BAB 1
PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai sektor yang paling penting dalam meningkatkan kualitas hidup. Dengan
pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia berkualitas dan mampu bersaing di masa
depan. Tujuan pendidikan mengarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya. Hal ini
dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3 ayat 1 menjelaskan sebagai berikut : Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif,mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selain itu pula Mata pelajaran matematika juga merupakan mata pelajaran yang sangat
penting untuk dipelajari dan dikuasai .Matematika merupakan ilmu dasar yang mempunyai
peranan penting baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak masalah yang perlu
diselesaikan dengan menggunakan matematika. Oleh karena itu, matematika perlu diajarkan di
setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa matematika diperlukan dalam membentuk generasi yang mempunyai
pemikiran yang kritis, sistematis, logis, kreatif, rasional dan cermat. Hal ini sejalan dengan tujuan
umum pembelajaran matematika yang dirumuskan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi, yakni agar siswa memiliki kemampuan, 1) memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes,
kurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) pemecahan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh, 4) mengkomunikasikan gagasan dan simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Kemampuan siswa dalam melakukan ritual ibadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya ini yang dinamakan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual merupakan landasan
yang penting dalam memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Bahkan ini
dianggap sebagai kecerdasan yang tertinggi (Zohar dan Marshall, 2001: 12-13). Selanjutnya
kecerdasan spiritual oleh Zohar dan Marshall didefinisikan sebagai kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai
bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna daripada yang lain (Mizan, 2001: 4).
1. Siswa menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang membosankan, susah dan
sulit dipahami
2. Siswa kesulitan dalam mengerjakan soal matematika berbentuk pemecahan masalah yang
membutuhkan penyelesaian lebih rumit
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah agar permasalahan yang dikaji lebih terarah maka masalah-
masalah tersebut peneliti batasi sebagai berikut:
D. Rumusan Masalah
E. Tujuan penelitian
Bertolak dari perumusan masalah penelitian ini bertujuan:
F. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
Sebagai bahan pengembangan ilmu pendidikan khususnya tentang model
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau Contextual Teching and Learning
(CTL) dan Realistic Mathematic Educatiun (RME) dalam pembelajaran matematika.
2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian , antara lain:
a. Bagi Dinas pendidikan
Sebagai masukan dalam pembinaan yang berkaitan dengan motivasi mengajar guru
melalui kompetensi pedagogik dan perhatian pimpinan.
b. Bagi sekolah
Agar menjadi pertimbangan bagi sekolah untuk menerapkan model pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematka.
c. Bagi guru
Hasil penelitian ini ditawarkan salah satu alternatif model pembelajaran yang
diterapkan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang bervariatif Dan inovatif.
d. Bagi penulis
Mengetahui keefektifan model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan
problem posing , menambah wawasan serta pengalaman penulis .
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KAJIAN TEORI
1. Model pembelajaran pendekatan kontekstual atau contextual teaching and learning
(CTL)
Pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching and learning CTL adalah konsep
belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai
anggota masyarakat. Konsortium pusat Washington untuk pembelajaran kontekstual (the state
consortium of CTL), yaitu sebuah proyek yang dibiayai Departemen Pendidikan Amerika serikat
untuk meningkatkan perhatian pada pengajaran kontekstual dalam program persiapan guru-
guru,mendefenisikan pembelajaran kontekstual sebagai pengajaran yang memungkinkan siswa-
siswa sekolah dari tingkat pra-sekolah sampai menengah atas mendapat penguatan, memperluas
dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademiknya dalam berbagai macam situasi
disekolah maupun diluar sekolah agar mampu memecahkan masalah dikelas maupun di dunia
nyata (Tatag Yuli, 2002).
Pendekatan dengan pembelajaran kontekstual menurut Sugiyanto (2010:4) adalah konsep
pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan suatu materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliknya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri. Hal tersebut sesuai dengan yamg
dikemukakan Hadi (2002:5) yang mengemukakan bahwa : “pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata dan kehidupan mereka sehari-hari.
Johnson (2002:25) berpendapat bahwa system pembelajaran kontekstual adalah sebuah
proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa mengetahui makna yang ada di dalam materi
akademik, mereka belajar dengan menghubungkan subjek akademik dengan konteks kehidupan
sehari-hari, yaitu dengan konteks pribadi, social, dan keadaan kebudayaan mereka.
