Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pencemaran lingkungan merupakan isu yang paling menonjol saat ini,
seiring dengan peningkatan jumlah pabrik pabrik yang bertujuan memenuhi
kebutuhan penduduk yang semakin hari terus bertambah. Pabrik- pabrik
tersebut menghasilkan limbah yang cukup besar, dan bila tidak di kelola
dengan baik dan bertanggung akan memberikan efek negatif kepada
lingkungan (Zhang et al. 2013).
Limbah yang dihasilkan oleh pabrik mengandung berbagai unsur yang
berbahaya bagi bagi kehidupan manusia, salah satu diantaranya adalah logam
berat. Logam berat secara alami sudah ada di dalam tanah dan tidak dapat
teregradasi, dapat menetap di tanah dan badan air untuk waktu yang lama,
sehingga akan terus meningkat dari waktu ke waktu (Govindasamy et.al 2011)
Akumulasi logam yang ada pada tanah yang dapat mengakibatkan
penurunan aktivitas mikroba tanah, kesuburan tanah, dan kualitas tanah secara
keseluruhan, dan penurunan hasil dan masuknya bahan beracun ke rantai
makanan (Kurnia et al. 2009, Atafar et al. 2010). Tanah dan air merupakan
dua komponen yang menjadi sasaran pencemaran, bila tanah dan air tercemar
logam berat maka logam berat akan masuk ke dalam rantai makanan dan
membentuk jaring-jaring makanan dan akhirnya menuju kepada manusia
sebagai konsumen universe sehingga menimbulkan berbagai macam penyakit
pada manusia khususnya ganguan pada system syaraf (Sudarmaji, 2006).
Upaya untuk membersihkan daerah tercemar dengan penerapan strategi
rehabilitasi lingkungan umumnya sangat mahal (Onrizal, 2005)), sehingga
penting untuk mengembangkan strategi yang murah dan ramah lingkungan.
Pengunaan tanaman sebagai dalam meremediasi logam berat pun pun telah di
kembangkan pada berbagai jenis logam berat dengan harapan dapat
meremediasi daerah tercemar dengan biaya yang relative murah.
Menggunakan kapasitas bioakumulasi kelompok tanaman tertentu dan dapat
memberikan cara yang efektif untuk menghilangkan logam berat dari tanah
yang tercemar (Grispen et al. 2006; Salido et al. 2003).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tahapan-tahapan proses remediasi, dimulai dari
tahap pengambilan sampel sampai tahap akhir.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum
melakukan proses remediasi tanah
2. Untuk mengetahui jenis tanaman yang cocok untuk sampel tanah
setelah dilakukan penambahan larutan Pb pada tanah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses degradasi biologis dari sampah organik pada
kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau
konsentrasinya di bawah batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang.
Sedangkan menurut United States Environmental Protection Agency (dalam
Surtikanti, 2011:143), bioremediasi adalah suatu proses alami untuk
membersihkan bahan-bahan kimia berbahaya. Ketika mikroba mendegradasi
bahan berbahaya tersebut,akan dihasilkan air dan gas tidak berbahaya seperti
CO2.
Bioremediasi adalah suatu teknik dengan menggunakan mikroorganisme
atau tumbuhan untuk detoksifikasi kontaminan (Melethia, 1996).
Detoksifikasi kontaminan bisa dengan cara transformasi senyawa dari
senyawa toksik menjadi senyawa non toksik atau dengan cara degradasi
kontaminan menjadi karbon dioksida dan air. Proses biologi yang terjadi
merupakan proses pemulihan komponen lingkungan secara biologis (Backer
dan Herson, 1994) dengan cara mengekslopitasi kemampuan katalitik sifat
organisme untuk meningkatkan laju perombakan suatu polutan ( Sheehan,
1997).
Dalam teknik bioremediasi ada dua tujuan utama dalam penanggulangan
lingkungan yang tercemar oleh senyawa hidrokarbon yaitu:
a. Transformasi senyawa toksin menjadi senyawa non toksin
b. Membuat akumulasi antrophogenik lebih cepat memasuki siklus
biogeokimia alami.
Untuk mencapai tujuan diatas ada 4 teknik dasar dalam bioremediasi yaitu:
1. Stimulasi aktivitas mikroorganisme indogenous dengan cara penambahan
nutrisi, kondisi reaksi redok, optimasi pH dan lain-lain
2. Inokulasi daerah yang tercemar dengan mikroorganisme yang mempunyai
kemampuan spesifik mentransformasi kontaminan
3. Aplikasi dari imobilisasi enzim
4. Penggunaan tanaman (fitoremediasi) untuk menghilangkan atau
transformasi kontaminan.
Bioremediasi merupakan proses biologi secara alami yang aplikasinya
merupakan proses mikrobilogi yang menyebabkan terjadinya terjadinya
pemutusan senyawa dari senyawa komplek menjadi senyawa sederhana dan
mengakibatkan perubahan sifat polutan dari bersifat toksik menjadi non
toksik.
Pada proses bioremediasi ada beberapa persyaratan supaya bioremediasi
dapat berjalan dengan sukses, adapun kriteria menurut Steven and Marc, 1996
adalah:
a. Adanya populasi mikroba, yaitu mikroba yang dapat mendegradasi
polutan
b. Terdapatnya sumber energi dan sumber karbon yang bisa digunakan
sebagai sumber energi dengan melepaskan elektron selama transformasi
dan juga digunakan oleh sel mikroba tersebut.
c. Adanya elektron aseptor, elektron lepas dikarenakan adanya transformasi
karbon.
d. Adanya nutrisi, Pertumbuhan bakteri memerlukan nutrisi antara lain:
nitrogen, phospor, calcium, potasium, magnesium, besi dan lain-lain.
e. Kondisi lingkungan yang mendukung seperti temperatur, pH, salinitas,
tekanan, konsentrasi polutan dan kehadiran inhibitor.
Berdasarkan agen dan proses biologis serta pelaksanaan rekayasa,
bioremediasi dapat dibagi menjadi lima kelompok (Gossalam, 1999) yaitu:
a. In situ Bioremediasi
In situ bioremediasi juga disebut interistik bioremediasi atau
natural attnuation, secara prinsip merupakan rancangan yang
mengandalkan kemampuan mikroorganisma indogen dalam merombak
polutan untuk melenyapkan polutan dari lingkungan .
b. Ex situ Bioremediasi
Ex situ bioremediasi merupakan pemindahan polutan dalam suatu
tempat untuk diberikan suatu perlakukan (above ground treatment)
c. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan perlakuan biologis dengan
menggunakan mikroorganisme perombak pemulih lingkungan yang
tercemar. Ada beberapa situasi yang mensyaratkan penggunaan
mikroorganisma selektif tersebut seperti:
1) Mikroorganisme indogen hanya mampu merombak polutan dengan
kecepatan sangat rendah.
2) Mikroorganisme indogen perombak polutan pada lingkungan
bersangkutan jumlahnya tidak banyak.
3) Lingkungan telah tercemar berat sehingga perlu dilakukan pemulihan
populasi mikroorganisme
4) Bila kecepatan perombakan polutan menjadi faktor tertentu.
