
defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak
stabilan membran neuron.
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu
pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal
Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi
pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan
depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel
syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien
epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu
aktivitas selsel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara
memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5
Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil
16

D-aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya


ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potens
ial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA)
bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa
berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat
penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi.
Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang
menyebabkan instabilitas pada sel-sel saraf tersebut.

II.7 Fase Bangkitan


Beberapa orang menyadari awal kejang, mungkin berjam-jam atau berhari-hari
sebelum itu terjadi. Di sisi lain, beberapa orang mungkin tidak menyadari
permulaannya dan karenanya tidak menyadari peringatan.
a. Prodromal
Beberapa orang mungkin mengalami perasaan, sensasi, atau
perubahan perilaku beberapa jam atau beberapa hari sebelum kejang.
Perasaan ini umumnya bukan bagian dari kejang, tetapi dapat
memperingatkan seseorang bahwa kejang mungkin datang. Tidak
semua orang memiliki tanda-tanda ini, tetapi jika itu terjadi, tanda-tanda
itu dapat membantu seseorang mengubah aktivitas mereka, pastikan
untuk minum obat, menggunakan perawatan penyelamatan, dan
mengambil langkah-langkah untuk mencegah cedera.
b. Aura
Aura atau peringatan adalah gejala pertama kejang dan dianggap
sebagai bagian dari kejang. Seringkali aura adalah perasaan yang tak
terlukiskan. Di lain waktu itu mudah dikenali dan mungkin ada
perubahan dalam perasaan, sensasi, pikiran, atau perilaku yang serupa
setiap kali kejang terjadi.
1) Aura juga dapat terjadi sendiri dan dapat disebut kejang
onset sadar fokus, kejang parsial sederhana atau kejang
parsial tanpa perubahan kesadaran.
17

2) Aura dapat terjadi sebelum perubahan kesadaran atau


kesadaran.
3) Namun, banyak orang tidak memiliki aura atau peringatan;
kejang dimulai dengan hilangnya kesadaran atau kesadaran.
Gejala yang biasanya muncul sebelum terjadi kejang:
1) Perubahan Kesadaran, Sensorik, Emosional atau Pikiran:
 Déjà vu (perasaan bahwa seseorang, tempat atau
sesuatu sudah biasa, tetapi Anda belum pernah
mengalaminya sebelumnya).
 Jamais vu (merasa bahwa seseorang, tempat atau
sesuatu itu baru atau asing, tetapi itu tidak).
 Bau.
 Suara.
 Rasanya.
 Pandangan kabur atau hilang.
 Perasaan "aneh".
 Ketakutan/panik (sering kali perasaan negatif atau
menakutkan).
 Perasaan menyenangkan.
 Berpikir cepat.
2) Perubahan fisik:
 Pusing atau pusing.
 Sakit kepala.
 Perasaan mual atau perut lainnya (seringkali
perasaan yang naik dari perut ke tenggorokan).
 Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh.
c. Fase Iktal
Bagian pertengahan kejang sering disebut fase iktal. Ini adalah
periode waktu dari gejala pertama (termasuk aura) hingga akhir aktivitas
kejang. Ini berkorelasi dengan aktivitas kejang listrik di otak. Kadang-
kadang gejala yang terlihat lebih lama dari aktivitas kejang pada EEG.
18

d. Fase Postiktal
Ketika kejang berakhir, fase postiktal terjadi - ini adalah periode
pemulihan setelah kejang. Beberapa orang segera pulih sementara yang
lain mungkin butuh beberapa menit hingga berjam-jam untuk merasa
kembali seperti semula. Gejala dapat berupa kebingunan, lupa, merasa
sedih sampai depresi, merasa pusing atau kepala terasa ringan, cemas,
ketakutan, haus, luka-luka, dan kehilangan kontrol dalam berkemih.

