Anda di halaman 1dari 40

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND

LEARNING (CTL) DAN PROBLEM POSING TERHADAP KEMAMPUAN


PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA MATERI PECAHAN DI KELAS
SD INTEGRAL HIDAYATULLAH DI TINJAU DARI KECERDASAN SPIRITUAL

BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan sebagai sektor yang paling penting dalam meningkatkan kualitas hidup. Dengan
pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia berkualitas dan mampu bersaing di masa
depan. Tujuan pendidikan mengarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya. Hal ini
dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3 ayat 1 menjelaskan sebagai berikut : Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif,mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Selain itu pula Mata pelajaran matematika juga merupakan mata pelajaran yang sangat
penting untuk dipelajari dan dikuasai .Matematika merupakan ilmu dasar yang mempunyai
peranan penting baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak masalah yang perlu
diselesaikan dengan menggunakan matematika. Oleh karena itu, matematika perlu diajarkan di
setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa matematika diperlukan dalam membentuk generasi yang mempunyai
pemikiran yang kritis, sistematis, logis, kreatif, rasional dan cermat. Hal ini sejalan dengan tujuan
umum pembelajaran matematika yang dirumuskan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi, yakni agar siswa memiliki kemampuan, 1) memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes,
kurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) pemecahan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh, 4) mengkomunikasikan gagasan dan simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Namun, para pelajar menganggap matematika merupakan mata pelajaran yang


membosankan, susah, dan sulit dipahami, sehingga penguasaan siswa terhadap mata pelajaran
matematika menjadi sangat kurang. Masalah yang sering di hadapi siswa pada pembelajaran
matematika adalah kesulitan dalam mengerjakan soal matematika berbentuk pemecahan masalah,
apalagi jika soal tersebut sedikit berbeda dengan contoh yang diberikan atau merupakan
pengembangan dari konsep yang diberikan dan membutuhkan penyelesaian yang lebih rumit. Hal
ini disebabkan kurangnya kemampuan siswa dalam memahami permasalahan, kurangnya
pengetahuan tentang strategi yang digunakan dan kurangnya kemampuan dalam menerjemahkan
soal dalam bentuk matematika.
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) (2004) menyatakan bahwa salah satu
standar kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa yaitu kemampuan dalam memecahkan
masalah.pemecahan masalah menjadi penting dalam tujuan pendidikan matematika disebabkan
karena dalam kehidupan sehari-hari manusia memang tidak perna lepas dari masalah. Aktivitas
memecahkan masalah dapat dianggap suatu aktivitas dasar manusia Namun demikian kebanyakan
siswa masih lemah dalam hal pemecahan masalah matematika.. Kemampuan pemecahan masalah
matematika pada siswa dapat diketahui melalui pengerjaan soal-soal, terutama soal yang berbentuk
uraian. Salah satu soal yang berbentuk uraian yaitu soal cerita. Pada soal berbentuk cerita terdapat
kejadian yang terjadi di kehidupan sehari-hari.
Menurut Karso dkk (2009:121) bahwa dalam menyelesaikan soal-soal matematika
berbentuk kalimat cerita, siswa tidak hanya dituntut untuk memiliki pemahaman konsep dan
keterampilan matematika saja, namun siswa juga harus memahami soal cerita tersebut serta
membuat rencana menetapkan apa yang diminta dari data yang diketahui. Dikalangan siswa, soal
cerita cenderung lebih sulit untuk dipecahkan dibanding soal yang hanya mengandung bilangan.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Kennedy, dkk (dalam Hudojo, 1990:187) yang menyatakan
bahwa soal yang berhubungan dengan bilangan tidak begitu menyulitkan peserta didik, tetapi soal
yang menggunakan kalimat sangat menyulitkan peserta didik yang berkemampuan kurang. Siswa
cenderung merasa sulit dalam mengubah soal cerita ke dalam bentuk matematika. Salah satu
materi yang banyak disajikan dalam bentuk soal cerita adalah pecahan, karena banyak
permasalahan sehari-hari yang perlu menggunakan materi ini dalam menyelesaikannya. Namun
banyak siswa yang merasa sulit dalam menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan ini. Hal
tersebut terjadi karena kemampuan pemecahan masalah siswa masih kurang.
Masalah kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada soal cerita juga
menjadi salah satu problematika yang di hadapi siswa di SD Integral Hidayatullah. Berdasarkan
hasil dialog yang dilakukan oleh calon peneliti dengan salah satu guru mata pelajaran matematika
di sekolah tersebut yaitu pak Satmar, S.Pd., diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa yang
kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan. Ketika siswa diberikan soal
pecahan secara langsung, mereka bisa menyelesaikannya. Namun ketika siswa diberikan soal
dalam bentuk cerita, mereka kesulitan karena kurang memahami bagaimana mengubah soal cerita
tersebut ke dalam bentuk kalimat matematika. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa di SD Integral Hidayatullah masih kurang.
Satu diantara permasalahan yang juga menyebabkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa sulit berkembang ialah metode pembelajaran yang digunakan,pada
pembelajaran matematika tingkat Sekolah Dasar, guru didominasi oleh penggunaan metode
ceramah dan pemberian tugas. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian Tim P4TK Matematika bahwa
sebagian besar guru SD menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran, yaitu 70% dari
responden (Sri Wulandari Danoebroto, 2008: 70). Kondisi pembelajaran seperti ini cenderung
menggunakan pendekatan yang konvensional, memuat konsep-konsep abstrak dan rumus-rumus
yang diperkenalkan tanpa memperhatikan kandungan maknanya. Siswa cenderung pasif, akibatnya
siswa sulit mengembangkan kemampuan intelektual dan motoriknya secara optimal. Siswa juga
menerima pengetahuan dari guru tanpa ada kesempatan untuk mengelola sendiri pengetahuan yang
diperolehnya, sehingga menurunkan daya kreativitas dan daya nalar terutama pada saat
menghadapi permasalahan matematika yang belum dikenal sebelumnya.sehingga diperlukan
adanya variasi metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampaun pemecahan masalah
matematika pada siswa.
Selanjutnya SD Integral Hidayatullah yang merupakan sekolah yang berbasis keagamaan
dimana sekolah SD Integral HIdayatullah sebagai sekolah yang berciri khas Islam para siswa
memerlukan bimbingan dan arahan melalui penanaman keyakinan atas prinsip-prinsip ajaran
Islam. Penanaman akan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan agar anak-
anak tidak mengambil keputusan yang salah dan dapat mengontrol diri mereka sendiri serta
dapat memberikan makna pada setiap perbuatan yang dilakukannya. Salah satu cara yakni
dengan kegiatan tahfidz pagi untuk siswa dapat mencintai dan menghafal Al-Qur’an serta dapat
mengamalkanya. Melalui Tahfidz Pagi dapat membuat siswa dekat dengan Allah SWT sehingga
memiliki nilai-nilai, serta memiliki kemampuan menghadapi kesulitan hidup yang membuat
mereka mampu mencapai makna-makna dalam kehidupan yang dijalani. Selain itu dalam agama
juga terdapat batasan bagi pemeluknya untuk dapat melakukan berbagi kegiatan yang
diperintahkan dalam agama maupun menjauhi yang dilarang.

Kemampuan siswa dalam melakukan ritual ibadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya ini yang dinamakan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual merupakan landasan
yang penting dalam memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Bahkan ini
dianggap sebagai kecerdasan yang tertinggi (Zohar dan Marshall, 2001: 12-13). Selanjutnya
kecerdasan spiritual oleh Zohar dan Marshall didefinisikan sebagai kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai
bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna daripada yang lain (Mizan, 2001: 4).

