net/publication/330512699
Geliat Aksara dan Bahasa Ganda dalam Papan Nama Jalan di Indonesia
CITATIONS READS
0 167
1 author:
Fajar Erikha
Division for Applied Social Psychology Research
15 PUBLICATIONS 3 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Track Record of Settlement Relocations in Jakarta: Study toponymy at Kalijodo region, Kampung Pulo, Luar Batang, and Pasar Ikan View project
All content following this page was uploaded by Fajar Erikha on 21 January 2019.
PB
499.218 06 Prosiding
PRO Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengutamaan Bahasa Negara
p “Lanskap Bahasa Ruang Publik: Dimensi Sejarah, Bahasa, dan
Hukum”/ Maryanto dkk. (Penyunting). Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2018. 522 hlm.; 24 cm.
ISBN : 9786024375553
i
PROSIDING SEMINAR DAN LOKAKARYA PENGUTAMAAN
BAHASA NEGARA “LANSKAP BAHASA RUANG PUBLIK:
DIMENSI SEJARAH, BAHASA, DAN HUKUM”
Pelindung
Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.
(Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)
Penasihat
Dr. Hurip Danu Ismadi, M.Pd.
(Kepala Pusat Pembinaan)
Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S.
(Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan)
Penanggung Jawab
Dr. Maryanto, M.Hum.
(Kepala Bidang Pengendalian dan Peghargaan)
Ketua Pelaksana
Hidayat Widiyanto, S.S.
(Kepala Subbidang Pengendalian)
Penyunting
Dr. Maryanto, M.Hum.
Drs. S.S.T. Wisnu Sasangka, M.Pd.
Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum.
Hidayat Widiyanto, S.S.
Sekretariat
Drs. Isdiarto
Dra. Yenida
Arvynda Permatasari, S.Pd.
Mahfuz Imam, S.Pd.
Saefu Zaman, S.Pd.
Ajeng Rahayu Tjaraka, S.Hum.
ii
KATA PENGANTAR
iii
telah runtuh. Keruntuhan simbolik negara bangsa seperti itu tengah terjadi
oleh karena agenda globalisasi dan kemajuan teknologi informasi serta
komunikasi yang telah diproyeksi sebagai modernisasi era Revolusi Industri
4,0.
Dari peristiwa Solo ke era revolusi industri itu masih terbentang
peluang untuk mewujudkan kembali semangat dan komitmen berbahasa
Indonesia. Untuk itu, atas terselenggaranya Semiloka Pengutamaan Bahasa
Negara di Surakarta, kami mengucapkan terima kasih kepada para pemakalah
yang telah menyumbangkan pikiran dan mempresentasikan makalahnya serta
pihak-pihak yang membantu pelaksanaan semiloka ini. Secara khusus,
ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum., atas arahan
persiapan dan pelaksanaan kegiatan, dan kepada Rektor Universitas Sebelas
Maret, Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., atas kesediaan untuk memfasilitasi
pelaksanaan kegiatan semiloka ini.
Akhirnya, kami berharap agar semiloka tahun 2018 ini dapat
dilaksanakan kembali secara rutin pada tahun-tahun yang akan datang untuk
melanjutkan dan memperkuat komitmen awal berbahasa Indonesia yang
dibangun di kota Solo delapan puluh tahun yang lalu. Saran dan kritik demi
kesempurnaan prosiding ini sangat dinantikan.
iv
PENGANTAR EDITOR
Editor
vi
DAFTAR ISI
BAHASA NEGARA................................................................................... 15
vii
Gunawan Widiyanto, PPPPTK Bahasa, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan
Geliat Aksara dan Bahasa Ganda dalam Papan Nama Jalan di Indonesia ... 86
Fajar Erikha, Universitas Indonesia
viii
Degradasi Bahasa Indonesia di Daerah Wisata.......................................... 162
Siti Raudloh, Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat
x
Revitalisasi Sejarah Bahasa Indonesia sebagai Upaya Memperkuat Jati Diri
Bangsa di Era Milenial............................................................................... 354
Istifatun Zaka, Universitas Negeri Yogyakarta
Kondisi Bahasa dan Sastra di Era Penjajahan sebagai Refleksi Implementasi
Undang-Undang Kebahasaan Republik Indonesia..................................... 364
Hary Sulistyo, Universitas Sebelas Maret
xii
GELIAT AKSARA DAN BAHASA GANDA DALAM PAPAN NAMA
JALAN DI INDONESIA
Fajar Erikha
Applied Social Psychology Research Daya Makara Universitas Indonesia
Abstrak
Pada mulanya, studi bahasa lebih banyak berfokus pada objek lisan semata.
Namun, perkembangan mutakhir memperlihatkan bahwa bahasa dengan
wujud tulis telah menjadi objek yang menarik dan dilegitimasi dengan kajian
lanskap linguistik atau populer dengan istilah LL (Lilis dan McKinney,
2013). Makalah ini mendokumentasikan perkembangan LL dalam konteks
Indonesia, khususnya dalam ranah odonimi atau nama jalan, baik dalam
aspek praktis ataupun akademis. Penulis mengeksplorasi fenomena
pemakaian nama ganda yang meliputi aksara dan bahasa ganda. Meskipun
Yogyakarta telah menjadi pionir dalam ikhtiar ini, sejumlah kota di Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi, Bandung, Yogyakarta, dan Pekanbaru. Melalui
pendekatan LL, penulis menganalisis fakta linguistik di ruang publik yang
diimplementasikan oleh pemerintah kota masing-masing. Selaras dengan
penjelasan Landry dan Bourhis (1997), penggunaan aksara-bahasa ganda
tersebut tidak hanya diartikan sebagai fungsi informasional semata tetapi
juga sebagai simbol politik, kuasa, dan identitas budaya.
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Dalam satu dekade ini kita dapat melihat penamaan jalan di sejumlah kota di
Indonesia menggunakan bahasa dan aksara setempat. Di Pulau Jawa sendiri,
kota-kota yang sudah mulai memperlihatkan fenomena ini seperti
Yogyakarta, Surakarta (Solo), Bandung, dan Cirebon. Yogyakarta sendiri
telah menerapkan aturan ini sejak 1922 seperti yang tertuang dalam Rijsblad
pemerintah masa itu (Gupta, Handayani, Harnoko, & Yuliani, 2014). Tidak
hanya itu, di luar Pulau Sumatera kita dapat melihat penerapan aksara-bahasa
ganda pada papan nama jalan di Kota Palembang menggunakan aksara
86
palembang dari bahasa palembang, sedangkan bahasa arab melayu dengan
aksara arab gundul juga digunakan di Kota Pekanbaru. Selain itu, di Sulawesi
Selatan juga terapat penamaan nama jalan menggunakan aksara lontara yang
merupakan bahasa bugis.
Fenomena di atas bisa saja hanya merupakan puncak gunung es yang
terlihat dan terdapat lebih banyak lagi di daerah-daerah lain di Indonesia.
Bagaimanapun ini menjadi hal yang menarik karena menjadi cakupan
eksistensi dan penggunaan bahasa-bahasa lokal pada ruang publik.
Meminjam pernyataan Benjamin (1999: 522) bahwa through its street
names, the city is a linguistic cosmos.
Dalam konteks Indonesia, studi tentang penggunaan bahasa pada ruang
publik khususnya pada nama tempat telah dilakukan oleh Erikha (2017)
terkait bagaimana isu pengubahan nama-nama jalan di Yogyakarta telah
memantik respons dukungan hingga penentangan dari warganet media sosial
Kaskus. Temuannya ialah bagaimana nama-nama jalan memiliki ikatan kuat
dengan penggunanya, baik ikatan keterpakaian dan juga ikatan psikologis.
Dengan demikian, pengubahan nama-nama jalan telah menjadi isu yang tidak
sederhana karena kognisi manusia membutuhkan usaha lebih untuk
menyesuaikan pembaruan atas pangkalan data yang terdapat di otak
(leksikon mental) (lihat juga Erikha, 2018).
Selanjutnya, Erikha (in press) juga telah membahas bagaimana
penggambaran lanskap linguistik pada nama-nama jalan utama (râjamârga)
di Yogyakarta. Dalam studi ini juga ditelusuri apa yang menjadi latar
penggunaan aksara hanacaraka dan bahasa jawa pada jalan-jalan tersebut.
Disebutkan juga bahwa meskipun terdapat penulisan dan penamaan yang
diberlakukan pemerintah, ditemukan juga variasi penulisan pada papan-
papan reklame pada sepanjang objek kajian.
Dalam makalah ini, penulis hendak menelisik bagaimana peran bahasa
lokal pada ruang publik, khususnya pada papan nama jalan. Ini juga dapat
dikaitkan dengan semakin banyaknya upaya artikulasi atas budaya lokal di
87
banyak etnis atau budaya di Indonesia. Apa pun isu yang melatari, apakah
upaya pengembalian budaya yang sempat hadir dan mendominasi, apresiasi
dan bentuk akulturasi satu budaya dengan budaya lainnya atau motif
pragmatis seperti ekonomi dan pariwisata menjadikan landasan studi ini.
Lebih lanjut, isu ini dapat berujung pada pengukuhan pemakaian bahasa dan
aksara lokal dengan tujuan preservasi dan revitalisasi warisan budaya
setempat.
b. Tinjauan Pustaka
Guna memberikan dasar konseptual yang memadai/ kuat, penulis akan
menggunakan dua konsep, yaitu onomastik dan lanskap linguistik.
1) Onomastik
Onomastik merupakan disiplin yang mengkaji nama dan penamaan (Lauder
dan Lauder 2015; Hough, 2016). Pada awalnya, kajian ini juga beririsan
dengan etimologi, kajian yang menelisik asal kata, termasuk juga asal sebuah
nama. Dalam perkembangannya, ihwal nama juga dapat digali tidak hanya
melalui makna yang melekat atau makna asal, tetapi juga melalui makna
yang berkembang di dalam masyarakat. Van Langendonck (2007) juga
menelisik bagaimana nama dapat dilekati makna pragmatik hingga
pengategorian makna berdasarkan aspek denotasi, konotasi, hingga makna
presuposisional seperti makna kategorial, makna asosiatif, dan makna emotif
(Nyström, 2016).
Pembagian onomastik secara umum dapat dilihat melalui dua hal: nama
tempat (toponimi atau toponomastik) dan nama orang (antroponimi atau
antroponomastik). Dalam makalah ini, nama tempat yang dikaji adalah nama
jalan yang di dalam onomastik disebut odonimi. Oleh karena nama jalan
hadir dalam papan di bagian-bagian jalan lalu lintas, dapat disebut juga
sebagai fakta linguistik atas interaksi antara bahasa, ruang, dan tempat.
88
2) Lanskap Linguistik
Dalam ranah sosiolinguistik, sedikit sekali perhatian yang diberikan pada
fakta linguistik berupa tulisan dan seringkali lebih berfokus pada bahasa lisan
semata (Puzey, 2016). Komentar yang kurang lebih sama juga dikemukakan
oleh Lilis dan McKinney (2013)bahwa perihal tulisan dan kebertulisan
merupakan objek yang ditolak untuk diteliti karena berada di luar cakupan
bahasa yang benar (preskriptifisme). Oleh karena itu, LL hadir dan menjadi
penyeimbang dalam mendudukkan peran bahasa tulis yang selanjutnya
menjadi hal yang tidak kalah penting dalam kajian bahasa. Lebih lanjut Lilis
dan McKinney menjelaskan dalam tulisan sebagai produk atau artefak yang
dihasilkan, dibaca atau dilihat; sedangkan kebertulisan (fitur penulisan
seperti huruf, simbol, karakter, warna, bentuk) adalah bagian dari lanskap
semiotik sosial yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari (meskipun
dengan cara yang berbeda) dalam kehidupan sehari-hari. Lilis dan McKinney
juga menyinggung bahwa bahasa tulisan tidak selalu berkaitan dengan
bahasa yang benar. Berikut ini beberapa cakupan objek tulisan yang
selanjutnya menjadi cakupan kajian LL: 1) melibatkan penandaan atau
membuat tanda yang mewakili suatu hal; 2) tulisan pada dasarnya sebagai
semiotik yang melibatkan simbol dan tanda-tanda serta termasuk juga
sebagai bahasa verbal; 3) telah menjadi material atau alat yang digunakan
oleh suatu kebudayaan dalam praktik kesehariannya (apakah materi di alam,
terbuat dari berbagai jenis barang dan alat); 4) tulisan juga dapat merupakan
teknologi yang mengaitkan antara bahasa dan semiotik dan menjadi alat
komunikasi para penggunanya; 5) tulisan dapat melibatkan multimodal
sebagai suatu fenomena yang terdiri atas aspek verbal dan visual; 6)
merupakan praktik sosial, yang secara intrinsik terdiri atas sejumlah aspek
seperti hubungan kuasa, kebutuhan serta perebutan kepentingan sosial.
Saat membahas lanskap linguistik sebagai konsep, kita dapat
memulainya melalui artikel miliki Landry dan Bourhis (1997) yang berjudul
Linguistic landscape and ethnolinguistic vitality: An empirical study. Artikel
89
ini telah dikutip oleh sejumlah sarjana yang kemudian mengkaji secara serius
konsep LL (lihat Shomamy dan Gorter, 2008; Shomamy, Ben-Rafael, dan
Barni, 2010; Blommaert, 2013; dan Puzey, 2016). Landry dan Bourhis (1997,
p. 25) juga telah menyatakan keberfungsian LL dalam kutipan sebagai
berikut:
The language of public road signs, advertising billboards, street names,
place names, commercial shop signs, and public signs on governmental
buildings combines to form the linguistic landscape of given territory,
region, or urban agglomeration.
Puzey (2016)juga menjelaskan bahwaLL termasuk kajian lintas disiplin yang
menangkap fenomena interaksi satu bahasa dengan bahasa lain di dalam
ruang publik. Konsep ini juga bersentuhan dengan konsep lain, seperti
sosiolinguistik, multilingualisme, kebijakan bahasa, geografi budaya,
semiotik, sastra, pendidikan, dan psikologi sosial.
Bahasa dalam kehidupan sehari-hari digunakan dalam ragam lisan dan
tulisan. Meskipun terdapat beda ragam media kemunculannya, hal ini tetap
memungkinan untuk dikaji, tak terkecuali bahasa-bahasa yang hadir di
sejumlah media dalam sebuah lanskap. Kita dapat melihat bagaimana
eksistensi dan penggunaan bahasa di ruang publik oleh individu hingga
kelompok ataupun institusi. Merujuk pada apa yang dibahas Landry dan
Bourhis di atas, seorang linguis tentunya dapat melihat bagaimana bahasa
sebagai sebuah piranti komunikasi berinteraksi dengan pemakainya. Hal-hal
yang sederhana seperti papan pengumuman, iklan yang ditempelkan pada
tembok di halte, papan nama jalan, spanduk bahkan stiker bermuatan tulisan
yang dilekatkan pada sebuah kaca mobil pun dapat menjadi objek kajian ini.
Berawal dari hal-hal sederhana tersebut kita justru dapat melihat bagaimana
bahasa eksis dan berinteraksi dengan bahasa-bahasa lain dalam sebuah ruang.
Selanjutnya Landry dan Bourhis mengemukakan bahwa LL
memiliki dua fungsi: fungsi informasional dan fungsi simbolik. Fungsi
informasional berarti bahasa pada lanskap tersebut menjadi penanda yang
90
membedakan area geografis masyarakat yang memberikan bahasa pada suatu
LL. Singkat kata, bahasa memainkan perannya sebagai penanda wilayah
sebuah kelompok dan pembeda atas wilayah penduduk lain yang berbeda
bahasanya. Misalnya, terdapat papan informasi yang bertuliskan Nyok
bareng-bareng kita jaga Jakarte biar bersih menginformasikan seruan
kepada masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di sekitarnya untuk
menjalankan hidup yang bersih dan tidak membuang sampah pada
tempatnya.
Selain fungsi informasional, terdapat pula fungsi simbolis. Jika kita
berbicara tentang simbol biasanya akan lekat dengan representasi yang
melekat pada kelompok atau masyarakat yang ada di sekitar objek LL.
Terkait dengan contoh papan informasi di atas, secara nyata digambarkan
bahwa pada lanskap tersebut hadir dan bermukim masyarakat etnis Betawi,
tidak peduli mereka sebagai mayoritas ataupun minoritas. Penggunaan
bahasa Betawi pada papan tersebut dilakukan secara sadar oleh pembuat
papan, sebut saja pemerintah Jakarta Timur. Pemkot Jaktim mahfum bahwa
dalam konteks ini, diperlukan pendekatan budaya melalui bahasa lokal guna
menyampaikan sebuah pesan ataupun imbauan. Pemakaian bahasa betawi
diharapkan dapat menyentuh pesan lebih cepat dan efektif karena
bersentuhan langsung dengan identitas yang dimiliki etnis Betawi yang
bermukim di sekitarnya.
c. Metodologi Penelitian
Pada dasarnya makalah ini merupakan sajian sederhana tentang penerapan
LL dalam studi toponomastik, khususnya pada aspek odonimi. Puzey (2016)
menjelaskan bahwa penggunaan foto menjadi metode yang krusial dan
sangat mudah dalam menangkap penggunaan bahasa dalam ruang publik.
Apalagi kemajuan teknologi memungkinkan peneliti untuk menggunakan
kamera saku dengan resolusi yang baik dan terhubung dalam telepon
91
genggam. Namun demikian, keterbatasan lainnya membuat penulis
memanfaatkan foto dari sejumlah media daring.
d. Isi
Pada bagian ini dijelaskan penerapan penamaan jalan menggunakan aksara
dan bahasa ganda di Bandung, Yogyakarta, dan Pekanbaru,
Bandung
Jalan Braga merupakan salah satu jalan penting di Kota Bandung. Dahulunya
jalan ini bernama Jalan Pedati karena kala itu pedati merupakan sarana
angkutan utama. Permadi (n.d) menjelaskan nama Pedati berubah menjadi
Baragaweg yang dahulunya weg bermakna jalan dalam bahasa Belanda.
Baraga merupakan nama dari kelompok sandiwara yang didirikan oleh Pieter
Sijthoff dan sering melakukan pementasan pada kawasanan ini dulunya.
Selain itu, terdapat juga Beraga Kaget, yaitu pasar malam dan pertunjuan
seni.
92
Papan ini menggunakan aksara sunda yang mengikuti nama Braga.
Sebenarnya tidak hanya Braga saja yang dibuatkan bahasa-aksara Sunda
tetapi juga diterapkan pada jalan yang lain seperti Jalan Wastu Kencana,
Jalan Perintis Kemerdekaa, Jalan Trunojoyo, Jalan Sultan Agung, dan
sebagainya. Identifikasi jalan ini memperlihatkan konstruksi simbolis suatu
ruang dan pemakaian bahasa guna memediasi hubungan antara sosial dan
politik. Ini diperkuat dengan pernyataan Ben-Rafael et. al (2006, 7) bahwa
LL refers to linguistic objects that mark the public space.Identitas kesundaan
juga diperkuat oleh imbauan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah
Daerah Jawa Barat No 14 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Peraturan No
5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.
Yogyakarta
93
menyambut tamu-tamu kerajaan yang hendak memasuki kompleks keraton.
