Anda di halaman 1dari 15

Menurut Corteli (2004, dalam Lubis, 2013) gejala akibat penyakit hipertensi dapat

mengganggu tidur yang berdampak terhadap kualitas tidur. Dengan demikian, adanya

keluhan masalah tidur yang mempengaruhi kualitas tidur menjadi buruk pada penderita

hipertensi akan memberikan dampak serius seperti mempengaruhi tekanan darah,

memperparah perkembangan hipertensi, mengganggu pengendalian tekanan darah yang dapat

menimbulkan resiko komplikasi stroke dan jantung (Zheng, Chen, Chen, Zhang, & Wu,

2014).

Penelitian lain menemukan bahwa penderita hipertensi dengan kualitas tidur yang buruk

berdampak pada kualitas hidupnya (Yunshaang, & Zumin, 2016).

Agar dapat mengetahui seseorang melalui tahapan tidur normal dengan mendapatkan fase

NREM (Non-Rapid Eye Movement) dan REM (Rapid Eye Movement) yang sesuai merujuk

pada kualitas tidur (Kozier & Berman, 2010). Kualitas tidur berkaitan dengan kejadian

kardiovaskular (Lo, Woo, Martin, & Wilson, 2018). Jika memiliki kualitas tidur yang baik

maka dapat menurunkan resiko kejadian kardiovaskular (Wennman et al. 2014).

Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sagala (2011) di Puskesmas Medan

Johor hasil menunjukan penderita hipertensi tidak dapat tidur dengan baik dan penelitian oleh

Lubis (2013) di Puskesmas Medan Teladan hasil penelitian menunjukan yang sama bahwa

penderita hipertensi tidak dapat tidur dengan baik. Kedua penelitian tersebut menggunakan

kuesioner Sleep Quality Questionaires (SQQ) yang hanya meneliti dalam waktu 24 jam saja

serta hanya terdiri dari dimensi latensi tidur, durasi tidur, kepulasan tidur, dan frekuensi

terbangun pada malam hari.


Maka dari itu penting dilakukan penelitian terkait kualitas tidur pada penderita hipertensi

yang dilakukan di Puskesmas Rancaekek karena berdasarkan studi pendahuluan Puskesmas

Rancaekek termasuk kedalam 10 puskesmas peringkat terbesar yang memiliki kasus

hipertensi se-Kabupaten Bandung sebanyak 2177 kasus dari bulan Januari – November 2017

(Dinas Kesehatan [Dinkes], 2017). Selain itu, penyakit hipertensi di Puskesmas Rancaekek

selalu memasuki peringkat 10 besar penyakit selama tahun 2017. Ditemukan juga penderita

jantung dengan hipertensi sebanyak 13 orang, penderita stroke dengan hipertensi sebanyak 3

orang, dan penderita gagal ginjal dengan hipertensi hanya 1 orang. Berdasarkan wawancara

dengan 5 penderita hipertensi, 3 orang diantaranya mengeluh sering merasakan sakit kepala

dan merasakan kantuk pada siang hari (Pusat Kesehatan Masyarakat Rancaekek [Puskesmas

Rancaekek], 2017).

Hal tersebut merupakan tanda dan gejala dari kurang tidur yang akan mempengaruhi kualitas

tidur. Menurut Potter dan Perry (2010) jika dicurigainya ada masalah tidur maka perlu diteliti

lebih lanjut untuk menekan kejadian kardiovaskular yang diperkirakan akan semakin

meningkat pada tahun 2030.

Pembahasan

Usia yang menunjukan sebanyak 41 orang (51,9%) usianya ≥60 tahun. Lansia beresiko

mudah terkena penyakit, sehingga pada penelitian ini penderita hipertensi lebih banyak

ditemukan pada usia ≥60 tahun.

Hipertensi terjadi karena dinding pembuluh darah mengalami kekakuan maka beban kerja

jantung semakin keras sehingga terjadi tekanan darah tinggi (Liu & Zheng, 2017). Hal ini

didukung beberapa penelitian lain bahwa hipertensi sering ditemukan yang usianya ≥60 tahun

(Lionakis et al. 2012; Setyaningsih et al. 2014).