5) Jika waktu dan biaya yang tersedia untuk melakukan bioremediasi
hanya sedikit.
d. Surfactan-aided Bioremediation
Surfactan-aided Bioremediation, umumnya digunakan untuk
mendegradasi polutan yang melekat pada partikel tanah ( tanah, pasir atau
sendimen)
e. Fitoremediasi
Penggunaan tanaman atau pohon untuk memulihan tanah atau badan
perairan yang telah tercemar. Tanaman bisa berperan aktif maupun pasif
dalam proses penyisihan polutan .
Fitoremediasi merupakan proses teknologi yang menggunakan tumbuhan
untuk memulihkan tanah yang tercemar oleh bahan polutan secara in situ
(Surtikanti, 2011:144). Teknologi ini dapat ditunjang dengan peningkatan
perbaikan media tumbuh dan ketersediaan mikroba tanah untuk meningkatkan
efesiensi dalam proses degradasi bahan polutan. Proses fitoremediasi bermula
dari akar tumbuhan yang menyerap bahan polutan yang terkandung dalam air.
Kemudian melalui proses transportasi tumbuhan, air yang mengandung bahan
polutan dialirkan keseluruh tubuh tumbuhan, sehingga air yang menjadi bersih
dari polutan. Tumbuhan ini dapat berperan langsung atau tidak langsung
dalam proses remediasi lingkungan yang tercemar. Tumbuhan yang tumbuh di
lokasi yang tercemar belum tentu berperan aktif dalam penyisihan
kontaminan, kemungkinan tumbuhan tersebut berperan secara tidak langsung.
Agen yang berperan aktif dalam biodegradasi polutan adalah mikroorganisme
tertentu, sedangkan tumbuhan dapat berperan memberikan fasilitas
penyediaan akar tumbuhan sebagai media pertumbuhan mikroba tanah
sehingga pertumbuhan lebih cepat berkembang biak (Surtikanti dan
Surakusumah, 2011:145).
Ada beberapa kriteria tumbuhan yang dapat digunakan dalam proses
fitoremdiasi, (Youngman dalam Surtikanti, 2011:145), yaitu harus: memiliki
kecepatan tumbuh yang tinggi; hidup pada habitat yang kosmopolitan; mampu
mengkonsumsi air dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat;
mampu meremediasi lebih dari satu jenis polutan; mempunyai toleransi tinggi
terhadap polutan; dan mudah dipelihara. Contoh tumbuhan yang dapat
digunakan untuk dalam bioremediasi polutan adalah: Salix sp, rumput-
rumputan (Bermuda grass, sorgum), legum (semanggi, alfalfa), berbagai
tumbuhan air dan hiperakumulator untuk logam (bunga matahari, Thlaspi sp).
Dalam proses remediasi, tumbuhan dapat bersifat aktif maupun pasif
dalam mendegradasi bahan polutan. Secara aktif tumbuhan memiliki
kemampuan yang berbeda dalam fitoremediasi. Ada yang melakukan proses
transformasi, fitoekstraksi (pengambilan dan pemulihan dari kontaminan pada
biomassa bawah tanah), fitovolatilisasi, fitodegrradasi, fitostabilisasi
(menstabilkan daerah limbah dengan kontrol penyisihan dan
evapotrannspirasi), dan rhizofiltrasi (menyaring logam berat ke sistem akar)
(Kelly dalam Surtikanti, 2011:145). Keenam proses ini dibedakan berdasarkan
proses fisik dan biologis. Sedangkan secara pasif tumbuhan melakukan
biofilter, transfer oksigen, menghasilkan karbon, dan menciptakan kondisi
lingkungan (habitat) bagi pertumbuhan mikroba.
Fitotransformasi adalah pengambilan kontaminan bahan organik dan
nutrien dari tanah atau air tanah yang kemudian dtransformasikan oleh
tumbuhan. Proses trannsformasi poluttan dalam tumbuhan dapat berubah
menjadi nontoksik atau menjadi lebih toksik. Metabolit hasil transformasi
tersebut terakumulasi dalam tubuh tumbuhan. Fitoekstraksi merupakan
penyerapan polutan oleh tanaman air atau tanah dan kemudian diakumulasi
atau disimpan dalam bagian suatu tumbuhan (daun atau batang). Tanaman
tersebut dinamakan hiperakumulator. Setelah polutan terakumulasi, tumbuhan
dapat dipanen dan tumbuhan tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus
dimusnahkan dengan insinerator atau ditimbun dalam landfill.
Fitovolatillisasi merupakan proses penyerapan polutan oleh tumbuhan,
kemudian polutan tersebut diubah menjadi bersifat volatile (mudah menguap),
setelah itu ditranspirasikan oleh tumbuhan. Polutan yang dilepaskan oleh
tumbuhan keudara dapat memiliki bentuk senyawa awal polutan, atau dapat
juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa awal. Fitodegradasi adalah
proses penyerapan polutan oleh tumbuhan dan kemudian polutan tersebut
mengalami metabolisme di dalam tumbuhan. Metabolisme polutan di dalam
tumbuhan melibatkan enzim antara lain nitrodictase, laccase, dehalogenase,
dan nitrillase. Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh
tumbuhan untuk mentransformasikan polutan di dalam tanah menjadi senyawa
nontoksik tanpa menyerap terlebih dahulu polutan tersebut ke dalam tubuh
tumbuhan. Hasil transformasi dari polutan tersebut tetap berada di dalam
tanah. Fitostabilisasi dapat diartikan sebagai penyimpanan tanah dan sedimen
yang terkontaminasi dengan menggunakan vegetasi, dan immobilisasi
kontaminan beracun polutan. Fitostabilisasi biasanya digunakan untuk
kontaminan logam pada daerah berlimbah yang mengandung suatu
kontaminan. Sedangkan rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh
tanaman tetapi biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang
tercemarnya adalah badan perairan (Surtikanti, 2011:146-148).
Tumbuhan dapat berperan dalam mempercepat proses remediasi pada
lokasi yang tercemar. Hal ini dapat menjadi dalam berbagai cara, antara lain:
1. Sebagai solar driven-pump dan treat system, yaitu: proses penarikan
polutan ke daerah rhizosfer dengan bantuan sinar matahari.
2. Sebagai biofilter, yaitu: tumbuhan yang dapat mengadsorbsi dan
membiodegradasi kontaminan yang berbeda di udara, air, dan daerah
buffer. Proses adsorbsi ini bersifat menyaring kontaminan.
3. Transfer oksigen dan menurunkan water table. Tumbuhan dengan sistem
perakaran dapat berfungsi sebagai transfer oksigen bagi mikroorganisme
dan dapat menurunkan water table sehingga difusi gas dapat terjadi.
Fungsi ini biasanya dilakukan oleh tanaman apabila kontaminannya
bersifat biodegradable.
4. Penghasil sumber karbon dan energi. Tumbuhan dapat berperan sebagai
sumber penghasil karbon dan energi alternatif yaitu dengan cara
mengeluarkan eksudat atau metabolisme oleh akar tumbuhan. Eksudat
tersebut dapat digunakan oleh mikroorganisme tanah sebagai sumber
karbon dan alternatif sebelum mikroorganisme tersebut menggunakan
polutan sebagai sumber karbon dan energi.
Surtikanti (2011:148-149), mendeskripsikan jenis-jenis tumbuhan yang
digunakan dalam berbagai aplikasi fitoremediasi sebagai berikut :
Jenis-jenis tanaman untuk aplikasi fitoremediasi

