STUDI KASUS
Nama Kelompok:
1. Adi Irawan
2. Dewi Ratnawati
3. Dheki Oktria W
4. Endang Sri Wahyuningsih
5. Meika Ayu Saraswati
6. Taufikkurrohman
2.2 Klasifikasi
a. Gagal nafas akut
Gagal nafas yang timbul pada pasien yang paru-parunya normal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
b. Gagal nafas kronis
Terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik,
emfisema dan penyakit paru hitam.
2.3 Etiologi
a. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan
yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan
medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
b. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke
saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti
gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan
neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi
ventilasi.
c. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang
mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan
gagal nafas.
d. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan
perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas
atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang
iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat
terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk
memperbaiki patologi yang mendasar
e. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau
pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi
lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan
edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.
2.5 Patofisiologi
Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari 20x/mnt tindakan
yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi
tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal
10-20 ml/kg).
Penyebab terpenting dari gagal nafas adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien
dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia
dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga
pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan
anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan
pernafasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opiod. Penemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke
gagal nafas akut.
2.6 Komplikasi
a. Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan ventilator
(seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).
b. Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output, aritmia,
perikarditis dan infark miokard akut.
c. Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare dan
pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.
d. Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum tulang
memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit yang usianya
kurang dari normal).
e. Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.
f. Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.
g. Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan pemberian
nutrisi enteral dan parenteral (Alvin Kosasih, 2008).
2.8 Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan
kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini
:
1. Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas
dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah
terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive.
Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi
apnoe.
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien
benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen
harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang
tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus
segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan
menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen
harusdiberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi
yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis
yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping.
Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan
Pellegrino, 2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus
rendah dan sistem arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan
alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul
arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt,
dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi
tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki
efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya
electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal
cathethers, dan dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut
lebih efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask menggunakan
prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada
pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini
mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Alat
tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi
melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus
tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask,
yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi
klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien
yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan
ventilasi abnormal (Sue dan Bongard, 2003).
2. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan
pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas
atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas
artifisial dibandingkan jalan napas alami (Sue dan Bongard, 2003).
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi
mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-
obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi
penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik (Sue dan Bongard,
2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah
oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas
alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas artifisial.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel 1 di
atas dan juga tabel 4 berikut ini:
Tabel Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis:
a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b. PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit
neuromuskular
Secara Klinis:
a. Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi
jalan napas
b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)
d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas
trakea
(Sue dan Bongard, 2003)
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi
endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon
terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu
dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi
tekanan positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif)
(Sue dan Bongard, 2003).
2.12 TUJUAN
Penggunaan ventilator bertujuan untuk:
1. Memperbaiki ventilasi paru
2. Memberikan kekuatan mekanis pada sistem paru untuk mempertahankan
ventilasi yang fisiologis
3. Membantu otot nafas yang lelah/lemah
4. Mengurangi kerja miokard dengan jalan mengurangi kerja nafas (Brunner and
Suddarth, 2002)
2.13. INDIKASI
Ventilator diberikan kepada seseorang yang memiliki (Tanjung, 2003):
1. Gangguan ventilasi
a. Disfungsi otot pernapasan
b. Penyakit neuromuscular (miestania gravis, polymelitis)
c. Sumbatan jalan napas
d. Gangguan kendali napas
e. Gagal napas akut disertai asidosis respiratorik
2. Gangguan oksigen
a. Hipoksemia yang teah dapat terapi oksigen maksimal namun tidak ada
perbaikan
3. Secara fisiologis memenuhi kriteria
a. RR > 35x/menit
b. Tidal volume <5ml/kgBB
c. Kapasitas vital <10ml/kg/BB
d. Tekanan inspirasi maksimal <25 cm H2O
e. PO2 <60 mmHg dengan FiO2 21%
f. PO2 <70 mmHg dengan FiO2 40%
g. PO2<100 mmHg dengan FiO2 100%
h. PaCO2 > 55 mmHg
i. Minute volume (MV) <3 liter/menit atau >20 liter per menit
j. Penggunaan otot tambahan pernapasan
4. Indikasi lain
a. Pemberian sedasi berat
b. Menurunkan kebutuhan oksigen baik secara sistematik atau miokard
c. Menurunkan TIK dan mencegah TIK
2.14. KONTRAINDIKASI
1. Pemakaian alat ventilasi umumnya sangat membantu pasien yang
menagalami masalah pernapasan. Tidak ditemukan kontraindikasi dalam
penggunaannya, kecuali jika telah terjadi komplikasi lain yang menyertai
perjalanan penyakitnya.