Menurut Talbert ( 1999: 1) Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke
siswa. Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and learning) melibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivisme), bertanya (Questioning),
menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan
penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment).
Pendidikan matematika berbasis kompetensi yang menekankan pada pengembangan
pengalaman belajar tangan pertama, Contextual Teaching and Learning (CTL), meaningful
teching, dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) baik berupa generik skill (kecakapan
personal, kecakapan sosial) maupun spesific skill (kecakapan akademik, dan kecakapan
ketrampilan). Usaha mengatasi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada
munculnya inovasi–inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika
yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning
reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Kecenderungan
pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM
(National Council of Teacher of Mathematics).
Menurut John Dewey (1916) dalam tatag yuli (2002) Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah suatu teori pembelajaran berakar dari filosofi pendididkan yang menganjurkan
suatu kurikulum dan metode belajar yang mendasarkan pada pengalaman-pengalaman dan minat
anak. Defenisi operasional pembelajaran contextual berakal dari teori progresifisme Dewey dan
hasil-hasil temuan reset yang menunjukkan bahwa siswa akan belajar dengan baik, ketika apa
yang dipelajarinya dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif
belajar mandiri.
Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Lynch dalam Predmore (2005) “Ninety-four
percent of students said that they learned a lot more in CTL-aprroach classes than in other
traditional courses in that same subject area”. Sembilan puluh empat persen siswa mengatakan
bahwa pada mata pelajaran yang sama, mereka belajar lebih banyak dikelas yang menerapkan
pendekatan CTL daripada dikelas yang menggunakan pendekatan tradisional lebih lanjut
predmore (2005) mengungkapkan, “some students learn best through CTL approaches and they
really need more hands on real world experience”. Beberapa siswa belajar sangat baik dengan
pendekatan CTL dan mereka benar-benar membutuhkan lebih banyak belajar tentang
pengalaman didunia nyata.
Menurut Johnson (2002:86) terdapat tiga prinsip ilmiah dalam CTL yaitu :
Belajar kontekstual (CTL) adalah belajar yang akan terjadi bila dihubungkan dengan
pengalaman nyata sehari-hari Blanchard (2001) menejelaskan sebuah hasil penelitian kognitif
yang menunjukan bahwa sekolah-sekolah (yang pengajarannya dikelola secara tradisional) tidak
membantu siswa dalam menerapkan pemahamannyan terhadap bagaimana seseorang itu harus
belajar dan bagaimana menerapkan sesuatu yang dipelajari pada situasi baru. Selain itu
dijelaskan juga perbedaan pembelajaran konvensional (CTL) dan pembelajaran yang kontekstual
sebagai berikut:
1.5 Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL)
CTL yaitu:
a. Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode CTL,guru tidak lagi
berperan sebagai pusat informasi.
b. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide-ide mereka.
c. Penerapan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang kompleks dan
sulit dilaksanakan, selain itu juga membutuhkan waktu yang lama.
1. Pendekatan Pembelajaran Realistic Mathematic and Education
Realistic Mathematics Education (RME) RME dikembangkan berdasarkan pemikiran
Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human
activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, RME
mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa
penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia real” (Gravemeijer, 1994).
Teori RME sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti
konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat
CTL). Pendekatan konstruktivitis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, sedangkan
RM E adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep
RM E sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia y ang
didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan
mengembangkan daya nalar. Beberapa konsepsi RME tentang siswa, guru dan tentang
pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa RME sejalan dengan paradigma baru
pendidikan, sehingga pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang memp
engaruhi belajar selanjutnya;
b. Siswa memp eroleh p engetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk
dirinya sendiri
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari sep
erangkat ragam pengalaman;
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.
2. Peran Guru
Istilah spiritual berasal dari kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari kata latin
Spiritus yang berarti bernafas. Karena itu spiritual bisa diartikan sebagai roh dan nafas karena
berfungsi sebagai energi kehidupan yang membuat seseorang menjadi hidup. Selanjutnya, istilah
spiritual berfungsi sebagai sifat dari suatu bentuk kecerdasan selain intelektual dan emosional.
Kecerdasan Spiritual berarti kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami diri
sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan
memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan
yang akan dituju. Menurut Zohar & Marshal (2000).
