Disusun oleh:
Eva Ardelia Sari 1810221038
Pembimbing:
dr. Lucie Marie Burhan, Sp. S
Apabila di kemudian hari saya terbukti melakukan plagiarisme, maka saya siap
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan sebenar-
benarnya.
i
BAB I
LAPORAN KASUS
I.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dan alloanamnesa ke keluarga
pasien pada tanggal 18 Maret 2019 di instalasi rawat inap Dahlia Bawah RSUP
Persahabatan.
Keluhan Utama
Kejang umum tonik sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUP Persahabatan bersama dengan dua orang anaknya
dengan keluhan kejang sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit yaitu
pada tanggal 8 Maret 2019. Kejang muncul saat istirahat. Menurut keluarga
pasien mengalami kejang di seluruh lengan dan tungkai. Lengan dan tungkai
terlihat kaku, tangan dan kaki menekuk ke arah dalam, mata terbalik, dan mulut
menutup kaku tidak ada lidah tergigit serta tidak ada liur yang menetes. Kejang
dialami selama 10 menit. Pasien mengaku sebelum kejang ia mengalami pusing.
Pasien tidak sadar saat kejang dan setelah kejang pasien menjadi lemas dan
tertidur.
Sebeumnya pasien telah mengalami kejang pertama kali hari kamis malam.
Kejang berlangsung selama 5 menit dimulai dari lengan kiri lalu menajalar
sampai kaki. Pasien tidak sadar saat kejang dan menjadi lemas setelah kejang.
1
2
Diantara kedua kejang ini Pasien menyangkal adanya demam, leher kaku, mual
dan muntah.
Selain kejang, pasien juga merasakan lemah di anggota gerak kiri namun
masih bisa digerakkan ke atas. Hal ini dirasakan 2 hari kemudian setelah
terjadinya kejang. Bicara terkesan pelo. Tidak ada penurnan kesadaran, sakit
kepala, dan mual muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 sudah sejak 8 tahun
yang lalu. Pasien mengatakan rutin minum metformin dan 1 obat yang hanya
diminum sekali. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi tetapi terkadang lupa
untuk minum obat. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Sakit dengan keluhan serupa disangkal.
b. Kakek pernah ada yang meninggal karena stroke.
c. Kedua orang tua pasien menderita DM.
d. Ayah memiliki hipertensi.
e. Alergi disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
a. Tidak merokok.
b. Pasien adalah ibu rumah tangga yang membuka usaha warung makan.
c. Pasien memiliki 3 orang anak yang sudah tidak tinggal bersama dengan
dirinya.
4) Suhu : 36.7⁰C
5) SpO2 : 97%
Pemeriksaan generalis
Kepala : Normocephal.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak
ikterik.
Leher : Tidak nampak peningkatan JVP.
Thoraks
1) Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), gallop (-).
2) Paru : Vesicular breathing sound (-), rhonki (-).
Abdomen : Datar, nyeri tekan (-/-), bising usus (+).
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik.
b. Status Neurologis
Kesadaran : E4V5M6, compos mentis.
Rangsang meningeal
Kaku kuduk : Tidak diapatkan tahanan.
Laseque : >70⁰ kaki kanan dan kiri.
Kerniq : >135⁰ kaki kanan dan kiri.
Brudzinsky I : Tidak ada fleksi kedua tungkai.
Brudzinsky II : Tidak ada fleksi pada sisi tungkai yang lain.
Nervus kranialis
1) N.I (Olfaktorius)
Daya penghidu : Tidak dinilai.
2) N.II (Optikus)
Ketajaman penglihatan : Dapat menghitung jari pada jarak 60
cm
Lapang pandang : Luas.
Warna : Dapat mengenal warna mata kanan
dan kiri
Funduscopy : Tidak dinilai.
4
9) N.XII (Hipoglossus)
Menjulurkan lidah : Di tengah, tidak ada deviasi
baik saat istirahat maupun
dijulurkan.
Atrofi lidah : Tidak ada.