No Aplikasi Media Kontaminan Jenis Tanaman


1 Fitoremediasi Tanah, air tanah, Alfalfa, poplar,
landfill leachate, air a. Herbisida willow, aspen,
limbah b. Aromatik (BTEX) gandum
c. Chlorinate alphatics
(TCE)
d. Nutrien (NO3-, NH4+,
PO43-)
e. Limbah amunisi (TNT,
RDX)

2 Bioremediasi Tanah, sedimen, air Murberry, apel,


rhizosfer limbah a. Kontaminan organik tumbuhan air
pestisida
b. PAH

3 Fitostabilisasi Tanah sedimen Tanaman yang


a. Logam (Pb, Cd, Zn, As, memiliki sistem akar
Cu, Cr, Se, U) yang padat. Rumput
b. Hydrophobik organik yang memiliki serat
(PAHs, dioxin, lurans, akar yang banyak.
pentachlorofen ol, DDT, Tanaman yang
dieldrin) dapat melakukan
trenspirasi air yang
lebih banyak.

4 Fitoekstraksi Tanah, sedimen, Bunga matahari,


brownfields a. Logam metal (Pb,Cd, dandellon, mustard
Zn, Ni, dan Cu)

5 Rhizofiltrasi Air tanah, dan air Tanaman air


limbah di danau atau a. Logam metal (Pb,Cd,
air sumur buatan Zn, Ni, dan Cu)
b. Radioaktif (Cs, Sr, dan
U)
c. Senyawa organik
hidrofobik

