Anda di halaman 1dari 7

PAPER

TEKNOLOGI PASCAPANEN

KENTANG ( Solanum tuberosum Linn.)

Oleh :

Yudha Sakti Nugroho 20180210114

Sefa Falahudin 20180210122

Dyah Rahmawati Suseno 20180210128

Claudia Bintania Ayu L. 20180210134

Achmad Zan Jabiila 20180210138

Erlintang Ratri F. 20180210146

Fendra Afria 20180210150

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2019
1. Panen
Panen Tanaman kentang dipanen pada umur 90-160 hari setelah tanam (HST)
dan hasilnya beragam tergantung kultivar, wilayah produksi, dan kondisi pemasaran.
Ada berbagai macam cara memanen kentang mulai dari yang paling sederhana sampai
yang modern. Panen dapat dilakukan dengan jalan menggemburkan guludan dengan
cara mencangkul pinggirannya lalu mengangkatnya. Pencangkulan dilakukan pada
setiap tempat untuk menghindari kerusakan umbi oleh cangkul. Selain itu, cara panen
dapat dilakukan dengan menggunakan tangan dengan cara membongkar guludan atau
menggali langsung. Setelah penggalian dan pengumpulan umbi, umbi dibiarkan merata
di lahan. Hal ini dimaksudkan agar umbi terkena angin dan sinar matahari langsung
sehingga kulit umbi menjadi kering. Setelah umbi kering dan tanah tidak menempel
lagi, dilakukan pewadahan umbi sekaligus melaksanakan seleksi lapangan (maksudnya
sambil melakukan pawadahan juga memilih umbi yang sehat). Sisa tanaman kentang
yang tidak masuk dalam kriteria perbanyakan bibit akan terus dikelola agar dapat dijual
dan dikonsumsi. Umbi bibit sebelum dimasukkan ke gudang perlu ditimbang untuk
mengetahui berat benih setelah panen dan diangin–anginkan lagi selama 2-5 hari.
Panen kentang yang modern menggunakan peralatan untuk memisahkan umbi
dari tanah dan menempatkannya dalam wadah pengumpul atau truk. Mekanisasi dapat
mengurangi kebutuhan tenaga kerja dan digunakan pada skala produksi yang besar.
Tanaman yang akan dipanen menggunakan mesin, pada bagian atasnya harus
dihancurkan dengan mesin pemotong tajuk atau dengan bahan kimia pengering daun.
Kegiatan ini dilakukan saat satu atau dua minggu sebelum panen. Penghancuran daun
cenderung memperkuat jaringan peridermis umbi yang belum matang sehingga
meningkatkan ketahanannya terhadap kemungkinan kerusakan sebelum panen
(Rahardi, 1993). Kentang yang dipanen ketika masih muda mempunyai kulit yang tipis,
mudah sobek, kandungan airnya tinggi dan kandungan tepungnya rendah. Sebaliknya,
kentang yang dipanen setelah cukup tua mempunyai kulit yang tebal, tidak mudah
sobek, kandungan tepungnya tinggi, dan tahan lama bila disimpan. Mutu sayuran
setelah dipanen tidak dapat ditingkatkan, hanya dapat dipertahankan. Mutu yang baik
dapat diperoleh bila pemanenan dilakukan pada tingkat kedewasaan yang cukup
(Muchtadi, D., 1996).
2. Packinghouse
a. Pencucian
Kegiatan pencucian pada produk pasca panen bertujuan untuk
menghilangkan produk dari sisa kotoran yang menenmpel akibat terbawa dari
lahan. Kegiatan pencucian juga bertujuan untuk mempermudah dalam perlakuan
proses pasca panen selanjutnya. Tidak semua prosuk pasca panen bisa mendapat
perlakuan pencucian tergantung dari karakteristik dan morfologi serta fisiologi
produk. Produk pasca panen yang bisa diberikan perlakuan pencucian salah satunya
adalah kentang (Pantastico, 1986)
Kegiatan pencucian hanya dilakukan pada kentang konsumsi agar kentang
yang akan dijual dalam keadaan bersih. Biasanya pencucian hanya dilakukan untuk
kentang konsumsi yang akan dijual ke supermarket sedangkan kentang yang akan
dijual ke pasar tradisional tidak dilakukan pencucian terlebih dahulu (Rukmana,
1997).
Umbi kentang yang telah dipanen, dibersihkan dengan cara
memasukkannya kedalam bak air. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan
kotoran, residu pestisida, dan sumber-sumber kontaminasi. Biasanya ditambahkan
suatu bahan kimia yaitu klorin kedalam air pencucian yang bertujuan untuk
mengendalikan mikroorganisme. Klorin efektif bila larutan dijaga pada pH netral.
Perlakuan klorin dengan konsentrasi 100-150 ppm dapat membantu mengendalikan
patogen selama proses lebih lanjut. Setelah itu, bahan dikeringkan dengan cara
meniriskan dan memberikan udara (Muchtadi, D., 1996).
b. Sortasi

