DISUSUN OLEH:
MAESAROH
2017980009
A. Pendahuluan
Dorothe Orem lahir di Baltimore, Maryland di tahun 1914. Ia memperoleh gelar
sarjana keperawatan pada tahun 1939 dan Master Keperawatan pada tahun 1945.
Selama karir profesionalnya, dia bekerja sebagai seorang staf keperawatan, perawat
pribadi, perawat pendidik dan administrasi, serta perawat konsultan. Ia menerima
gelar Doktor pada tahun 1976. Dorothea Orem adalah anggota subkomite kurikulum
di Universitas Katolik. Ia mengakui kebutuhan untuk melanjutkan perkembangan
konseptualisasi keperawatan. Ia pertama kali mempubilkasikan ide-idenya dalam
“Keperawatan : Konsep praktik”, pada tahun 1971, yang kedua pada tahun 1980 dan
yang terakhir di tahun 1995.
Pengertian Keperawatan Menurut Orem, menurutnya teori keperawatan adalah
Pelayanan manusia yang berpusat kepada kebutuhan manusia untuk mengurus diri
bagaimana mengaturnya secara terus menerus untuk dapat menunjang kesehatan dan
kehidupan, sembuh dari penyakit atau kecelakaan dan menanggulangi akibat-
akibatnya. Sehingga asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap
orang mempunyai kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu
individu memenuhi kabutuhan hidup, memlihara kesehatan dan kesejahteraannya,
oleh karena itu teori ini dikenal sebagai Self Care (perawatan diri) atau Self Care
Defisit Teori.
B. Limpadenitis
1. Definisi
Limfadenitis adalah peradangan (inflamasi) atau pembesaran kelenjar getah
bening akibat penyakit infeksi atau inflamasi. Kelenjar getah bening (KGB) itu
sendiri merupakan jaringan normal berupa bulatan (nodul) berukuran
kecil berukuran beberapa milimeter hingga 2 cm. KGB tersebar di sepanjang
pembuluh limfe yang berlokasi di seluruh tubuh. Fungsi utama kelenjar getah
bening (KGB) ini adalah sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang
berfungsi untuk menyingkirkan mikroorganisme dan sel – sel abnormal yang
terkumpul di cairan limfe.
2. Etiologi
Siklus munculnya penyakit ini adalah bakteria dapat masuk melalui makanan ke
rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher, sering tanpa
tanda TBC paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak dan mungkin sedikit
nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar di dekatnya satu persatu terkena radang
yang khas. Di samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa
kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan
meradang,merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan
jebol, mengeluarkan bahan seperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna
pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak
kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-
bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi,
demikian berulang-ulang. Streptococcus dan bakteri Staphylococcal adalah
penyebab paling umum dari limfadenitis, meskipun virus, protozoa, rickettsiae,
jamur, dan basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening. Penyakit yang
melibatkan kelenjar getah bening di seluruh tubuh termasuk mononucleosis,
infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan brucellosis. Gejala awal limfadenitis
adalah pembengkakan kelenjar yang disebabkan oleh penumpukan cairan jaringan
dan peningkatan jumlah sel darah putih akibat respon tubuh terhadap infeksi.
Kehilangan nafsu makan, vehicles keringat, nadi cepat, dan kelemahan.
3. Manifestasi Klinik
Gejala untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini adalah kelenjar getah
bening yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa lunak dan
nyeri, selain itu gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dan tanda
radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat, pembengkakan ini akan
menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan tumor. Dan untuk
memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada penyakit limfadenitis
maka perlu adanya pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di bawah
mikroskop. Limfadenitis pada taraf parah disebut limfadenitis kronis. Limfadenitis
ini terjadi ketika penderita mengalami infeksi kronis, misal pada kondisi ketika
seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang
sangat minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih
banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini
ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening, padat/keras, multiple dan dapat
berhubungan satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar,
sehingga kelenjar itu melunak seperti abses tetapi tidak nyeri seperti abses banal.
Apabila abses ini pecah kekulit, lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara
terus menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar
getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan berhubungan sehingga leher
penderita itu disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang-kadang
sulit dibedakan dengan limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa
diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi, terutama yang tidak
disertai oleh tuberkulosa paru.
4. Patofisiologi
Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita.
Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya
di daerah sub mandibular, ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang
sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk
pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari
pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe
akan mengalir ke kelenjar getah bening sehingga dari lokasi kelenjar getah bening
akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati
oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen dan memiliki sel
pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah
bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk
mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran
kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh
yang berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri seperti limfosit, sel plasma,
monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk
mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas
atau timbunan dari penyakit metabolite macrophage (gaucher disease). Dengan
mengetahui lokasi pembesaran kelenjar getah bening maka kita dapat
mengarahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab
pembesaran kelenjar getah bening. Benjolan, bisa berupa tumor baik jinak atau
ganas, bisa juga berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar ini ada banyak
sekali di tubuh kita, antara lain di daerah leher, ketiak, dalam rongga dada dan
perut, di sepanjang tulang belakang kiri dan kanan sampai mata kaki. Kelenjar
getah bening berfungsi sebagai penyaring bila ada infeksi lokal yang disebabkan
bakteri atau virus. Jadi, fungsinya justru sebagai benteng pertahanan tubuh. Jika
tidak terjadi infeksi, kemungkinan adalah tumor. Apalagi bila pembesaran kelenjar
di daerah-daerah tersebut di atas, pertumbuhannya cepat dan mudah membesar.
Bila sudah sebesar biji nangka, misalnya, bila ditekan tidak sakit, maka perlu
diwaspadai. Jalan terbaik, adalah dilakukan biopsy di kelenjar tersebut. Diperiksa
jenis sel-nya untuk memastikan apakah sekedar infeksi atau keganasan. Jika tumor
dan ternyata ganas, pembesaran kelenjar akan cepat terjadi. Dalam sebulan,
misalnya sudah membesar dan tak terasa sakit saat ditekan. Beda dengan yang
disebabkan infeksi, umumnya tidak bertambah besar dan jika daerah di sekitar
benjolan ditekan, terasa sakit.
5. Penatalaksanaan
Tata laksana pembesaran kelenjar getah bening leher didasarkan kepada
penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening leher sembuh
dengan sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apa pun selain dari
observasi. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi
untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening. Biopsy dilakukan bila terdapat
tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan, kelenjar getah bening yang
menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis
belum dapat ditegakkan. Pembesaran kelenjar getah bening biasanya disebabkan
oleh virus dan sembuh sendiri, walaupun pembesaran kelenjar getah bening dapat
berlangsung mingguan. Pengobatan pada infeksi kelenjar getah bening oleh
bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2
hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari. Bila ada reaksi alergi
terhadap antibiotic golongan penicillin dapat diberikan cephalexin 25 mg/kg
(sampai dengan 500 mg) tiga kali sehari atau erythromycin 15 mg/kg (sampai 500
mg) tiga kali sehari.
6. Komplikasi
a. Pembentukan abses. Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi
akibat suatu infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang
sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan
rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih
yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam
rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel
darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi
ronggatersebut. Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya
akan terdorong. Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan
menjadi dinding pembatas abses; hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk
mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam,
maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit,
tergantung kepada lokasi abses.
b. Selulitis (infeksi kulit). Selulitis adalah suatu penyebaran infeksi bakteri ke
dalam kulit dan jaringan di bawah kulit. Infeksi dapat segera menyebar dan
dapat masuk ke dalam pembuluh getah bening dan aliran darah. Jika hal ini
terjadi, infeksi bisa menyebar ke seluruh tubuh.
c. Sepsis (septikemia atau keracunan darah). Sepsis adalah kondisi medis yang
berpotensi berbahaya atau mengancam nyawa, yang ditemukan dalam
hubungan dengan infeksi yang diketahui atau dicurigai (biasanya namun tidak
terbatas pada bakteri-bakteri).
d. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang disebabkan oleh TBC). Limfadenitis
tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening, padat / keras,
multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi
perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti abses tetapi
tidak nyeri. Apabila abses ini pecah ke kulit, lukanya sulit sembuh oleh karena
keluar secara terus menerus sehingga seperti fistula. Fistula merupakan
penyakit yang erat hubungannya dengan immune system / daya tahan tubuh
setiap individual.
C. HIV
1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus
yangmemiliki genus lentivirus yang menginfeksi, merusak, atau mengganggu
fungsi selsistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem
pertahanan tubuhmanusia tersebut menjadi melemah (WHO, 2014). Virus HIV
menyebar melalui cairan tubuhdan memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem
kekebalan tubuh manusiaterutama sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) atau sel-
T. HIV menyerang sel -sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel-T CD4+
dan makrofag yangmerupakan sistem imunitas seluler tubuh (Rockstroh J.K,
2012). Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kerusakan secara progresif dari
sistem kekebalan tubuh,menyebabkan defisiensi imun sehingga tubuh tidak
mampu melawan infeksi danpenyakit. Seiring dengan berjalannya waktu, HIV
dapat merusak banyal sel CD4sehingga kekebalan tubuh semakin menurun dan
tidak dapat melawan infeksi danpenyakit sama sekali, infeksi ini akan berkembang
menjadi AcquiredImmunodeficiency Syndrome (AIDS) (Allen S, 2010).