II.8 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari epilepsi tergantung dengan lokasi epilepsi di korteks
serebral. Sesuai klasifikasinya, epilepsi memiliki manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Kejang fokal: dimulai dari cetusan epileptik di suatu area fokal di
korteks. Kejang fokal diklasifikasikan lebih lanjut menjadi:
1) Kejang fokal sederhana kesadaran tidak terganggu,
manifestasi dapat berupa gangguan sensorik, motorik, otonomik,
dan/atau psikis. Umumnya berlangsung beberapa detik hingga
menit. Jika terjadi >30 menit, dinamakan status epileptikus fokal
sederhana.
2) Kejang fokal kompleks kesadaran terganggu sehinga pasien
tidak ingat kejang. Biasanya diawali dengan henti gerak
keseluruhan tubuh sementara (behavioral arrest), dilanjutkan
dengan automatisme (mengunyah, meracau, dll), tatapan
kosong, dan kebingunan postiktal (postictal confusion) diikuti
kebingunan postiktal singkat.
3) Secondary generalized seizure: Umumnya dimulai dengan aura
yang berevolusi menjadi kejang fokal kompleks dan kemudian
menjadi kejang tonik-klonik umum. Akan tetapi, kejang fokal
kompleks dapat berevolusi menjadi kejang umum tanpa kejang
fokal kompleks yang nyata.
19

b. Kejang umum: dimulai apabila cetusan epileptik terjadi secara


bersamaan di kedua hemsifer cerebri. Kejang umum diklasifikasikan
lebih lanjut menjadi:
1) Kejang absens (lena): episode gangguan kesadaran singkat
tanpa aura atau kebingunan post-iktal. Episode ini biasanya
berlangsung kurang dari 20 detik dan dapat disertai sdikit
automatisme.
2) Kejang mioklonik: pergerakan motorik singkat, jerking, tanpa
irama, yang berlangsung kurang dari 1 detik. Kejang ini
cenderung berkelompok dalam beberapa menit. Jika kejang ini
menjadi berirama, maka akan diklasifikasikan sebagai kejang
klonik.
3) Kejang klonik: pergerakan motorik ritmik dengan gangguan
kesadaran.
4) Kejang tonik: ekstensi atau fleksi tonik kepala, batang tubuh,
dan atau ekstremitas tiba-tiba selama beberapa detik disertai
gangguan kesadaran. Kejang seperti ini biasanya terjadi saat
mengantuk, segera setelah tidur, atau segera bangun.
Diasosiasikan dengan gangguan neurologis lainnya.
5) Kejang umum tonik klonik primer (grand mal): terdiri dari
beberapa perilaku motorik, diantaranya ekstensi tonik umum
semua ekstremitas selama beberapa detik diikuti gerakan ritmik
klonik disertai gangguan kesadran dna kebingunan postiktal
yang panjang. Tidak disertai aura.
6) Kejang atonik: terjadi pada orang dengan kelainan neurologi
signifikan. Kejang ini berupa kehilangan tonus postural singkat
disertai gangguan kesadaran, sehingga menyebabkan jatuh dan
jejas.
20

II.9 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah
dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:
a. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptik.
b. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE
1981.
c. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi
ILAE 1989.
Dalam praktik klinis penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Dilakukan untuk mengetahui gejala dan tanda sebelum, ketika, dan
sesudah kejang. Selain itu, tanyakan juga pencetus kejang, usia awitan,
durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan. Tanyakan pula terapi epilepsi
sebelumnya termasuk didalamnya dosis, respon, jadwal, kepatuhan
minum obat. Riwayat penyakit juga perlu ditanyakan untuk mengetahui
apakah mungkin terdapat penyakit yang menjadi penyebab maupun
komorbid dari kejang atau keluhan sekarang.
b. Pemeriksaan fisik (neurologis)
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa
menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
1) Paresis Todd
2) Gangguan kesadaran pascaiktal
3) Afasia pascaiktal
(Steinlen, 2004).
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) Rekaman EEG
merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
21

a) Membantu menunjang diagnosis.


b) Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom
epilepsi.
c) Membatu menentukanmenentukan prognosis.
d) Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
2) Pemeriksaan Pencitraan Otak
3) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung
jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit
(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
a) Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam
menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE.
b) Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi
samping OAE.
c) Rutin diulang setiap 1 tahun sekali untuk memonitor
samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek
samping OAE.
(Panayiotopoula CP. 2005).