Tremor lidah : Tidak ada.
Artikulasi : Sedikit pelo, suara sangau.
Kesan : Terdapat parese nervus XII.
Pemeriksaan motorik
1) Inspeksi : Tidak tampak gerakan involunteer.
2) Tonus : Normotonus.
3) Kekuatan motorik : 5555 4444
5555 4444
Refleks patologis
Kanan Kiri
Hoffman Tromner - -
Babinzki - -
Chaddock - -
Gordon - -
7
Oppenheim - -
Scheifner - -
Rosolimo - -
I.5 Resume
a. Subjektif
Pasien Ny. SK perempuan usia 63 tahun dibawa oleh kedua anaknya
ke RSUP Persahabatan dengan kejang. Kejang muncul saat pasien
beristirahat. Kejang muncul secara tiba-tiba saat istirahat tetapi sebelum
kejang pasien merasakan pusing. Pasien tidak sadarkan diri selama kejang
dan menurut keluarga yang melihat kejang yang dialami pasien membuat
mata pasien terbalik, mulut seperti kaku terkunci, tangan dan kaki kaku dan
8
tertekuk. Setelah kejang berakhir, pasien menjadi lemas dan tertidur. Pasien
sebelumnya pernah kejang yaitu hari Kmais malam dengan durasi 5 menit
lamanya. Selain kejang, pasien mengeluhkan lemas di anggota gerak tangan
dan kaki kiri 2 hari kemudian.
Pasien memiliki riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu dan masih
sering mengkonsumsi obat. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi tidak
terkontrol. Riwayat trauma disangkal
b. Objektif
Keadaan umum : Sakit sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
GCS : E4V5M6.
Tekanan darah : 170/90 mmHg.
Nadi : 88 x/menit.
Laju nafas : 20 x/menit.
Suhu : 36.7⁰C.
SpO2 : 97%.
1) Nervus kranialis : Parese N.XII (hipoglossus) ditandai dengan
pelo.
2) Pemeriksaan motorik : Tonus dalam batas normal (normotonus).
3) Kekuatan motorik : 5555 4444
5555 4444
I.7 Tatalaksana
a. Umum
1) IVFD Nacl 0,9% tpm
2) O2 nasal kanul 3 lpm
3) Diazepam injeksi 5mg/ml, 2x1
4) Insulin 1x1 IU
5) Captopril 1x12,5 mg
6) KSR 2x600 mg
b. Khusus
1) Medikamentosa
Aspilet 1x1
Fenitoin 2x100 mg
2) Non medikamentosa
Jika kejang kembali terjadi, pastikan dalam posisi yang aman
dan tidak memasukan apapun ke mulutnya.
Melakukan diet untuk mengontrol hipertensi dan gula darah.
Rencana fisioterapi.
10
I.8 Prognosis
a. Quo ad vitam: Ad bonam.
b. Quo ad functionam: Dubia ad bonam.
c. Quo ad sanationam: Dubia ad bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
12
II.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi
(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk Bangkitan Epilepsi
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi
Umum
2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
13
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk Sindrom Epilepsi
1. Fokal/partial (localized related)
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
Sentrotemporal (childhood epilepsi with
centrotemporal spikesI)
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada
daerah oksipital.
1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading
epilepsi)
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada
anak-anak (Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh
suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi
kortikal tinggi, membaca)
1.2.3 Epilepsi lobus temporal
1.2.4 Epilepsi lobus frontal
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
1.2.6 Epilepsi oksipital
1.3 Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
14
II.5 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
15
II.6 Patogenesis
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksismal
akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara
neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori
seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter
eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal.
Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil
kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin
dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron)
yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga
diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal i on, dan
defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak
stabilan membran neuron.