Nama jalan ini ditulis menggunakan dua aksara: latin dan hanacaraka, dan
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Berdasarkan peranan informasional konsep LL Landry dan Bourhis
(1997) aksara hanacaraka mempunyai kandungan yang serupa dengan
penulisan pada aksara latin. Tentunya, hanya penutur yang mempunyai
kompetensi bahasa Jawa saja yang mengerti akan informasi papan nama jalan
tersebut. Peranan simbolis mengindikasikan bahwa elemen ini hidup di
lanskap Yogyakarta. Hanacaraka telah menjadi identitas kesukuan yang
ingin diekspresikan masyarakat dan pemerintah setempat.
Pada elemen makna, Margautama (variasi Margo Utomo)
bermakna jalan (margi/mȇrgi) dan utama yang berarti utama. Dengan kata
lain, jalan ini dimaknai sebagai jalan keutamaan (Priyono, Pratiwi,
Tanudirjo, dan Suwito (2015). Pada aspek pragmatis, nama jalan ini terkait
dengan filosofi Sangkan Paraning Dumadi yang diciptakan oleh raja
pertama keraton, Pangeran Mangkubumi. Adapun makna filosofi Margo
Utomo, yaitu manusia yang diminta untuk mengerti akan keutamaan dan
berjalan di atas nilai-nilai yang utama dalam hidupnya.
Pekanbaru
94
Lain yang terdapat pada Pulau Jawa, lain pula di Pulau Sumatera. Pekanbaru
merupakan bagian dari Provinsi Riau dan pada lanskap ini, sejak dulunya
hidup bahasa melayu yang menggunakan aksara jawi (arab gundul) dalam
tuturan tulisan (lihat Snedon, 2003). Aksara ini sangat umum digunakan pada
zaman dahulu. Namun, para sarjana Belanda mengkritiknya karena
ketidaksistematisan dalam pemakaian, ketidakcocokan terhadap fonologi
bahasa Melayu, serta faktor militansi Islam terkait. Ketiga poin ini membuat
diberlakukannya standardisasi ejaan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
akhir abad ke-19.
Revitalisasi aksara jawi dalam konteks kemelayuan Riau juga
mendorong pemerintah lokal menetapkan mata ajar bahasa Arab Melayu
sebagai muatan lokal sejak 1990-an. Pencantumannya pada papan-papan
nama jalan di Pekanbaru menjadikannya sebagai reportoar visual. Menurut
pengalaman Blommaert (2013), dalam kasus LL di London Chinatown,
terdapat sangat banyak papan jalan serta iklan komersial dengan aksara
cyrillic. Tentunya aksara dan bahasa ini hanya dapat dimengerti oleh,
misalnya seorang yang berasal dari Tiongkok.
e. Simpulan
Berdasarkan ulasan di atas, kita dapat melihat bagaimana perkara bahasa di
ruang publik tidak sesederhana rangkaian kata yang berguna untuk penunjuk
arah dan memudahkan mobilisasi dari satu titik ke titik yang lain. Apa yang
disebutkan Landry dan Bourhis (1997) telah menjadi fondasi atas
perkembangan LL. LL dalam ruang publik menjadi sebuah kontestasi antara
satu bahasa dengan bahsasa lain. Keberagaman dan multilingualisme ini
mencerminkan eksistensi identitas etnisitas. Isu etnisitas menjadi kian
menarik karena di tengah gencarnya globalisasi dari luar membuat nilai-nilai
adat-istiadat perlu memilih sikap: bertahan, berusaha menyesuaikan diri, atau
tergerus. Keadaan ini mendorong upaya penguatan dan pengekspresian dari
etnis masing-masing terhadap dunia luar. Oleh karena itu, LL juga dikaji oleh
95
sarjana semiotik dan meneropong eksistensi dan interaksi tanda dalam ruang
bersama. Analisis wacana juga dapat digunakan untuk menggali apa motif
atas penamaan dan pengguanan sebuah nama, alih-alih nama sebelumnya
ataupun nama yang lain (lihat Scollon dan Scollon 2003). Lebih lanjut,
terdapat juga fenomena tarik menarik antara pihak mayoritas (biasanya
pemerintah sebagai pemegang kendali politik dan kekuasaan) dan minoritas
agar pihak minoritas mendapat ‘tempat’ dan tidak dimarjinalkan. Isu
hegemoni ini pun (lihat Berg,dan Vuolteenaho, 2009; Puzey dan Kostanski,
2016; Rose-Redwood, Alderman, dan Azaryahu, 2018).