Merujuk pada deskripsi di atas, penelitian ini lebih cocok berpedoman


pada prinsip bioremediasi rhizosfer dan rhizofiltrasi karena jika dikaji dari
segi media, kontamian, jenis tanaman yang digunakan untuk bioremediasi
sesuai dengan karakteristik permasalahan yang akan diteliti. Sementara itu,
hasil penelitian Surtikanti (2005:174) menunjukan bahawa tanaman Impatiens
sp; Cyperus sp; dan Rhoe discolor efektif dalam menurunkan kadar oli dalam
tanah. Hal ini ditunjang dengan pembentukan akar tanaman Impatiens sp.
yang berperan pasif untuk pertumbuhan bakteri. Dengan adanya peningkatan
populasi bakteri, maka proses remediasi ini dapat berlangsung dengan cepat
dengan adanya bantuan bakteri tersebut.
Bioremediasi in situ disebut juga bioremediasi dasar atau natural
attenuation. Teknologi ini memanfaatkan kemampuan mikroba indigen dalam
merombak polutan di lingkungan. Proses ini terjadi dalam tanah secara
alamiah di dalam tanah secara alamiah dan berjalan sangat lambat.
Bioremediasi in situ
Merupakan metode dimana mikroorganisme diaplikasikan langsung pada
tanah atau air dengan kerusakan yang minimal. Bioremediasi (in situ
bioremidiation) juga terbagi atas:
1. Biostimulasi/Bioventing: dengan penambahan nutrient (N, P) dan aseptor
elektron (O2) pada lingkungan pertumbuhan mikroorganisme untuk
menstimulasi pertumbuhannya.
2. Bioaugmentasi: dengan menambahkan organisme dari luar (exogenus
microorganism) pada subpermukaan yang dapat mendegradasi kontaminan
spesifik.
3. Biosparging: dengan menambahkan injeksi udara dibawah tekanan ke
dalam air sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan kecepatan
degradasi.
Sementara bioremediasi ex situ dikenal sebagai metode dimana
mikroorganisme diaplikasikan pada tanah atau air terkontaminasi yang telah
dipindahkan dari tempat asalnya. Teknik ex situ terdiri atas:
1. Landfarming: teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan
dipindahkan pada lahan khusus yang secara periodik diamati sampai
polutan terdegradasi.
2. Composting: teknik yang melakukan kombinasi antara tanah
terkontaminasi dengan tanah yang mengandung pupuk atau senyawa
organik yang dapat meningkatkan populasi mikroorganisme.
3. Biopiles: merupakan perpaduan antara landfarming dan composting.
4. Bioreactor: dengan menngunakan aquaeous reaktor pada tanah atau air
yang terkontaminasi.
2.2 Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah teknologi proses dengan menggunakan vegetasi
(tanaman) untuk menghilangkan dan memperbaiki kondisi tanah, sludge,
kolam, sungai dari kontaminan (Melethia dkk, 1996). Metode fitoremediasi
sangat berkembang pesat karena metoda ini mempunyai beberapa keunggulan
diantaranya secara finansial relatif murah bila dibandingkan dengan metoda
konvensional biaya dapat dihemat sebesar 75-85%. Penelitian yang
menunjukan kesuksesan metoda fitoremediasi sudah banyak dilakukan
diantaranya penelitian tanah dan air tanah yang tercemar oleh trichloroethylen
(TCE) di Naval Air Station joint Reserve Base Forth Worth dengan
menggunakan tanaman kapas setelah satu tahun terjadi pengurangan
konsentrasi TCE ditanah dan di air tanah . Penelitian yang lain yaitu di pabrik
amunisi di Iowa yang terkontaminasi oleh TNT baik tanah dan air tanahnya
konsentrasi TNT ditanah dapat berkurang sehingga tinggal 1-5% saja (Kelly,
1997)
Penelitian metoda fitoremediasi yang disebabkan oleh kontaminan
hidrokarbon juga sudah banyak dilakukan diantaranya di Alabama tanah
sekitar 1500 kubik yard tercemar oleh kontaminan hidrokarbon dan secara-
rata-rata kandungan TPH pada tanah melebih 100 ppm, tetapi setelah satu
tahun tanah tersebut ditutup oleh vegetasi kandungan dan TPH ditanah secara
rata-rata kurang dari 10 ppm. (Kelly, 1997)
Persyaratan tanaman untuk fitoremediasi
Pada penelitian fitoremediasi di lapangan ada beberapa persyaratan bagi
tanaman yang akan digunakan dalam penelitian tersebut. Tidak semua
tanaman dapat digunakan dikarenakan semua tanaman tidak dapat melakukan
metabolisme, volatilisasi dan akumulasi semua polutan dengan mekanisme
yang sama. Menurut Youngman (1999) untuk menentukan tanaman yang
dapat digunakan pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang
mempunyai sifat:
1) Cepat tumbuh.
2) Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang
singkat.
3) Mampu meremediasi lebih dari satu polutan.
4) Toleransi yang tinggi terhadap polutan.
2.3 Sumber – Sumber Logam Berat yang Mencemari Tanah
Logam berat secara secara alami sudah berada di alam dan tersingkap
karena proses pelapukan, atau dari letusan gunung merapi dapat memberikan
kontribusi kepada alam (Suhendrayatna, 2001) tetapi hal ini bila tidak
mengalami perubahan yang mendasar pada siklus alamiahnya yaitu terkaitan
kepada rantai makan tidak akan menimbulkan efek toksisitas pada manusia.
(USDA NRCS, 2000).
Tabel Kandungan logam berat secara alamiah ( μg/g)

Logam Kandungan Kisaran Non


(Rataan) Populasi
As 100 5- 3000
Co 8 1-4
Cu 20 2-300
Pb 10 2-200
Zn 050 10- 300
Cd 0.06 0.05- 0.7
Hg 0.03 0.01-0.3
(Alloway, 1995)
Notohadiprawiro (1993) mengatakan bahwa sebab masuknya logam berat
kedalam lingkungan hidup adalah:
1. Longgokan alami di dalam bumi tersingkap, sehingga berada di
permukaan bumi
2. Pelapukan batuan yang mengandung logam berat yang melonggokkan
logam berat secara residual di dalam saprolit dan selanjutnya berada di
dalam tanah;
3. Penggunaan bahan alami untuk pupuk atau pembenah tanah (soil
conditioner)
4. Pembuangan sisa dan limbah pabrik serta sampah .
Tanah secara alamiah mengandung logam berat, sebagian logam berat
tersebut berperan dalam proses fisologis tanaman seperti Fe, Cu, Zn dan Ni,
tetapi dengan jumlah yang relatif sangat sedikit, bila berlebih akan
memberikan efek tosisitas kepada tanaman, tetapi Cd dan Pb sangat bercun
dan sampai saat ini belum di ketahui perananya bagi tanaman, kedua unsur ini
merupakan pencemar kimia utama dalam lingkungan dan sangat beracun bagi
tumbuhan, hewan dan manusia (Mangel and Kirkby, 1987)
Jenis- jenis batuan induk pembentuk tanah yang mengandung logam berat
Pb