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu
pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal
Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi
pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan
depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel
syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien
epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu
aktivitas selsel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara
memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5
Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil
16
d. Fase Postiktal
Ketika kejang berakhir, fase postiktal terjadi - ini adalah periode
pemulihan setelah kejang. Beberapa orang segera pulih sementara yang
lain mungkin butuh beberapa menit hingga berjam-jam untuk merasa
kembali seperti semula. Gejala dapat berupa kebingunan, lupa, merasa
sedih sampai depresi, merasa pusing atau kepala terasa ringan, cemas,
ketakutan, haus, luka-luka, dan kehilangan kontrol dalam berkemih.
II.9 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah
dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:
a. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptik.
b. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE
1981.
c. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi
ILAE 1989.
Dalam praktik klinis penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Dilakukan untuk mengetahui gejala dan tanda sebelum, ketika, dan
sesudah kejang. Selain itu, tanyakan juga pencetus kejang, usia awitan,
durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan. Tanyakan pula terapi epilepsi
sebelumnya termasuk didalamnya dosis, respon, jadwal, kepatuhan
minum obat. Riwayat penyakit juga perlu ditanyakan untuk mengetahui
apakah mungkin terdapat penyakit yang menjadi penyebab maupun
komorbid dari kejang atau keluhan sekarang.
b. Pemeriksaan fisik (neurologis)
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa
menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
1) Paresis Todd
2) Gangguan kesadaran pascaiktal
3) Afasia pascaiktal
(Steinlen, 2004).
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) Rekaman EEG
merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
21
II.10 Tatalaksana
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat
hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental yang
dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping. Untuk
tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tatalaksana
terdiri dari terapi farmakologis dan non-farmakologis (Lawrence J, 2008).
a. Terapi Farmakologis
Obat antiepilepsi diberikan bila (Panayiotopoulus CP, 2010):
Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
22
II.11 Epilepsi pada Lanjut Usia dengan Stroke Non Hemoragik (Iskemik)
Stroke merupakan 30-50% penyebab epilepsi pada lanjut usia. Perdarahan
intraserebral merupakan penyebab tersering (15%) dan pada kelompok stroke yang
paling jarang adalah lakunar infark (2%). Trauma merupakan penyebab lain dari
timbulnya epilepsi pada lanjut usia, demikian pula penggunaan berbagai obat
merupakan faktor penting yang dapat memprovokasi timbulnya bangkitan epilepsi
(Shorvon S, 2011).
gangguan fungsi serebral, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam
atau menimbulkan kematian tanpa terdapat penyebab selain yang berasal
dari vaskular. Stroke ditandai oleh 4 tanda:
1) Onset akut (tiba-tiba).
2) Keterlibatan fokal pada sistem saraf pusat.
3) Kurangnya resolusi/perbaikan yang cepat.
4) Penyebabnya adalah vaskularisasi.
(Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon, PR. 2012).
b. Etiologi dan Patogenesis
Gangguan aliran darah ke otak menurunkan suplai oksigen dan glukosa
terutama ke neuron, glia, dan sel yang kaya akan pembuluh darah di otak.
Apabila aliran darah ini tidak segera dipulihkan maka dapat menyebabkan
kematian iskemik jaringan otak (infark) dalam inti iskemik, di mana aliran
biasanya kurang dari 20% dari normal. Pola dari kematian sel tergantung
dari keparahan iskemia. Iskemia ringan, seperti yang dapat terjadi pada
henti jantung dengan reperfusi, dapat terjadi kerusakan pada neuronal.
Iskemia yang lebih parah menghasilkan nekrosis neuron selektif, di mana
semua neuron mati tetapi sel glia dan vaskular masih dipertahankan.
Iskemia total dan permanen, seperti yang terjadi pada stroke, menyebabkan
pannecrosis, mempengaruhi semua jenis sel. Jika dapat diperbaiki maka
menghasilkan lesi otak kavitasi kronis (Greenberg, DA, Aminoff, MJ,
Simon, PR. 2012).
Edema otak adalah penentu lain dari hasil stroke. Iskemia menyebabkan
edema vasogenik ketika cairan bocor dari kompartemen intravaskular ke
parenkim otak. Edema biasanya maksimal sekitar 2 hingga 3 hari setelah
stroke dan mungkin cukup parah sehingga menyebabkan herniasi otak dan
kematian (Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon, PR. 2012).
