Anda di halaman 1dari 8

Lakon Skenario Kehidupan dalam Naskah Drama Maling Karya Auf Sahid

Manusia bak lakon yang memainkan drama kehidupan sendiri dalam dunia yang hanya sekejap mata
ini. Dalam dunia yang tak tahu kapan berakhirnya ini manusia merupakan lelakon dari kehidupan yang
bak pelangi berwarna-warni kemudian bak badai petir yang menyambarnya sewaktu-waktu tanpa
pamit permisi tanpa kata-kata. Sebagai lakon manusia hanya pelaku yang bermain di atas kisaran
waktu yang terus berputar dengan tema atau jalan yang sudah dikarang penciptanya. Pelaku dalam
kehidupan yang sudah ada ceritanya hanya bermain sebagai penghias atau mengisi kegiatan untuk
lebih hidup yang tak berbatas waktu. Sebagai pelaku hanya bisa patuh dan berjalan sesuai alur yang
sudah diciptakan tanpa manusia bisa keluar dari lintasan kehidupannya. Skenario penuh cerita indah,
manis, pedih, siksa, nyata, maya diciptakan untuk lakon kehidupan. Skenario itu berjalan sangat
terkendali bak masinis duduk di atas kereta yang melaju dengan jalan satu rel. Satu rel yang berarti
mulus tanpa ada kendali dan tidak membuat ia berbelok-belok ke segala arah dengan satu relnya. Ia
hanya merasakan satu rasa saja tanpa ada silang-silang rel yang lain untuk bisa mendahului. Lakon
manusia bukanlah seperti kereta yang berjalan dalam satu rel. ia melakonkan banyak adegan yang
sudah diciptakan dengan segala suasana yang terpampang dalam skenario. Skenario yang penuh
dengan beragam rasa tanpa manusia bisa melawan walaupun ia berontak dengan yang harus
dilakonkannya. Lakon kehidupan yang sebenarnya bukan dirinya dilampiaskan pada dirinya. Lakon
yang memberatkan hidupnya harus dimainkan dengan segala perannya tanpa ada berontak
kehidupan walaupun ia tidak ingin seperti yang sudah digariskan tetapi ia harus menerimanya karena
manusia adalah lakon skenario kehidupan.

Drama kehidupan manusia sungguh tak berbatas dalam secarik kertas, lembaran buku ataupun
setumpuk arsip dalam map. Sebagai lakon manusia mencoba mewujudkan melalui kata imajinatif
skenario dramanya. Kata yang menjadi kalimat dipenuhi dengan dialog-dialog imajinasi diperankan
manusia sendiri seperti ia bermain dalam dramanya sendiri. Skenario dituliskan untuk melukiskan
tokohnya lengkap dengan segala alur dan konflik dirangkai dengan kata yang indah dan imajinatif dan
sarat akan estetika. Skenario pengarang dalam dialog mampu membawa penikmat sastra menikmati
cerita yang disuguhkan lengkap dengan maksud yang hendak disampaikan. Untuk mengungkapkan
makna dibalik cerita yang tertulis pada dialog-dialog pengarang memasukan unsur-unsur seperti
tokoh, alur, latar dan tema. Inti dari cerita atau pesan dapat dirasakan penikmat sastra melalui
penggambaran tokoh dalam dialog sampai pada pemaknaan penikmat karyanya. Karena sudah
dituliskan pada skenario kehidupan manusia harus menjalani hidupnya sesuai dengan skenarionya itu
walaupun ia tidak bertindak tetapi ia harus menerima kenyataan yang mungkin pahit. Seperti itulah
lakon drama manusia dalam kehidupan dikendalikan oleh pencipta atau pengarangnya.

Lakon skenario ini seperti terjadi pada tokoh kehidupan Maman dalam drama yang berjudul Maling
karya Auf Sahid. Dalam naskah drama itu Auf Sahid menceritakan Maman yang sebenarnya bukan
maling tetapi ia dituduh maling oleh warga kampungnya karena tindak tanduknya yang aneh dan tidak
seperti warga lainnya. Tokoh yang terdapat dalam naskah drama Maling karya Auf Sahid ada empat
orang, yaitu Maman, Lurah, maling, warga kampung laki-laki dan perempuan. Tokoh Maman
merupakan tokoh utama yang dituduh maling walaupun sebenarnya ia bukan maling. Tokoh utama
yang kedua adalah maling. Ia memerankan sebagai maling yang mencuri barang-barang warga
kampungnya. Tokoh lurah merupakan tokoh pendukung yang berperan sebagai orang yang ingin
untung sendiri karena kedudukannya sebagai lurah serta bijaksana dan taat pada aturan. Warga
kampung laki-laki dan perempuan juga merupakan tokoh pendukung yang berperan sebagai orang
yang kemalingan dan mencari maling tersebut.
Penokohan dalam naskah drama Maling ini yaitu tokoh maling digambarkan orang yang licik, jahat,
pintar bersembunyi dan suka mencuri barang milik orang lain. Hal ini ada pada kutipan dialog berikut

Maling : (keluar dari tempat persembunyiannya, menodongkan celurit) Mas, serahkan


bungkusan itu.