Ultra Basalt 1-4


Basalt 3-6
Granit 18-24
Sabs dan Liat 20-23
Sabs Hitam 20-30
Pasir 10-12
Kapur 5-9
Pencemaran yang terjadi dapat merusak ekosistem di lahan pertanian dan
akhirnya mempengaruhi produksi dan (Gambar 1), seperti yang di laporkan
oleh Suganda et al. (2003) di Bandung Kecamatan Rancaekek oleh limbah
industri tekstil yang mencemari sungai dan mengalir ke sawah sawah petani
mempengaruhi fisiologis tanaman dan akhirnya menurunkan produktifitas
lahan (Gambar 1), tetapi yang lebih membahayakan adalah terjadinya
pencemaran lahan sawah tetapi tidak mempengaruhi produktifitas lahan hal ini
terjadi karena padi adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan sebagai
tanaman hiperakumulator (Noriharu dan Tomohito, 2002; Yang et al.2007)
pada beberapa taraf Pb seperti yang terjadi di Tanjung Morawa (Hidayat,
2013) (Gambar 2), padi yang di hasilkan kemudian akan di konsumsi oleh
manusia dan akan memberikan ganguan pada system syaraf, hemopoitik, dan
fungsi ginjal (Sudarmaji,2006).
BAB III
METODOLOGI PRATIKUM DAN HASIL
2.1 Pengambilan sampel
2.1.1 Tempat dan Waktu Pratikum
Hari, tanggal : Minggu 06 Oktober 2019
Jam : 13.00 - 15.00 WIB
Tempat : Sungai Pua, Agam
2.1.2 Alat dan Bahan
a) Alat
1. Cangkul
2. Karung
3. Thermometer
b) Bahan
- Tanah
2.1.3 Prosedur Kerja
1. Tentukan lokasi pengabilan sampel
2. Siapkan alat yang akan digunakan
3. Bersihkan tanah dari hal-hal yang mengganggu seperti sampah dan
tumbuhan
4. Gali tanah menggunakan cangkul ± 30 cm
5. Ambil sampel tanah sesuai kebutuhan
6. Masukan sampel tanah kedalam karung lalu ikat karung
7. Setelah pengambilan sampel selesai, jangan lupa untuk menutup
lubang yang sudah digali
8. Bawa sampel ke laboratorium

2.2 Penanaman Tanaman


2.2.1 Tempat dan Waktu Pratikum
Hari, tanggal : Senin 07 Oktober 2019
Jam : 10.30 - 13.00 WIB
Tempat : Laboratorium pengendalian vektor & binatang
pengganggu
2.2.2 Alat dan Bahan
1. 2 buah polibag ukuran 5 kg
2. 2 buah tanaman sejenis dengan jumlah batang yang berbeda,
tanaman yang digunakan adalah bunga keladi
3. Sampel tanah
4. Label
2.2.3 Prosedur Kerja
1. Siapkan alat dan bahan
2. Timbang sampel tanah sebanyak 5 kg, masukan kemasing-masing
polibag
3. Ukur kadar air tanah lalu tambahkan tanah sesuai pengukuran kadar
air
4. Tanam tanaman pada masing-masing polibag
5. Beri label pada polibag
2.3 Pemeriksaan Sampel Parameter Fisik dan Kadar Air
2.3.1 Tempat dan Waktu Pratikum
Hari, tanggal : Senin 07 Oktober 2019
Jam : 10.30 - 13.00 WIB
Tempat : Laboratorium pengendalian vektor & binatang
pengganggu
2.3.2 Pemeriksaan Porositas Tanah
a) Alat
1. 1 buah pipet ukur 10 ml
2. 1 buah gelas ukur 100 ml
3. Botol pijit
b) Bahan
1. Aquadest
2. Sampel tanah
c) Prosedur Kerja
1. Siapkan tanah yang sudah dikeringkan.
2. Masukkan kedalam gelas ukur dengan volume tertentu (catat
volumenya, misal: Y)
3. Masukkan / teteskan air sedikit demi sedikit hingga permukaan air
rata dengan permukaan tanah (catat volume air yang digunakan,
misal: X)
4. Hitung porositas tanah (P) dengan rumus :

𝑋 Keterangan :
P= x 100%
𝑌
X = Volume Air
Y = Volume Tanah
d) Hasil
𝑋
P= x 100%
𝑌
3
= x 100%
10
= 30 %
2.3.3 Pengukuran Suhu Tanah
a) Alat
- Thermometer
b) Prosedur kerja
1. Bersihkan permukaan tanah yang akan diukur suhunya + 30 cm
2. Buat lobang yang besarnya kira-kira sama dengan ukuran
thermometer
3. Masukkan thermometer dalam lobang tersebut
4. Biarkan beberapa saat
5. Baca suhu pada Thermometer
c) Hasil
Hasil pengukuran suhu tanah tercemar adalah 27°C
2.3.4 Penentuan Tekstur Tanah Secara Kualitatif
a) Cara Kerja
1. Siapkan sampel tanah dari beberapa lokasi
2. Ambil sampah tanah, buat bulatan atau gumpalan pada tanah
3. Tentukan tekstur tanah tersebut ssuai table tekstur tanah
No Kelas Tekstur Rasa dan Sifat Tanah
1. Pasir. Rasanya kasar jelas, tidak lengket,dan tidak dapat
dibentuk gulungan atau bola.
2. Lempung berpasir Apabila rasakassar agak jelas,agak melekat,dapat
melekat namun mudah hancur.
3. Pasir berlempung Apabila kasar agak jelas, agak melekat,dapat
dibentuk bola namun mudah hancur,
4. Lempung Apabila tidak terasa kasar, tidak licin, agak melekat,
dapat dibentuk bola agak teguh, dan dapat sedikit
dibentuk gulungan dengan permukaan sedikit
mengkilat,
5. Lempung berdebu Apabila terasa licin, agak melekat, dapat dibentuk
bola agak teguh,dan gulungan dengan permukaan
mengkilat, tanah tersebut tergolong bertekstur.