Dua mekanisme patogenetik yang menyebabkan stroke iskemik adalah
trombosis dan emboli. Namun, perbedaannya seringkali sulit atau tidak
mungkin dilakukan atas dasar klinis (Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon,
PR. 2012).
24
1) Trombosis
Trombosis menyebabkan stroke dengan menghambat arteri
besar di cerebral (terutama arteri karotid interna, middle
cerebral, atau arteri basilar), arteri kecil (seperti pada stroke
lakunar), maupun vena cerebral. Penyumbatan tersebut juga
dikarenakan penyempitan pembuluh darah. Hal ini paling
banyak disebabkan karena aterosklerosis. Gejala khas
berlangsung dari menit hingga jam (bertahap).
2) Emboli
Emboli menyebabkan stroke ketika arteri cerebral teroklusi oleh
bagian trombus dari jantung, arkus aorta, atau arteri besar
cerebral (tempat yang lebih distal daripada otak). Gejala
biasanya langsung memberat sesaat untuk kemudian menghilang
lagi seketika emboli terlepas.
c. Manifestasi Klinis
1) Tanda yang menandakan adanya stroke karena trombosis: defisit
neurologis fokal. Manifestasi bisa diawali dengan terjadinya
TIA.
2) Tanda yang menandakan stroke karena embolis: Defisit
neurologis yang timbul mendadak
3) Gejala lain yang berhubungan: Kejang, sakit kepala.
4) Defisit neurologis meliputi: Defisit kognitif, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan, palsi okular, nystagmus,
hemiparesis, defisit sensoris, dan hemiataksia.
d. Diagnosis
Pada usia tua, fokus epileptik cenderung lebih sering terjadi pada lobus
frontal dan parietal, berbeda dengan gejala klinis yang berhubungan dengan
epilepsi dengan fokus di lobus temporal pada penderita epilepsi usia yang
lebih muda, sehingga aura dizziness dapat lebih sering muncul dibanding
gejala khas epilepsi lobus temporal. Padahal gejala dizziness juga sering
timbul pada penyakit neurologi lain, penyakit jantung maupun penyakit
sistem organ lainnya (Panayiotopoulus CP, 2010).
25
27
28
Berdasarkan laporan kasus yang telah dibuat dapat diambil beberapa kesimpulan,
antara lain sebagai berikut:
a. Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
meimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.
b. Epilepsi bisa menjadi tanda bahwa terjadi suatu gangguan di dalam otak
yang bisa disebabkan karena adanya lesi di otak, seperti pada kasus yaitu
terjadinya iskemik pada lobus frontalis dekstra. Tetapi, hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa metabolik juga dapat berperan dalam
terjadinya epilepsi karena pada kasus ini pasien memiliki riwayat Diabetes
Mellitus (DM) dan kadar glukosa yang cukup tinggi. Sehingga perlu untuk
pemeriksaan penunjang lainnya yaitu EEG.
c. Stroke merupakan 30-50% penyebab epilepsi pada lanjut usia. Sebuah
sindrom yang memiliki karakteristik tanda dan gejala neurologis klinis fokal
dan/atau global yang berkembang dengan cepat. Timbulnya epilepsi
(bangkitan) pada stroke diakibatkan karena adanya lesi pada otak sehingga
integritas aliran listrik pada neuron di otak mengalami gangguan.
d. Perlu pencegahan stroke agar tidak menimbulkan epilepsi yaitu dengan
pencegahan sekunder yaitu dnegan mengontrol tekanan darah, mengatur
gula darah pada penderita DM, serta modifikasi gaya hidup sehat.
30
DAFTAR PUSTAKA
Greenberg, DA, Aminoff, MJ, Simon, PR. 2012. Clinical Neurology 8ed. McGraw
Hill Companies, INC.
WHO. Epilepsi. WHO Fact Sheet October 2012; number 999. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheet.fs999/en/. Diunduh pada 28
Februari 2014.
31