Merujuk pada penjelasan sebelumnya, pembelajaran matematika yang diharapkan dapat


meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah model pembelajaran contextual
teaching and learning (CTL) dan Realistic mathematic education (RME). Sehingga calon peneliti
tertarik untuk melaksanakan penelitian yang berjudul “Eksperimen Model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Realistic mathematic education (RME) terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi pecahan Di kelas IV SD Integral
Hidayatullah ditinjau dari Kecerdasan Spiritual “
B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat di identifikasikan masalah-masalah


berikut ini

1. Siswa menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang membosankan, susah dan
sulit dipahami

2. Siswa kesulitan dalam mengerjakan soal matematika berbentuk pemecahan masalah yang
membutuhkan penyelesaian lebih rumit

3. Kurangnya kemampuan siswa dalam memahami permasalahan dalam soal matematika


4.Kurangnya pengetahuan siswa tentang strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
matematika
5. Siswa cenderung lebih sulit menerjemahkan dan menyelesaikan soal cerita

6. Guru masih menggunakan metode konvensional

7.Guru jarang menggunakan model pembelajaran yang bervariasi

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah agar permasalahan yang dikaji lebih terarah maka masalah-
masalah tersebut peneliti batasi sebagai berikut:

1. Pendekatan pembelajarn yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan


contextual Teaching and learning (CTL) dan pendekatan Realistic Mathematic education
(RME). Di mana dari data yang diperoleh dari peneletian sebelumnya disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika yang menerapkan ke dua pendekatan ini menghasilkan tingkat
pemecahan masalah matematika lebih baik dari pada pendekatan konvensional.
2. Kemampuan pemecahan masalah matematika berasal dari kata mampu yang berarti
sanggup dan bisa melakukan sesuatu. Kemampuan pemecahan masalah dalam hal ini
adalah kesanggupan siswa dalam memecahkan masalah matematika soal cerita pada
materi pecahan di kelas IV SD INTEGRAL HIDAYATULLAH
3. Kecerdasan spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk
menempatkan prilaku dan hidup kita pada makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan
ini menilai bahwa tindakan atas jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan
oranglain .

D. Rumusan Masalah

1.Apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)


menghasilkan tingkat pemecahan masalah matematika lebih baik dibandingkan dengan
pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)?

2. Apakah siswa yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi memiliki kemampuan


pemecahan masalah matematika lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki
kecerdasan spiritual sedang dan rendah?

3. Apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)


menghasilkan tingkat pemecahan masalah yang lebih baik dibandingkan pembelajaran
dengan pendekatan Realistic Mathematic education (RME) pada siswa dengan
kecerdasan spiritual tinggi, sedang dan rendah?

4. Apakah pada pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learnig


(CTL) siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi , lebih baik daripada siswa dengan
kecerdasan spiritual sedang dan rendah ,serta apakah siswa dengan kecerdasan spiritual
sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual rendah?

5. Apakah pada pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic education


(RME) siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi, lebih baik daripada siswa dengan
kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta apakah siswa dengan kecerdasan spiritual
sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual rendah?

E. Tujuan penelitian
Bertolak dari perumusan masalah penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and


Learning (CTL) menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih baik dari pada
pendekatan pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)
2. Untuk mengetahui apakah siswa–siswa dengan kecerdasan spiritual lebih tinggi
mempunyai kemampuan pemecahan masalah lebih baik daripada siswa-siswa dengan
kecerdasan spiritual yang sedang dan rendah serta siswa dengan kecerdasan spiritual
sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual rendah.
3. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih baik dibandingkan
pembelajaran Realistic Mathematic education (RME) pada siswa dengan kecerdasan
spiritual tinggi, sedang dan rendah
4. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL), siswa dengan kecerdasan spiritual tinggi lebih baik tingkat pemecahan
masalahnya daripada siswa dengan kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta siswa
dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual
rendah.
5. Untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematic
education (RME), siswa dengan kecerdasn spiritual tinggi lebih baik tingkat pemecahan
masalahnya daripada siswa dengan kecerdasan spiritual sedang dan rendah, serta siswa
dengan kecerdasan spiritual sedang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan spiritual
rendah.

F. Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis
Sebagai bahan pengembangan ilmu pendidikan khususnya tentang model
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau Contextual Teching and Learning
(CTL) dan Realistic Mathematic Educatiun (RME) dalam pembelajaran matematika.
2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian , antara lain:
a. Bagi Dinas pendidikan
Sebagai masukan dalam pembinaan yang berkaitan dengan motivasi mengajar guru
melalui kompetensi pedagogik dan perhatian pimpinan.
b. Bagi sekolah
Agar menjadi pertimbangan bagi sekolah untuk menerapkan model pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematka.
c. Bagi guru
Hasil penelitian ini ditawarkan salah satu alternatif model pembelajaran yang
diterapkan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang bervariatif Dan inovatif.
d. Bagi penulis
Mengetahui keefektifan model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan
problem posing , menambah wawasan serta pengalaman penulis .
BAB II

LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI
1. Model pembelajaran pendekatan kontekstual atau contextual teaching and learning
(CTL)

1.1 pengertian model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

Pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching and learning CTL adalah konsep
belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai
anggota masyarakat. Konsortium pusat Washington untuk pembelajaran kontekstual (the state
consortium of CTL), yaitu sebuah proyek yang dibiayai Departemen Pendidikan Amerika serikat
untuk meningkatkan perhatian pada pengajaran kontekstual dalam program persiapan guru-
guru,mendefenisikan pembelajaran kontekstual sebagai pengajaran yang memungkinkan siswa-
siswa sekolah dari tingkat pra-sekolah sampai menengah atas mendapat penguatan, memperluas
dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademiknya dalam berbagai macam situasi
disekolah maupun diluar sekolah agar mampu memecahkan masalah dikelas maupun di dunia
nyata (Tatag Yuli, 2002).
Pendekatan dengan pembelajaran kontekstual menurut Sugiyanto (2010:4) adalah konsep
pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan suatu materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliknya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri. Hal tersebut sesuai dengan yamg
dikemukakan Hadi (2002:5) yang mengemukakan bahwa : “pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata dan kehidupan mereka sehari-hari.
Johnson (2002:25) berpendapat bahwa system pembelajaran kontekstual adalah sebuah
proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa mengetahui makna yang ada di dalam materi
akademik, mereka belajar dengan menghubungkan subjek akademik dengan konteks kehidupan
sehari-hari, yaitu dengan konteks pribadi, social, dan keadaan kebudayaan mereka.
Menurut Talbert ( 1999: 1) Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke
siswa. Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and learning) melibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivisme), bertanya (Questioning),
menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan
penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment).
Pendidikan matematika berbasis kompetensi yang menekankan pada pengembangan
pengalaman belajar tangan pertama, Contextual Teaching and Learning (CTL), meaningful
teching, dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) baik berupa generik skill (kecakapan
personal, kecakapan sosial) maupun spesific skill (kecakapan akademik, dan kecakapan
ketrampilan). Usaha mengatasi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada
munculnya inovasi–inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika
yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning
reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Kecenderungan
pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM
(National Council of Teacher of Mathematics).
Menurut John Dewey (1916) dalam tatag yuli (2002) Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah suatu teori pembelajaran berakar dari filosofi pendididkan yang menganjurkan
suatu kurikulum dan metode belajar yang mendasarkan pada pengalaman-pengalaman dan minat
anak. Defenisi operasional pembelajaran contextual berakal dari teori progresifisme Dewey dan
hasil-hasil temuan reset yang menunjukkan bahwa siswa akan belajar dengan baik, ketika apa
yang dipelajarinya dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif
belajar mandiri.
Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Lynch dalam Predmore (2005) “Ninety-four
percent of students said that they learned a lot more in CTL-aprroach classes than in other
traditional courses in that same subject area”. Sembilan puluh empat persen siswa mengatakan
bahwa pada mata pelajaran yang sama, mereka belajar lebih banyak dikelas yang menerapkan
pendekatan CTL daripada dikelas yang menggunakan pendekatan tradisional lebih lanjut
predmore (2005) mengungkapkan, “some students learn best through CTL approaches and they
really need more hands on real world experience”. Beberapa siswa belajar sangat baik dengan
pendekatan CTL dan mereka benar-benar membutuhkan lebih banyak belajar tentang
pengalaman didunia nyata.