2. Pada pasien dengan fraktur basal tengkorak rentan terpasang ventilator
Low O2 pressure
Alarm akan aktif jika tekanan sumber udara tidak adekuat
Penyebab
Penatalaksanaan
Kehilangan sumber udara/kehilangan tekanan dalam sumber udara
Cek sambungan dengan sumber udara. Jika karena turunnya tekanan
ventilator tidak berfungsi, lakukan ventilasi secara manual
Low PEEP/CPAP
Parameter alarm PEEP/CPAP biasanya diatur 3-5cmHg dibawah settingan
PEEP/CPAP yang digunakan
Penyebab
Penatalaksanaan
Kerusakan pada sirkuit ventilator
Evaluasi dan koreksi sumber kerusakan
c. Volume
Rendahnya volume tidal ekspirasi atau minute volume ventilation
Penyebab
Penatalaksanaan
Tidak tersambungnya ventilator sistem dengan pasien (cth: alat terlepas
dari pasien)
Terjadi kebocoran
Kebocoran bisa bersumber dari mulut atau koreksi sirkuit.
d. Apnea
Alarm akan diaktifkan atau berbunyi jika tidak ada ekshalasi
Penyebab
Penatalaksanaan
Tidak terdeteksinya usaha nafas spontan dari pasien
Kaji pernapasan pasien.
Jika pasien tidak bernafas, lepas ventilator dang anti dengan bantuan
nafas manual (bagging). Jika nadi tidak teraba, cai bantuan dan lakukan
RJP
Lepasnya sambungan sensor ekshalasi
Periksa sambungan sensor dan hubungkan kembali dengan ventilator
e. I:E ratio
Alarm I:E ratio akan berbunyi jika I:E ratio mencapai 1:3 atau dibawah
1:1,5.
Penyebab
Penatalaksanaan
Tidak sesuainya volume tidal, peak inspiratory flow rate dan
respiratory rate control
Cek kesiapan VT, peak inspiratory flow rate, dan RR control
Jika VT dan RR settingnya sudah sesuai, atur peak inspiratory flow rate
untuk mencapai I:E ratio normal
f. mesin ventilator
Penyebab
Penatalaksanaan
Lepasnya sambungan kabel ke sumber listrik
Cek sambungan listrik
Rusaknya tekanan udara dan oksigen
Cek sumber tekanan udara dan oksigen dan cek sambungan
Disfungsunya microproccesor
Disconnect ventilator dan berikan bantuan ventilasi secara manual
(Brunner and Suddarth, 2002 ; Hudak and Gallo, 1995; Pierce, 1995;
Tanjung, 2003)
2.18 VARIABEL DALAM VENTILATOR
Untuk menentukan modus operasional ventilator terdapat empat
parameter yang diperlukan untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle
ventilator, 4 variabel penting dalam ventilasi mekanik tersebut yaitu :
1. Frekuensi pernafasan permenit, yaitu jumlah berapa kali inspirasi di berikan
ventilator dalam 1 menit (10 – 12 bpm)
2. Tidal volume, yaitu jumlah gas/udara yang di berikan ventilator selama
inspirasi dalam satuan ml/cc atau liter (5-10cc/kgbb)
3. Konsentrasi oksigen (FiO2) yang diberikan pada inspirasi (21-100%)
4. Positive end respiratory pressure / flow rate, yaitu kecepatan aliran gas atau
voleme gas yang dihantarkan permenit (liter/menit)
Pada klien dewasa, frekuensi ventilator diatur antara 12-15 x / menit.
Tidal volume istirahat 7 ml / kg BB, dengan ventilasi mekanik tidal volume
yang digunakan adalah 10-15 ml / kg BB. Untuk mengkompensasi dead space
dan untuk meminimalkan atelektase (Way, 1994 dikutip dari LeMone and
Burke, 1996).
Jumlah oksigen ditentukan berdasarkan perubahan persentasi oksigen
dalam gas. Karena resiko keracunan oksigen dan fibrosis pulmonal maka FiO2
diatur dengan level rendah. PO2 dan saturasi oksigen arteri digunakan untuk
menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan untuk mencegah kolaps
alveoli dan untuk meningkatkan difusi alveolikapiler.