II.10 Tatalaksana
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat
hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental yang
dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping. Untuk
tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tatalaksana
terdiri dari terapi farmakologis dan non-farmakologis (Lawrence J, 2008).
a. Terapi Farmakologis
Obat antiepilepsi diberikan bila (Panayiotopoulus CP, 2010):
 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
 Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
22

 Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan


tentang tujuan pengobatan.
 Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE.
 Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah
dihindari (misalnya: alkohol, kurang tidur, stress, dll).
Fenitoin adalah salah satu obat yang biasa digunakan untuk terapi
anti kejang. Fenitoin sering digunakan sebagai obat pilihan pertama
untuk terapi kejang.
Fenitoin bekerja dengan menekan aktivitas listrik pada sel saraf otak
dengan memblok kanal Na+ konduktan kalsium dan klorida dan
neurotransmitter voltage-dependent. Tingkat penggunaan fenitoin harus
diawasi dengan pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan darah
lengkap. Dosis maksimal terapi 400mg/hari.
b. Terapi non-farmakologis
 Deep Brain Stimulation
 Diet ketogenik
 Intervensi Psikologi Relaksasi: behavioral cognitive therapy,
dan biofeedback

II.11 Epilepsi pada Lanjut Usia dengan Stroke Non Hemoragik (Iskemik)
Stroke merupakan 30-50% penyebab epilepsi pada lanjut usia. Perdarahan
intraserebral merupakan penyebab tersering (15%) dan pada kelompok stroke yang
paling jarang adalah lakunar infark (2%). Trauma merupakan penyebab lain dari
timbulnya epilepsi pada lanjut usia, demikian pula penggunaan berbagai obat
merupakan faktor penting yang dapat memprovokasi timbulnya bangkitan epilepsi
(Shorvon S, 2011).

II.12 Stroke Non Hemoragik (Iskemik)


a. Definisi
Sebuah sindrom yang memiliki karakteristik tanda dan gejala neurologis
klinis fokal dan/atau global yang berkembang dengan cepat, adanya
23

gangguan fungsi serebral, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam
atau menimbulkan kematian tanpa terdapat penyebab selain yang berasal
dari vaskular. Stroke ditandai oleh 4 tanda:
1) Onset akut (tiba-tiba).
2) Keterlibatan fokal pada sistem saraf pusat.
3) Kurangnya resolusi/perbaikan yang cepat.
4) Penyebabnya adalah vaskularisasi.
(Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon, PR. 2012).
b. Etiologi dan Patogenesis
Gangguan aliran darah ke otak menurunkan suplai oksigen dan glukosa
terutama ke neuron, glia, dan sel yang kaya akan pembuluh darah di otak.
Apabila aliran darah ini tidak segera dipulihkan maka dapat menyebabkan
kematian iskemik jaringan otak (infark) dalam inti iskemik, di mana aliran
biasanya kurang dari 20% dari normal. Pola dari kematian sel tergantung
dari keparahan iskemia. Iskemia ringan, seperti yang dapat terjadi pada
henti jantung dengan reperfusi, dapat terjadi kerusakan pada neuronal.
Iskemia yang lebih parah menghasilkan nekrosis neuron selektif, di mana
semua neuron mati tetapi sel glia dan vaskular masih dipertahankan.
Iskemia total dan permanen, seperti yang terjadi pada stroke, menyebabkan
pannecrosis, mempengaruhi semua jenis sel. Jika dapat diperbaiki maka
menghasilkan lesi otak kavitasi kronis (Greenberg, DA, Aminoff, MJ,
Simon, PR. 2012).
Edema otak adalah penentu lain dari hasil stroke. Iskemia menyebabkan
edema vasogenik ketika cairan bocor dari kompartemen intravaskular ke
parenkim otak. Edema biasanya maksimal sekitar 2 hingga 3 hari setelah
stroke dan mungkin cukup parah sehingga menyebabkan herniasi otak dan
kematian (Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon, PR. 2012).
Dua mekanisme patogenetik yang menyebabkan stroke iskemik adalah
trombosis dan emboli. Namun, perbedaannya seringkali sulit atau tidak
mungkin dilakukan atas dasar klinis (Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon,
PR. 2012).
24