Maman : Siapa sampeyan?

Maling : Tidak perlu banyak bicara. Serahkan saja bungkusan itu.

Maman : Waduh, mas. Ini tadi sulit dapatnya. Saya saja tadi hampir jatuh, digigit semut, dikejar
tawon, kecebur sungai....

Maling : Hei! Aku tidak mau mendengar curhatanmu. Serahkan! (mengacungkan senjata)

Maman : Iya, iya. (menyerahkan bungkusan.) Ini juga, Mas?

Maling : Ndak usah. Buat kamu aja. (pergi)

Maman : (sambil menghabiskan mangga) Gila, siapa itu tadi? Masak minta mangga saja pake
senjata? Ah, mungkin istrinya lagi ngidam. Atau mungkin dia yang ngidam? Aneh, gitu saja pake
nodong. Memang jaman sekarang ini orang-orang pada aneh. Masalah sepele saja pakai kekerasan,
maksa. Atau kalau tidak, nyogok nyuap. Padahal kalau dia mau usaha sedikit saja pasti dapat. Aku saja
rela manjat pohon, digigit semut, dikejar tawon, demi mendapat mangga ini. Tapi dia, seenaknya
mengambil jerih payah orang lain. Serahkan bungkusan itu, hah! Anak kecil ingusan juga bisa…

(tiba-tiba Maling masuk sambil melemparkan mangga pada Maman)

Maling : Hei! Mana isinya tadi?

Maman : Apa toh?

Maling : Mana isi kresek tadi.

Maman : Lha ini kamu lempar. Piye toh?

Maling : Bukan itu.

Maman : Mana lagi?

Maling : Yang asli.

Maman : Yang asli apa?

Maling : Isi yang asli!

Maman : Iya, apa?

Maling : Uang kelurahan!

Penokohan pada tokoh Maman digambarkan lelaki yang lugu, apa adanya dan mudah dibohongi orang
lain, maka dari itu ia malah dituduh sebagai malingnya. Hal ini ada pada kutipan berikut

Maman :Aduh, sialan. Ini gara-gara mangga curian. Pasti yang punya nggak ikhlas. Mana sih
kunciku? Aduh, gawat. Aduh, sudah diujung tanduk nih. Eh, Mas. Jangan diam saja. Tolong, mas.
(Maling membantu membukakan pintu rumah Maman)

Maman : Makasih ya mas.

Maling : Sama-sama.

Maman : Kok pinter sampeyan, Mas? Kayak maling sa... Maliiiiing... maliiiiing....

(Si Maling langsung menutup pintu dan menguncinya dari luar. Maman masih berteriak-teriak, Maling
panik, dan orang-orang terdengar berdatangan. Si Maling bersembunyi di semak-semak. Warga
masuk)

Lurah : Man, mana malingnya? Buka pintunya.

Maman : Aduh, (terdengar suara kentut) bocor.

Lurah : Man, mana.. bau apa ini?

Maman : Tolong Pak... Pintunya dikunci (terdengar suara kentut berkali-kali)

Seseorang : Man, kamu mencret ya?

Maman : Toloooong, buka.

Penokohan pada tokoh lurah digambarkan orang yang ingin untung sendiri karena kedudukannya
sebagai lurah serta bijaksana dan taat pada aturan. Hal ini ada pada kutipan berikut

Lurah : Sampeyan ini bagaimana? Baru begini saja capek. Ayo cepat! Sampeyan dan mbak
Seseorang ke sana. Mas Seseorang cari yang sebelah sana.

Seseorang : Lha Bapak?

Lurah : Saya jaga di sini.

Warga : Woo...

Seseorang : Sampeyan kok enak?

Lurah : Lho, ini juga bagian dari tugas. Ayo cepat. Nanti malingnya keburu jauh. Berangkat!