Zohar & Marshal (2000) menyebutkan tanda-tanda dari kecerdasan spiritual yang
berkembang dengan baik adalah:
Tischler & McKeage (2002) yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual dicirikan
dengan adanya lima kemampuan inti, yaitu:
a. Kemampuan Transendental yang ditandai dengan tercukupinya kebutuhan batin, ke
damaian hati, dan keten, traman jiwa dengan merasa bahwa tuhan selalu menyertai dan
membimbing hidup individu;
b. Kemampuan untuk memasuki kon disi spiritual yang dicirikan pa da komitmen
individu untuk menjalin hubungan yang dalam dengan tuhan, kekuatan iman, serta
kepasrahan individu;
c. Kemampuan menanamkan nilai,nilai religius yang ditam, pakkan dalam
aktivitas,aktivitas individu selalu merasa dalam koridor agama;
d. Kemampuan untuk memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam kehi dupan;
e. Kapasitas untuk berperilaku saleh yang ditunjukkan dengan sikap yang mu dah
memberikan maaf, mensyukuri nikmat, kese derhanaan, serta mengasihi sesama.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Emmons dan Myers (2003) yang menyatakan
bahwa komponen dari kecerdasan spiritual adalah:
Menurut penulis, pendapat diatas masih belum tegas dalam mencirikan kecerdasan
spiritual, karena itu dengan memperhatikan teori diatas dibuat definisi lain untuk memberikan
kriteria kecerdasan spiritual. Menurut penulis kecerdasan spiritual adalah suatu bentuk
kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang dicirikan dengan adanya kemampuan yang
bersifat internal dan eksternal. Ciri dari kemampuan tersebut adalah:
1) Kemampuan yang bersifat internal yaitu kemampuan yang berhubungan diri dan
Allah (hablun minalallah), cirinya adalah kesadaran terhadap sesuatu yang transenden, adanya
visi yang bersifat spiritual, dan kemampuan untuk mengambil hikmah dari penderitaan;
2) Kemampuan yang bersifat eksternal yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
sesama manusia (hablun minannas), cirinya adalah keengganan untuk berbuat sesuatu yang
merugikan orang lain dan kecenderungan untuk mengajak pada kebaikan.
Kemudian, Wilcox (2012: 331) menuliskan bahwa james menjelaskan tentang karakter
anak yang memiliki kecerdasan spiritual adalah
(1) Bahwa dunia yang terlihat ini merupakan bagian dari semesta yang lebih spiritual
yang memiliki signifikansi utama.
(2) Bahwa kesatuan tau hubungan harmonis dengan semesta yang lebih tinggi itu adalah
tujuan akhir kita yang sesungguhnya.
(3) Bahwa doa atau komunikasi internal dengan kekuatan spiritual bisa berupa Tuhan
atau hukum, merupakan proses di mana suatu pekerjaan benar-benar dilakukan, energi spiritual
mengalir di dalamnya, dan menghasilkan efek psikologis atau material dalam dunia fenomenal.
Dalam agama, tercakup juga karakteristik-karakteristik psikologi tertentu.
(4) Adanya semangat baru yang selalu bertambah seperti hadiah bagi kehidupan, yang
mengambil bentuk sebagai kata-kata pujian yang mempesona ataupun seruan terhadap
kesungguhan dan heroisme.
(5) Adanya kepastian terhadap keamanan dan kedamaian, serta perasaan cinta yang besar
dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut Wena (2009), pemecahan masalah sebagai proses untuk menemukan kombinasi
dari sejumlah aturan yang bisa diaplikasikan untuk mengatasi situasi baru. Pemecahan masalah
bukan sekedar bentuk mampu menerapkan peraturan yang telah dikuasai melalui pembelajaran
masa lalu, tapi lebih dari itu, adalah proses mendapatkan seperangkat aturan yang lebih tinggi
tingkatannya. Sejalan dengan pendapat Woolfolk (2007) pemecahan masalah biasanya
didefinisikan sebagai merumuskan jawaban baru, di luar aturan sebelumnya untuk mencapai
tujuan. Sedangkan menurut Beetlestone (1998) pemecahan masalah memberi kesempatan kepada
siswa untuk menggunakan imajinasi mereka, mencoba mewujudkannya ide, dan pikirkan
kemungkinan. Pemecahan masalah sebagai kemampuan intelektual, ditujukan untuk perbaikan
umum di Indonesia kemampuan intelektual (Gredler, 2009).
Kemampuan memecahkan masalah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh siswa
terutama proses perkembangan siswa. Pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya
individu untuk merespon atau mengatasi atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban
belum tampak jelas dan tidak memiliki alat atau aluryang nyata untuk memperoleh
pemecahan (Dindyal, 2005).