2. Etiologi
Acquired Immunodeficienccy Syndrome (AIDS) disebabkan oleh HIV yang
merupakan retrovirus pada manusia yang termasuk dalam kaluarga lentivirus
(Robbins, et al., 2007). HIV dibedakan menjadi dua bentuk secara genetik, namun
saling berhubungan secara antigen yaitu HIV-1 dan HIV-2. Keduanya merupakan
retrovirus yang menyerang sel limfosit T CD4 yang memiliki reseptor dengan
afinitas yang tinggi untuk HIV. Perbedaan dari HIV-1 dan HIV-2 terdapat pada
efisiensi transmisi dan tingkat perkembangan penyakit (Robbins, et al., 2007).
3. Patofisiologi
A. Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
- Data Dasar (Basic Conditioning Factor)
a. Identitas
1) Nama Klien : Tn. K
2) Usia : 22 tahun
3) Agama : Islam
4) Jenis kelamin : Laki-laki
5) Alamat : Jl. Kalibaru Barat Kemayoran Jakarta
6) Pendidikan : SMK Akutansi
7) Pekerjaan : Swasta
8) Status Perkawinan : Belum Menikah
9) Sumber Informasi : Pasien dan Keluarga
10) Tanggal masuk RS : 11 November 2018
11) Tanggal operasi : 12 November 2018
12) Tanggal Pengkajian : 13 Nopember 2018 Jam 10.00
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama : Nyeri.
2) Riwayat penyakit sekarang
Pada saat di lakukan pengkajian pada tanggal 13 Novemberr 2018
pasien mengeluh nyeri luka post operasi leher sebelah kanan
(limfadenitis). Terpasang drain, pasien juga mengeluhkan tubuhnya
terasa lemah, , BB : 60 Kg, TB : 160 cm, kesadaran compos mentis
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan pernah dirawat 3 minggu yang lalu, dengan kejang,
terdapat abses pada otak. Hasil pemeriksaan darah pasien positif
terkena HIV sedang pengobatan ARV juga terkena TB dan sedang
menjalani OAT sudah 3 bulan.
4) Riwayat penyakit Keluarga
Pasien menyangkal bahwa di keluarganya ada yang menderita
penyakit serupa. Keluarga tidak mempunyai riwayat HT/Stroke dan
tidak memiliki riwayat penyakit asma, DM.
5) Status perkembangan: Dewasa muda
Saat ini pasien memasuki usia dewasa muda, pasien menyukai sesama
jenis mulai dirasakan sejak SD kelas 3.
6) Sosial budaya
Suku jawa beragama Islam, tamat SMK Akutansi, berbahasa
Indonesia, bekerja sebagai seorang freelance, selama sehat pasien
berteman dengan orang lain seperti biasanya.
7) Sistem pelayanan kesehatan
Untuk mengatasi masalah kesehatan pasien memanfaatkan Fasilitas
Kesehatan terdekat, perawatan ini dibiayai BPJS Kesehatan.
8) Sistem keluarga
Pasien belum menikah. Saat sakit pasien ditemani oleh ibunya.
9) Pola hidup
Sebelum sakit pasien berkerja sebagai pekerja freelance, dan pasien
merupakan penyuka sesama jenis.
10) Sumber-sumber
Ibunya merupakan sumber kekuatan pasien saat ini. Sumber
pembiayaan perawatan dan pengobatan saat ini menggunakan fasilitas
BPJS Kesehatan.
SELF CARE AGENCY SISTEM PELAYANAN
THERAPEUTIC SELF
KEPERAWATAN MASALAH KEPERAWATAN
CARE DEMAND
ABILITIES LIMITATION MENURUT OREM
Keseimbangan Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Wholly Compensantory System Bersihan jalan nafas tidak efektif
pemasukan udara Klien memerlukan bantuan perawat Gangguan penyapihan ventilator
atau oksigenasi Inspeksi : Inspeksi : sepenuhnya, diantara nya: Gangguan pertukaran gas
Kesadaran Penurunan kesadaran - Klien dengan penggunaan alat Gangguan ventilasi spontan
- composmentis (Apatis / Somnolen / Delirium / sopor / koma) bantu pernafasan (RM dan Pola napas tidak efektif
Hasil : Composmentis Ventilator : OPA, NPA) Risiko aspirasi
Penurunan curah jantung
GCS : 15 GCS : Partially Compensatory System Risiko penurunan curah jantung
E: 4 M: 6 V:5 E:.....M:.....V:..... Klien memerlukan bantuan perawat Risiko perfusi miokard tidak efektif
Hasil : 15 sebagian, diantaranya :
- Klien dengan pemberian oksigen
Pernafasan spontan Pernapasan spontan / tracheostomy / RM / (nasal canul, simple mask)
Irama teratur simple mask / NRM (…………… liter/menit)
Pernapasan tidak spontan / ventilator. (modus Supportif dan Edukatif
……………) Klien memerlukan pendidikan
Pola napas tidak teratur : kesehatan, diantaranya:
Dispnue / Bradipneu / Takipnue / Orthopnue / - Management respiratory
Biots / Kusmaul / chynestokes / Paroxysmal
nocturnal dispnea
Pernapasan : Pernapasan
(dada / perut) □ penggunaan otot bantu napas
□ cuping hidung
□ retraksi dinding dada
Kemampuan mengeluarkan Ketidak mampuan mengeluarkan sputum
sputum Bentuk dada Abnormal
Bentuk dada (Barel chest / Funnel chest / Pigeon chest)
(ratio AP / PA 1 : 2)
Hasil : ratio AP / PA 1 : 2
Palpasi Palpasi
Ekspansi dada (simetris) Ekspansi dada (ansimetris)
Hemoglobin
Wanita : 12 – 16 gr/dl
Pria : 14 – 18 gr/dl Hemoglobin
Hasil : 12,8 Wanita : . . . . . . . . gr/dl
Pria : . . . . . . . . . . . gr/dl
Hematokrit
Wanita : 37 – 43 %
Pria : 40 – 48 % Hematokrit
Hasil : . . . . . . . . . . . . Wanita : . . . . . . . . . %
Pria : 38 %
Sputum
BTA : + / -
Hasil : . . . . . . . . . . . . Sputum
BTA : + / -
BTA : gen expert BTA : gen expert
Hasil : . . . . . . . . . . . .
Kesan : . . . . . . . . . . . . . .
Riwayat kesehatan
Riwayat penyakit dahulu
......................................................
Merokok : Ya Tidak
Konsumsi alkohol : Ya Tidak
Batuk produktif : Ya Tidak
Jika ya,
jumlah sputum : banyak / sedikit
Konsistensi sputum : kental / encer
Warna sputum : putih / hijau / darah
Riwayat pengobatan :
............................
Keseimbangan Cairan Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik Wholly Compensantory System : Gangguan sirkulasi spontan
dan elektrolit Inspeksi : inspeksi Klien memerlukan bantuan perawat Perfusi perifer tidak efektif
Tidak ada tanda-tanda Kekurangan cairan : sepenuhnya, diantara nya: Risiko gangguan sirkulasi spontan
dehidrasi Mukosa bibir kering - Dalam keadaan Retensi urin klien Risiko perdarahan
Hasil : Tidak ada tanda-tanda Turgor kulit tidak elastis membutuhkan terapi anti diuretik Risiko perfusi gastrointestinal tidak
dehidrasi Mata cekung ataupun penggunaan kateter efektif
Partially Compensatory System : Risiko perfusi perifer tidak efektif
Kelebihan cairan : - Membutuhkan bantuan untuk Risiko perfusi renal tidak efektif
Asites BAB/ BAK (ditempat tidur/kamar Risiko perfusi serebal tidak efektif
Edema (ekstremitas, anasarka) mandi)
Sesak napas Supportif dan Edukatif :
- Menganjurkan latihan rentang
Balance cairan gerak pasif/ aktif
Intake : - Menganjurkan pemberian
Balance cairan (Minum / Diet cair / Transfuse / Infuse) kompres hangat pada area vesika
□ intake Hasil : . . . . . . . . . . . . . . . urinaria/ baldder
- 30 – 50 ml / kg BB - Memotivasi klien untuk BAB dan
BAK di toilet
Hasil : 30 – 50 ml / kg BB Out put :
(Urin / Perdarahan / Muntah / Diare)
Hasil : . . . . . . . . . . . . . . .
□ output
urin : 0,5 – 1 cc / kg BB
Hasil : 0,5 – 1 cc / kg BB
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Elektrolit serum
Pemeriksaan penunjang Hasil : . . . . . . . . . . . .
Laboratorium
Elektrolit serum
□ Natrium : 136 – 145 gr/dl
□ Kalium : 3,5 – 5,0 mmol
□ Clorida : 98 – 106 mmol
□ Bikarbonat (HCO3) : 22 –
26 mmol/l
Hasil : . . . . . . . . . . . . Hematokrit)
Hasil : . . . . . . . . . . . .