Selaras dengan analisis pada tiga papan nama jalan di atas, kita dapat
melihat bagaimana nama jalan mencerminkan idenitas kejawaan, kesundaan,
dan kemelayuan. Upaya ini hanya menjadi contoh sederhana jika kita
bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah lainnya. Ini
belum termasuk dengan penggunaan aksara ataupun bahasa asing yang juga
telah ‘dilegitimasi’ oleh pemerintah. Misalnya, penggunaan aksara hangul
pada papan nama jalan di Bau Bau, Sulawesi Tenggara; penggunaan bahasa
Belanda pada nama-nama jalan di Kota Malang, Jawa Timur; penggunaan
aksara Tiongkok pada papan nama jalan di Bagansiapiapi, Riau; atau yang
akan bergulir pada Asian Games 2018 ini, yaitu rencana pembuatan nama
ganda dengan penambahan bahasa Inggris pada sejumlah nama jalan di Kota
Palembang guna memudahkan para atlet yang hilir mudik selama kegiatan
itu berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum pemerintah yang
memadai/ kuat guna menjaga eksistensi bahasa lokal yang berujung pada
upaya preservasi. Studi ini masih membutuhkan revisi hingga pengembangan
lebih lanjut, dengan bantuan akademisi dari disiplin lainnya, seperti disiplin
ekonomi dan planologi sehingga naskah kebijakan yag akan dibuat
pemerintah dapat menjadi kian paripurna, tanpa mengesampingkan bahasa
Indonesia dan tetap mengakomodasi bahasa lokal ataupun asing.
96
Apresiasi
Terima kasih yang tak terhingga kepada Santy Yulianty atas kesedian
penggunaan foto miliknya sebagai ilustrasi pada makalah ini.
97
DAFTAR PUSTAKA
Carey, Peter, Jacobus Koos Noorduyn, and M.C. Ricklefs. Asal Usul Nama
Yogyakarta dan Malioboro. Edited by Peter Carey. Depok:
Komunitas Bambu, 2015.
Erikha, Fajar. "Nama Jalan Baru versus Nama Jalan Lama di Kota
Yogyakarta: Sebuah Penelusuran Toponomastik." Seminar
Internasional Leksikologi dan Leksikografi: Teknologi, Bahasa dan
Budaya dalam Penelitian Leksikologi dan Leksikografi. Depok:
Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Departemen Linguistik
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017.
Erikha, Fajar. Konsep Lanskap Linguistik pada Papan Nama Jalan Kerajaa
(Râjamârga): Studi Kasus Kota Yogyakarta. Paradigma Jurnal
Kajian Budaya. In Press.
Erikha, Fajar. 2018. ames and Cultural Heritage: Case Study of Renaming of
Streets in the City of Yogyakarta. Manuscript in preparation for
Onoma Journal.
98
People, Perceptions, and Power , by Laura Kostanski and Guy Puzey,
129-165. Bristol : Multilingual Matters, 2016.
Priyono, Umar, Dian Lakshmi Pratiwi, Daud Aris Tanudirjo, and Yuwono
Sri Suwito. Buku Profil Yogyakarta City of Philosophy. Yogyakarta:
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta , 2015.
Scollon, Ron, and Wong Suzie Scollon. Discourse in Place. Language in the
Matherial World. Abingdon: Routledge, 2003.
Sneddon, J. (2003). The Indoneisa Language: its history and role in modern
society. Canberra: UNSW Press Book.
99