Hudojo (1988) menyatakan bahwa di dalam matematika suatu pertanyaan akan
merupakan masalah apabila tidak terdpat aturan atau hokum tertentu yang segera dapat
dipergunakan untuk menemukan jawaban tersebut. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa jika ia tidak dapat
dengan segera menjawab pertanyaan tersebut atau dengan kata lain siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan tersebut dengan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahuinya. Pemecahan
masalah matematika adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi dengan
menggunakan kegiatan matematik untuk memecahkan masalah dalam matematika, masalah
dalam ilmu lain dan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Soedjadi, 1994).
C.Kerangka berpikir
Berawal dari rendahnya tingkat kemampuan pemecahan masalah dari siswa atau peserta didik
pada mata pelajaran matematika khususnya pada materi pecahan, disebabkan oleh model
pembelajaran yang diterapkan guru yang kurang menyenangkan sehingga proses pembelajaran
membosankan, yang berdampak pada anggapan siswa bahwa matematika merupakan pelajaran
yang sulit, dan siswa menjadi malas untuk mempelajarinya.
Kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa menjadi cambuk bagi dunia
pendidikan matematika. Guru harus mengusahakan pembelajaran efektif yang menjadikan siswa
sebagai problem solver. Guru dapat membimbing siswanya agar membangun pengetahuan mereka
sendiri, serta mencari pemecahan masalah.Tidak demikian halnya dengan pembelajaran
konvensional yang diberikan guru melalui ceramah dan tugas dimana dalam proses pembelajaran
siswa kurang aktif, dan hanya guru yang aktif sehingga menyebabkan siswa kurang termotivasi
untuk aktif dalam belajar sehingga usaha untuk memaksimalkan pembelajaran siswa kurang
terpenuhi.
Hal ini menunjukan bahwa perlunya variasi dalam pembelajaran. Dan diantara model
pembelajaran yang cocok diterapkan dalam upaya menigkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika pada siswa yaitu Contextual Teaching and Learnig (CTL) dan problem posing. Dalam
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (TCL) dan Problem Posing Guru menerapkan
pemecahan masalah sesuai dengan tahap pemecahan masalah pada Polya. Hal ini dimaksudkan
supaya siswa lebih terampil dalam menyelesaikan masalah matematika, yaitu terampil dalam
menjalankan prosedur-prosedur dalam menyelesaikan masalah secara cepat dan cermat. Tahap
pemecahan masalah menurut Polya juga digunakan secara luas di kurikulum matematika di dunia
merupakan tahap pemecahan masalah yang jelas. Dengan demikian dapat di duga bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa yang diberi perlakuan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada siswa yang diberi perlakuan
pembelajaran konvensional.
Selain itu di SD Integral Hidayatullah yang menerapkan konsep islami yang di wujudkan
dengan berbagai kegiatan rohani yang dalam hal ini bertindak sebagai Kecerdasan spiritual (SQ).
Dimana kecerdasan spiritual ini akan membuat seseorang mampu berpikir secara luas dan
mendalam. Kecerdasan ini membuat kita kreatif dalam memecahkan persoalan yang dihadapi
sehingga dengan adanya SQ akan membuat seseorang terbiasa berpikir luas, mendalam dan
membentuk karakter kreatif matematika. Tentunya hal itu akan banyak mempengaruhi tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Model pembelajaran
Contextual Teaching and
Learning (CTL) Kemampuan
Kecerdasan
pemecahan masalah
spiritual
matematika
Model pembelajaran
problem posing
D. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut:
1. Hipotesis penelitian
2.Hipotesis statistik
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian dan rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimen semu (quasi experiment).Tujuan
penelitian ekperimen semu adalah untuk mengetahui dan mengontrol semua variabel luar yang
mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian validitas internal dapat menjadi tinggi. Ciri
utama true eksperiment adalah sampel yang digunakan untuk kelas eksperimen atau kelas control
diambil secara random dari populasi. Peneliti menggunakan dua kelas, yaitu kelas dengan model
pembelajaran Contekstual Teaching and Learning (CTL) sebagai kelas eksperimen dan kelas yang
menggunakan model pembelajaran Problem posing sebagai kelas kontrol.
Sebelum memulai perlakuan, terlebih dahulu dilakukan uji keseimbangan dengan
menggunakan uji T. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas
kontrol dalam keadaan seimbang atau tidak. Data yang digunakan untuk menguji keseimbangan
adalah nilai ujian sekolah (UAS) kelas IV Sekolah Dasar tahun ajaran 2019/2020 untuk mata
pelajaran matematika pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pada akhir eksperimen, kedua
kelas tersebut diukur dengan menggunakan alat ukur yang sama, yaitu soal-soal tes prestasi belajar
matematika pada materi luas pecahan semester 1 kelas V SD.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain factorial 2x3.
Rancangan penelitian ini tergambar pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Rancangan penelitian
Kecerdasan spiritual Tinggi (𝑏1 ) Sedang (𝑏2 ) Rendah (𝑏3 )
(B)
Metode
Pembelajaran (A)
Model pembelajaran 𝑎1 𝑏1 𝑎1 𝑏2 𝑎1 𝑏3
Contextual Teaching and
Learning (𝑎𝑖 )
Model pembelajaran Problem 𝑎2 𝑏1 𝑎2 𝑏2 𝑎2 𝑏3
Posing (𝑎2 )
2. Tempat dan Waktu Penelitian
3. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Integral Hidayatullah dengan subjek penelitian
adalah siswa kelas IV semester ganjil tahun ajaran 2019/2020.
4. Waktu penelitian
Waktu penelitian adalah pada semester ganjil tahun ajaran 2019/2020
Table 3.2
Distribusi siswa kelas IV SD Integral Hidayatullah
No Kelas Jumlah siswa
1. IV A 28 siswa
2. IV B 24 siswa
Jumlah 52 iswa
2. Sampel
Sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih menggunakan prosedur tertentu
sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya. Dalam penelitian ini sampel yang dipilih sebagai
subjek penelitian adalah beberapa siswa kelas IV Di SD Integral Hidayatullah tahun ajaran
2019/2020.
3. Sampling atau Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random sampling yang
dilakukan dengan cara sampel diambil dari populasi dengan cara acak tanpa memperhatikan strata
atau tingkat yang ada dalam populasi. Pengambilan sampel diambil dari 2 kelas untuk
membandingkan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan model
pembelajaran problem posing. Dimana kelas yang diberi perlakuan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) merupakan kelas yang bertindak sebagai kelas eksperimen 1 dan
kelas dengan perlakuan problem posing sebagai kelas eksperimen 2.
C.Defenisi operasional variabel
Berdasarkan kerangka pemikiran, dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas, satu
varibel terikat, variabel Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijakan
yang di tempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dilihat dari sudut
bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu umum atau khusus dikelola
-variabel tersebut adalah
1. Variabel bebas
a. Pendekatan pembelajaran
1) Defenisi operasional
2) Indikatornya adalah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) dan pendekatan Problem posing
3) Skala pengukurannya adalah nominal.
4) Simbolnya adalah Ai dengan i =1,2
b. Kecerdasan spiritual
1) defenisi Operasional
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan siswa bersikap fleksibel, kesadaran diri yang
tinggi,Kecenderungan berpikir kritis, kemampuan menghadapi dan memanfaatkan
penderitan, kualitas hidup yang di ilhami dengan visi dan misi, keengganan menyebabkan
kerugian,kecenderungan untuk mengaitkan dengan berbagai hal.
2) Indikatornya adalah skor angket kecerdasan spiritual.
3) Skala pengukurannya adalah skala interval yang di ubah kedalam skala ordinal, yang
terdiri dari tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah.
1
a) kecerdasan spiritual siswa tinggi jika nilai >> −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
1 1
b) kecerdasan spiritual sedang jika −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total≤ nilai ≥ −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 + 2s total
1
c) kecerdasan spiritual rendah jika nilai < −𝑋𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 2s total
Kecenderungan 1. Sering 1 35
nyata untuk bertanya
bertanya “mengapa”
“mengapa” dan peristiwa dapat
“bagaimana terjadi
jika” untuk 2. Sering 2 36,37
mencari “bertanya”
jawaban yang peristiwa dapat
mendasar terjadi.