Sortasi pada tanaman kentang merupakan kegiatan memisahkan antara umbi


yang baik dan sehat, yaitu umbi yang tidak terserang hama dan penyakit dengan
umbi yang rusak dan terserang penyakit. Kegiatan ini dapat mencegah penularan
penyakit dari umbi yang sakit atau rusak ke umbi yang sehat. Sortasi dilakukan
langsung di kebun produksi karena sortasi harus dilakukan di tempat yang cukup
terang, supaya umbi kentang yang akan disortasi mudah untuk dilihat kerusakannya
Menurut Peleg (1985) kriteria penyortiran berdasarkan pada warna, bentuk,
berat, kerusakan mekanis dan busuk, serta derajat kematangan.
c. Grading
Grading adalah langkah mengelompokkan buah atau sayuran berdasarkan
ukuran (besar, kecil, sedang) serta tingkat kemasakan. Pengkelasan (grading)
merupakan pemisahan produk menjadi bermacam-macam fraksi mutu sesuai
dengan standart klasifikasi yang telah diakui atas dasar nilai komersial dan
keguanaanya. Grading dapat dilakukan bersamaan dengan penyortiran atau
dilakukan secara terpisah. Menurut Samadi, (2007) kriteria grading berdasarkan
pada warna, bentuk, berat maupun kualitasnya. Grading dilakukan dengan
mengelompokkan umbi kentang yang baik kedalam beberapa kelas berdasarkan
ukuran umbi. Pengkelasan pada kentang dapat dibagi menjadi empat kelas yakni :
(1) Kelas AL (> 200 gram/umbi); (2) Kelas A (120 - 200 gram/umbi); (3) Kelas B
(80 - 120 gram/umbi); dan (4) Kelas C (50 - 80 gram/umbi).
3. Pengemasan

Pengemasan komoditas kentang memiliki fungsi yaitu melindungi produk


selama pendistribusian, penyimpanan dan pemasaran. Bahan kemasan untuk
melindungi kentang harus bisa melindungi kentang dari kerusakan mekanis dan
menghambat respirasi. Pengemasan untuk tanaman kentang dibagi menjadi
pengemasan untuk komoditas yang baru dipanen, danpengemasan kentang untuk prouk
olahan kentang (Meyhuay 2001).

Pengemasan komoditas kentang panen dapat menggunakan


1. Keranjang anyaman bambu
2. Karung, penggunaan karung ini fleksibel sehingga mudah dibawa kemana –
mana dengan bahan dari plastik atau goni
3. Container atau Crate dari kayu
4. Kardus, dengan diberi foam net per buah
Sedangkan pada produk olahan kentang digunakan kemasan seperti plastik film,
alumunium foil, kontainer kaca serta kaleng.
Pengemasan Untuk kentang, baik dalam perlakuan pendinginan atau dengan
menggunakan sprouting inhibitor, perlu untuk menggunakan kemasan yang
memungkinkan sirkulasi udara yang baik dan penanganan yang mudah. Disarankan
untuk menggunakan 50 kg karung pakan terbuka di mana sirkulasi udara yang superior
tercapai. Kotak berkapasitas 50 kg atau 100 kg direkomendasikan untuk mengemas
karung kentang yang menampilkan bukaan lateral untuk aliran udara yang baik
(Meyhuay 2001)
Selain menggunakan karung sebagai pengemasan kentang, penggunaan foam
net juga bisa digunakan sebagai packaging untuk per satuan kentang kemudian baru
diletakkan di kardus untuk pengiriman, pengemasan dengan teknik ini memiliki
keunggulan yaitu memperkecil kerussakan fisik, gesekan, memar dan lain – lain
(Meyhuay 2001)
4. Penyimpanan
Kerusakan umbi kentang selama penyimpanan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu tumpukan umbi selama penyimpanan, suhu penyimpanan dan sirkulasi
udara. Umbi kentag yang disimpan dengan tumpukan yang lebih tinggi menyebabkan
sirkulasi udara kurang baik sehingga gudang menjadi lebih lembab.Udara yang lembab
akan mendukung perkembangan hama dan penyakit. Secarateoritis gudang dengan
suhu kamar (180 -250C) memberikan kondisi yang baik bagi perkembangan hama dan
penyakit gudang. Gudang dengan suhu dingin(40C) dapat menekan perkembangan
patogen. Penyimpanan Suhu Rendah Pujimulyani (2009) memaparkan bahwa
pemilihan suhu penyimpanan ditentukan oleh jenis bahannya, misalnya sayur-sayuran
yang seacara umum mudah mengalami kerusakan, maka disimpan pada suhu rendah
(dingin). Semakin lama komoditas disimpan pada suhu diatas suhu optimal akan
menyebabkan semakin besar kerusakan yang terjadi. Usaha membuat suhu ruang
merata biasanya dengan menggunakan isolasi ataupun dengan penumpukan umbi-
umbian yang baik dan sirkulasi udara yang cukup dapat membantu memperkecil variasi
suhu dan ruang penyimpanan harus dilengkapi termostat untuk mengontrol suhu.
Menurut Fardiaz (1992), penggunaan suhu rendah dalam penyimpanan bahan
makanan didasarkan pada kenyataan bahwa aktivitas mikroorganisme dapat
diperlambat atau dihentikan pada suhu diatas suhu pembekuan yaitu berkisaran anatara
-2ºC sampai 15ºC. Selanjutnya penyimpanan bahan pangan pada suhu pembekuan
rendah dapat dilakukan dengan tiga cara atau taraf suhu yang berbeda, yaitu suhu
chilling sekitar 10-15ºC, suhu refrigerator (antara 0-2ºC sampai 5-7ºC), dan suhu
pembekuan yaitu suhu dibawah suhu 0ºC. Selain itu, Mahendra (1984) menyatakan
bahwa penyimpanan pada suhu dingin diperlukan untuk bahan pangan karena cara ini
secara nyata dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya, proses
penuaan (ripening), pelunakan (softening) dan perubahan warna dan tesktur,
kehikangan air (transpirasi) dan kelayuan, kerusakan karena bakteri, khamir, dan
kapang, proses lain yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan menurunnya
mutu bahan pangan.
5. Transpotasi

