Anda di halaman 1dari 18

J n al Kdoktuan Gigi Universitas Indonesia (JDU/) voLl/.No.

Khusus 1, 1995

STOMATITIS AFTOSA REKUREN


DENGAN KECURIGAAN KLINIK INFEKSI VIRUS HERPES SIMPLBKS
(Laporan kasus)

Afi Savitri Sarsito*

Abstrak

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan penyakit mulut yang


paling banyak dijumpai di masyarakat. Pada umumnya penyakit
ini memberikan gejala-gejala klinik yang .khas yaitu adanya
ulserasi yang bersifat ulang kambuh pada mukosa mulut, tanpa
disertai dengan tanda-tanda lain dari penyakit.
Pada makalah ini dibahas 3 kasus SAR yang tidak biasa yaitu
selain gejala SAR, terdapat pula tanda-tanda adanya infeksi virus
Herpes simpleks (VHS). Dari pemeriksaan sitologi pada ketiga
kasus ini, dijumpai adanya badan inklusi VHS , tetapi dari pem
berian terapi dengan Acyclovir ternyata 2 kasus memberikan man
faat , dan pada 1 kasus tidak ada manfaatnya. Hal ini berarti
pada 2 kasus yang pertama terdapat peran dari VHS pada proses
penyakit dan pada 1 kasus tidak ada . Keadaan semacam ini perlu
diamati dan diwaspadai mengingat kedua penyakit mempunyai prinsip
terapi yang berbeda. Pada SAR seringkali diperlukan pemberian
terapi dengan bahan-bahan golongan kortikosteroid, sedangkan pada
infeksi VHS pemberian bahan ini merupakan kontra indikasi .
Selan jutnya pada makalah ini juga diberikan saran-saran untuk
pengelo laan penyakit yang dapat digunakan oleh para dokter gigi
apabila mendapatkan masalah yang sama.

Pendahuluan

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan penyakit mulut yang


paling banyak dijumpai di masyarakat. Menurut Wall lebih kurang
20% dari populasi terkena penyakit ini. (1) Axell didalam
peneli
tiannya menemukan kasus SAR sebanyak 17.7% dari populasi
Swedia. (2) Di Indonesia belum diketahui berapa prevalensi SAR
di
masyarakat, tetapi dari data klinik Penyakit Mulut Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 1988 sampai dengan 1990,
dijumpai SAR sebanyak 26 .6%.(3)

Secara klinik SAR mempunyai gejala karakteristik yaitu adanya


ulserasi yang bersifat ulang kambuh pada mukosa mulut yang

* Afi Savitri Sarsito, drg ., Bagian I. Penyakit


Mulut Fakultas Kedokteran Gigi - Universitas
Indonesia
31
tidak berkeratin tanpa disertai adanya gejala lain dari penyakit
. Akhir-akhir ini di klinik sering dijumpai adanya pasien
dengan gejala dan riwayat penyakit berupa SAR, tetapi disertai
dengan gambaran klinis yang mirip dengan infeksi virus Herpes
simpleks (VHS). Pada umumnya pasien ini telah diberikan
bermacam-macam pengobatan tetapi tampaknya kurang ada
manfaatnya . Keadaan ini menimbulkan kecurigaan klinik adanya
peran VHS didalam proses penyakit . Disisi lain untuk
mendiagnosis adanya suatu infeksi VHS dimana perlu pemeriksaan
laboratorium tampaknya masih banyak
hambatan . Hal ini disebabkan karena masalah pendanaan,
lamanya waktu pemeriksaan , dan kesulitan menginterpretasikan
hasil labo ratorium .

Melihat masalah-masalah diatas dan mengingat bahwa terapi kedua


penyakit itu sangat bertentangan maka perlu difikirkan suatu
. penatalaksanaan yang tepat bagi pasien semacam ini dimana
diagno sis SAR disertai dengan kecurigaan klinik infeksi VHS
dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan pengobatan sehingga
merugikan pasien.

