mengganggu tidur yang berdampak terhadap kualitas tidur. Dengan demikian, adanya
keluhan masalah tidur yang mempengaruhi kualitas tidur menjadi buruk pada penderita
menimbulkan resiko komplikasi stroke dan jantung (Zheng, Chen, Chen, Zhang, & Wu,
2014).
Penelitian lain menemukan bahwa penderita hipertensi dengan kualitas tidur yang buruk
Agar dapat mengetahui seseorang melalui tahapan tidur normal dengan mendapatkan fase
NREM (Non-Rapid Eye Movement) dan REM (Rapid Eye Movement) yang sesuai merujuk
pada kualitas tidur (Kozier & Berman, 2010). Kualitas tidur berkaitan dengan kejadian
kardiovaskular (Lo, Woo, Martin, & Wilson, 2018). Jika memiliki kualitas tidur yang baik
Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sagala (2011) di Puskesmas Medan
Johor hasil menunjukan penderita hipertensi tidak dapat tidur dengan baik dan penelitian oleh
Lubis (2013) di Puskesmas Medan Teladan hasil penelitian menunjukan yang sama bahwa
penderita hipertensi tidak dapat tidur dengan baik. Kedua penelitian tersebut menggunakan
kuesioner Sleep Quality Questionaires (SQQ) yang hanya meneliti dalam waktu 24 jam saja
serta hanya terdiri dari dimensi latensi tidur, durasi tidur, kepulasan tidur, dan frekuensi
hipertensi se-Kabupaten Bandung sebanyak 2177 kasus dari bulan Januari – November 2017
(Dinas Kesehatan [Dinkes], 2017). Selain itu, penyakit hipertensi di Puskesmas Rancaekek
selalu memasuki peringkat 10 besar penyakit selama tahun 2017. Ditemukan juga penderita
jantung dengan hipertensi sebanyak 13 orang, penderita stroke dengan hipertensi sebanyak 3
orang, dan penderita gagal ginjal dengan hipertensi hanya 1 orang. Berdasarkan wawancara
dengan 5 penderita hipertensi, 3 orang diantaranya mengeluh sering merasakan sakit kepala
dan merasakan kantuk pada siang hari (Pusat Kesehatan Masyarakat Rancaekek [Puskesmas
Rancaekek], 2017).
Hal tersebut merupakan tanda dan gejala dari kurang tidur yang akan mempengaruhi kualitas
tidur. Menurut Potter dan Perry (2010) jika dicurigainya ada masalah tidur maka perlu diteliti
lebih lanjut untuk menekan kejadian kardiovaskular yang diperkirakan akan semakin
Pembahasan
Usia yang menunjukan sebanyak 41 orang (51,9%) usianya ≥60 tahun. Lansia beresiko
mudah terkena penyakit, sehingga pada penelitian ini penderita hipertensi lebih banyak
Hipertensi terjadi karena dinding pembuluh darah mengalami kekakuan maka beban kerja
jantung semakin keras sehingga terjadi tekanan darah tinggi (Liu & Zheng, 2017). Hal ini
didukung beberapa penelitian lain bahwa hipertensi sering ditemukan yang usianya ≥60 tahun
mengalami penurunan hormon estrogen yang dimana fungsi hormon estrogen untuk
meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) untuk mencegah penebalan pembuluh darah
sehingga semakin tua hormon tersebut tidak bekerja yang beresiko terjadi arterosklerosis
lebih tinggi yang dapat meningkatkan tekanan darah (Kartikasari, 2012). Penelitian lain juga
Penderita hipertensi memiliki kecemasan berlebih sehingga mengalami gangguan emosi dan
akan mengalami gangguan tidur sehingga mempengaruhi kualitas tidur (Hanus et al. 2015),
gejala kecemasan yang dirasakan akan mengganggu tidurnya seperti jantung berdebar-debar,
gemetar, gelisah (Harfiantoko & Kurnia, 2013; Wu, Chien, & Lin, 2014). Kecemasan
tersebut dapat diperparah oleh usia dan jenis kelamin dikarenakan penurunan hormon
(Kartikasari, 2012). Latihan fisik yang rendah pada penderita hipertensi juga mempengaruhi
kualitas tidur (Kline, 2014). Selain itu, kualitas tidur dipengaruhi oleh lama menderita
Dimensi kualitas tidur subjektif sebanyak 41 orang (51,9%) mengatakan bahwa tidurnya
cukup baik. Responden kurang mengetahui pentingnya tidur, ketika responden mengatakan
jika malam tidur nyenyak hanya beberapa jam dalam satu bulan terakhir karena mengalami
gangguan tidur dan masih mengatakan tidur dalam satu bulan terakhirnya cukup baik karena
sudah merasakan usianya cukup tua sehingga tidak mempermasalahkan. Hal ini didukung
oleh Khasanah dan Hidayati (2012) lansia menilai kualitas tidurnya cukup baik karena lansia
mampu mentoleransi perubahan tidur sebagai proses penuaan dan tidak menganggap bahwa
sebanyak 25 orang (31,6%) <15 menit dan item pertanyaan tidak dapat tertidur dalam waktu
30 menit sebanyak 53 orang (44,3%) yang terjadi ≥3 kali dalam seminggu. Hal tersebut
terjadi karena responden lebih banyak pada usia lanjut, dimana usia lanjut yang mampu
beradaptasi terkait perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi akan memiliki siklus tidur
seperti orang normal yang akan menghabiskan waktu 10-30 menit (Potter & Perry, 2010).
Sedangkan pada item tidak dapat tertidur dalam 30 menit yang terjadi ≥3 kali dalam
seminggu terjadi dikarenakan gejala akibat penyakit hipertensi membuat sulit untuk tertidur.
Hal ini seiring dengan penelitian lain bahwa penderita hipertensi membutuhkan waktu untuk
dapat tertidur lebih lama yaitu >30 menit sebanyak 35% dan salah satu faktor gangguan tidur
yang mengakibatkan penderita hipertensi tidak dapat tidur dengan baik karena pusing atau
Diikuti dimensi durasi tidur yang hanya <5 jam sebanyak 53 orang (67,1%). Responden
mengatakan nyenyak tidur hanya beberapa jam dikarenakan mudah dan seringnya terbangun
pada malam hari. Sejalan dengan penelitian Hanus et al. (2015) bahwa penderita hipertensi
Lalu rasio dimensi efisiensi kebiasaan tidur yaitu <65% sebanyak 36 orang (45,6%) yang
artinya responden tidak dapat tidur dengan efisien yaitu lebih banyak menghabiskan waktu
diatas tempat tidur namun tidak tertidur. Responden mengatakan sering mengalami gangguan
tidur yang membuat responden terbangun dari tidurnya dan jika sudah terbangun sulit untuk
tertidur kembali bahkan tidak tertidur kembali hingga pagi. Mansoor (2002) mengatakan
Sebanyak 51 orang (64,6%) mengalami gangguan tidur karena terbangun ditengah malam
atau pagi-pagi sekali sebanyak 64 orang (81,0%) selama ≥3 kali dalam seminggu. Selain itu
responden sering terbangun karena ingin ke toilet sebanyak 61 orang (77,2%) selama ≥3 kali
dalam seminggu. Responden memiliki gangguan tidur yaitu seringnya terbangun malam atau
pagi sekali karena nokturia. Lubis (2013) menyebutkan bahwa penderita hipertensi memiliki
Dimensi penggunaan obat tidur pada penderita hipertensi seluruhnya 79 orang (100%) tidak
mengkonsumsi obat tidur dalam satu bulan terakhir. Hal tersebut karena obat yang telah
dikonsumsi oleh responden selain obat antihipertensi yaitu golongan obat Antihistamin dan
efek samping mengantuk yang dapat membantu tidur (Gunawijaya, 2011; Putra, 2016).
Serta pada dimensi gangguan aktivitas pada siang hari sebanyak 35 orang (44,3%) yang
mempengaruhi skor menjadi tinggi sehingga berkontribusi terhadap kualitas tidur menjadi
buruk. Gangguan aktivitas pada siang hari diawali dari kurang istirahat pada malam hari. Hal
ini didukung oleh penelitian Sari (2017) menunjukan lansia hipertensi di Desa Rancaekek
memiliki kualitas hidup buruk 54,9% yang salah satunya kurang memiliki kepuasaan
terhadap tidur.
kuesioner PSQI yang mengevaluasi tidur selama satu bulan terakhir dengan pengambilan data
dalam satu waktu didapatkan hasil bahwa yang memiliki kualitas tidur buruk sebanyak 94,9%
dan hanya 5,1% yang memiliki kualitas tidur baik. Kualitas tidur subjektif 51,9% mengatakan
cukup baik, latensi tidur 43,0% dimana penderita hipertensi pada item tidak dapat tertidur
dalam waktu 30 menit dengan ≥3 kali dalam seminggu, sebanyak 67,1% memiliki durasi
tidur <5 jam, 45,6% memiliki efisiensi kebiasaan tidur <65%, gangguan tidur sebanyak
64,6% yang mengalami terbangun di tengah malam atau pagi-pagi sekali, terbangun karena
ingin ke toilet dengan masing-masing ≥3 kali dalam seminggu, 100% tidak menggunakan
obat tidur, dan mengalami gangguan aktivitas pada siang hari 44,3%.
DAFTAR PUSTAKA
Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk Hasil yang
Hairunnisa. (2014). Hubungan Tingkat Kepatuhan minum Obat dan Diet dengan Tekanan
Darah Terkontrol Pada penderita Hipertensi lansia di wilayah Kerja Puskesmas Perumnas I
https://doi.org/10.1017/ CBO9781107415324.004
Tekanan darah secara normal menurun ketika sedang tidur normal (sekitar
10-20% masih dianggap normal) dibandingkan ketika sedang kita dalam keadaan
sadar, dan keadaan ini dihubungkan karena penurunan aktifitas simpatis pada
keadaan tidur. Apabila tidur mengalami gangguan, maka tidak terjadi penurunan
tekanan darah saat tidur sehingga akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi
seharusnya terjadi dan tidak dialami oleh seseorang, maka kemungkinan 20%
akan terjadi peningkatan tekanan darah. Selain itu salah satu faktor dari kualitas
tidur yang buruk yaitu kebiasaan durasi tidur yang pendek juga dihubungkan
dengan durasi tidur singkat yang objektif juga dihubungkan dengan resiko
hipertensi. Selain itu masih banyak gangguan tidur yang dikaitkan dengan
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization (WHO), satu dari tiga orang dewasa
dengan bertambahnya usia, yaitu satu dari sepuluh orang berusia 20-an dan 30-an
sampai lima dari sepuluh orang berusia 50-an. Orang dewasa di beberapa negara
Indonesia, pada usia lebih dari atau sama dengan 18 tahun didapatkan prevalensi
tekanan darah tinggi sebesar 31,7%, yang sudah mengetahui memiliki tekanan
darah tinggi hanya 7,2% dan yang minum obat hipertensi han ya 0,4% (Depkes RI,
2012).
National Heart, Lung, and Blood Institut dari United States Department of
Health and Human Services pada tahun 2009 menginformasikan bahwa kurang
tidur atau kualitas tidur yang buruk meningkatkan resiko tekanan darah tinggi,
kelompok usia tertinggi yaitu antara 61-70 tahun sebanyak 12 orang (33,3%),
kelompok usia 71-80 tahun sebanyak 7 or ang (19,4%), kemudian kelompok usia >
80 tahun sebanyak 4 orang (11,1), kemudian kelompok usia 41-50 tahun se banyak
2 orang (5,6%), dan yang paling sedikit adalah kelompok usia ≤ 40 tahun
sebanyak 1 orang (2,8%). Hal ini sesuai dengan teori Yogiantoro (2009), yang
orang (36,1%) berjenis kelamin laki-laki dan 23 orang (63,9%) berjenis kelamin
perempuan. Dapat dilihat bahwa jumlah sampel yang berjenis kelamin perempuan
lebih banyak daripada jumlah sampel yang berjenis kelamin laki-laki. Menurut
teori Sanif (2009), laki-laki pada populasi umum memiliki angka diastolik
usia dan juga laki-laki memiliki angka prevalensi tertinggi untuk terjadinya
pada semua usia, hipertensi pada laki-laki dan perempuan dapat menyebabkan
stroke, pembesaran ventrikel kiri, dan disfungsi ginjal. Hipertensi terutama mempengaruhi
perempuan karena faktor resikonya dapat dimodifikasi dan hipertensi sering terjadi pada
perempuan tua.
A. Latar Belakang
Kebutuhan tidur merupakan faktor yang penting bagi kualitas hidup seseorang (Kozier et.al.,
2011). Tidur merupakan suatu keadaan yang berulang-ulang dimana terjadi perubahan status
kesadaran yang terjadi selama periode tertentu. Tidur melibatkan serangkaian urutan yang
diatur oleh aktivitas fisiologis yang sangat terintegrasi dengan sistem saraf pusat (Potter &
Perry, 2006). Manusia membutuhkan tidur untuk berbagai alasan seperti untuk mengatasi
stres sehari-hari, untuk mencegah kelelahan, untuk mengumpulkan energi, untuk memulihkan
pikiran dan tubuh, dan untuk menikmati hidup secara penuh (Kozier et.al., 2011).
Setiap tahun diperkirakan sekitar 20-25% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur
dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Meskipun demikian, hanya satu dari
delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidur yang dialami telah didiagnosis oleh
dokter (Setiabudhi & Hardiwinoto, 2005). Akibat yang timbul apabila jumlah istirahat dan
tidur tidak terpenuhi adalah terjadi penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat
keputusan, dan berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari, serta dapat meningkatkan iritabilitas
Tidur berkontribusi dalam menjaga kondisi fisiologis dan psikologis tubuh (Potter & Perry,
2010). Menurut Bansil et.al. (2011), tidur merupakan hal yang penting yang berkontribusi
terhadap status kesehatan yang optimal dan terhadap tanda-tanda vital. Tidur yang nyenyak
bermanfaat untuk mempertahankan fungsi jantung, dimana denyut jantung berdetak 10-12
kali lebih lambat dalam setiap menit atau 60-120 kali lebih sedikit dalam setiap jam (Potter &
Perry, 2010). Setiap individu memiliki kebutuhan tidur yang berbeda baik dalam kuantitas
maupun kualitas (Potter & Perry, 2010). Kualitas tidur mengacu pada keadaan dimana tidur
yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran disaat terbangun
(Khasanah, 2012). Hasil penelitian Magrifah (2016) melaporkan hubungan antara kualitas
Setiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur dan istirahat berdasarkan
tingkat perkembangannya. Orang dewasa memiliki kebutuhan tidur sekitar 6-8 jam (Potter &
Perry, 2010 ; Kozier et.al., 2011). Kebutuhan tidur yang tidak terpenuhi akan mengakibatkan
beberapa gangguan dalam tubuh (Potter & Perry, 2010). Menurut penelitian Lu et.al. (2014),
seseorang dengan ketidakcukupan waktu tidur sering kali memiliki kualitas tidur yang buruk,
dimana kualitas tidur yang sangat buruk dengan nilai OR (odds ratios) 2,32 dan durasi tidur
<6 jam dengan nilai OR (odds ratios) 2,38 merupakan salah satu faktor penyebab dari
memiliki hubungan dengan tekanan darah dengan nilai p-value sebesar 0,000 dimana kualitas
Menurut Shittu et.al. (2016), kualitas tidur yang buruk memiliki dampak negatif yang besar
terhadap status kesehatan jangka panjang, dimana dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa
kualitas tidur yang buruk dapat memengaruhi terjadinya peningkatan tekanan darah (p-value
0,002), peningkatan body mass index (p-value 0,045), dan terjadinya depresi (p-value 0,000).
Terjadinya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh kondisi kurang tidur yang dapat
kelenjar adrenal salah satunya adalah katekolamin yang terdiri dari epinefrin dan
noreprinefrin yang bekerja pada saraf simpatis yang menyebabkan vasokontriksi vaskuler
Hasil penelitian Yaqin (2016) berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, dimana pada
penelitian ini tidak terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah sistolik
maupun diastolik pada mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan dengan nilai p-value
0,05. Penelitian Bansil et.al. (2011) menunjukkan bahwa hubungan antara kombinasi masalah
tidur yang terdiri dari gangguan tidur, durasi tidur yang pendek, dan kualitas tidur yang buruk
memiliki hubungan yang lebih signifikan dengan hipertensi dengan nilai OR (odds ratios)
sebesar 1,84. Sedangkan hubungan kualitas tidur yang buruk dengan hipertensi hanya
B. Pembahasan
kualitas tidur yang buruk dan 8 responden (15,1%) memiliki kualitas tidur yang baik.
Kualitas tidur mengacu pada kemampuan individu untuk tetap tertidur dan mendapatkan
jumlah tidur REM dan NREM yang sesuai dengan kebutuhan dimana terjadi pergantian
siklus REM dan NREM secara berselang-seling selama empat sampai enam kali (Potter &
Perry, 2010 ; Kozier et.al., 2011). Kualitas tidur memiliki berbagai aspek, antara lain,
penilaian terhadap kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur sehari-
hari, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi aktivitas siang hari (Buysse et.al.,
1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden memiliki kualitas
tidur yang buruk, dimana responden mengatakan waktu tidurnya kurang, susah mengawali
tidur, tidur tidak nyenyak, dan sering terbangun tengah malam untuk ke kamar mandi.
Responden dalam penelitian ini adalah lanjut usia, dimana lanjut usia dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu lanjut usia (elderly) berusia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu usia 75-90
tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Azizah, 2011). Kualitas tidur
buruk sebagian besar responden berada pada kategori lanjut usia (60-74 tahun) sebanyak 40
responden (75,5%) dari 45 responden yang mengalami kualitas tidur buruk. Usia memiliki
pengaruh terhadap kualitas tidur seseorang. Lansia membutuhkan waktu tidur minimal sekitar
6 jam sehari (Kozier et.al., 2010 ; Potter & Perry, 2010). Namun, proses penuaan
mencakup perubahan pada latensi tidur, sering terbangun dini hari, peningkatan jumlah tidur
siang, dan penurunan waktu tidur yang dalam. Menurut Stanley & Bare (2007), kualitas tidur
yang buruk menyerang 50% orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Hal ini didukung oleh
penelitian Khasanah (2012) menunjukkan bahwa usia 60-74 tahun lebih banyak memiliki
kualitas tidur yang buruk. Penelitian Setiyorini (2014) juga menunjukkan bahwa kualitas
tidur yang buruk banyak dialami oleh usia 60-70 tahun sebagai akibat dari proses menua.
Mayoritas responden yang mengalami kualitas tidur yang buruk adalah responden perempuan
yaitu sebanyak 36 responden (67,9%). Hasil penelitian Khasanah (2012) menyatakan bahwa
perempuan memiliki kualitas tidur yang buruk disebabkan karena terjadinya penurunan
hormon progresteron dan esterogen yang mempunyai reseptor di hipotamalus, sehingga dapat
memengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung. Selain itu kondisi psikologis,
kecemasan, gelisah dan emosi yang tidak stabil pada perempuan akibat dari penurunan
esterogen dapat menyebabkan terjadinya gangguan tidur. Menurut Kozier et.al. (2011),
cemas akan meningkatkan sekresi norephinephrine yang akan menstimulasi sistem saraf
sehingga mengakibatkan tidur NREM tahap IV dan tidur REM menjadi lebih sedikit, dan
memengaruhi tekanan darah pada lansia dengan hasil secara keseluruhan lansia memiliki
kualitas tidur yang buruk dan mayoritas lansia yang memiliki kualitas tidur buruk mengalami
hipertensi derajat 1. Menurut Stanley & Bare (2007), sebagian besar lansia yang berisiko
memiliki kualitas tidur yang buruk disebabkan oleh beberapa faktor seperti pensiun dan
perubahan pola sosial, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan penggunaan obat-
obatan, penyakit yang dialami, dan perubahan irama sirkadian. Proses kehilangan yang
dialami oleh lansia seperti pensiun dan kematian orang yang dicintai menyebabkan terjadinya
stes emosional. Stres emosional dapat menyebabkan depresi suasana hati lansia yang
mengakibatkan lansia mengalami penundaan waktu tidur, munculnya tidur REM lebih awal,
sering terbangun, perasaan tidur buruk, dan bangun lebih awal (Potter & Perry, 2010).
Kualitas tidur yang buruk meliputi durasi tidur yang kurang, latensi tidur yang rendah,
gelombang tidur yang terganggu, dan terjadinya gangguan tidur seperti mendengkur,
terbangun karena ingin ke toilet, tidak dapat bernapas dengan nyaman, serta terjadinya mimpi
buruk (Buysse et.al., 1989). Penelitian Lu et.al (2014) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara kualitas tidur dengan hipertensi, dimana seseorang yang memiliki waktu
tidur yang kurang (< 6 jam) akan menjadikan kualitas tidur menjadi buruk. Kekurangan
waktu tidur dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba dan mengaktivasi
sistem saraf simpatis yang apabila terjadi dalam jangka waktu lama dapat memicu terjadinya
hipertensi. Durasi tidur yang pendek juga menimbulkan perubahan emosi seperti mudah
marah, pesimis, tidak sabar, lelah dan stres yang menyebabkan seseorang lebih sulit
mempertahankan gaya hidup yang sehat sehingga meningkatkan risiko hipertensi (Gangwisch
et.al., 2006).
Dalam penelitian Bansil et.al. (2011) berpendapat bahwa orang dewasa dengan kombinasi
masalah tidur yang terdiri dari gangguan tidur, tidur yang pendek, dan kualitas tidur buruk
memiliki risiko 1,84 kali mengalami hipertensi dibandingkan dengan orang dewasa yang
tidak memiliki gangguan tidur, tidur yang pendek, dan kualitas tidur buruk. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh mekanisme biologi tubuh saat terjadi kondisi kurang tidur. Kondisi
kurang tidur dapat merujuk pada kualitas tidur yang buruk yang dapat memengaruhi
dihasilkan oleh kelenjar adrenal salah satunya adalah katekolamin yang terdiri dari epinefrin
dan noreprinefrin yang bekerja pada saraf simpatis yang menyebabkan vasokontriksi
dapat meningkatkan tekanan darah (Potter & Perry, 2010 ; Smeltzer & Bare, 2013).
Berdasarkan penelitian Shittu et.al. (2016), kualitas tidur yang buruk selain dapat
memengaruhi peningkatan tekanan darah juga memiliki dampak negatif terhadap status
kesehatan jangka panjang seperti terjadinya peningkatan body mass index dan terjadinya
depresi pada orang dewasa. Menurut Stanley & Bare (2007), kualitas tidur yang buruk dapat
mortalitas. Lamanya periode tidur dapat memengaruhi tingkat mortalitas, dimana angka
mortalitas terendah ditemukan pada orang yang tidur 7 sampai 8 jam di malam hari.