Pendistribusian atau pengankutan kentang di Indoensia sendiri masih banyak


penggunaan kendaran truk bak terbuka. Menurut Satuhu (2004), perlakuan yang kurang
sempurna selama pengangkutan dapat mengakibatkan jumlah kerusakan yang dialami
oleh komoditi pada waktu sampai ditempat tujuan mencapai kurang dari 30-50%.
Proses pengangkutan kentang sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk menghindari
suhu panas berlebih yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas pada
produk. Kitinoja dan Gorny (1999), menyatakan pengiriman saat-saat lebih dingin
(malam hari atau dini hari) dapat mengurangi panas pada produk sehingga dapat
meminimalkan kerusakan. Menurut Kitinoja dan Kader (2003), pada pengangkutan
dengan kendaraan terbuka, tumpukan produk harus hati-hati disusun agar tidak
menyebabkan kerusakan mekanis. Maka dari itu truk bak terbuka pengangkut perlu
dilindungi dengan lapisan jerami atau karung sebagai bantalan untuk penahan getaran
pada kendaraan. Menurut Hilton (1993), vibrasi dan benturan selama transportasi dapat
diredam dengan menggunakan bantalan. Untuk melindungi kentang dari hujan sendiri
pada truk terbuka bisa dilengkapi dengan terpal, selain itu juga terpal dapat melindungi
kentang dari paparan sinar matahari. Selama perjalanan didalam bak tersebut pasti
mengalami peningkatan suhu yang berasal dari luar maupun mesin kendaraan tersebut
maka dari itu penutupan terpal harus dimungkinkan adanya aliran udara guna untuk
membuang panas.

Rancangan truk yang diberi ’penangkap angin’ di bagian depan, dan susunan
peti kayu untuk menjadi saluran udara. (Sumber: Kasmire dalam Kitinoja dan Kader,
2002).
DAFTAR PUSTAKA
Hilton DJ. 1993. Impact and Vibration Damage to Fruit during Handling and
Transportation. In: Champ, B.R., E. Highley and G. I. Jhohson, editor.
Postharvest Handling of Tropical Fruits. Proceedings of An International
Conference, Chiang Mai, Thailand. 19-23 July 1993.
Kitinoja and A.A. Kader, 2002. Small-Scale Postharvest Handling Practices: A Manual
for Horticultural Crops.
Kitinoja L, Gorny JR. 1999. Postharvest Technology for Small Scale Produce Marketer:
Economic Opportunities, Quality and Food Safety. USA. University of
California.
Kitinoja L, Kader AA. 2003. Small-Scale Postharvest Handling Practices: A manual
for Horticultural Crops. USA. University of California.
Meyhuay, Magno. 2001. POTATO: Post-harvest Operations. Italy: FAO.
Muchtadi, D., B. Anjarsari. 1996. Penanganan pasca panen dalam meningkatkan nilai tambah
komoditas sayuran. Prosiding Seminar Nasional Komoditas Sayuran. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Bandung. hal 91-105.
Muchtadi, D., B. Anjarsari. 1996. Penanganan pasca panen dalam meningkatkan nilai tambah
komoditas sayuran. Prosiding Seminar Nasional Komoditas Sayuran. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. hal 91-105.
Pantastico, E.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
906hal.
Peleg, K. 1985. Produce Handling Packaging and Distribution. Publishing Company, Inc.
Westport, Israel. 625 p.
Rahardi, F., R. Palungkun, A. Budiarti. 1993. Agribisnis Tanaman Sayuran. Penebar
Swadaya. Jakarta. 52 hal.
Rukmana, R. 1997. Kentang Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. 108 hal.
Samadi B. 2007.Kentang dan Analisis Usaha Tani. Edisi revisi. Yogyakarta(ID):Kanisius.
Soelarso,R.B.1997. Budidaya Kentang Bebas Penyakit. Kanisius. Yogyakarta.
Trenggono dan Sutardi.1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Proyek Pengembangan
Pusat Fasilitas bersama antar Univeristas (Bank Dunia XVII) Pusat Antar Universitas
pangan dan Gizi UGM.
Yogyakarta. Trenggono.1992. Fisiologi Lepas Pasca Panen. Fakultas Teknologi Pertanian
UGM. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai