Anda di halaman 1dari 9

A.

Latar Belakang

Kepailitan adalah keadaan seorang debitor berhenti membayar utang-utangnya, istilah berhenti
membayar tidak mutlak harus diartikan debitor sama sekali berhenti membayar utangutangnya, tetapi
debitor dapat dikatakan dalam keadaan berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan pailit ke
pengadilan, debitor berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya 1

Dalam masalah kepailitan ini yang menjadi permasalahan adalah ketika perusahaan sebagai
debitor atau pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasanya dapat
ditagih di pengadilan,tidak mampu mengembalikan utang dari kreditor atau pihak yang mempunyai
piutang utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasanya dapat ditagih di pengadilan.Oleh
karena itu,dalam menjamin keadilan untuk masing-masing pihak,pemerintah mengeluarkan peraturan
tentang kepailitan.Untuk menjamin kepastian hukum maka pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkanlah
Perpu Nomor 1 tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1998. Undang-
Undang No.1 Tahun 1998 tersebut diperbaiki dan diganti dengan Undang-Undang No.37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang

Pada dasarnya,kepailitan mencakup mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai perorangan
debitur .Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan
keputusan pengadilan2.Ketentuan pasal 21 Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan
bahwa”Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta
segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”.Walaupun demikian pasal 22 Undang-Undang
Kepailitan mengecualikan beberapa harta kekayaan debitur dari harta pailit.Selain itu,dalam pasal 1131
dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menerangkan tentang jaminan pembayaran harta
seorang debitor kepada kreditor.Dalam pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
bahwa”Segala kebendaan si berutang,baik yang bergerak maupun tak bergerak,baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari,menjadi tanggungan perikatan perseorangan.”,hal ini sangat
memperjelas tentang obyek dari harta pailit. Namun dalam perkembanganya,banyak debitor yang
berusaha menghindari berlakunya pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dengan
melakukan berbagai perbuatan hukum untuk memindahkan berbagai asetnya sebelum dijatuhkanya
putusan pailit oleh Pengadilan Niaga. Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan
sangatlah perlu diketahui.

Kemudian tindakan selanjutnya untuk dapat memahami dengan jelas bagaimana permasalah
kepailitan ini maka saya tertarik untuk menulis mengenai hal tersebut dengan judul

1
Zainal asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di
Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.27
2
Ahmad yani&Gunawan widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan ( Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2004)
hlm. 27
B. Identifikasi Masalah
1. Kapan suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit?
2. Bagaimana penyelesaian utang kreditur dalam kasus kepailitan?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur atas kepailitan yang diajukan debitur?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kapan suatu persahaan itu dapat dikatakan pailit
2. mengetahui bagaimana menyelesaikan utang kreditur dalam sengketa kepailitan
3. Mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur atas kepailitan yang diajukan debitur?

D. Kegunaan penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum
khususnya dibidang hukum perusahaan

b. Diharapkan menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis khususnya dan


mahasiswa fakultas hukum pada umumnya mengenai masalah kepailitan dan metode
penyelesaiannya yang sesuai dengan uu no.37 tahun 2004

2. Kegunaan Praktis

a. Untuk melengkapi dan memperkaya bahan pustaka yang telah ada di Universitas
Pasundan.

b. Secara praktis, berharap penelitian ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi
penulis secara pribadi karena penelitian ini bermanfaat dalam menambah keterampilan
guna melakukan penelitian hukum.

E. Kerangka Pemikiran

secara yuridis pengertian kepailitan diatur dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kepailitan adalah:

“...sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini“

Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga, yang persyaratannya menurut pasal 2
ayat (1) jo. pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan adalah:

1. ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan "Kreditor" di sini mencakup baik kreditor
konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen;

2. ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah kewajiban untuk membayar utang
yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase; dan

3. kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditor dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana.3

 Para pihak yang boleh mengajukan permohonan kepailitan :

Mereka yang berhak mengajukan pailit

Mereka yang berhak mengajukan pailit

1. Permohonan pernyataan tersebut dapat diajukan oleh:

2. Debitur sendiri

3. Atas permintaan seorang atau lebih krediturnya

4. Kejaksaan untuk kepengtingan umum

5. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit dapat
diajukan oleh Bank Indinesia.

6. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek, permohonan pernyataan pailit
dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal4

 Perlindungan hukum bagi kreditur

Permasalahan dalam Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Kepailitan Yang Diajukan
Debitur adalah ketika perusahaan sebagai debitur atau pihak yang mempunyai utang karena perjanjian
atau undang-undang yang pelunasanya dapat ditagih di pengadilan,tidak mampu mengembalikan utang
dari kreditur atau pihak yang mempunyai piutang utang karena perjanjian atau undang-undang yang
pelunasanya dapat ditagih di pengadilan. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang lebih
pasti maka pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkanlah Perpu Nomor 1 tahun 1998 yang kemudian
disahkan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1998. UndangUndang No.1 Tahun 1998 tersebut
diperbaiki dan diganti dengan UndangUndang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Hutang. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesanya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur didalam UndangUndang ini.Undang-undang ini semakin menjawab berbagi
permasalahan kredit macet yang ada di Indonesia pada waktu itu. Dalam UU PT, jika anak perusahaan
melakukan perbuatan yang mengharuskan bertanggung jawab secara hukum, induk perusahaan akan ikut
bertanggung jawab sejauh tidak menyimpang dari tugas yang seharusnya dilakukan oleh perusahaannya.
Kecuali misalnya direksi pada anak perusahaannya telah bertindak melebihi dari kekuasaan yang
diberikan kepadanya. Seberapa jauh kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar

3
Undang-undang no.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
4
Ahmad Yani&Gunawan Widjaja, Op.cit hlm 12
perusahaan yang bersangkutan. Biasanya dalam bagian "Kepengurusan" dan bagian "Tugas dan
Wewenang Direksi". Apabila direktur bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadanya
tersebut, maka direktur tersebut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan
jatuh pailit, maka beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit),
maka direksipun ikut bertanggung jawab secara renteng. Jika anak perusahaan itu ada beberapa direktur,
salah seorang dari direktur itu menyebabkan kerugian yang mengakibatkan kepailitan pada perusahaan,
sejauh itu dilakukan tidak melanggar anggaran dasar, atau melanggar tugasnya kemungkinan adanya
sistem pembuktian terbalik. Artinya kepada anggota direktur diberi kemungkinan untuk mengelak dari
tanggung jawab renteng jika ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah (pasal 90 ayat (3) UU PT.
Dalam hal ini induk perusahaan tidak ikut bertanggung jawab.5

Mengenai ketentuan kreditur tidak dapat melunasi utang atau kreditur dalam keadaan berhenti
membayar ini dapat dilihat dalam beberapa yurisprudensi yang menegaskan:

1. Bahwa keadaan berhenti membayar dapat ada, juga bilamana kredit kredit yang lain tidak
mendesak dibayarnya atau memiliki eksekusi di luar kepailitan.

2. Membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang membayar berarti memenuhi
suatu perikatan ini dapat diperuntukan untuk menyerahkan barang.

3. Keadaan bahwa aktiva budel kemudian terbukti cukup untuk membayar semua
hutangnya, itu tidak menghalangi bahwa debitur sekarang dalam keadaan berhenti
membayar

4. Ada beberapa pedoman yang dapat dipergunakan untuk menentukan kappan seseorang
itu dapat berhenti membayar untuk dapat dimintakan putusan pailit itu:

a. Menolak melakukan pembayaran

b. Harus ada beberapa orang kreditur

c. Hutang yang tidak dibayar harus ditafsirkan dalam luas yaitu tidak berprestasi

5. Bahwa keadaan berhenti membayar tidak sama dengn keadaan bahwa kekayaan debitur
tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan
bahwa debitur tidak membayar hutang-hutang itu.

6. Berhenti membayar berarti bilamana seorang debitur tidak membayar bukan karena
keadaan memaksa melainkan berdasarkan keberatan-keberatan yang oleh hakim dapat
6
dianggap tidak beralasan, makan hakim dapat menganggap bahwa keadaan berhenti
membayar atau tidak.

7. Dinyatakan keadaan menghentikan pembayaran tidak ternyata dari pengeluaran yang


lebih besar dari penghasilan.

5
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni 1982), hal.315
6
Victor M Situmorang SH& Hendri Koesorna SH, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia ( Jakarta, Rineka
Cipta) hlm. 18
8. Bahwa tidak membayar hutang pemohon yang sudah dapat ditagih dan disamping itu
adanya hutang-hutang yang lain yang terbukti dari laporan curator, membuktikan adanya
keadaan berhenti membayar.

9. Bahwa istilah berhenti membayar tersebut dalam pasal 1 peraturan kepailitan tidak harus
diartikan yakni si debitur berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya,
melainkan bahwa debitur tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit, berada dalam
keadaan tidak dapat membayar hutang tersebut.

A. Penyelesaian Utang kreditur Melalui Kepailitan

Kepailitan Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini
pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat
dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dari sudut sejarah hukum, undang-
undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan
yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar. Tujuan utama kepailitan
adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan
menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan
kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi
terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar.
Kepailitan suatu perseroan terbatas berakibat hilangnya kekuasaan dan kewenangan seluruh organ-organ
perseroan atas harta kekayaan perseroan tersebut. Organ-organ perseroan seperti RUPS, Direksi dan
Dewan Komisaris menjadi tidak berwenanang untuk melakukan tindakan-tindakan kepengurusan harta,
dan kedudukannya digantikan oleh kurator. Sebagai contoh, Pasal 67(2) UU Kepailitan menegaskan
bahwa dalam melakukan tugasnya kurator tidak memerlukan persetujuan dari organ debitur/perseroan
pailit, walaupun di luar kepailitan persetujuan tersebut disyaratkan. Apakah organ-organ perseroan
kehilangan wewenangnya untuk melakukan tindakan selain pengurusan atas harta pailit. Organ-organ itu
tetap berwenang selama tidak ada akibatnya atas harta pailit. Jika kita mengkaji kepailitan atas
perseorangan dan bukan perseroan terbatas, maka debitur pailit dapat tetap hidup, bersosialisasi, bahkan
dapat bekerja dan menghasilkan uang untuk harta pailit. Namun, untuk perseroan terbatas memang sulit
sekali ditarik garis yang jelas, karena sebagai badan usaha yang bertujuan mencari keuntungan, maka
seluruh atau (hampir seluruh) tindakan yang diambil organ-organ tersebut adalah untuk mendapatkan
keuntungan. Namun baiklah untuk kepentingan diskusi ini kita anggap saja organ perseroan tetap
berwenang. Akibatnya, kurator tidak dapat mengambil alih kewenangan tersebut, termasuk mengadakan
RUPS, dan sebagainya.

Debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan
profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan
profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan
hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.7
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan
beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di
bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan
pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan
memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.
Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan
penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula
dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga
sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut. 8

B. Pengertian Kurator

Pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan
yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini.

Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari
hakim Pengadilan. Kurator sendiri pada Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan disebutkan dalam kedudukannya
harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang
menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.9

F. Metode penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Spesifikasi penelitian dalam skripsi ini adalah termasuk diskriptip-analitis, yaitu menggambarkan
peraturan undang undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan
hukum positif yang menyangkut masalah kepailitan.

2. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian adalah metode pendekatan yuridis normatif,
yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal yang terdapat pada uu no.37 tahun2004 yang
mengatur hal-hal menjadi permasalah kepailitan. Metode pendekatan diatas digunakan dengan mengingat
bahwa permaalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan
penerapan dalam praktek.

3. Tahap Penelitian

7
Rudy A Lontoh & et. al, Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (Bandung : Alumni 2001) hlm : 159
8
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan,( Bandung: Mandar Maju 1999) hlm : 11-13
9
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data sebagai berikurt:

mengumpulkan data berdasarkan referensi dari buku-buku kepustakaan berbagai peraturan


perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah kepailitan guna mendapatkan bahan hukum
yang kemudian dipilih tentang kepailitan kemudian dikaji.

1) Bahan Hukum Primer, yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan.

2) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang dimaksud disini tidak mengikat, yang terdiri dari buku-
buku, yang berkaitan dengan masalah kepailitan.

3) Bahan Hukum Tersier, untuk penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka
yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk penelitian ini dibatasi hanya menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka yaitu
suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis. Dilakukan terhadap data sekunder
untuk mendapatkan landasan teoretis, beberapa pendapat-pendapat atau hasil tulisan-tulisan para ahli atau
pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk mendapatkan informasi baik dalam bentuk ketentuan
formal maupun data melalui naskah resmi.

5. Analisis Data

Data yang dipilih melalui data sekunder yang telah dipilih melalui studi kepustakaan seperti
tersebut diatas, kemudian disusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai
kaidah hukum, dan ketentuan yang berkaitan dengan cara Mengatasi Kasus Kepailitan yang dihubungkan
Dengan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang kepailitan. Selanjutnya data yang diperoleh dalam
penelitian akan dikaji secara logis dan mendalam.

G. Lokasi Penelitian

Dikarenakan data yang dipilih dalam penelitian ini adalah data sekunder yang melalui studi
kepustakaan maka lokasi yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian adalah di beberapa
perpustakaan yang berada di kota bandung yaitu perpustakan fakultas hukum universitas pasundan
bandung yang beralamat di Jl. Lengkong Besar No. 68, Kota Bandung Dan perpustakaan KORPRI Unit
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat yang beralamat di Jl. Kawaluyaan Indah
II No. 4, Jatisari, Buahbatu, Kota Bandung.

H. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang penelitian, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiraan, metode
penelitian.

BAB II : KAJIAN TEORI


Dalam bab ini penulis menguraikan tentang Kepailitan

BAB III : AWAL MULA PERUSAHAN DAPAT DIKATAKAN PAILIT

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang bagaimana awal mula atau kapan
suatu perusahaan dapat dikatakan pailit

BAB IV : JALAN YANG DAPAT DITEMPUH DALAM UPAYA PENYELESAIAN


UTANG KREDITUR TERHADAP DEBITUR

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang jalan apa apa saja yang dapat
ditempuh dalam upaya penyelesaian utang yang dilakukan kreditur terhadap
debitur .

BAB V : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR TERHADAP KREDITUR


ATAS KEPAILITAN YANG DIAJUKAN DEBITUR

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang bagaimana perlindungan hukum bagi
debitur yang sekaligus sebagai pihak yang mengajukan kepailitan ke pengadilan.

BAB VI : PENUTUP

Dalam bab ini penulis menguraikan kesimpulan dan saran.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Asikin, Zainal. 2002. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.

Ahmad Yani, Gunawan Widjaja. 2004, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Situmorang, Victor M & Hendri Soekarso, 1993 Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta

Lontoh, Rudy A., et al., 2001, Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Bandung : Alumni.

Martiman Prodjohamidjojo, 1999, Proses Kepailitan, Bandung: Mandar Maju.

B. Peraturan Perundang Undanagan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

Anda mungkin juga menyukai