1.2 Prinsip-prinsip Contextual teaching and learning (CTL)

Menurut Johnson (2002:86) terdapat tiga prinsip ilmiah dalam CTL yaitu :

a. CTL mencerminkan prinsip kesaling bergantungan


Kesalinbergantungan mewujudkan diri misalnya ketika para siswa bergabung
untuk memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan
rekannya.
b. CTL mencerminkan prinsip diferensiasi
Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang siswa untuk saling saling
menghormati Keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan, untuk
menjadi kreatif, untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru
yang berbeda, dan untuk menyadar bahwa keragaman adalah tanda kemantapan
dan kekuatan.
c. CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri
Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan
kemampuan dan minat mereka yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik
yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam
tuntutan dan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi dan berperan serta dalam
kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka
bernyanyi.
System CTL mencakup delapan komponen berikut ini:
a. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
b. Melakukan pekerjaan yang berarti
c. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
d. Bekerjasama
e. Berpikir kritis dan kreatif
f. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
g. Mencapai standar tinggi
h. Menggunakan penilaian autentik
(Johnson, 2002:86)

1.3 perbedaan pendekatan kontekstual dan pembelajaran konvensional

Belajar kontekstual (CTL) adalah belajar yang akan terjadi bila dihubungkan dengan
pengalaman nyata sehari-hari Blanchard (2001) menejelaskan sebuah hasil penelitian kognitif
yang menunjukan bahwa sekolah-sekolah (yang pengajarannya dikelola secara tradisional) tidak
membantu siswa dalam menerapkan pemahamannyan terhadap bagaimana seseorang itu harus
belajar dan bagaimana menerapkan sesuatu yang dipelajari pada situasi baru. Selain itu
dijelaskan juga perbedaan pembelajaran konvensional (CTL) dan pembelajaran yang kontekstual
sebagai berikut:

Perbedaan pengajaran konvensional dan kontekstual

Pengajaran Konvensional Pengajaran Kontekstual (CTL)

1. Mengandalkan pada hapalan 1. Mengandalkan pada berpikir


spasial

2. Memfokuskan secara khusus pada 2. Memadukan secara khusus


satu subjek(materi pelajaran) materi-materi pelajaran yang lain
(multiple subjects)

3. Nilai-nilai informasi ditentukan 3. Nilai informasi didasarkan pada


oleh guru kebutuhan siswa sendiri
(individual siswa)
4 .Memberikan kepada siswa semua 4. Menghubungkan dengan
informasi-informasi yang ada, tanpa pengetahuan awal
menghubungkan dengan
pengetahuan awalnya.

5 Penilaian dalam belajar hanya 5. .Penilaian autentik melalui


bersifat formal akademis, seperti kegiatan-kegiatan aplikasi atau
ujian memecahkan masalah nyata.

(Tatag Yuli,2002: 66)

1.4 Langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual

Secara umum penerapan pembelajaran kontekstual melibatkan bermacam langkah


pembelajaran sebagai berikut.

a. Pembelajaran aktif. Siswa diaktifkan untuk mengkonstruksi pengetahuan dan memecahkan


masalah.
b. Multi konteks. Pembelajaran dalam konteks yang ganda (multi konteks) memberikan siswa
pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajari dan mengidentifikasi ataupun
memecahkan masalah dalam konteks yang baru (terjadi transfer).
c. Kooperasi dan diskursus (penejelasan ceramah); siswa belajar dari orang lain melalui
kooperasi (kerjasama), diskursus (penjelasan-penjelasan), kerja tim dan mandiri (self
reflection).
d. Berhubungan dengan dunia nyata; pembelajaran yang menghubungkan dengan isu-isu
kehidupan nyata melalui kegiatan pengalaman diluar kelas dan simulasi
e. Pengetahuan prasyarat/awal : pengalaman awal siswadan situasi pengetahuan yang di dapat
mereka akan berartiatau bernilai dan Nampak sebagai dasar dalam pembelajaran.
f. Ragam nilai; pengajaran yang fleksibel menyesuaikan kebutuhan dan tujuan-tujuan dari
siswa yang berbeda.
g. Kontribusi masyarakat: suatu cara yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat
melalui pembelajaran atau akibat prosesnya harus di utamakan .
h. Penilaian autentik : proses belajar siswa perlu dinilai dalam konteks ganda yang bermakna.
i. Pemecahan masalah: berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam memecahkan masalah
nyata harusditekankan dalam hal kebermaknaan memorisasi dan pengulangan-
pengulangannya.
j. Mengarahkan sendiri (self-direction): siswa ditantang dan dimungkinkan diperbolehkan
membuat pilihan-pilihan, mengembangkan alternative-alternatif dan diarahkan sendiri,
berbagi dengan guru. Dengan demikian mereka bertanggung jawab sendiri dalam
belajarnya.
k. Melibatkan kerjasama: melibatkan kerjasama antara guru dengan siswa dikelas sehingga
membantu/mendukung proses pembelajaran.

Secara sederhana pembelajaran dengan pendekatan CTL digambarkan dengan langkah-


langkah sebagai berikut:

a. Guru menyampaikan tujuan, pokok-pokok materi pelajaran dan melakukan apersepsi


b. Guru memberikan permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan materi yang dipelajari.
c. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil.
d. Siswa bekerja sama dalam kelompok untuk mendiskusikan permasalahan yang diberikan.
e. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
f. Guru dan siswa mengadakan refleksi terhadap kejadian , aktivitas atau pengetahuan yang
baru diterima.
g. Guru memberikan kesimpulan, penguatan dan tes kepada siswa.

1.5 Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL)

Ada beberapa kelebihan dalam penggunaan model pembelajaran

CTL yaitu:

a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil.


b. Pembelajaran kontekstual ndapat menjadikan siswa belajar bukan dengan menghafal,
melainkan proses pengalamannya dalam kehidupan nyata.

c. Kelas dalam kontekstual bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi,


melainkan sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan

d. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada


siswa, karena seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri.

Sedangkan dalam penggunaan model pembelajaran CTL juga terdapat beberapa


kekurangan yaitu:

a. Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode CTL,guru tidak lagi
berperan sebagai pusat informasi.
b. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide-ide mereka.
c. Penerapan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang kompleks dan
sulit dilaksanakan, selain itu juga membutuhkan waktu yang lama.
1. Pendekatan Pembelajaran Realistic Mathematic and Education
Realistic Mathematics Education (RME) RME dikembangkan berdasarkan pemikiran
Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human
activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, RME
mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa
penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia real” (Gravemeijer, 1994).
Teori RME sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti
konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat
CTL). Pendekatan konstruktivitis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, sedangkan
RM E adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep
RM E sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia y ang
didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan
mengembangkan daya nalar. Beberapa konsepsi RME tentang siswa, guru dan tentang
pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa RME sejalan dengan paradigma baru
pendidikan, sehingga pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

1. Konsepsi tentang siswa

RME mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:

a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang memp
engaruhi belajar selanjutnya;
b. Siswa memp eroleh p engetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk
dirinya sendiri
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari sep
erangkat ragam pengalaman;
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.

2. Peran Guru

RME mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:


a.Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
b.Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c.Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses
belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan nyata;
d.Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif
mengaitkan kurikulum dengan dunia nyata, baik fisik maupun sosial.
3.Konsepsi tentang pengajaran.

Pengajaran matematika dengan pendekatan RME meliputi aspek-aspek berikut


(DeLange,1995):
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan
pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran
secara bermakna;
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam pelajaran tersebut;
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap
persoalan/masalah yang diajukan;
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan
terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju
terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian
yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil
pelajaran.
Pembelajaran Matematika Realistik di sekolah dilaksanakan dengan menempatkan
realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah yang nyata atau
dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa dan digunakan sebagai sumber munculnya konsep
atau pengertian-pengertian matematika yang semakin meningkat. Jadi pembelajaran tidak
dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh,
namun sifat, definisi, teorema itu diharapkan “seolah-olah ditemukan kembali” oleh siswa
(R.Soedjadi, 2001:2). Jelas bahwa dalam pembelajaran matematika realistik siswa ditantang
untuk aktif bekerja bahkan diharapkan agar dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri
pengetahuan yang akan diperolehnya.
Gravermeijer (dalam Yansen Marpaung, 2001), ide utama dari RME adalah siswa harus
diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan
orang dewasa. Usaha untuk membangun kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik, dalam pengertian bahwa tidak
hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan.
RM E di Indonesia diadaptasi dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Yansen Marpaung (2003) menyatakan bahwa PMRI dijabarkan menjadi 10 karakteristik
yaitu ;
1. Murid aktif, guru aktif.
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan masalah-masalah dengan cara
sendiri.
3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara
sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok atau secara individual
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas
7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negoisasi, baik antara guru dan siswa,
maupun antara siswa dengan siswa.
8. Siswa bebas memilih representasi y ang sesuai dengan struktur kognitifnya
sewaktu menyelesaikan masalah.
9. Guru bertindak sebagai fasilitator.
10. Menghargai pendapat siswa, termasuk pendapat itu betul atau salah.

Dalam pembelajaran matematika realistik, kegiatan inti diawali dengan masalah


kontekstual, siswa aktif, siswa dapat mengeluarkan ide-idenya, siswa mendiskusikan dan
membandingkan jawabannya dengan temannya. Guru memfasilitasi diskusi dengan teman
sebangkunya dan mengarahkan siswa untuk memilih suatu jawaban yang benar. Selanjutnya
guru dapat meminta beberap siswa untuk mengungkapkan jawabannya. Melalui diskusi kelas
jawaban siswa dibahas/dibandingkan. Guru kemudian membantu memeriksa jawaban-jawaban
siswa. Jawaban siswa mungkin tidak ada y ang benar, mungkin semuany a benaratau sebagian
benar sebagian salah. Jika jawaban benar maka guru hanya menegaskan jawaban tersebut. Jika
jawaban salah guru secara tidak langsung memberitahu letak kesalahan siswa yaitu dengan
mengajukan pertanyaan kepada siswa yang menjawab soal atau siswa lainnya. Selanjutnya siswa
dapat memperbaiki jawabannya dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik
kesimpulan.
Menurut Suyitno (2004: 38), implementasi pembelajaran RME di sekolah adalah sebagai
berikut.
a. Guru menyiapkan beberapa soal realistik (ada kaitannya dengan kehidupan sehari-
hari) yang akan dikerjakan siswa secara informal atau coba-coba karena langkah
penyelesaian formal untuk menyelesaikan soal tersebut belum diberikan.
b. Guru memeriksa hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada penghargaan
terhadap keberagaman jawaban dan kontribusi siswa .
c. Guru menyuruh siswa untuk menjelaskan temuannya di depan kelas.
d. Dengan tanya jawab, guru mungkin perlu mengulang jawaban siswa terutama jika
ada pembiasan konsep .
e. Guru baru menunjukkan langkah formal yang diperlukan untuk menyelesaikan
soal tersebut. Bisa didahului dengan penjelasan tentang materi pendukungnya

3.Kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ)

3.1 Pengertian Kecerdasan Spiritual atau spiritual quotient (SQ)

Istilah spiritual berasal dari kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari kata latin
Spiritus yang berarti bernafas. Karena itu spiritual bisa diartikan sebagai roh dan nafas karena
berfungsi sebagai energi kehidupan yang membuat seseorang menjadi hidup. Selanjutnya, istilah
spiritual berfungsi sebagai sifat dari suatu bentuk kecerdasan selain intelektual dan emosional.
Kecerdasan Spiritual berarti kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami diri
sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan
memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan
yang akan dituju. Menurut Zohar & Marshal (2000).

Wilcox (2013:331) mengemukakan kecerdasan spiritual adalah kepercayaan terhadap


kekuatan yang bersifat ketuhanan, ekspresi dari kepercayaan ini, sistem kepercayaan yang
khusus (baik yang bersifat suci maupun profan), jalan hidup dalam merasakan rasa cinta dan
kepercayaan terhadap Tuhan, dan masih banyak lagi. Pendapat tersebut juga didukung oleh
Suyadi (2010: 182) menuliskan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk merasakan
keberagamaan seseorang. Jadi kecerdasan spiritual dapat diasah ketika seseorang memeluk
agama percaya terhadap keberadaan Tuhan. Maka dari itu bagi setiap agama memiliki kewajiban
bagi pemeluknya untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajarannya.

Kecerdasan spiritual diartikan sebagai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan


persoalan makna dan nilai, sehingga kecerdasan ini berfungsi untuk menempatkan perilaku
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, dengan kata lain kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang membedakan kebermaknaan tindakan atau jalan hidup seseorang dari yang
lain. Keberadaan SQ secara umum dalam kehidupan manusia adalah memberikan pemahaman
mengenai makna diri kita, makna segala sesuatu yang kita lakukan. SQ juga digunakan untuk
memahami mengapa kita harus melakukan suatu tindakan tertentu. Sehingga aktivitas yang kita
kerjakan tersebut akan bermakna dan bukan hanya sekedar aktifitas yang percuma.

Menurut Maslow pengalaman spiritual adalah peak experience, plateau,the farthest


reaches of human nature. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh
manusia serta merupakan peneguhan dari keberdaannya sebagai mahluk spiritual, pengalaman
spiritual merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa
pengalaman spiritual telah melewati hierarki kebutuhan manusia.

3.2 Aspek-aspek kecerdasan spiritual

Zohar & Marshal (2000) menyebutkan tanda-tanda dari kecerdasan spiritual yang
berkembang dengan baik adalah:

a. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)


b. Tingkat kesadaran yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan
c. Kemampuan untuk menghadapi dan melampuai rasa sakit
d. Kualitas kehidupan yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
e. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
f. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
g. Kecenderungan untuk bertanya, dan bertanggung jawab untuk membawakan misi
dan nilai pada orang lain.

3.3 Ciri-ciri atau Kriteria kecerdasan spiritual

Tischler & McKeage (2002) yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual dicirikan
dengan adanya lima kemampuan inti, yaitu:
a. Kemampuan Transendental yang ditandai dengan tercukupinya kebutuhan batin, ke
damaian hati, dan keten, traman jiwa dengan merasa bahwa tuhan selalu menyertai dan
membimbing hidup individu;
b. Kemampuan untuk memasuki kon disi spiritual yang dicirikan pa da komitmen
individu untuk menjalin hubungan yang dalam dengan tuhan, kekuatan iman, serta
kepasrahan individu;
c. Kemampuan menanamkan nilai,nilai religius yang ditam, pakkan dalam
aktivitas,aktivitas individu selalu merasa dalam koridor agama;
d. Kemampuan untuk memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam kehi dupan;
e. Kapasitas untuk berperilaku saleh yang ditunjukkan dengan sikap yang mu dah
memberikan maaf, mensyukuri nikmat, kese derhanaan, serta mengasihi sesama.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Emmons dan Myers (2003) yang menyatakan
bahwa komponen dari kecerdasan spiritual adalah:

b. Kemampuan untuk mentransendensi;


c. Kemampuan untuk mensucikan pengalaman sehari-hari;
d. Kemampuan untuk mengalami kondisi, kondisi kesa daran puncak;
e. Kemampuan untuk menggunakan potensi,potensi spiritual untuk memecahkan
masalah;
f. Kemampuan untuk terlibat dalam berbagai kebajikan.

Menurut penulis, pendapat diatas masih belum tegas dalam mencirikan kecerdasan
spiritual, karena itu dengan memperhatikan teori diatas dibuat definisi lain untuk memberikan
kriteria kecerdasan spiritual. Menurut penulis kecerdasan spiritual adalah suatu bentuk
kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang dicirikan dengan adanya kemampuan yang
bersifat internal dan eksternal. Ciri dari kemampuan tersebut adalah:

1) Kemampuan yang bersifat internal yaitu kemampuan yang berhubungan diri dan
Allah (hablun minalallah), cirinya adalah kesadaran terhadap sesuatu yang transenden, adanya
visi yang bersifat spiritual, dan kemampuan untuk mengambil hikmah dari penderitaan;
2) Kemampuan yang bersifat eksternal yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
sesama manusia (hablun minannas), cirinya adalah keengganan untuk berbuat sesuatu yang
merugikan orang lain dan kecenderungan untuk mengajak pada kebaikan.

3.4 Karakteristik anak yang memiliki kecerdasan spiritual

Kemudian, Wilcox (2012: 331) menuliskan bahwa james menjelaskan tentang karakter
anak yang memiliki kecerdasan spiritual adalah

(1) Bahwa dunia yang terlihat ini merupakan bagian dari semesta yang lebih spiritual
yang memiliki signifikansi utama.

(2) Bahwa kesatuan tau hubungan harmonis dengan semesta yang lebih tinggi itu adalah
tujuan akhir kita yang sesungguhnya.

(3) Bahwa doa atau komunikasi internal dengan kekuatan spiritual bisa berupa Tuhan
atau hukum, merupakan proses di mana suatu pekerjaan benar-benar dilakukan, energi spiritual
mengalir di dalamnya, dan menghasilkan efek psikologis atau material dalam dunia fenomenal.
Dalam agama, tercakup juga karakteristik-karakteristik psikologi tertentu.

(4) Adanya semangat baru yang selalu bertambah seperti hadiah bagi kehidupan, yang
mengambil bentuk sebagai kata-kata pujian yang mempesona ataupun seruan terhadap
kesungguhan dan heroisme.

(5) Adanya kepastian terhadap keamanan dan kedamaian, serta perasaan cinta yang besar
dalam hubungan dengan orang lain.

3.5 Manfaat kecerdasan spiritual (SQ)

Manfaat kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ) antara lain:


a. Keberadaan SQ membuat manusia menjadi lebih kreatif
b. Keberadaan SQ membuat manusia mampu berpikir secara luas dan mendalam
c. SQ digunakan untuk memecahkan persoalan yang amat mendasar
d. SQ digunakan sebagai sarana untuk cerdas beragama
e. SQ membuat manusia memahami siapa dirinya, memberikan arti dari setiap tindakan
yang dilakukan, menerima keberadaan orang lain, serta memberikan arti orang lain bagi
diri kita
Jadi kecerdasan spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk
memberi makna yang luas dan dalam pada setiap perilaku atau keadaan tertentu.
Sehingga segala aktifitas yang dilakukan lebih bermakna dan bernilai.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematika

3.1 Pengertian kemampuan pemecahan masalah

Menurut Wena (2009), pemecahan masalah sebagai proses untuk menemukan kombinasi
dari sejumlah aturan yang bisa diaplikasikan untuk mengatasi situasi baru. Pemecahan masalah
bukan sekedar bentuk mampu menerapkan peraturan yang telah dikuasai melalui pembelajaran
masa lalu, tapi lebih dari itu, adalah proses mendapatkan seperangkat aturan yang lebih tinggi
tingkatannya. Sejalan dengan pendapat Woolfolk (2007) pemecahan masalah biasanya
didefinisikan sebagai merumuskan jawaban baru, di luar aturan sebelumnya untuk mencapai
tujuan. Sedangkan menurut Beetlestone (1998) pemecahan masalah memberi kesempatan kepada
siswa untuk menggunakan imajinasi mereka, mencoba mewujudkannya ide, dan pikirkan
kemungkinan. Pemecahan masalah sebagai kemampuan intelektual, ditujukan untuk perbaikan
umum di Indonesia kemampuan intelektual (Gredler, 2009).
Kemampuan memecahkan masalah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh siswa
terutama proses perkembangan siswa. Pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya
individu untuk merespon atau mengatasi atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban
belum tampak jelas dan tidak memiliki alat atau aluryang nyata untuk memperoleh
pemecahan (Dindyal, 2005).
Hudojo (1988) menyatakan bahwa di dalam matematika suatu pertanyaan akan
merupakan masalah apabila tidak terdpat aturan atau hokum tertentu yang segera dapat
dipergunakan untuk menemukan jawaban tersebut. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa jika ia tidak dapat
dengan segera menjawab pertanyaan tersebut atau dengan kata lain siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan tersebut dengan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahuinya. Pemecahan
masalah matematika adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi dengan
menggunakan kegiatan matematik untuk memecahkan masalah dalam matematika, masalah
dalam ilmu lain dan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Soedjadi, 1994).

4.2 Langkah-langkah Pemecahan Masalah Matematika


Kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam matematika, bukan saja bagi
mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga
bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan
sehari-hari (Russefffendi, 2006). Mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki
kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh
(Depdiknas, 2006).
Menurut Shadiq (2014), ada empat langkah proses pemecahan masalah, yaitu
memahami masalahnya, merancang cara penyelesaiannya, melaksanakan rencana, dan
menafsirkan hasilnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa indikator yang diukur untuk
mengetahui pemecahan masalah matematika siswa adalah memahami masalah, membuat
rencana model pemecahan masalah, menyelesaikan rencana model pemecahan masalah, dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
Polya (1973), secara eksplisit menjabarkan langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu:
(1) understand the problem, (2) make a plan, (3) carryout our plan, dan (4) look back at the
completed solution, yang dijabarkan sebagai berikut.
1. Memahami masalah (understand the problem)
Dalam tahap ini, masalah harus diyakini benar, dengan cara dibaca berulang-ulang, dan
dapat ditanyakan sendiri beberapa hal, seperti apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui,
bagaimana hubungan antara yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, dan lain-lain, untuk
meyakinkan diri, bahwa masalah sudah dipahami dengan baik.

2. Membuat rencana pemecahan masalah (make a plan)


Mencari hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui, dan
memungkinkan untuk dihitung variabel yang tidak diketahui tersebut. Sangat berguna
untuk membuat pertanyaan, bagaimana hal yang diketahui akan saling dihubungkan untuk
mendapatkan hal yang tidak diketahui.
3. Melaksanakan rencana (carry out our plan)
Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, maka harus diperiksa
tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap
langkah sudah benar.
4. Memeriksa kembali jawaban (look back at the completed solution)
Dalam langkah ini, setiap jawaban ditinjau kembali, apakah sudah diyakini
kebenarannya, dan ditinjau ulang apakah solusi yang digunakan dievaluasi terhadap kelemahan-
kelemahannya.
4.3 Indikator Pemecahan Masalah Matematika
Adapun dalam penelitian ini, untuk mendeskripsikan pemeahan masalah matematika
siswa mengacu pada langkah-langkah pemecahan masalah matematika menurut Polya (1973),
yaitu sebagai berikut :
a. memahami masalah (Mengidentifikasi informasi yang diktahui dari soal dan
mengidentifikasi apa yang ditanyakan dari soal);
b. membuat rencana pemecahan masalah (menuliskan sketsa/gambar/model/ rumus/algoritma
untuk memecahkan masalah, menentukan cara penyelesaian yang sesuai, menggunakan
informasi yang diketahui untuk mengembangkan informasi baru);
c. melaksanakan rencana pemecahan masalah (menyelesaikan masalah dari soal matematika
dengan benar dan lengkap, mensubstitusi nilai yang diketahui dalam cara penyelesaian yang
digunakan);
d. memeriksa kembali pemecahan masalah (menjawab apa yang ditanyakan atau
menuliskan kesimpulan).
Tahapan pemecahan masalah berdasarkan teori Polya, digunakan sebagai indikator
dalam memecahkan masalah sehingga siswa dapat lebih runtut dan terstruktur dalam
memecahkan masalah matematika. Hal ini dimaksudkan supaya siswa lebih terampil dalam
menyelesaikan masalah, yaitu suatu ketrampilan siswadalam menjalankan prosedur-prosedur
dalam menyelesaikan masalah secara cepat dan cermat (Hudojo, 2005).

B. Penelitian yang relevan


Banyak penelitian yang dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran matematika,
diantaranya adalah:
1. penelitian yang dilakukan oleh Parsiati dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) Berbasis Interactive Handout terhadap Hasil Belajar
pada Siswa Kelas VIII di MTs Negeri Tulungagung”. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian quasi eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan pada hasil belajar. Kesimpulan pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan model pembelajaran CTL dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
2. penelitian yang dilakukan oleh Edy Haryana (2004) yang menyatakan bahwa pembelajaran
matematika dengan pendekatan kontekstual memberikan prestasi yang lebih baik daripada
pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional.
3. Wahyu Wijayanti (2009) dalam tesisnya berjudul “Efektifitas penerapan pendekatan
kontekstual bermedia VCD terhadap pencapaian kompetensi belajar matematika ditinjau dari
minatbelajar siswa SMP kabupaten Karanganyar”. Menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
efektivitas anatar pendekatan pembelajaranbermedia VCD dan pendekatan pembelajaran bermedia
LKS terhadap kompetensi belajar matematika siswa.
4. Tri Andari (2010), menyatakan bahwa peserta didik yang mengikuti pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan kontekstual mempunyai prestasi lebih baik daripada
peserta didik yang mengikuti pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional baik
secara umum maupun kalu ditinjau dari kategori kemampuan awal siswa tinggi,sedang dan rendah
5. Indah Riani dalam penelitiannya “Pengaruh Kecerdasan Intelegensi Dan Kecerdasan
Spiritual Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII MTsN Kandat Balong Ringinrejo
Kediri Tahun Pelajaran 2012/2013”.
6. Sri Rejeki (2010) dalam penelitiannya “Eksperimentasi pembelajaran matematika dengan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan problem posing dinjau dari keaktifan
belajar siswa”.

C.Kerangka berpikir
Berawal dari rendahnya tingkat kemampuan pemecahan masalah dari siswa atau peserta didik
pada mata pelajaran matematika khususnya pada materi pecahan, disebabkan oleh model
pembelajaran yang diterapkan guru yang kurang menyenangkan sehingga proses pembelajaran
membosankan, yang berdampak pada anggapan siswa bahwa matematika merupakan pelajaran
yang sulit, dan siswa menjadi malas untuk mempelajarinya.
Kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa menjadi cambuk bagi dunia
pendidikan matematika. Guru harus mengusahakan pembelajaran efektif yang menjadikan siswa
sebagai problem solver. Guru dapat membimbing siswanya agar membangun pengetahuan mereka
sendiri, serta mencari pemecahan masalah.Tidak demikian halnya dengan pembelajaran
konvensional yang diberikan guru melalui ceramah dan tugas dimana dalam proses pembelajaran
siswa kurang aktif, dan hanya guru yang aktif sehingga menyebabkan siswa kurang termotivasi
untuk aktif dalam belajar sehingga usaha untuk memaksimalkan pembelajaran siswa kurang
terpenuhi.
Hal ini menunjukan bahwa perlunya variasi dalam pembelajaran. Dan diantara model
pembelajaran yang cocok diterapkan dalam upaya menigkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika pada siswa yaitu Contextual Teaching and Learnig (CTL) dan problem posing. Dalam
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (TCL) dan Problem Posing Guru menerapkan
pemecahan masalah sesuai dengan tahap pemecahan masalah pada Polya. Hal ini dimaksudkan
supaya siswa lebih terampil dalam menyelesaikan masalah matematika, yaitu terampil dalam
menjalankan prosedur-prosedur dalam menyelesaikan masalah secara cepat dan cermat. Tahap
pemecahan masalah menurut Polya juga digunakan secara luas di kurikulum matematika di dunia
merupakan tahap pemecahan masalah yang jelas. Dengan demikian dapat di duga bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa yang diberi perlakuan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada siswa yang diberi perlakuan
pembelajaran konvensional.
Selain itu di SD Integral Hidayatullah yang menerapkan konsep islami yang di wujudkan
dengan berbagai kegiatan rohani yang dalam hal ini bertindak sebagai Kecerdasan spiritual (SQ).
Dimana kecerdasan spiritual ini akan membuat seseorang mampu berpikir secara luas dan
mendalam. Kecerdasan ini membuat kita kreatif dalam memecahkan persoalan yang dihadapi
sehingga dengan adanya SQ akan membuat seseorang terbiasa berpikir luas, mendalam dan
membentuk karakter kreatif matematika. Tentunya hal itu akan banyak mempengaruhi tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Model pembelajaran
Contextual Teaching and
Learning (CTL) Kemampuan
Kecerdasan
pemecahan masalah
spiritual
matematika
Model pembelajaran
problem posing

D. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut:
1. Hipotesis penelitian

1. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menghasilkan tingkat pemecahan


masalah matematika lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional

2. Siswa yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi memiliki kemampuan pemecahan


masalah matematika lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki kecerdasan
spiritual sedang dan rendah

3. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menghasilkan tingkat pemecahan


masalah yang lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional pada siswa dengan
kecerdasan spiritual tinggi, sedang dan rendah.

2.Hipotesis statistik

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian dan rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimen semu (quasi experiment).Tujuan
penelitian ekperimen semu adalah untuk mengetahui dan mengontrol semua variabel luar yang
mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian validitas internal dapat menjadi tinggi. Ciri
utama true eksperiment adalah sampel yang digunakan untuk kelas eksperimen atau kelas control
diambil secara random dari populasi. Peneliti menggunakan dua kelas, yaitu kelas dengan model
pembelajaran Contekstual Teaching and Learning (CTL) sebagai kelas eksperimen dan kelas yang
menggunakan model pembelajaran Problem posing sebagai kelas kontrol.
Sebelum memulai perlakuan, terlebih dahulu dilakukan uji keseimbangan dengan
menggunakan uji T. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas
kontrol dalam keadaan seimbang atau tidak. Data yang digunakan untuk menguji keseimbangan
adalah nilai ujian sekolah (UAS) kelas IV Sekolah Dasar tahun ajaran 2019/2020 untuk mata
pelajaran matematika pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pada akhir eksperimen, kedua
kelas tersebut diukur dengan menggunakan alat ukur yang sama, yaitu soal-soal tes prestasi belajar
matematika pada materi luas pecahan semester 1 kelas V SD.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain factorial 2x3.
Rancangan penelitian ini tergambar pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Rancangan penelitian
Kecerdasan spiritual Tinggi (𝑏1 ) Sedang (𝑏2 ) Rendah (𝑏3 )
(B)

Metode
Pembelajaran (A)
Model pembelajaran 𝑎1 𝑏1 𝑎1 𝑏2 𝑎1 𝑏3
Contextual Teaching and
Learning (𝑎𝑖 )
Model pembelajaran Problem 𝑎2 𝑏1 𝑎2 𝑏2 𝑎2 𝑏3
Posing (𝑎2 )
2. Tempat dan Waktu Penelitian
3. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Integral Hidayatullah dengan subjek penelitian
adalah siswa kelas IV semester ganjil tahun ajaran 2019/2020.
4. Waktu penelitian
Waktu penelitian adalah pada semester ganjil tahun ajaran 2019/2020

B.Populasi, Sampel dan Sampling


1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV yang ada di SD Integral
Hidayatullah semester ganjil tahun ajaran 2019/2020 yang berjumlah 52 orang siswa dengan
distribusi kelas sebagai berikut:

Table 3.2
Distribusi siswa kelas IV SD Integral Hidayatullah
No Kelas Jumlah siswa
1. IV A 28 siswa
2. IV B 24 siswa
Jumlah 52 iswa

2. Sampel
Sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih menggunakan prosedur tertentu
sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya. Dalam penelitian ini sampel yang dipilih sebagai
subjek penelitian adalah beberapa siswa kelas IV Di SD Integral Hidayatullah tahun ajaran
2019/2020.
3. Sampling atau Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random sampling yang
dilakukan dengan cara sampel diambil dari populasi dengan cara acak tanpa memperhatikan strata
atau tingkat yang ada dalam populasi. Pengambilan sampel diambil dari 2 kelas untuk
membandingkan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan model
pembelajaran problem posing. Dimana kelas yang diberi perlakuan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) merupakan kelas yang bertindak sebagai kelas eksperimen 1 dan
kelas dengan perlakuan problem posing sebagai kelas eksperimen 2.
C.Defenisi operasional variabel
Berdasarkan kerangka pemikiran, dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas, satu
varibel terikat, variabel Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijakan
yang di tempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dilihat dari sudut
bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu umum atau khusus dikelola
-variabel tersebut adalah
1. Variabel bebas
a. Pendekatan pembelajaran
1) Defenisi operasional
2) Indikatornya adalah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) dan pendekatan Problem posing
3) Skala pengukurannya adalah nominal.
4) Simbolnya adalah Ai dengan i =1,2
b. Kecerdasan spiritual
1) defenisi Operasional
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan siswa bersikap fleksibel, kesadaran diri yang
tinggi,Kecenderungan berpikir kritis, kemampuan menghadapi dan memanfaatkan
penderitan, kualitas hidup yang di ilhami dengan visi dan misi, keengganan menyebabkan
kerugian,kecenderungan untuk mengaitkan dengan berbagai hal.
2) Indikatornya adalah skor angket kecerdasan spiritual.
3) Skala pengukurannya adalah skala interval yang di ubah kedalam skala ordinal, yang
terdiri dari tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah.
1
a) kecerdasan spiritual siswa tinggi jika nilai >> −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
1 1
b) kecerdasan spiritual sedang jika −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total≤ nilai ≥ −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
1
c) kecerdasan spiritual rendah jika nilai < −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total

b) simbolnya Bi dengan I =1,2


2. Variabel terikat
Variabel terikatnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematika
a. Defenisi Operasional
Kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini menggunakan langkah polya
yaitu: 1. Memahami masalah. 2. Merencanakan pemecahannya. 3. Menyelesaikan
sesuai dengan rencana kedua. 4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
b. Indikatornya adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika
c. Skala pengukuran adalah skala Interval
d. Simbolnya adalah AB
C.Metode Pengumpulan data
a.Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh data tentang
keadaan awal siswa yang diambil dari nilai siswa kelas IV pada pokok bahasan sebelumnya
yang diperoleh, digunakan untuk menguji keseimbangan rerata kemampuan awal dari
kelompok eksperimen.
b.Metode Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk
mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki
oleh individu atau kelompok (Suharsimi Arikunto, 2006:150)
Dalam menggunakan tes, peneliti menggunakan instrument berupa item soal tes yang
masing-masing mengukur satu jenis variabel. Pada penelitian ini metode tes digunakan
untuk mengumpulkan data mengenai kemampuan pemecahan masalah matematika pada
pokok bahasan pecahan stelah dikenai perlakuan. Tes ini berupa soal-soal mengenai materi
pecahan. Tes yang digunakan berbentuk tes objektif berbentuk pilihan ganda dimana
terdapat 4 alternatif jawaban.
c.Metode angket
Angket atau kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memproleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal
yang ia ketahui (Suharsimi Arikunto, 2006:151).
Metode ini merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung
(peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrument yang dipakai dalam
penelitian ini adalah angket atau kuesioner langsung tertutup. Yaitu angket yang dirancang
sedemikian rupa untuk merekam data yang dialami oleh responden sendiri kemudian
alternative jawaban yang harus dijawab telah tertera dalam angket tersebut. Angket ini
berisi soal-soal untuk mengukur kecerdasan spiritual.
D. Instrumen Penelitian
a. Instrumen dalam penelitian
pada penelitian ini, metode tes yang digunakan untuk memperoleh data kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa bentuk tes yang digunakan yaitu objektif.
Langkah-langkah dalam membuat tes terdiri dari:
1) Menyusun materi yang akan digunakan dalam membuat soal
2) Membuat kisi-kisi soal tes
3) Menyusun soal
4) Prosedur pemberian skor untuk jawaban tes sebagai berikut nilai 1 jika benar, 0 jika salah
5) Mengadakan uji coba tes
Sedangkan untuk mengetahui tingkat kecerdasan spiritual siswa, digunakan metode angket.
Dalam penelitian ini digunakan angket langsung tertutup berbentuk objektif yaitu suatu bentuk
angket dimana siswa memilih jawaban yang disediakan
Langkah-langkah membuat angket:
1) Menyusun materi yang akan digunakanuntuk membuat angket
2) Membuat kisi-kis angket
3) Menyusun Angket
Adapun kisi-kisi angket kecerdasan spiritual yaitu:
Tabel 3.3 kisi-kisi angket kecerdasan spiritual
Variabel Sub variabel Indicator Banyak Butir No Butir
Kemampuan 1. Memiliki 4 1,2,3,4
bersikap pandangan
fleksibel yang luas.
2. adaptif 3 5,6,7
Tingkat 1. kesadaran diri 4 8,9,10,11
kesadaran yang
tinggi
Kemampuan 1. Mampu 3 12,13,14
untuk menghadapi
Kecerdasan menghadapi penderitaan
spiritual dan 2. Mampu 3 15,16,17
memanfaatkan mengambil
penderitaan hikmah.
Kualitas hidup 1. Memiliki visi 4 18,19,20,21
yang diilhami atau
dengan visi dan pandangan
misi.
2. Memiliki nilai- 4 22,23,24,25
nilai yang
dianggap
benar

Keengganan 1. Tidak ingin 5 26,27,28,29,30


untuk membuat
menyebabkan kerugian
kerugian yang
tidak perlu

Kecenderungan 1. Memahami 4 31,32,33,34


untuk melihat sebab akibat
keterkaitan dari setiap
antara yang peristiwa
berbagai hal

Kecenderungan 1. Sering 1 35
nyata untuk bertanya
bertanya “mengapa”
“mengapa” dan peristiwa dapat
“bagaimana terjadi
jika” untuk 2. Sering 2 36,37
mencari “bertanya”
jawaban yang peristiwa dapat
mendasar terjadi.