6. Debu Apabila terasa agak licin sekali, agak melekat, dapat


dibentuk bola teguh, dan dapat digulung dengan
permukaan mengkilat.

7 Lempung berliat Apabila tanah terasa agak licin, agak melekat, dapat
dibentuk bola agak teguh, dan dapat dibentuk
gulungan yang agak mudah hancur.

8. Lempung liat ber-pasir Apabila terasa halus, terasa agak licin, melekat, dan
dapat dibentuk agak teguh, dapat dibentuk gulungan
mudah hancur.
9. Lempung liat ber-debu Apabila terasa halus, terasa agak licin, melekat, dan
dapat dibentuk bola teguh, serta dapat dibentuk
gulungan dengan permukaan mengkilat.

10. Liat berpasir Apabila terasa halus, berat tetapi sedikit kasar,
melekat, dapat dibentuk bola teguh, dan mudah
dibuat gulungan.

11. Liat berdebu Apabila terasa halus, berat, agak licin, sangat lekat,
dapat dibentuk bola teguh, dan mudah dibuat
gulungan.
12. Liat Apabila terasa berat dan halus, sangat lekat, dapat
dibentuk bola dengan baik, dan mudah dibuat
gulungan, maka tanah tersebut bertekstur.

17
13. Liat berat Rasa berat sekali, membentuk bola baik serta
melekat sekali.

b) Hasil
Hasil pengukuran tekstur tanah tercemar diperoleh “lempung
berpasir (sandy loam)” karena rasa kasar pada tanah lempung
berpasir akan terasa agak jelas dan juga akan membentuk bola yang
agak keras tetapi akan mudah hancur.
2.3.5 Penentuan Konsistensi Tanah
a) Cara Kerja
1. Siapkan sampel tanah yang telah diambil di lokasi pengambilan
sampel.
2. Ambil sedikit sampel tanah dan letakkan di antara jari telunjuk
dan jempol.
3. Rasakan kelengketan tanah tersebut.
4. Tentukan klas kelengketan tanah sesuai dengan keadaannya yaitu
basah, kering atau lembab
5. Bandingkan dengan table
Keadaan basah :
Kelas Keterangan
Kelas 0 Tidak lengket, tidak ada adhesi antara jari.
Kelas 1 Agak lengket, adhesi dijari dan mudah lepas
Kelas 2 Lekat, adhesi dijari dan apabila dipijit lengket
Kelas 3 Sangat lengket, adhesi dijari kuat dan sukar lepas
Keadaan lembab :
Kelas Keterangan
Kelas 0 Lepas-lepas
Kelas 1 Sangat gembur, bila dipijit mudah hancur
Kelas 2 Gembur, dengan dipijat agak kuat baru hancur
Kelas 3 Teguh, dipijat sukar hancur
Kelas 4 Sangat teguh, perlu tenaga agak kuat untuk
menghancurkan

18
Kelas 5 Luar biasa teguh, dipijit tidak hancur
Keadaan kering :
Kelas Keterangan
Kelas 0 Lepas-lepas
Kelas 1 Lunak, ditekan sedikit hancur
Kelas 2 Agak keras, agak tahan terhadap pijatan jmpol dan
telunjuk
Kelas 3 Keras, dipijt agak kuat baru hancur
Kelas 4 Sangat keras, tidak dapat dipecahkan dengan jari

b) Hasil
Hasil penentuan konsistensi tanah tercemar adalah keadaan lembab
kelas 2 : Gempur, dengan pijatan agak kuat baru hancur.
2.3.6 Pemeriksaan Kadar Air Tanah
a) Alat

Alat Jumlah
Neraca Analitik 1
Oven 1
Desikator 1
Cawan Penguap 1

b) Bahan
- Tanah 5 gr
c) Cara kerja
1. Pre kondisi Cawa Penguap
a. Siapkan Cawan penguap
b. Oven selama 1 jam dengan suhu 100oC
c. Masukan kedalam desikator selama 15 menit
d. Timbang cawan sebagai W1
2. Sampling
a. Timbang Sampel Tanah 5 gram
b. Masukkan kedalam Cawan yang telah di pre kondisi

19
3. Post Kondisi
a. Oven cawan penguap yang berisi sampel selama 1 jam
dengan suhu 100oC
b. Desikator 15 menit
c. Dan timbang kembali cawan penguap tersebut sebagai W2
d. Masukan kerumus :
𝑊2−𝑤2
KA =
𝑔𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
d) Hasil
Diketahui : W1 = 10 g
W2 = 7,83 g
𝑊1−𝑤2
KA = x 100%
𝑊2
10−7,83
= x 100%
7,83
= 27,7 %
2.4 Penambahan Larutan Pb pada Sampel
2.4.1 Tempat dan Waktu Pratikum
Hari, tanggal : Senin 21 Oktober 2019
Jam : 09.00 – 11.00 WIB
Tempat : Laboratorium Fisika Lingkungan
2.4.2 Alat
1. Pipet ukur
2. Karet hisap
3. Gelas kimia 250 ml
4. Gelas ukur 100 ml
5. Batang pengaduk
6. Neraca analitik
7. Spatula
8. Labu ukur 250 ml
2.4.3 Bahan
1. Aquadest
2. Pb(NO3)2 kristal