(warga berpencar, musik mulai fade out)

Lurah : (menghela nafas) Ada-ada saja. Pencurian di desa ini kok ndak ada habisnya. Mulai
dari kehilangan sandal, rantang isi makanan, pakaian, sampai kendaraan. Seminggu yang lalu
sandalnya Mbak Surti hilang. Katanya, sandal itu mahal sekali harganya. Beli di luar negeri. Lalu dia
lapor ke saya, minta tolong untuk menggerakkan seluruh jajaran Hansip mencarikan sandalnya. Sandal
saja beli di luar negeri. Mungkin itu kenang-kenangan dari majikannya saat jadi TKW dulu.

Lalu kemarin lusa, senter, pentungan termos kopi dan rantang makanan di pos Hansip hilang. Ya baru
ini ada Hansip kemalingan. Keterlaluan. Gara-gara itu, saya mulai habis isya sampai malam ikut muter-
muter mencari. Jadi ndak bisa lihat sinetron kesukaan saya. (pada bagian ini bisa disebutkan salah satu
judul sinetron yang sedang populer)
Nah, sekarang yang hilang malah lebih besar, uang kelurahan. Akhirnya mau tidak mau saya harus ikut
mengejar. Apalagi tiga hari lagi Pak Camat mau datang melihat apakah uang bantuan dari Pemda
sudah diterima dan digunakan atau belum. Ini bisa kacau kalau ketahuan dicuri. Jabatan saya sebagai
Lurah bisa terancam.

Benar-benar keterlaluan. Desa Suka Makmur kok banyak maling. Tidak cocok dengan namanya, Suka
Makmur. Siapa sih dulu yang punya ide nama Suka Makmur? Kalau begini terus, besok mau saya
usulkan saja ke Presiden. Namanya diganti menjadi Suka Maling. Jadi kalau banyak pencurian saya
tidak bakal disalahkan. Sudah sesuai dengan namanya.

Lurah : (masih di dalam panggung) Hei! Hei! Stoooop! Kembali! Apa-apaan kalian?

Seseorang : Mengejar maling, Pak.

Lurah : Tapi kenapa ke sana. Sini! Kembali ke sini!

(warga kembali)

Seseorang : Mau bagaimana Pak? Malingnya lari ke sana.

Lurah : Ya jangan dikejar.

Seseorang : Bukannya kita dari tadi ngejar maling, Pak?

Lurah : Iya, tapi kalau larinya ke luar daerah kita ya sudah, jangan dikejar.

Seseorang : Mau ke luar daerah, mau ke luar negeri, namanya maling ya harus dikejar, Pak. Apalagi
yang dicuri uang kelurahan, Pak.

Lurah : Lho, kamu ini bagaimana sih? Kita ndak bisa seenaknya saja melewati batas desa. Bisa
kacau.

Seseorang : Tidak bisa bagaimana? Bagaimana dengan uang kelurahan?

Seseorang : Benar, Pak. Ayo semuanya. Mumpung malingnya belum jauh. Kejaaar!

Lurah : Stooop!

Seseorang : Apalagi, Pak?

Lurah : Saya bicara belum selesai kok mau main kejar saja.

Seseorang : Pak, kalau kita terlalu banyak bicara kapan malingnya akan tertangkap?

Lurah : Begini Bapak-bapak, Ibu-ibu. Sebagai warga desa yang baik kita memang sudah
seyogyanya ikut membantu mengamankan desa. Salah satunya dengan cara ikut mengejar pencuri
seperti sekarang.

Seseorang : Nah, maka dari itu tidak perlu banyak bicara. Sekarang ayo kita kejar. Kejaaaar!

Lurah : Stooooop! Ini masih belum selesai! Dasar orang tidak berpendidikan.

Seseorang : Pak, kita semua memang hanya lulusan SD dan hanya Bapak yang sarjana. Tapi di
mana-mana kalau hanya urusan seperti ini tidak perlu pendidikan tinggi. Ya, kan?

Warga : Betul.

Lurah : Nah, kalau begitu apa sampeyan tahu kalau mengejar maling seperti ini ada aturannya?
Seseorang : Mana ada?

Lurah : Lho, ada.

Seseorang : Apa?

Lurah : Dalam Perdes pasal 15 ayat 10 butir (e) tahun 1965 telah dijelaskan bahwa: Kegiatan
pengejaran pencuri, jambret, rampok dan atau semacamnya hanya boleh dilakukan oleh warga dan
atau perangkat desa sebatas lingkungan desa mereka sendiri.

Seseorang : Nah, kalau malingnya lari keluar desa bagaimana?

Lurah : Itu sudah diatur dalam pasal dan ayat yang sama pada butir (k), bahwa: Jika pelaku yang
telah dijelaskan pada butir (a) melarikan diri hingga ke luar batas desa maka warga dan atau perangkat
desa wajib membuat surat ijin pengejaran pada perangkat desa yang dimaksud hingga disetujui oleh
perangkat desa yang dimaksud.

Seseorang : Wah, bisa berbulan-bulan, Pak.

Seseorang : Padahal tinggal sedikit lagi kita bisa menangkap maling yang selama ini sudah
meresahkan desa.

Warga : Betul.

Lurah : Mau bagaimana lagi? Ini sudah aturan.

Seseorang : Siapa sih yang membuat aturan merepotkan seperti itu?

Lurah : Saya sendiri juga kurang tahu. Tahun pembuatannya saja 1965. Saya masih di dalam
perut.

Alur yang terdapat dalam naskah drama Maling karya Auf Sahid adalah alur maju yang ceritanya runtut
dari awal hingga akhir. Di awal cerita diceritakan salah satu warga kampung kemalingan kemudian
warga dan pak lurah mencari maling tersebut.

Lurah : Cari sampai dapat! Tadi larinya ke arah sini.

Seseorang : Tapi kok hilang, Pak.

Lurah : Ya kalau begitu pasti ada di sekitar sini. Nggak mungkin jauh. Begini saja, kita berpencar
saja.

Seseorang : Aduh, Pak, capek.

Lurah : Sampeyan ini bagaimana? Baru begini saja capek. Ayo cepat! Sampeyan dan mbak
Seseorang ke sana. Mas Seseorang cari yang sebelah sana.

Seseorang : Lha Bapak?

Lurah : Saya jaga di sini.

Warga : Woo...

Seseorang : Sampeyan kok enak?

Lurah : Lho, ini juga bagian dari tugas. Ayo cepat. Nanti malingnya keburu jauh. Berangkat!
Kemudian muncul Maman yang dituduh sebagai maling karena waktu warga mencari maling ia tidak
kelihatan batang hidungnya.

Seseorang : Eh, Pak. (sambil menunjuk ke rumah)

Seseorang : Iya, Pak. Jangan-jangan...

Lurah : …eits, jangan gegabah dulu.

Seseorang : Tapi ini kan rumahnya…

Lurah : …..iya, tapi jangan asal menuduh dulu.

Seseorang : Sudahlah, Pak. Pasti dia. Sekali maling tetaplah maling.

Lurah : Tenang, tenang dulu. Kita lihat baik-baik dulu. (mengetuk pintu rumah) Kulo nuwun…
Mas Maman… Mas Maman…. Mas Maman…. (hening)

Seseorang : Lho, bener kan, Pak?

Lurah : Bener apanya?

Seseorang : Ya pasti dia. Lihat dia sekarang pasti ketakutan di dalam.

Seseorang : Benar, Pak. Kita dobrak saja pintunya.

Semua warga : Ya, ya.. kita dobrak saja pintunya.

Lurah : Tenang, tenang dulu. Jangan ngawur.

Seseorang : Sudahlah, Pak. Nanti dia keburu kabur lewat belakang. Ayo dobrak saja.

Semua warga : Ya ayo… (mereka mengambil kursi kayu panjang di depan rumah dan akan digunakan
sebagai alat pendobrak)

Semua warga : Satu… dua…. Ti….

(Maman tiba-tiba muncul dari luar panggung)

Maman : Hoi, ada apa ini?

Lurah : Lho, Maman? (pada warga) He, bangkunya... Anu, Man, maaf. Tadi kita sedang mengejar
maling.

Maman : Lha terus kok pada nggrumbul di depan rumah saya ada apa?

Lurah : Tadi malingnya lari ke sekitar sini, jadi e..., kami mengejar ke sini dan e.... kebetulan
lewat rumahmu, jadi..

Seseorang : Jadi sekarang kamu ngaku saja Man. Mana hasil curianmu?

Maman : Curian? Curian apa? Lha wong aku dari WC umum kok?

Seseorang : WC umum? WC umumnya kan jelas-jelas rusak.

Maman : Eh, anu, sungai.

Seseorang : Sungai? Di sini mana ada sungai Man?


Seseorang : Alah, ngaku saja, Man. Sekali maling tetap saja maling.

Maman : He, mulutmu nggak pernah disekolahkan ya? Ngomong seenaknya aja. Aku tadi dari
jalan-jalan kok.