4) Menentukan cara pemberian skors


Dalam menentukan skor angket setiap alternative jawaban mempunyai skor berbeda-beda
pemberian untuk tiap-tiap alternative jawaban disesuaikan dengan kriteria item.
Pemebrian bobot nilai pernyataan positif adalah sebagai berikut:
 Nilai 4 untuk jawaban a
 Nilai 3 untuk jawaban b
 Nilai 2 untuk jawaban c
 Nilai 1 untuk jawaban d
Sedangkan bobot nilai pernyataan negative adalah sebagai berikut:
 Nilai 1 untuk jawaban a
 Nilai 2 untuk jawaban b
 Nilai 3 untuk jawaban c
 Nilai 4 untuk jawaban d
5) Mengadakan uji coba angket
6)
b. Ujicoba instrument
1. Ujicoba soal tes
a) uji validitas
berdasarkan tujuan diadakannya tes kemampuan pemecahan masalah matematika yaitu untuk
mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah secara individual dapat ditampakan pada
keseluruhan situasi, maka uji validitas dapat pula dilakukan pada tes ini adalah uji validitas isi
dengan langkah-langkah sperti yang dikemukakan Crockers dan Algina dalam Budiyono (2003:60)
sebagai beikut;
1) Mendefenisikan domain kerja yang akan diukur (pada tes kemampuan pemecahan
masalahberupa serangkaian tujuan pembelajran atau pokok-pokok bahasan yang
diwujudkan dalam kisi-kisi).
2) Membentuk sebuah panel yang ahli (qualified) dalam domain-domain tersebut.
3) Menyediakan kerangka terstruktur untuk proses pencocokan butir-butir soal dengan domain
performan yang terkait.
4) Mengumpulkan data dan menyimpulkan berdasarkan data yang diperoleh dari proses
pencocokan pada langkah (3).
Penilaian validitas isi ini biasanya dilakukan oleh para pakar, sperti yang dikemukakan oleh
Budiyono (2003:59) beikut:
Penilaian apakah instrument mempunyai validitas ini yang tinggi biasanya dilakukan
melalui ekspert judgment (penilaian yang dilakukan oleh para pakar atau validator). Dalam
hal ini para penilai (yang sering disebut subject-matter ekspert), menilai apakah kisi-kisi
yang dibuat oleh pengembang tes telah menunjukan bahwa klasifikasi kisi-kisi telah
mewakili isi (substansi) yang akan diukur.
b.Uji reliabilitas
Dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengukuran tersebut dapat memberikan hasil
relative tidak berbeda bila dilakukan kembali pada subjek yang sama pada waktu yang
berbeda. Untuk mengetahui tingkat reliabilitas menggunakan teknik kuder-richardson
biasa disebut dengan KR-20 (digunakan untuk mencari reliabilitas yang skornya bukan 1
atau 0) yaitu sebagai berikut:
𝑛 𝑠𝑡2 −∑ 𝑝𝑖 𝑞𝑖
𝑟11= ( )( )
𝑛−1 𝑠𝑡2

Dengan:

𝑟11 = indeks reliabilitas instrument

n = banyaknya butir instrument

𝑝𝑖 = proporsi subjek yang menjawab benar pada butir ke- i

𝑞𝑖 =1 - 𝑝𝑖 , i=1,2…,n

𝑠𝑡 2 = variasi total

Adapun instrument dikatakan reliable jika 𝑟11 ≥0,7

(Budiyono, 2003:69)
c .Tingkat kesukaran

Soal yang baik adalah soal yang mempunyai tingkat kesukaran yangmemadai artinya tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sukar. Untuk menentukan tingkat kesukaran tiap-tiap butir tes digunakan
𝐵
rumus: P=
𝐽𝑖

Dengan:

P = indeks kesukaran

B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar tiap butir soal
𝐽𝑖 = banyaknya peserta tes yang memberi jawaban

Dalam penelitian ini soal dianggap baik jika 0,30≤ 𝑝 ≤ 0,70

(Suharsimi Arikunto, 1998:208)

d. Daya pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara yang
berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda masing-masing butir
dilihat dari korelasi antar skor masing-masing butir soal dilihat dari korelasi antar skorbutir-butir soal
tersebut dengan skor totalnya. Daya pembeda menggunakan rumus korelasi momen produk dari Karl
perarson sebagai berikut:

𝑛 ∑ 𝑥𝑦−(∑ 𝑥)(∑ 𝑦)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑𝑥 2)(∑ 𝑥)2 (𝑛 ∑𝑌 2−(∑ 𝑌)2 )

Dengan :

𝑟𝑥𝑦 = indeks daya pembeda untuk butir tes ke-i


n = banyak subjek yang dikenai tes

X = skor butir ke- i

Y = skor total

Dalam penelitian ini soal tes dikatakan mempunyai daya pembeda yang baik jika =𝑟𝑥≥ 0,3

(Budiyono, 2003:65)

2) Ujicoba Angket
a. validitas Isi

validitas dari suatu instrument biasanya dinilai oleh para pakar (Budiyono, 2003:65).
Sehingga validitas dari instrument yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan oleh para
pakar.

b.Reliabilitas Angket

uji reliabilitas angket digunakan rumus Alpha. Adapun rumus Alpha adalah sebagai beikut:

∑𝑠𝑡 2
𝑟11 = 𝑛 (1 − )
𝑛−1 𝑠 𝑡2

Dengan:

𝑟11 = indeks reliabilitas instrument

n = banyaknya butir instrument

𝑆𝑡 2 = variasi butir ke –i , i = 1,2….,n

𝑆𝑡 2 = variansi skor total yang diperoleh subjek ujicoba

Adapun suatu instrument dikatakan reliable jika 𝑟11≥0,7

(Budiyono, 2003: 70)

c. Konsistensi Internal

Untuk mengetahui korelasi butir soal angket digunakanrumus korelasi momen produk dari Karl
pearson sebagai berikut :

𝑛 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑋)2 )(𝑛 ∑ 𝑌 2 −(∑ 𝑌)2 )

Dengan:

𝑟𝑥𝑦 = indeks konsistensi internal untuk butir angket ke- i

n = banyak subjek yang dikenai angket

X = skor butir ke-i

Y = skor total (dari subjek ujicoba)


(Budiyono, 2003: 65)

F. Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan selanjutnya adalah
pengujian terhadap data tersebut. Adapun pengujian data adalah sebagai berikut :

Pada awal penelitian dilakukan uji keseimbangan dengan menggunakan analisis uji T, dengan
terlebih dahulu dilakukan uji pra syarat keseimbangan yaitu uji normalitas dan uji Homogenitas
nilai awal. Selanjutnya pada nilai hasil penelitian dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas baru kemudian dilakukan uji hipotesis dengan analisis variansi
dua jalan dengan sel tak sama. Setelah dilakukan uji Hipotesis, bila perlu dilakukan juga uji lanut
pasca anava dengan melakukan uji komparasi ganda.

1. Uji keseimbangan
Uji keseimbangan dilakukan pada saat ke dua kelompok belum dikenai perlakuan bertujuan
untuk mengetahui apakah kedua kelompok tersebut dalam keadaan seimbang. Secara
statistik untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rataan yang berarti dari dua sampel
yang independen. Sebelum dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk membuktikan bahwa smpel berasal dari populasi yang
berdistribus normal. Seperti dikemukakan Budiyon0 (2009:168) bahwa semua
penggunaan uji statistik mengenai beda rerata dan uji statistik lain menyaratkan sampel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Pada penelitian ini untuk uji normalitas
menggunakan metode Liliefors, yaitu:
1) Hipotesis
𝐻𝑜 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
𝐻1 : sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal
2) Taraf signifikan 𝛼 = 0,05
3) Statistik Uji
𝐿 = 𝑚𝑎𝑘𝑠|𝐹(𝑧𝑖 ) − 𝑠(𝑧𝑖 )|
Dengan :
L = koefesien Liliefors dari pengamatan
𝐹(𝑍𝑖 ) = 𝑃(𝑍 ≤ 𝑧𝑖 ); 𝑍~𝑁(0,1)
𝑠(𝑧𝑖 ) = proporsi cacah 𝑍 ≤ 𝑧𝑖 terhadap seluruh cacah 𝑧𝑖
𝑋𝑖−𝑋
̅
𝑧𝑖= 𝑆

Keterangan :

𝑋𝑖 = skor ke-i
𝑥̅ = rataan sampel

𝑠 = variansi sampel

4) Daerah kritik
DK = {𝐿|𝐿 > 𝐿𝛼:𝑛 }yang diperoleh dari table liliefors pada tingkat signifikansi dan
derajat kebebasan n (dengan n : ukuran sampel)
5) Keputusan uji
a. Jika 𝐿 > 𝐿𝛼 maka 𝐻0 ditolak
b. Jika 𝐿 ≤ 𝐿𝛼 maka 𝐻0 diterima
6) Kesimpulan
a. Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal jika 𝐻0 diterima
b. Sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal 𝐻0 ditolak
(Budiyono, 2000:169)

Anda mungkin juga menyukai