1) Trombosis
Trombosis menyebabkan stroke dengan menghambat arteri
besar di cerebral (terutama arteri karotid interna, middle
cerebral, atau arteri basilar), arteri kecil (seperti pada stroke
lakunar), maupun vena cerebral. Penyumbatan tersebut juga
dikarenakan penyempitan pembuluh darah. Hal ini paling
banyak disebabkan karena aterosklerosis. Gejala khas
berlangsung dari menit hingga jam (bertahap).
2) Emboli
Emboli menyebabkan stroke ketika arteri cerebral teroklusi oleh
bagian trombus dari jantung, arkus aorta, atau arteri besar
cerebral (tempat yang lebih distal daripada otak). Gejala
biasanya langsung memberat sesaat untuk kemudian menghilang
lagi seketika emboli terlepas.
c. Manifestasi Klinis
1) Tanda yang menandakan adanya stroke karena trombosis: defisit
neurologis fokal. Manifestasi bisa diawali dengan terjadinya
TIA.
2) Tanda yang menandakan stroke karena embolis: Defisit
neurologis yang timbul mendadak
3) Gejala lain yang berhubungan: Kejang, sakit kepala.
4) Defisit neurologis meliputi: Defisit kognitif, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan, palsi okular, nystagmus,
hemiparesis, defisit sensoris, dan hemiataksia.
d. Diagnosis
Pada usia tua, fokus epileptik cenderung lebih sering terjadi pada lobus
frontal dan parietal, berbeda dengan gejala klinis yang berhubungan dengan
epilepsi dengan fokus di lobus temporal pada penderita epilepsi usia yang
lebih muda, sehingga aura dizziness dapat lebih sering muncul dibanding
gejala khas epilepsi lobus temporal. Padahal gejala dizziness juga sering
timbul pada penyakit neurologi lain, penyakit jantung maupun penyakit
sistem organ lainnya (Panayiotopoulus CP, 2010).
25

MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam mendeteksi abnormalitas


anatomi. Perubahan yang berkaitan dengan lanjut usia dapat berkaitan
dengan atrofi difus, hiperintensitas periventrikuler akibat hipertensi dan
aterosklerosis umum terjadi dan sebaiknya tidak diinterpretasikan sebagai
penyebab bangkitan (Brodie MJ, 2005).
e. Tatalaksana
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) yang direkomendasikan untuk
epilepsi fokal pada lanjut usia lanjut dapat dilihat pada daftar dibawah. Obat
antiepilepsi spektrum luas perlu dipertimbangkan pada epilepsi umum atau
pada tipe campuran (fokal dan umum) (Panayiotopoulus CP, 2010).
Rekomendasi pengobatan epilepsi menurut ILAE 2013 adalah sebagai
berikut:
 Level A : Gabapentin, Lamotrigin
 Level B : tidak ada
 Level C : Carbamazepine
 Level D : Topiramat, Asam Valproat
 Level E : lain-lain
 Level F : tidak ada
Pemberian dimulai dari dosis sangat rendah dan peningkatan dosis
(titrasi) dilakukan secara sangat perlahan (start very low and go very slow)
merupakan prosedur yang perlu diperhatikan dalam pemberian OAE pada
lanjut usia. Setengah dosis dewasa yang direkomendasikan sebagai dosis
awal dan awitan seringkali dapat mengontrol kejang (Panayiotopoulus CP,
2010).
Untuk tatalaksana terhadap strokenya yakni:
 Tatalaksana untuk hipertensi.
 Tatalaksana untuk hiperglikemia dan hipoglikemia.
 Trombolisis pada stroke akut dengan Recombinant Tissue
Plasminogen Activator (Rtpa) dengan dosis 0,9 mg/KgBB
(maksimal 90 mg) direkomendasikan pada pasien dengan
presentasi stroke antara 3 – 4,5 jam.
26

 Antiplatelet yaitu dengan aspirin dosis awal 325 mg dalam


24-48 jam setelah awitan stroke. Pada pasien yang alergi atau
telah mengkonsumsi aspirin secara teratur berikan
klopidogrel 75 mg/hari.
f. Pencegahan Primer dan Sekunder
Primer
Meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan pengendalian berbagai faktor
risiko. Upaya ditujukan untuk orang sehat dan kelompok risiko tinggi yang
belum pernah terserang stroke. Upaya tersebut antara lain:
1) Mengatur pola makan sehat
2) Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke seperti
makanan yang mencegah peningkat homosistein seperti asam folat,
vitamin B6, B12, dan riboflavin.
3) Istirahat yang cukup 6-8 jam sehari.
4) Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter dalam hal
diet dan obat.
Sekunder
Upaya ini dilakukan dengan mengendalikan faktor risiko, antara lain
sebagai berikut:
1) Penurunan tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.
2) Pengendalian gula darah pada penderita diabetes.
3) Modifikasi gaya hidup seperti berhenti merokok, berhenti konsumsi
alkohol, melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit latihan fisik
dengan intensitas sedang (berjalan cepat, menggunakan sepeda statis).
(Goldstein LB, 2010).
BAB III
ANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan baik secara auto maupun allo-


anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diketahui bahwa Ny. SK
seorang perempuan berusia 63 tahun :
Anamnesis
a. Kejang sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Kejang
merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan impuls listrik antara
eksitatorik dan inhibitorik yang terjadi secara tiba-tiba. Kejang bisa
disebabkan karena berbagai hal diantaranya adalah infeksi seperti pada
meningitis, vaskularisasi seperti pada stroke, trauma, dan SOL (space
occupying lesion/lesi desak ruang).
b. Kejang seluruh tubuh dialami pasien pada hari Jumat malam berlangsung
selama 10 menit dengan posisi tubuh kaku, mulut kaku, tidak ada lidah yang
tergigit, mata terbalik ke atas. Sebelumnya pasien sedang duduk istirahat
dan mengaku sempat pusing seperti mau jatuh. Selama kejang pasien tidak
sadar. Hal ini menggambarkan jenis dari kejang pasien yaitu bangkitan
umum tonik.
c. Kejang sudah dialami 2 kali dengan lama 5-10 menit. Kejang pertama
dialami pasien pada hari Kamis malam dimulai dari kedua tangan lalu ke
kedua kaki selama 5 menit. Kejang kedua dialami Jumat malam (setelah
maghrib) dengan keadaan seluruh tubuh kejang namun durasinya lebih lama
yaitu 10 menit. Kedua kejang ini merupakan bagian dari gejala/kondisi
epilepsi dimana untuk dikatakan sebagai epilepsi, maka harus terdapat
perbaikan diantara 2 kejang yang terjadi.
d. Diantara kedua kejang ini pasien kembali sadar dan mampu beraktivitas
meskipun masih lemas. Menandakan bahwa kondisi pasien mengalami
perbaikan dan hal ini memenuhi kriteria epilepsi. Selain itu, bangkitan yang
dialami baru pertama kali dalam hidup pasien sehingga melemahkan
penyebab dari bangkitan pasien yaitu adanya SOL.

27
28

e. Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala


berikut: Minimal terdapat 2 bangkitan epilepsi tanpa provokasi atau 2
bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan epilepsi pertama dan
kedua lebih dari 24 jam.
f. Selain kejang, pasien juga merasakan lemah di anggota gerak kiri namun
masih bisa digerakkan ke atas. Hal ini dirasakan 2 hari kemudian setelah
terjadinya kejang. Tidak ada penurunan kesadaran dan bicara agak pelo. Hal
ini patut dicurigai sebagai penurunan fungsi neurologis yang terjadi pada
gangguan saraf akibat gangguan di pembuluh darah seperti stroke.
g. Pasien menyangkal adanya demam yang terus-menerus, leher kaku, dan
mual muntah menandakan bahwa bangkitan yang terjadi tidak disebabkan
karena infeksi seperti meningitis.
h. Pasien memiliki riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu dan masih sering
mengkonsumsi obat. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi. Riwayat
trauma disangkal. Menunjukkan kemungkinan penyebab bangkitan epilepsi
yang terjadi pada pasien. Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus sejak 8
tahun yang lalu sehingga penyebab dari bangkitan epileptik ini karena
gangguan metabolik. Selain itu, pasien memiliki pula riwayat hipertensi
tidak terkontrol menambah jumlah faktor risiko yang berperan dalam
terjadinya bangkitan epileptik akibat vaskularisasi.
i. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma sebelumnya menandakan bahwa
keluhan pasien ini tidak disebabkan oleh trauma.
Pemeriksaan Fisik:
a. Pemeriksaan fisik yang diremukan pada pasien adalah kekuatan motorik
yang melemah pada anggota gerak tangan dan kaki kiri.
b. Pada pemeriksaan nervus cranialis, pasien diuji bicaranya dan ditemukan
bahwa pasien agak bicara pelo.
c. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien
mengalami penyakit yang mengarah ke gangguan di dalam otak yaitu
gangguan aktivitas listrik di dalam otak karena faktor gangguan
vaskularisasi.
Pemeriksaan Penunjang:
29