Tinjauan pus taka,

Seperti telah disebutkan diatas SAR adalah suatu penyakit yang


ditandai dengan adanya ulserasi ulang kambuh pada mukosa mulut
yang tidak berkeratin, tanpa disertai dengan adanya tanda-tanda
lain dari penyakit. Etiologi SAR secara jelas belum diketahui
. Walaupun demikian beberapa faktor telah diketahui turut
berperan didalam terjadinya penyakit . Wall mengelompokkan
faktor-faktor ini menjadi dua yaitu faktor predisposisi
dan faktor yang mem percepat timbu nya lesi .(l) Yang
termasuk faktor predisposisi yaitu herediter, mikro-organisme
mulut, defisiensi nutrisi dan sensitivitas terhadap makanan,
sedangkan yang termasuk 'dalam faktor yang
mempercepat yaitu trauma , hormonal, stres psikologis dan bahan-
bahan yang menyebabkan alergi .
32
Dilihat dari gambaran klinisnya SAR dibagi menjadi 3 tipe yaitu
minor, mayor dan herpetiformis, dimana ketiganya berbeda dalam
hal ukuran dan kedalaman lesi . SAR minor ditandai dengan
'terja dinya ulser bulat atau oval dengan diameter kurang dari 1
em dan sembuh tanpa jaringan parut . SAR mayor memberikan lesi-
lesi yang lebih besar yaitu 1 em atau lebih dan penyembuhannya
disertai dengan jaringan parut, sedangkan SAR herpetiformis
apabila lesi keeil-keeil dengan diameter 1-3 mm yang
tersebar pada mukosa mulut. SAR tipe terakhir ini gambaran
klinisnya mirip dengan lesi pada infeksi VHS intra oral rekuren
yang juga biasa terjadi pada orang dewasa dan jarang disertai
dengan gejala sistemik. Perbe daannya lesi-lesi pada infeksi
VHS berkelompok dan pada umumnya terjadi pada mukosa yang
berkeratin tebal seperti gingiva, mukosa
alveolar dan palatum durum. (4) Hanya dengan pemeriksaan
labora
torium diagnosis infeksi VHS ini dapat ditegakkan .
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan sitolo gi, titer antibodi atau isolasi virus.

Pengelolaan SAR seringkali menimbulkan masalah bagi klinisi


karena selain etiologinya belum diketahui juga banyaknya faktor
predisposisi yang berpengaruh serta sifat rekurensinya yang
tinggi. Rennie dkk. menganjurkan ahapan pengelolaan yang se
baiknya dilakukan dalam merawat pasien SAR .(S) Tahapan itu
adalah untuk menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor
predisposisi yang ada pada pasiem dahulu, sebelum
memberikan terapi obat obatan . Didalam hal terapi ini
berbagai maeam bahan telah dieoba untuk mengobati
pasien SAR . Bahan-bahan ini pada umumnya hanya bersifat
simptomatik, empirik atau berdasarkan persepsi dokter
akan penyebab penyakitnya . Bahan-bahan yang digunakan
antara lain untuk mengurangi rasa sakit yaitu bahan yang mengan
dung anestetikum, bersifat antiseptik atau antibiotik, atau yang
bersifat antiradang. Untuk yang terakhir ini bahan yang sering
digunakan adalah golongan kortikosteroid yang bisa digunakan baik
seeara sistemik maupun lokal atau topikal. Kedua bentuk bahan ini
dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan hasil yang me
muaskan. (6) Yang penting dalam penggunaan bahan ini adalah ob-
33
servasi pasien secara terus menerus agar efek samping yang mu
ngkin terjadi dapat segera d ketahui.

Sebaliknya prinsip penatalaksanaan infeksi virus adalah tindakan


tindakan yang bersifat suportif seperti pemberian cairan, diet
· tinggi kalori tinggi protein (TKTP), istirahat yang cukup
dan pemeliharaan kebersihan mulut .(7) Penggunaan bahan
kortikosteroid
untuk terapi Stomatitis herpetika merupakan kontra indikasi
karena sifatnya yang imunosupresif .(4) Sebagai bahan
antivirus,
Acyclovir dapat diberikan terutama pada pasien dengan penyakit
yang berat atau pada pasien imunosupresi . Penggunaan Acyclovir
sebaiknya diberikan bila lesi kurang dari 24 jam karena bila
pasien datang dengan lesi sudah berkembang maka pengobatan
menja di tidak efektif . Kesulitan mungkin timbul karena pada
umumnya pasien datang dengan lesi-lesi yang sudah berkembang.
Apabila hal ini terjadi maka tindakan suportif akan lebih
membantu dan pem berian Acyclovir mungkin hanya bersifat
pencegahan .(B)