Sebanyak 65 orang (82,3%) berjenis kelamin perempuan. Perempuan lebih beresiko terkena

hipertensi dibandingkan laki-laki. Semakin bertambahnya usia pada perempuan maka

mengalami penurunan hormon estrogen yang dimana fungsi hormon estrogen untuk

meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) untuk mencegah penebalan pembuluh darah

sehingga semakin tua hormon tersebut tidak bekerja yang beresiko terjadi arterosklerosis

lebih tinggi yang dapat meningkatkan tekanan darah (Kartikasari, 2012). Penelitian lain juga

menemukan bahwa hipertensi sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki

(Lionakis et al. 2012).

Penderita hipertensi memiliki kecemasan berlebih sehingga mengalami gangguan emosi dan

akan mengalami gangguan tidur sehingga mempengaruhi kualitas tidur (Hanus et al. 2015),

gejala kecemasan yang dirasakan akan mengganggu tidurnya seperti jantung berdebar-debar,

gemetar, gelisah (Harfiantoko & Kurnia, 2013; Wu, Chien, & Lin, 2014). Kecemasan

tersebut dapat diperparah oleh usia dan jenis kelamin dikarenakan penurunan hormon

estrogen yang mempengaruhi psikologis sehingga berpengaruh terhadap kualitas tidur

(Kartikasari, 2012). Latihan fisik yang rendah pada penderita hipertensi juga mempengaruhi

kualitas tidur (Kline, 2014). Selain itu, kualitas tidur dipengaruhi oleh lama menderita

hipertensi (Harfiantoko & Kurnia, 2013).

Dimensi kualitas tidur subjektif sebanyak 41 orang (51,9%) mengatakan bahwa tidurnya

cukup baik. Responden kurang mengetahui pentingnya tidur, ketika responden mengatakan

jika malam tidur nyenyak hanya beberapa jam dalam satu bulan terakhir karena mengalami

gangguan tidur dan masih mengatakan tidur dalam satu bulan terakhirnya cukup baik karena

sudah merasakan usianya cukup tua sehingga tidak mempermasalahkan. Hal ini didukung

oleh Khasanah dan Hidayati (2012) lansia menilai kualitas tidurnya cukup baik karena lansia

mampu mentoleransi perubahan tidur sebagai proses penuaan dan tidak menganggap bahwa

masalah tidur berbahaya terhadap kesehatannya.


Latensi tidur dimana item pertanyaan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk memulai tertidur

sebanyak 25 orang (31,6%) <15 menit dan item pertanyaan tidak dapat tertidur dalam waktu

30 menit sebanyak 53 orang (44,3%) yang terjadi ≥3 kali dalam seminggu. Hal tersebut

terjadi karena responden lebih banyak pada usia lanjut, dimana usia lanjut yang mampu

beradaptasi terkait perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi akan memiliki siklus tidur

seperti orang normal yang akan menghabiskan waktu 10-30 menit (Potter & Perry, 2010).

Sedangkan pada item tidak dapat tertidur dalam 30 menit yang terjadi ≥3 kali dalam

seminggu terjadi dikarenakan gejala akibat penyakit hipertensi membuat sulit untuk tertidur.

Hal ini seiring dengan penelitian lain bahwa penderita hipertensi membutuhkan waktu untuk

dapat tertidur lebih lama yaitu >30 menit sebanyak 35% dan salah satu faktor gangguan tidur

yang mengakibatkan penderita hipertensi tidak dapat tidur dengan baik karena pusing atau

sakit kepala sebanyak 81% (Lubis, 2013).

Diikuti dimensi durasi tidur yang hanya <5 jam sebanyak 53 orang (67,1%). Responden

mengatakan nyenyak tidur hanya beberapa jam dikarenakan mudah dan seringnya terbangun

pada malam hari. Sejalan dengan penelitian Hanus et al. (2015) bahwa penderita hipertensi

memiliki durasi tidur yang pendek.

Lalu rasio dimensi efisiensi kebiasaan tidur yaitu <65% sebanyak 36 orang (45,6%) yang

artinya responden tidak dapat tidur dengan efisien yaitu lebih banyak menghabiskan waktu

diatas tempat tidur namun tidak tertidur. Responden mengatakan sering mengalami gangguan

tidur yang membuat responden terbangun dari tidurnya dan jika sudah terbangun sulit untuk

tertidur kembali bahkan tidak tertidur kembali hingga pagi. Mansoor (2002) mengatakan

bahwa penderita hipertensi lebih banyak menghabiskan waktu ditempat tidur.

Sebanyak 51 orang (64,6%) mengalami gangguan tidur karena terbangun ditengah malam

atau pagi-pagi sekali sebanyak 64 orang (81,0%) selama ≥3 kali dalam seminggu. Selain itu

responden sering terbangun karena ingin ke toilet sebanyak 61 orang (77,2%) selama ≥3 kali
dalam seminggu. Responden memiliki gangguan tidur yaitu seringnya terbangun malam atau

pagi sekali karena nokturia. Lubis (2013) menyebutkan bahwa penderita hipertensi memiliki

gangguan tidur sebanyak 64% karena nokturia.

Dimensi penggunaan obat tidur pada penderita hipertensi seluruhnya 79 orang (100%) tidak

mengkonsumsi obat tidur dalam satu bulan terakhir. Hal tersebut karena obat yang telah

dikonsumsi oleh responden selain obat antihipertensi yaitu golongan obat Antihistamin dan

Reseptor Antihistamin 2, golongan ekspektoran. Golongan obat-obatan tersebut memiliki

efek samping mengantuk yang dapat membantu tidur (Gunawijaya, 2011; Putra, 2016).

Serta pada dimensi gangguan aktivitas pada siang hari sebanyak 35 orang (44,3%) yang

mempengaruhi skor menjadi tinggi sehingga berkontribusi terhadap kualitas tidur menjadi

buruk. Gangguan aktivitas pada siang hari diawali dari kurang istirahat pada malam hari. Hal

ini didukung oleh penelitian Sari (2017) menunjukan lansia hipertensi di Desa Rancaekek

memiliki kualitas hidup buruk 54,9% yang salah satunya kurang memiliki kepuasaan

terhadap tidur.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kualitas tidur pada penderita hipertensi di Puskesmas Rancaekek dengan menggunakan

kuesioner PSQI yang mengevaluasi tidur selama satu bulan terakhir dengan pengambilan data

dalam satu waktu didapatkan hasil bahwa yang memiliki kualitas tidur buruk sebanyak 94,9%

dan hanya 5,1% yang memiliki kualitas tidur baik. Kualitas tidur subjektif 51,9% mengatakan

cukup baik, latensi tidur 43,0% dimana penderita hipertensi pada item tidak dapat tertidur

dalam waktu 30 menit dengan ≥3 kali dalam seminggu, sebanyak 67,1% memiliki durasi

tidur <5 jam, 45,6% memiliki efisiensi kebiasaan tidur <65%, gangguan tidur sebanyak

64,6% yang mengalami terbangun di tengah malam atau pagi-pagi sekali, terbangun karena
ingin ke toilet dengan masing-masing ≥3 kali dalam seminggu, 100% tidak menggunakan

obat tidur, dan mengalami gangguan aktivitas pada siang hari 44,3%.

DAFTAR PUSTAKA

Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk Hasil yang

Diharapkan. In 2 (8th ed.). Singapore: Elsevier.

Hairunnisa. (2014). Hubungan Tingkat Kepatuhan minum Obat dan Diet dengan Tekanan

Darah Terkontrol Pada penderita Hipertensi lansia di wilayah Kerja Puskesmas Perumnas I

Kecamatan Pontianak Barat. Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak, 25.

https://doi.org/10.1017/ CBO9781107415324.004

Tekanan darah secara normal menurun ketika sedang tidur normal (sekitar

10-20% masih dianggap normal) dibandingkan ketika sedang kita dalam keadaan

sadar, dan keadaan ini dihubungkan karena penurunan aktifitas simpatis pada

keadaan tidur. Apabila tidur mengalami gangguan, maka tidak terjadi penurunan

tekanan darah saat tidur sehingga akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi

yang berujung kepada penyakit kardiovaskular. Setiap 5% penurunan normal yang

seharusnya terjadi dan tidak dialami oleh seseorang, maka kemungkinan 20%

akan terjadi peningkatan tekanan darah. Selain itu salah satu faktor dari kualitas

tidur yang buruk yaitu kebiasaan durasi tidur yang pendek juga dihubungkan

dengan peningkatan tekanan darah terutama pada kalangan remaja. Insomnia

dengan durasi tidur singkat yang objektif juga dihubungkan dengan resiko
hipertensi. Selain itu masih banyak gangguan tidur yang dikaitkan dengan

hipertensi, seperti obstructive sleep apneu syndrome (OSAS), restless legs

syndrome (RLS), dan lain-lain (Calhoun dan Harding, 2012).

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO), satu dari tiga orang dewasa

di seluruh dunia memiliki tekanan darah tinggi. Proporsi meningkat sejalan

dengan bertambahnya usia, yaitu satu dari sepuluh orang berusia 20-an dan 30-an

sampai lima dari sepuluh orang berusia 50-an. Orang dewasa di beberapa negara

berpendapatan rendah di Afrika memiliki tekanan darah tinggi dengan persentase

tertinggi sebesar lebih dari 40% (WHO, 2013).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, sebagian

besar kasus tekanan darah tinggi pada masyarakat belum terdiagnosis. Di

Indonesia, pada usia lebih dari atau sama dengan 18 tahun didapatkan prevalensi

tekanan darah tinggi sebesar 31,7%, yang sudah mengetahui memiliki tekanan

darah tinggi hanya 7,2% dan yang minum obat hipertensi han ya 0,4% (Depkes RI,

2012).

National Heart, Lung, and Blood Institut dari United States Department of

Health and Human Services pada tahun 2009 menginformasikan bahwa kurang

tidur atau kualitas tidur yang buruk meningkatkan resiko tekanan darah tinggi,

penyakit jantung, dan kondisi medis lainnya.


pembahasan

Karakteristik sampel penelitian tersebut dilihat dari usia didapatkan

kelompok usia tertinggi yaitu antara 61-70 tahun sebanyak 12 orang (33,3%),

kemudian kelompok usia 51-60 tahun sebanyak 10 orang (27,8%), kemudian

kelompok usia 71-80 tahun sebanyak 7 or ang (19,4%), kemudian kelompok usia >

80 tahun sebanyak 4 orang (11,1), kemudian kelompok usia 41-50 tahun se banyak

2 orang (5,6%), dan yang paling sedikit adalah kelompok usia ≤ 40 tahun

sebanyak 1 orang (2,8%). Hal ini sesuai dengan teori Yogiantoro (2009), yang

menyatakan bahwa usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya morbiditas

dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi, makin

meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi

kemungkinan besar juga akan bertambah

berdasarkan jenis kelamin

Karakteristik sampel penelitian dilihat dari jenis kelamin didapatkan 13

orang (36,1%) berjenis kelamin laki-laki dan 23 orang (63,9%) berjenis kelamin

perempuan. Dapat dilihat bahwa jumlah sampel yang berjenis kelamin perempuan

lebih banyak daripada jumlah sampel yang berjenis kelamin laki-laki. Menurut

teori Sanif (2009), laki-laki pada populasi umum memiliki angka diastolik

tertinggi pada tekanan darahnya dibandingkan dengan perempuan pada semua

usia dan juga laki-laki memiliki angka prevalensi tertinggi untuk terjadinya

hipertensi. Walaupun laki-laki memiliki insiden tertinggi kasus kardiovaskuler

pada semua usia, hipertensi pada laki-laki dan perempuan dapat menyebabkan
stroke, pembesaran ventrikel kiri, dan disfungsi ginjal. Hipertensi terutama mempengaruhi

perempuan karena faktor resikonya dapat dimodifikasi dan hipertensi sering terjadi pada

perempuan tua.

A. Latar Belakang

Kebutuhan tidur merupakan faktor yang penting bagi kualitas hidup seseorang (Kozier et.al.,

2011). Tidur merupakan suatu keadaan yang berulang-ulang dimana terjadi perubahan status

kesadaran yang terjadi selama periode tertentu. Tidur melibatkan serangkaian urutan yang

diatur oleh aktivitas fisiologis yang sangat terintegrasi dengan sistem saraf pusat (Potter &

Perry, 2006). Manusia membutuhkan tidur untuk berbagai alasan seperti untuk mengatasi

stres sehari-hari, untuk mencegah kelelahan, untuk mengumpulkan energi, untuk memulihkan

pikiran dan tubuh, dan untuk menikmati hidup secara penuh (Kozier et.al., 2011).