a. Pada hasil pemeriksaan laboratorium di IGD pada tanggal 08 Maret 2019


pasien mengalami hiperglikemia yaitu gula darah yang mencapai 902 mg/dl.
Menandakan bahwa penyebab kejang adalah metabolik
b. Pada hasil pemeriksaan penunjang yang lain didapatkan bahwa hasil Brain
CT Scan ditemukan adanya proses aging (penuaan) pada otak serta adanya
lesi iskemik pada lobus frontalis kanan.
Tatalaksana
a. IVFD NaCL 0,9% 20 tpm
b. Phenytoin 2x100 mg, mengurangi ion Na+ yang masuk ke dalam sel dan
meningkatkan Na+ untuk keluar dari membaran sel di neuron koreks motorik
sehingga mengurangi kejang.
c. Aspilet 1x1, merupakan antiplatelet dengan menginhibisi sintesis
prostaglandin oleh siklooksigenase, serta inhibisi agregasi trombosit.
d. Captopril 12,5 mg k/p, merupakan Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitors (ACEI) bekerja dengan menghambat konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II sehingga dapat mendilatasi arteri dan vena, seleain
itu dapat menghambat metabolisme bradikinin sehingga mengurangi
preload dan afterload jantung.
e. Insulin 10 IU, bekerja dengan meregulasi metabolisme glukosa sehingga
dapat meningkatkan ambilan glukosa di perifer terutama di otot skelet dan
lemak.
f. KSR 2x600 mg, diberikan untuk perbaikan elektrolit kalium bekerja secara
lambat (slow released).
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibuat dapat diambil beberapa kesimpulan,
antara lain sebagai berikut:
a. Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
meimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.
b. Epilepsi bisa menjadi tanda bahwa terjadi suatu gangguan di dalam otak
yang bisa disebabkan karena adanya lesi di otak, seperti pada kasus yaitu
terjadinya iskemik pada lobus frontalis dekstra. Tetapi, hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa metabolik juga dapat berperan dalam
terjadinya epilepsi karena pada kasus ini pasien memiliki riwayat Diabetes
Mellitus (DM) dan kadar glukosa yang cukup tinggi. Sehingga perlu untuk
pemeriksaan penunjang lainnya yaitu EEG.
c. Stroke merupakan 30-50% penyebab epilepsi pada lanjut usia. Sebuah
sindrom yang memiliki karakteristik tanda dan gejala neurologis klinis fokal
dan/atau global yang berkembang dengan cepat. Timbulnya epilepsi
(bangkitan) pada stroke diakibatkan karena adanya lesi pada otak sehingga
integritas aliran listrik pada neuron di otak mengalami gangguan.
d. Perlu pencegahan stroke agar tidak menimbulkan epilepsi yaitu dengan
pencegahan sekunder yaitu dnegan mengontrol tekanan darah, mengatur
gula darah pada penderita DM, serta modifikasi gaya hidup sehat.

30
DAFTAR PUSTAKA

Brodie MJ, Kwan P, Epilepsy in Elderly People. BMJ, 2005; 331:1317-1321.

Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon, PR. 2012. Clinical Neurology 8ed. McGraw
Hill Companies, INC.

Goldstein, LB: Guidelines for Primary Prevention of Stroke. A guidline for


Healthcare Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association Stroke. 2010.

Kusumastuti, K. Gunadharma, S. Kustiowati, E. Perhimpunan Dokter Spesialis


Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Airlangga University
Press. 2014.

Lawrence, J, Hirsch, Timothy A. Pedley. Goals of Therapy. In A Comprehensive


Textbook 2nd Ed. Vol. 1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia 2008;
1125-1128.

Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome, and Management.


Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.

Panayiotopoulus CP. Gneral Aspects on the Diagnosis of Epileptic Seizures and


Epileptic Syndrome in Clinical Guide to Epileptic Syndrome and Their
Treatment. Based on the New ILAE diagnostic cheme. Ozfordshire:
Blandon Medical Publishing, 2010, pp: 172-199.

Shorvon, S. Handbook of Epilepsy Treatment. 3rd Wiley-Blackwell, 2010;132-136.

Steinlen, OK. Genetic Mechanism That Underlie Epilepsy. Neuroscience 2004;


400-408.

WHO. Epilepsi. WHO Fact Sheet October 2012; number 999. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheet.fs999/en/. Diunduh pada 28
Februari 2014.

31

Anda mungkin juga menyukai