Dengan:
𝑞𝑖 =1 - 𝑝𝑖 , i=1,2…,n
𝑠𝑡 2 = variasi total
(Budiyono, 2003:69)
c .Tingkat kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang mempunyai tingkat kesukaran yangmemadai artinya tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sukar. Untuk menentukan tingkat kesukaran tiap-tiap butir tes digunakan
𝐵
rumus: P=
𝐽𝑖
Dengan:
P = indeks kesukaran
B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar tiap butir soal
𝐽𝑖 = banyaknya peserta tes yang memberi jawaban
d. Daya pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara yang
berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda masing-masing butir
dilihat dari korelasi antar skor masing-masing butir soal dilihat dari korelasi antar skorbutir-butir soal
tersebut dengan skor totalnya. Daya pembeda menggunakan rumus korelasi momen produk dari Karl
perarson sebagai berikut:
𝑛 ∑ 𝑥𝑦−(∑ 𝑥)(∑ 𝑦)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑𝑥 2)(∑ 𝑥)2 (𝑛 ∑𝑌 2−(∑ 𝑌)2 )
Dengan :
Y = skor total
Dalam penelitian ini soal tes dikatakan mempunyai daya pembeda yang baik jika =𝑟𝑥≥ 0,3
(Budiyono, 2003:65)
2) Ujicoba Angket
a. validitas Isi
validitas dari suatu instrument biasanya dinilai oleh para pakar (Budiyono, 2003:65).
Sehingga validitas dari instrument yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan oleh para
pakar.
b.Reliabilitas Angket
uji reliabilitas angket digunakan rumus Alpha. Adapun rumus Alpha adalah sebagai beikut:
∑𝑠𝑡 2
𝑟11 = 𝑛 (1 − )
𝑛−1 𝑠 𝑡2
Dengan:
c. Konsistensi Internal
Untuk mengetahui korelasi butir soal angket digunakanrumus korelasi momen produk dari Karl
pearson sebagai berikut :
𝑛 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑋)2 )(𝑛 ∑ 𝑌 2 −(∑ 𝑌)2 )
Dengan:
Setelah data diperoleh dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan selanjutnya adalah
pengujian terhadap data tersebut. Adapun pengujian data adalah sebagai berikut :
Pada awal penelitian dilakukan uji keseimbangan dengan menggunakan analisis uji T, dengan
terlebih dahulu dilakukan uji pra syarat keseimbangan yaitu uji normalitas dan uji Homogenitas
nilai awal. Selanjutnya pada nilai hasil penelitian dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas baru kemudian dilakukan uji hipotesis dengan analisis variansi
dua jalan dengan sel tak sama. Setelah dilakukan uji Hipotesis, bila perlu dilakukan juga uji lanut
pasca anava dengan melakukan uji komparasi ganda.
1. Uji keseimbangan
Uji keseimbangan dilakukan pada saat ke dua kelompok belum dikenai perlakuan bertujuan
untuk mengetahui apakah kedua kelompok tersebut dalam keadaan seimbang. Secara
statistik untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rataan yang berarti dari dua sampel
yang independen. Sebelum dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk membuktikan bahwa smpel berasal dari populasi yang
berdistribus normal. Seperti dikemukakan Budiyon0 (2009:168) bahwa semua
penggunaan uji statistik mengenai beda rerata dan uji statistik lain menyaratkan sampel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Pada penelitian ini untuk uji normalitas
menggunakan metode Liliefors, yaitu:
1) Hipotesis
𝐻𝑜 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
𝐻1 : sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal
2) Taraf signifikan 𝛼 = 0,05
3) Statistik Uji
𝐿 = 𝑚𝑎𝑘𝑠|𝐹(𝑧𝑖 ) − 𝑠(𝑧𝑖 )|
Dengan :
L = koefesien Liliefors dari pengamatan
𝐹(𝑍𝑖 ) = 𝑃(𝑍 ≤ 𝑧𝑖 ); 𝑍~𝑁(0,1)
𝑠(𝑧𝑖 ) = proporsi cacah 𝑍 ≤ 𝑧𝑖 terhadap seluruh cacah 𝑧𝑖
𝑋𝑖−𝑋
̅
𝑧𝑖= 𝑆
Keterangan :
𝑋𝑖 = skor ke-i
𝑥̅ = rataan sampel
𝑠 = variansi sampel
4) Daerah kritik
DK = {𝐿|𝐿 > 𝐿𝛼:𝑛 }yang diperoleh dari table liliefors pada tingkat signifikansi dan
derajat kebebasan n (dengan n : ukuran sampel)
5) Keputusan uji
a. Jika 𝐿 > 𝐿𝛼 maka 𝐻0 ditolak
b. Jika 𝐿 ≤ 𝐿𝛼 maka 𝐻0 diterima
6) Kesimpulan
a. Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal jika 𝐻0 diterima
b. Sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal 𝐻0 ditolak
(Budiyono, 2000:169)