Lurah : Tenang, tenang. Jangan ribut. Man, kamu ngaku saja dari mana?

Maman : Dari jalan-jalan, Pak. Suer!

Seseorang : Lha itu apa?

Maman : Mana?

Seseorang : Itu dibalik jaketmu.

Maman : Nih liat (sambil membuka jaket)

Seseorang : Di balik baju.

Maman : Ini (sambil membuka baju) Puas?

Seseorang : Lha itu apa? (sambil menunjuk buntelan dalam sarung Maman)

Seseorang : Buka sarungmu!

Maman : Ngawur! Ini aurat!

Seseorang : Pasti itu, Pak!

Lurah : Man, coba lihat isi bungkusan itu.

Maman : Wah, jangan Pak. Ini bukan milik umum, Pak.

Lurah : Sudah, keluarkan saja. Daripada kamu dikeroyok sama orang-orang.

Maman : Ampun, jangan! (menyerahkan bungkusan pada Lurah)

Lurah : (mengeluarkan sandal dari dalam bungkusan) Lho, punya siapa ini?

Seseorang : Lho, itu kan sandalku yang beli di luar negeri? Jadi kamu Man? Hah?

Lurah : Sudah, sudah. Kita tadi mau cari maling uang, bukan maling sandal.

Di akhir cerita diceritakan Maman harus menanggung akibat dari maling yang sebenarnya. Ia disangka
maling karena di rumahnya ditemukan barang-barang yang dicuri tetapi sebenarnya Maman dijebak
oleh maling itu.

Lurah : Man, Maman. (membuka pintu) Lho, ini malingnya!

(Warga masuk semua. Mereka keluar dengan membawa seseorang yang berpenampilan seperti
Maling. Yang lain membawa rantang, pakaian, pentungan, senter dan hasil “curian” lainnya yang ada
di dalam rumah Maman)

Seseorang : Akhirnya, kamu kena juga ya.

Seseorang : Jadi selama ini dia sembunyi di dalam rumah Maman.

Seseorang : Maman sialan. Jadi selama ini dia yang menyembunyikan maling ini.
Seseorang : Selain itu ternyata dia yang mencuri pakaian kita selama ini. Lihat ini, ini semua
pakaianku yang hilang.

Seseorang : Ini juga perlengkapan Hansipku ada di sini.

Seseorang : Langsung hajar saja.

Lurah : Tenang dulu, kita lihat dulu bagaimana wajahnya. (ketika penutup wajah Maling
dibuka, ternyata orang tersebut adalah Maman dengan mulut tersumpal dan tangan terikat.)

Lurah :Lho, jadi kamu malingnya?

Maman : Bukan, Pak. Ini salah paham. Tadi ada orang yang mengikat saya.

Seseorang : Alasan! Sekali maling tetaplah maling.

Seseorang : Kalau nyolong makanan dan pakaian saja berani, nyolong uang pasti juga berani.

Maman : Ampun, bukan saya. Ini salah paham.

Warga : Ayo hajar saja, sikat dia. Bakar hidup-hidup.

Maman : Toloooong.....

Adapun latar yang ada pada naskah drama Maling ini adalah latar tempatnya di halaman rumah
sebuah kampung, di rumah Maman. Latar waktunya di malam hari.

(Setting tempat halaman rumah di sebuah kampung. Waktu malam hari. Dari luar terdengar suara
gaduh derap langkah orang berlari sambil berteriak maling diiringi musik pembuka.

Seseorang : Akhirnya, kamu kena juga ya.

Seseorang : Jadi selama ini dia sembunyi di dalam rumah Maman.

Seseorang : Maman sialan. Jadi selama ini dia yang menyembunyikan maling ini.

Unsur intrinsik seperti tokoh dan penokohan, alur, dan latar disampaikan Auf Sahid melalui dialog-
dialognya dengan jelas. Jadi, dari dialog yang diperankan tokoh dapat diidentifikasi unsur intrinsiknya.
Peran yang harus diperankan tokoh juga diungkapkan Auf Sahid dengan gamblang dari dialog yang
dibuatnya. Drama Maling karya Auf Sahid ini banyak dijumpai pada kehidupan manusia bahwa sesuatu
yang tidak dilakukan bisa saja menjadi ia yang melakukannya karena kebusukan orang lain. Dengan
demikian drama karya Auf Sahid ini menceritakan kehidupan yang dijalani manusia yang sudah
digariskan oleh penciptanya walaupun ia tidak menyukainya.

Anda mungkin juga menyukai