Setiap tahun diperkirakan sekitar 20-25% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur

dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Meskipun demikian, hanya satu dari

delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidur yang dialami telah didiagnosis oleh

dokter (Setiabudhi & Hardiwinoto, 2005). Akibat yang timbul apabila jumlah istirahat dan

tidur tidak terpenuhi adalah terjadi penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat

keputusan, dan berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari, serta dapat meningkatkan iritabilitas

(Potter & Perry, 2006).

Tidur berkontribusi dalam menjaga kondisi fisiologis dan psikologis tubuh (Potter & Perry,

2010). Menurut Bansil et.al. (2011), tidur merupakan hal yang penting yang berkontribusi

terhadap status kesehatan yang optimal dan terhadap tanda-tanda vital. Tidur yang nyenyak

bermanfaat untuk mempertahankan fungsi jantung, dimana denyut jantung berdetak 10-12
kali lebih lambat dalam setiap menit atau 60-120 kali lebih sedikit dalam setiap jam (Potter &

Perry, 2010). Setiap individu memiliki kebutuhan tidur yang berbeda baik dalam kuantitas

maupun kualitas (Potter & Perry, 2010). Kualitas tidur mengacu pada keadaan dimana tidur

yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran disaat terbangun

(Khasanah, 2012). Hasil penelitian Magrifah (2016) melaporkan hubungan antara kualitas

tidur dengan tekanan darah sistolik dan

Setiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur dan istirahat berdasarkan

tingkat perkembangannya. Orang dewasa memiliki kebutuhan tidur sekitar 6-8 jam (Potter &

Perry, 2010 ; Kozier et.al., 2011). Kebutuhan tidur yang tidak terpenuhi akan mengakibatkan

beberapa gangguan dalam tubuh (Potter & Perry, 2010). Menurut penelitian Lu et.al. (2014),

seseorang dengan ketidakcukupan waktu tidur sering kali memiliki kualitas tidur yang buruk,

dimana kualitas tidur yang sangat buruk dengan nilai OR (odds ratios) 2,32 dan durasi tidur

<6 jam dengan nilai OR (odds ratios) 2,38 merupakan salah satu faktor penyebab dari

hipertensi. Berdasarkan penelitian Lumantow, dkk (2016), menunjukkan kualitas tidur

memiliki hubungan dengan tekanan darah dengan nilai p-value sebesar 0,000 dimana kualitas

tidur yang buruk berpengaruh terhadap terjadinya prehipertensi pada remaja.

Menurut Shittu et.al. (2016), kualitas tidur yang buruk memiliki dampak negatif yang besar

terhadap status kesehatan jangka panjang, dimana dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa

kualitas tidur yang buruk dapat memengaruhi terjadinya peningkatan tekanan darah (p-value

0,002), peningkatan body mass index (p-value 0,045), dan terjadinya depresi (p-value 0,000).

Terjadinya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh kondisi kurang tidur yang dapat

memengaruhi keseimbangan hormon kortisol (hormon penanda stres). Ketidakseimbangan

hormon kortisol akan menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang dihasilkan oleh

kelenjar adrenal salah satunya adalah katekolamin yang terdiri dari epinefrin dan
noreprinefrin yang bekerja pada saraf simpatis yang menyebabkan vasokontriksi vaskuler

(Potter & Perry, 2010 ; Smeltzer & Bare, 2013).

Hasil penelitian Yaqin (2016) berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, dimana pada

penelitian ini tidak terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah sistolik

maupun diastolik pada mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan dengan nilai p-value

0,05. Penelitian Bansil et.al. (2011) menunjukkan bahwa hubungan antara kombinasi masalah

tidur yang terdiri dari gangguan tidur, durasi tidur yang pendek, dan kualitas tidur yang buruk

memiliki hubungan yang lebih signifikan dengan hipertensi dengan nilai OR (odds ratios)

sebesar 1,84. Sedangkan hubungan kualitas tidur yang buruk dengan hipertensi hanya

memiliki nilai OR (odds ratios) sebesar 1,03.