20
2.4.4 Prosedur Kerja
a) Pembuatan Larutan Induk
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
𝐴𝑟
2. Timbang bahan sesuai kebutuhan menggunakan rumus x 250
𝑀𝑟
3. Perhitungan :
Ar Pb = 207
Mr Pb(NO3)2 = 331
𝐴𝑟 207
x 250 = x 250
𝑀𝑟 331
= 156,3 mg
4. Setelah ditimbang masukan kedalam gelas kimia aduk sampai
larut menggunakan aquadest dan masukan kelabu ukur 250 ml
5. Paskan dengan aquaest sampai tanda garis
b) Pembuatan Larutan Pb 3 ppm
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
2. Buat larutan menggunakan larutan Pb 1000 ppm (sesuai
kebutuhan) dengan menggunaka rumus V2N2 = V2N2
3. Encerkan dengan aquadest sampai tanda garis
4. Homogenkan
c) Penambahan larutan pada sampel tanah
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
5. Masukan 100 ml larutan Pb 3 ppm kedalam gelas kimia
6. Tuangkan larutan pada kedua polibag masing-masing sebanyak
100 ml
7. Aduk tanah sampai larutan tercampur rata
8. Diamkan dan amati pertumbuhan tanaman setelah dilakukan
penambahan larutan
2.5 Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Setelah ditambahkan Larutan Pb
2.5.1 Tempat dan Waktu Pratikum
Tanggal mulai pengamatan : Selasa, 22 Oktober 2019
Tanggal selesai pengamatan :

21
Tempat : Laboratorium Poltekkes Kemenkes
Padang
2.5.2 Prosedur Kerja
1. Siapkan penggaris dan alat tulis
2. Amati pertumbuhan tanaman dimulai dari akar, daun, dan batang
3. Ukur pertumbuhan batang, daun, dan tajuk tumbuhan tiap harinya
4. Catat pertumbuhan
5. Pengamatan dilakukan setiap hari
6. Jika tanah kering siram tanaman secukupnya
2.5.3 Hasil
Polibag 1
Hari/Tgl Batang Batang Batang Batang Batang Batang Batang Batang Tajuk
Utama / Daun / Daun / Daun / Daun / Daun / Daun / Daun (cm)
(cm) 1 (cm) 2 (cm) 3 (cm) 4 (cm) 5 (cm) 6 (cm) 7 (cm)
Selasa/22
Rabu/23
Kamis/24
Jum’at/25
Sabtu/26
Minggu/27
Senin/28
Rabu/29

Polibag 2
Hari/Tgl Batang Batang / Batang / Batang / Batang / Batang / Batang / Batang / Tajuk
Utama Daun 1 Daun 2 Daun 3 Daun 4 Daun 5 Daun 6 Daun 7

Selasa/22
Rabu/23
Kamis/24
Jum’at/25
Sabtu/26

22
Minggu/27
Senin/28
Rabu/29

2.6 Pemeriksaan Kadar C-Organik dan N-Total


2.6.1 Tempat dan Waktu Pratikum
Hari, tanggal : Selasa, 29 Oktober 2019
Jam : 09.00 – 11.30 WIB
Tempat : Laboratorium Tanah Universitas Andalas
2.6.2 Pemeriksaan C-Organik
a) Alat

No. Nama Alat Jumlah Pemakaian

1. Neraca Analitik 1 Buah

2. Pipet Ukur 10 ml 1 Buah

3. Karet Hisap 1 Buah

4. Botol Pijit 1 Botol

5. Ayakan 1 Buah

6. Spektrofotometer 1 Buah

7. Labu Ukur 100 ml 1 Buah

b) Bahan

No. Nama Bahan Jumlah Pemakaian

1. Sampel Tanah 0,5 gr

2. Larutan K2Cr2O7 5 ml

3. H2SO4 96% 7,5 ml

4. Aquades Secukupnya

5. Larutan Induk Glukosa Secukupnya

23
c) Prosedur Kerja
1) Persiapan Larutan Sampel
1. Siapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan dalam
pemeriksaan
2. Timbang 0,5 gr sampel tanah dimana sebelumnya sampel
tanah sudah dikeringkan dan diayak dengan menggunakan
ayakan < 0,5 mm
3. Tambahkan K2Cr2O7 sebanyak 5 ml dan larutan H2SO4
pekat sebanyak 7,5 ml
4. Diamkan selama 30 menit
5. Encerkan larutan tadi dengan aquadest sampai tanda batas
ukur labu ukur 100 ml
6. Diamkan selama 1 x 24 jam untuk mengendapkan larutan tadi
7. Ukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang
561 nm
2) Persiapan Larutan Standar
1. Persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan
2. Buat larutan standar menggunakan larutan formalin 10 %
(sesuai kebutuhan) dengan menggunaka rumus V1N1 = V2N2
3. Encerkan dengan aquadest sampai tanda garis
4. Homogenkan
5. Larutan standar ini dengan konsentrasi 50 ppm ; 100 ppm ;
150 ppm ; 200 ppm ; 250 ppm
3) Cara Kerja Spektrofotometer
1. Nyalakan alat spektrofotometer
2. Isi cuvet dengan larutan blanko, standar dan sampel
3. Atur panjang gelombang
4. Masukan cuver satu per satu ke dalam spektrofotometri
5. Lalu tekan tombol 0 ABS 100%T, tunggu sampai keluar
kondisi setting blank (dalam bentuk teks)
4) Perhitungan

24
10
% C-Organik = ppm Kurva x x KKA
500
2.6.3 Hasil
a) Perhitungan Larutan Standar

1. Untuk Konsentrasi 0 ppm


V1 = ? V2 = 100 ml

N1 = 1000 ppm N2 = 0 ppm

V1 x N1 = V2 x N2

V1 x 1000 ppm = 100 ml x 0 ppm

V1 = 0 ml

2. Untuk Konsentrasi 250 ppm


V1 = ? V2 = 100 ml

N1 = 1000 ppm N2 = 250 ppm

V1 x N1 = V2 x N2

V1 x 1000 ppm = 100 ml x 250 ppm

V1 = 25 ml

b) Hasil Perhitungan Spektrofotometer


Konsentrasi Absorban
0 ppm 0 ABS
250 ppm 0,564 ABS
Sampel A 0,489 ABS

c) Perhitungan ppm Kurva :