Laporan kasus

Kasus
1.
Seorang pria, 32 tahun, doktet IDT , datang dengan keluhan
sering sariawan dimulutnya, ulang kambuh lebih kurang 1
tahun. Sudah berobat ke ahli THT, Interna dan mendapat obat
kumur, anti biotik serta vitamin tetapi tidak ada perbaikan .
Dari pemeriksaan klinik didapat keadaan umum baik, pemeriksaan
ekstra oral tak ada kelainan, pemeriksaan intra oral
kebersihan mulut baik, ulser tepi tidak teratur pada palatum
kiri diameter 1 em dan daerah retromolar kiri diameter 1 em.
Diagnosis klinik ditegakkan sebagai SAR tipe mayor, sebagai
diagnosis banding adalah Stomati tis Herpetika rekuren.
Penatalaksanaan yang direncanakan berupa pemeriksaan darah
rutin untuk melihat kemungkinan adanya anemia, pemeriksaan
sitologi untuk melihat adanya badan inklusi, konsul tasi dan
terapi kumur tetrasiklin dan tablet Vigoral.
34
F"

Pada kunjungan ke 2 yaitu 3 hari kemudian didapat keluhan dan


pemeriksaan klinik masih sama dengan sebelumnya. Dari hasil
pemeriksaan darah ternyata dalam batas normal dan dari pemerik
saan sitologi didapat badan inklusi VHS positif. Terapi yang
diberikan berupa tablet Acyclovir 1000 mg. per hari selama 10
hari, kumur Chlorhexidine 0.2% dan tablet Opilet M 500.

Pada kunjungan ke 3 yaitu 3 hari kemudian didapatkan lesi


palatum masih sama dengan sebelumnya. Terapi yang diberikan
berupa obat yang sama tetapi tanpa Acyclovir.

Pada kunjungan ke 4 yaitu 4 hari kemudi n didapat lesi


palatum masih ada. Terapi yang diberikan adalah Kenalog in
ora base dan Opilet M 500.

Pada kunjungan ke 5 yaitu 4 hari kemudian didapat lesi palatum


masih ada, timbul lesi baru pada daerah alveolar regio molar
kanan bawah sebelah kiri. Terapi Kenalog langsung dihentikan,
diberikan kumur Tantum Verde dan Opilet M 500 .

Pada kunjungan ke 6 yaitu 3 hari kemudian didapat lesi palatum


membaik lesi pada daerah alveolar sudah tidak sakit lagi.
Terapi yang diberikan adalah Tablet Acyclovir dengan dosis yang
sama dengan sebelumnya, kumur Chlorhexidine 0.2% dan Opilet M
500.

Kasus
2.
Pasien wanita, umur 37 tahun datang dengan keluhan sering saria
wan, ulang kambuh selama lebih kurang 3 bulan. Pasien mengeluh
sering pusing dan telah berobat ke dokter serta mendapat obat
Nystatin dan Amoxillin tetapi tidak ada perbaikan. pasien
memakai gigi tiruan yang tidak bisa dibuka buatan
tukang gigi. Dari pemeriksaan klinis didapat keadaan
umum cukup baik dan pasien mengaku tidak menderita
penyakit sistemik. Dari pemeriksaan ekstra oral
terlihat Angular cheilitis kiri dan kanan, intra oral kebersihan
mulut baik, lesi ulser diameter 1/2 em. pada mukosa
35
labial, lesi herpetiformis pada ujung lidah dan gingiva rahang
atas regio premolar kanan. Diagnosis klinik ditegakkan berupa
SAR tipe herpetiformis, dan diagnosis banding adalah
Stomatitis herpetika rekuren . Penatalaksanaan yang diberikan
berupa pemerik saan sitologi, terapi tablet Vigoral dan obat
kumur Chlorhexidine 0.2 %.

Pada kunjungan ke 2 yaitu 3 hari kemudian didapat keadaan umum


baik . Pemeriksaan ekstra oral lesi masih sama dengan
kunjungan pertama, intra oral dijumpai lesi sama dengan
kunjungan pertama . Dari hasil pemeriksaan sitologi ternyata
ditemukan badan inklusi VHS positif. Terapi yang diberikan
adalah Acyclovir 1000 mg . perhari selama 5 hari, tablet
Vigoral dan Chlorhexidine 0.2% .

Pada kunjungan ke 3 yaitu 4 hari kemudian didapat keadaan umum


baik . Pemeriksaan ekstra oral lesi angular cheilitis
membaik, intra oral lesi-lesi sedikit membaik, tidak timbul
lesi-lesi baru. Terapi yang diberikan masih sama tetapi
vitamin diganti dengan Sangobion dan diberi Ampisilin. Pasien
belum kembali lagi ke klinik .

Kasus
3.
Seorang pria, 47 tahun, pekerjaan pedagang eceran mengatakan
sudah 3 bulan sering sariawan di lidah. Sudah berobat ke dokter
umum diberi Betadine, Albothyl dan vitamin B kompleks tetapi
tidak sembuh-sembuh. Pasien mengatakan mempunyai masalah dengan
keluarga. Dari pemeriksaan klinik didapat keadaan umum baik,
pasien mengaku tidak menderita penyakit sistemik. Dari pemerik
saan ekstra oral terlihat tidak ada kelainan, intra oral kebersi
han mulut buruk, terdapat radiks gigi , terdapat gigi karies ,
lidah keputihan disertai dengan lesi ulser diameter 3-4 mm pada
baian dorsumnya, lesi-lesi ulser diameter 2-3 mm berkelompok pada
palatum durum sebelah kiri. Diagosis klinik ditegakkan sebagai
SAR tipe herpetiformis dan sebagai diagnosis banding adalah
Stomatitis herpetika rekuren. Penatalaksanaan yang direncanakan
adalah konsultasi, terapi berupa Vigoral dan kumur Chlorhexidine
36
I
1.2 2% ., ekstraksi gigi-geligi radiks dan perawatan gigi-
geligi karies.

Pada kunjungan ke 2 yaitu 3 hari kemudian didapat keadaan umum


baik. Pemeriksaan ekstra oral tidak dijumpai adanya kelainan,
intra oral dijumpai lesi pada dorsum lidah dan palatum durum
mem baik , lidah masih keputihan.
Dari hasil pemeriksaan sitologi dijumpai adanya badan inklusi
VHS . Terapi yang diberikan sama dengan kunjungan sebelumnya
.

Pasien tidak kembali, tetapi 1 bulan kemudian datang lagi dengan


keluhan sariawan kambuh lagi . Dari pemeriksaan klinik dudapa-
t keadaan umum baik. Pemeriksaan ekstra oral tak ada
kelainan, intra oral dijumpail esi pada palatum durum hilang,
lesi pada lidah timbul lagi, timbul lesi baru pada mukosa pipi
kiri, mukosa bibir diameter 5 mm. Terapi yang diberikan berupa
Acyclovir 1000 mg perhari selama 5 hari dan tablet Vigoral.

Pada kunjungan ke 4 yaitu 4 hari kemudian dijumpai keadaan umum


baik. Dari pemeriksaan ekstra oral tidak dijumpai adanya kelai
nan. Dari riwayat intra oral pasien mengatakan 3 hari setelah
minum obat timbul luka baru pada ventral lidah dan lesi-lesi
yang lama masih ada. Dari pemeriksaan lidah tampak keputihan.
Terapi yang diberikan adalah Suspensi Mycostatin dan tablet
Vigoral.

Pe.lllbahasa
n

Mengamati ketiga kasus diatas tampaknya ada beberapa hal yang


menarik perhatian. Disini diagnosis SAR ditegakkan karena riwayat
penyakit dan gejala klinis dari ketiga kasus ini sesuai dengan
SAR yaitu adanya lesi ulserasi pada mukosa mulut yang tidak
berkeratin, disertai dengan riwayat rekurensi. Akan tetapi dis
amping itu timbul kecurigaan klinik infeksi VHS karena disamping
gejala SAR dijumpai pula tanda-tanda infeksi VHS yaitu lesi
ulserasi yang berkelompok pada mukosa mulut yang berkeratin
. Untuk melihat apakah terjadi infeksi VHS dilakukan
pemeriksaan

37
sitologi adanya badan inklusi yang disebabkan oleh VHS .
Pemerik saan ini adalah satu-satunya pemeriksaan yang dapat
dilakukan mengingat biaya yang relatif murah dan hasil dapat
segera dipero leh. Sebetulnya untuk mendiagnosis adanya suatu
infeksi VHS tidak cukup hanya dengan pemeriksaan ini saja
karena hasil yang positif tidak cukup untuk menyimpulkan
adanya proses infeksi, mengingat bahwa VHS termasuk dalam virus
yang bersifat oportunis tik . Untuk memastikan adanya suatu
infeksi VHS pemeriksaan ini harus dikombinasikan dengan
pemeriksaan lain seperti pemeriksaan titer antibodi . Yang
menjadi hambatan disini adalah pemeriksaan ini memakan waktu
yang lama dan biaya pemeriksaan dirasakan pasien terlalu
mahal.

Dari pemeriksaan ketiga kasus diatas ternyata diperoleh hasil


badan inklusi VHS positif . Dengan demikian dapat
diasumsikan bahwa pada ketiga kasus ini mungkin terjadi
infeksi VHS. Oleh karena pada ketiga kasus ini tidak
dimungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya maka
diputuskan untuk diberi terapi Acyclovir sebagai terapi
antivirus. Ternyata pada kasus 1 dan 2 terapi ini memberikan
hasil yang baik yaitu tidak timbul lesi lesi baru pada mukosa
mulut . Sebaliknya pada kasus 3 terapi dengan bahan ini
tampaknya tidak ada manfaatnya bahkan timbul lesi-lesi baru
pada daerah mukosa mulut yang lain . Yang dapat disimpulkan
disini adalah pada kasus 1 dan 2 kemungkinan ada peranan VHS
pada proses penyakit, akan tetapi apakah peranan ini berupa
suatu infeksi murni atau infeksi oportunistif tidak dike tahui.
Pada kasus 3, peranan VHS tampaknya tidak ada dan lesi lesi
yang terjadi hanya disebabkan oleh SAR. Walaupun demikian
pemberian Acyclovir pada kasus 3 ini dapat dianggap sebagai
tindakan tahapan prosedur diagnostik maupun tindakan pencegahan
sehingga apabila diperlukan dapat digunakan terapi golongan
kortikosteroid.

Melihat dari pengalaman diatas dapat disarankan bagi para dokter


gigi apabila menjumpai kasus SAR dengan disertai adanya tanda
tanda infeksi VHS, sebaiknya waspada dan merujuk pasien
untuk
38
pemeriksaan laboratorium sehingga proses penyakit dapat diketa
hui. Hal ini perlu dilakukan terutama bila terapi dengan bahan
kortiko steroid akan diberikan. Apabila karena sesuatu hal
pemer iksaan yang sederhanapun tidak dapat dilakukan, terapi SAR
dengan bahan-bahan yang bersifat imunosupresif sebaiknya
dihindarkan karena dapat terjadi keadaan penyakit yang lebih
parah. Selan jutnya pada keadaan ini terapi SAR ditujukan
kepada pengelolaan faktor-faktor predisposisi yang ada pada
pasien disertai dengan tindakan simptomatik dan suportif saja.

Kesimpulan

Dari 3 kasus SAR yang diamati, ternyata memberikan hasil


pemerik saan sitologi adanya badan inklusi. Setelah diberi bahan
Acyclo vir, 2 kasus memberikan reaksi yang baik dan pada 1 kasus
tidak . Kesimpulan disini adalah bahwa pada kasus-kasus SAR
kadang-kadang ada. peranan dari VHS . Untuk itu perlu diwaspadai
apabila dijum pai kasus SAR dengan tanda-tanda klinis infeksi
VHS.

Daftar pustaka,

1. Wall JG: Recurrent Aphthae Management Tips for the GP.


Medi cal Progress. 1994; 21: 35-40.
2. Axell T: A prevalence study of Oral Mucosal Lesions in
adult population. Odontologisk Revy. 1976; 27: 51-52
3. Sumariyah S., Sarsito AS: Frekuensi Distribusi Penyakit
Mulut di klinik Oral Medicine FKGUI-RSCM. Laporan
Penelitian
FKGUI. 1992.
4. Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS: Burket's Oral Medicine
Diagnosis and Treatment. Philadelphia: JB Lippincott Co.'.
1984: 182-
185.
5. . Rennie JS, Reade PC, Scully C: Recurrent Aphthous
Stomati
tis. Br Dent J. 1985; 159: 361-
366.
6. Vincent SD, Lilly GE. Clinical, historic and therapeutic
features of aphthous stomatitis. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol. 1992; 74: 79-86.
7. Goldman HS, Marder MZ: Physicians' Guide To Diseases of The
Oral Cavity. New Jersey, 1982: 139-
142.
8. Spruance SL, Wenerstrom G: Pathogenesis of recurrent herpes
simplex labialis. IV. Maturation of lesions within 8 hours
after onset and implications for antiviral treatment.
Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1984; 58: 667-670.
39

Anda mungkin juga menyukai