B. Pembahasan

1. Kualitas Tidur Pasien Hipertensi Primer di Puskesmas Gamping 1

Berdasakan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 45 responden (84,9%) memiliki

kualitas tidur yang buruk dan 8 responden (15,1%) memiliki kualitas tidur yang baik.

Kualitas tidur mengacu pada kemampuan individu untuk tetap tertidur dan mendapatkan

jumlah tidur REM dan NREM yang sesuai dengan kebutuhan dimana terjadi pergantian

siklus REM dan NREM secara berselang-seling selama empat sampai enam kali (Potter &

Perry, 2010 ; Kozier et.al., 2011). Kualitas tidur memiliki berbagai aspek, antara lain,

penilaian terhadap kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur sehari-

hari, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi aktivitas siang hari (Buysse et.al.,

1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden memiliki kualitas

tidur yang buruk, dimana responden mengatakan waktu tidurnya kurang, susah mengawali

tidur, tidur tidak nyenyak, dan sering terbangun tengah malam untuk ke kamar mandi.
Responden dalam penelitian ini adalah lanjut usia, dimana lanjut usia dibagi menjadi tiga

kelompok yaitu lanjut usia (elderly) berusia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu usia 75-90

tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Azizah, 2011). Kualitas tidur

buruk sebagian besar responden berada pada kategori lanjut usia (60-74 tahun) sebanyak 40

responden (75,5%) dari 45 responden yang mengalami kualitas tidur buruk. Usia memiliki

pengaruh terhadap kualitas tidur seseorang. Lansia membutuhkan waktu tidur minimal sekitar

6 jam sehari (Kozier et.al., 2010 ; Potter & Perry, 2010). Namun, proses penuaan

menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur seseorang. Perubahan-perubahan tersebut

mencakup perubahan pada latensi tidur, sering terbangun dini hari, peningkatan jumlah tidur

siang, dan penurunan waktu tidur yang dalam. Menurut Stanley & Bare (2007), kualitas tidur

yang buruk menyerang 50% orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Hal ini didukung oleh

penelitian Khasanah (2012) menunjukkan bahwa usia 60-74 tahun lebih banyak memiliki

kualitas tidur yang buruk. Penelitian Setiyorini (2014) juga menunjukkan bahwa kualitas

tidur yang buruk banyak dialami oleh usia 60-70 tahun sebagai akibat dari proses menua.

Mayoritas responden yang mengalami kualitas tidur yang buruk adalah responden perempuan

yaitu sebanyak 36 responden (67,9%). Hasil penelitian Khasanah (2012) menyatakan bahwa

perempuan memiliki kualitas tidur yang buruk disebabkan karena terjadinya penurunan

hormon progresteron dan esterogen yang mempunyai reseptor di hipotamalus, sehingga dapat

memengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung. Selain itu kondisi psikologis,

kecemasan, gelisah dan emosi yang tidak stabil pada perempuan akibat dari penurunan

esterogen dapat menyebabkan terjadinya gangguan tidur. Menurut Kozier et.al. (2011),

cemas akan meningkatkan sekresi norephinephrine yang akan menstimulasi sistem saraf

sehingga mengakibatkan tidur NREM tahap IV dan tidur REM menjadi lebih sedikit, dan

lebih sering terbangun.


Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Havisa (2014), dimana kualitas tidur

memengaruhi tekanan darah pada lansia dengan hasil secara keseluruhan lansia memiliki

kualitas tidur yang buruk dan mayoritas lansia yang memiliki kualitas tidur buruk mengalami

hipertensi derajat 1. Menurut Stanley & Bare (2007), sebagian besar lansia yang berisiko

memiliki kualitas tidur yang buruk disebabkan oleh beberapa faktor seperti pensiun dan

perubahan pola sosial, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan penggunaan obat-

obatan, penyakit yang dialami, dan perubahan irama sirkadian. Proses kehilangan yang

dialami oleh lansia seperti pensiun dan kematian orang yang dicintai menyebabkan terjadinya

stes emosional. Stres emosional dapat menyebabkan depresi suasana hati lansia yang

mengakibatkan lansia mengalami penundaan waktu tidur, munculnya tidur REM lebih awal,

sering terbangun, perasaan tidur buruk, dan bangun lebih awal (Potter & Perry, 2010).