Larutan Absorban (y) xy x2
Standar (x)
0 ppm 0,00 ABS 0 0
250 ppm 0,488 ABS 122 62500

25
x = 250 y =0,488 xy = 122  x2 =62500
Sampel 0,194 ABS

𝑦 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙−𝑎
ppm Kurva =
𝑏
x 250
 x = = = 125
𝑛 2
y 0,488
 y = = = 0,244
𝑛 2
x.y
xy−( 𝑛
)
 b = x^2
x2− 𝑛

250.0,488
122 –( )
2
= 62500
62500 − 2

122−61
=
62500−31250
= 0,001952
 a = y – bx = 0,244 – (0,001952 x 125)
= 0,244 – 0,244
= 0,00
𝑦 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 −𝑎
ppm Kurva =
𝑏
0,194−0,00
=
0,001952
= 99,385

d) Perhitungan Kadar C-Organik


Diketahui :
ppm Kurva = 99,385
mL ekstrak = 100 mL
mg sampel = 0,5 gram
KKA = 1,277

26
10
% C-Organik = ppm Kurva x x KKA
500
10
= 99,385 x x 1,277
500
= 2,54 %
2.6.4 Pemeriksaan N-Total
a) Alat

NO NAMA ALAT JUMLAH

1. Neraca Analitk 1 bh

2. Botol Pijit 1 bh

3. Labu Kjeldal 500 ml 1 bh


4. Erlenmeyer 100 ml dan 250 ml 1 bh

5. Buret 1 bh

6. Sendok Porselen 1 bh

7. Alat Destruksi 1 bh

8. Pipet Ukur 10 ml 1bh

9. Karet Hisap 1 bh

10. Pipet Tetes 1 bh

11. Ayakan 1 bh

12. Labu Ukur 100 ml 1 bh

b) Bahan
1. Sampel tanah yang sudah diayak
2. H2SO4 Pekat
3. Bubuk Selen
4. Aquadest
5. NaOH
6. Asam Borat 4 %
7. Indikator Cadway

27
8. H2SO4 0,05 N
c) Prosedur Kerja
1) Destruksi
1. Timbang tanah 0,5 g.
2. Masukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml.
3. Tambah 1 gr bubuk selen dengan sendok porselen dan di
bilas dengan sedikit aquades, kemudian tambah 5 ml asam
sulfat pekat dengan menggunakan pipet ukur 10 ml
4. Dipanaskan di atas alat destruksi, mula-mula dengan
menyalakan api kecil, lalu nyalakan api diperbesarkan sampai
asapnya hilang dan warna larutan menjadi kehijauan (3-4
jam) lalu diangkat dan didinginkan.
2) Destilasi
1. Setelah larutan di dalam labu kjeldahl menjadi dingin
tambahkan 90 ml aquades dengan labu ukur 100 ml,
kemudian larutan di pindahkan kedalam labu kjeldahl yang
berukuran 500 ml.
2. Tambahkan larutan NaOH 20 ml dengan pipet ukur 10 ml,
tempatkkan labu kjeldahl pada alat destilasi dibagian atasnya.
3. Ambil erlenmeyer 250, masukan 15 ml asam borat dan
tambahkan 2-3 tetes indikator cadway.
4. Erlenmeyer tersebut di tempatkan dibawah pendingin
destilasi sehingga ujung alat pendingan tersebut tercelup di
bawah permukaan asam.
5. Tunggu sampai volume pada Erlenmeyer menjadi 40 ml atau
berubah warna menjadi biru.
6. Setelah destilasi selasai, erlenmeyer diambil dan alat destilasi
di matikan.
3) Titrasi
1. Larutan dalam erlenmeyer di titrasi dengan asam sulfat 0,05
N sampai warna berubah menjadi pink.
2. Catat hasil titrasi.

28
d) Perhitungan
100
N (%) = (Vc-Vb) x 0,05 x 14 x x fk
500
Ket : Vc = ml H2SO4 terpakai saat titrasi
Vb = blanko
fk = factor koneksi kadar air ( FK = KKA )

e) Hasil
1. Diketahui :
Vc = 2,6
Vb = 0,1
KKA = 1,22
2. Perhitungan :
100
% N-Total = (Vc –Vb) x 0,05 x 14 x x KKA
500
= (2,6 – 0,1) x 14 x 0,2 x1,22
= 8,54 %

29
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Fisik Tanah


4.1.1 Porositas Tanah
Berdasarkan pemeriksaan porositas sampel tanah yang didapatkan
sebesar 30 %. Yang artinya tanah memiliki kemampuan sebanyak 30
% untuk menyerap air.
4.1.2 Suhu Tanah
Hasil pengukuran suhu sampel tanah adalah 27°C.
4.1.3 Tekstur Tanah
Hasil pengukuran tekstur sampel tanah diperoleh “lempung
berpasir (sandy loam)” karena rasa kasar pada tanah lempung berpasir
akan terasa agak jelas dan juga akan membentuk bola yang agak keras
tetapi akan mudah hancur.
4.1.4 Konsistensi Tanah
Hasil penentuan konsistensi tanah tercemar adalah keadaan lembab
kelas 2 : Gempur, dengan pijatan agak kuat baru hancur.
4.1.5 Kadar Air Tanah
Berdasarkan hasil perhitungan maka didapatkan kadar air pada
tanah adalah %.
4.2 Pemeriksaan Kadar C-Organik Tanah
Berdasarkan hasil perhitungan, maka didapatkan C-Organik pada sampel
tanah sebanyak

30
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

31

Anda mungkin juga menyukai