Kualitas tidur yang buruk meliputi durasi tidur yang kurang, latensi tidur yang rendah,

gelombang tidur yang terganggu, dan terjadinya gangguan tidur seperti mendengkur,

terbangun karena ingin ke toilet, tidak dapat bernapas dengan nyaman, serta terjadinya mimpi

buruk (Buysse et.al., 1989). Penelitian Lu et.al (2014) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara kualitas tidur dengan hipertensi, dimana seseorang yang memiliki waktu

tidur yang kurang (< 6 jam) akan menjadikan kualitas tidur menjadi buruk. Kekurangan

waktu tidur dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba dan mengaktivasi

sistem saraf simpatis yang apabila terjadi dalam jangka waktu lama dapat memicu terjadinya

hipertensi. Durasi tidur yang pendek juga menimbulkan perubahan emosi seperti mudah

marah, pesimis, tidak sabar, lelah dan stres yang menyebabkan seseorang lebih sulit

mempertahankan gaya hidup yang sehat sehingga meningkatkan risiko hipertensi (Gangwisch

et.al., 2006).

Dalam penelitian Bansil et.al. (2011) berpendapat bahwa orang dewasa dengan kombinasi

masalah tidur yang terdiri dari gangguan tidur, tidur yang pendek, dan kualitas tidur buruk
memiliki risiko 1,84 kali mengalami hipertensi dibandingkan dengan orang dewasa yang

tidak memiliki gangguan tidur, tidur yang pendek, dan kualitas tidur buruk. Hal ini

disebabkan oleh pengaruh mekanisme biologi tubuh saat terjadi kondisi kurang tidur. Kondisi

kurang tidur dapat merujuk pada kualitas tidur yang buruk yang dapat memengaruhi

keseimbangan hormon kortisol dan sistem saraf simpatis.

Ketidakseimbangan hormon kortisol akan menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang

dihasilkan oleh kelenjar adrenal salah satunya adalah katekolamin yang terdiri dari epinefrin

dan noreprinefrin yang bekerja pada saraf simpatis yang menyebabkan vasokontriksi

vaskuler. Terjadinya vasokontriksi menyebabkan tahanan perifer meningkat yang akhirnya

dapat meningkatkan tekanan darah (Potter & Perry, 2010 ; Smeltzer & Bare, 2013).

Berdasarkan penelitian Shittu et.al. (2016), kualitas tidur yang buruk selain dapat

memengaruhi peningkatan tekanan darah juga memiliki dampak negatif terhadap status

kesehatan jangka panjang seperti terjadinya peningkatan body mass index dan terjadinya

depresi pada orang dewasa. Menurut Stanley & Bare (2007), kualitas tidur yang buruk dapat

memengaruhi kualitas hidup seseorang serta berhubungan dengan peningkatan angka

mortalitas. Lamanya periode tidur dapat memengaruhi tingkat mortalitas, dimana angka

mortalitas terendah ditemukan pada orang yang tidur 7 sampai 8 jam di malam hari.

Usia merupakan salah satu


faktor penentu lamanya tidur yang
dibutuhkan seseorang. Semakin tua
usia, maka semakin sedikit pula lama
tidur yang dibutuhkan.

Kualitas tidur adalah dimana


seseorang mendapatkan kemudahan
untuk memulai tidur, mampu
mempertahankan tidur dan merasa
rileks setelah bangun dari tidur.
Tidur yang tidak adekuat dan
kualitas tidur buruk dapat
mengakibatkan gangguan
keseimbangan fisiologi dan psikologi.
Dampak fisiologi meliputi penurunan
aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah,
koordinasi neuromuskular buruk, proses
penyembuhan lambat, daya tahan tubuh
menurun, dan ketidakstabilan tanda
vital Sedangkan dampak psikologi
meliputi depresi, cemas, tidak
konsentrasi, koping tidak efektif.
Perawat bertanggung jawab untuk
memfasilitasi dan meningkatkan kualitas tidur mereka selama perawatan
dengan memberikan rasa nyaman dan mengeliminasi faktor-faktor gangguan
tidur.

Anda mungkin juga menyukai