Hitung darah (Hematokrit)
- Pria dewasa: 40-54 %.
- Wanita dewasa: 37-47 %. pH urin
Hasil : . . . . . . . . . . . . Hasil : . . . . . . . . . . . .
Hasil inspeksi
Poliphagia
Dysphagia
auskultasi
Bising usus ( 9 – 12 x/mt) auskultasi
Hasil : . . . . . . . . . . . . Bising usus . . . . . . . . . . . . . . x/mnt
palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada palpasi
semua kuadran abdomen Nyeri abdomen
P:....................
Tidak ada pembesaran organ Q:....................
R:....................
S:....................
T:....................
Hepar Tools . . . . . . . . (form Terlampir)
□ wanita : 7,5 cm Hasil palpasi
□ pria : 10,5 cm Hepatomegaly
Hasil : . . . . . . . . . . . . Ukuran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . cm
limpa
12 cm, 7cm tinggi, 4cm tebal dan
beratnya sekitar 150 gram Splenomegali
Hasil : . . . . . . . . . . . . Ukuran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . cm
perkusi
Suara timpani pada semua
kuadran abdomen (usus
besar, usus kecil)
Hasil : . . . . . . . . . . . .
Pemeriksaan penunjang
USG abdomen
Kesan: dalam batas normal
Rontgen
Kesan: dalam batas normal
Laboratorium
Albumin (0 – 8 mg / dl)
SGOT : 3-45 u/L
SGPT : 0-35 u/L
Pemenuhan Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik Wholly Compensantory System : Gangguan eliminasi urine
kebutuhan eliminasi Inspeksi Inspeksi Klien memerlukan bantuan perawat Inkontenensia fekal
sepenuhnya, diantara nya: Inkontenensia urin berlanjut
Eliminasi urin Eliminasi urin - Dalam keadaan konstipasi klien Inkontenensia urin berlebih
BAK spontan (Dysuria / Polyuria / Inkontenensia urin / membutuhkan terapi suposutoria Inkontenensia urin fungsional
Frekuensi (4 – 5 x/hr) Hematuria / Anuria) - Dalam keadaan Retensi urin klien Inkontenensia urin reflex
Hasil : . . . . . . . . . . . . membutuhkan terapi antidiuretik Inkontenensia urin stress
ataupun penggunaan kateter Inkontenensia urin urgensi
Jumlah : 1000 – 1500 cc/hr Kesan : Partially Compensatory System : Kesiapan peningkatan eliminasi urin
Hasil : . . . . . . . . . . . . IWL : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . cc - Membutuhkan bantuan untuk Konstipasi
Warna : kuning jernih SWL : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . cc BAB/ BAK (ditempat tidur/kamar Retensi urin
Hasil : . . . . . . . . . . . . mandi) Risiko inkontinensia urin urgensi
Supportif dan Edukatif : Risiko konstipasi
Eliminasi fekal Eliminasi fekal - Menganjurkan latihan rentang
BAB spontan (Konstipasi / Diare / Melena) gerak pasif/ aktif
Frekuensi BAB 1-2 X/ hari - Menganjurkan pemberian
Konsistensi lunak Kesan : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . kompres hangat pada area VU
BAB mandiri ke kamar mandi
Palpasi Palpasi
Pemeriksaan abdomen Nyeri
Hasil : . . . . . . . . . . . . P:
Q:
R:
S:
T:
Tools . . . . . . . . (form Terlampir)
Distensi
Pemeriksaan lain
Bowel
Penggunaan Alat Bantu:
pampers
Bladder
Penggunaan alat bantu :
Cateter Kondom cateter
Kebutuhan Aktivitas Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik Wholly Compensantory System : Intoleransi aktivitas
dan istirahat Inspeksi Inspeksi Klien memerlukan bantuan perawat Gangguan mobilitas fisik
sepenuhnya, diantara nya: keletihan
Aktifitas Aktifitas - Penggunaan alat bantu (kursi kesiapan peningkatan tidur
Mampu naik-turun tempat Kelemahan fisik roda) risiko intoleransi aktifitas
tidur Fraktur - Membutuhkan terapi pengobatan Gangguan Pola Tidur
Mampu ambulasi dan berjalan Rupture tendon (analgesic, sedative, narkotik)
sendiri Kontraktur Partially Compensatory System :
Tonus otot maksimal Deformitas - Penggunaan alat bantu (tongkat,
Mampu melakukan aktivitas Krepitasi kruk, walker)
dan berpindah - Penggunaan tempat yang tenang,
Tidak ada nyeri Nyeri aktifitas pembatasan pengunjung
P: Supportif dan Edukatif :
Q: - Menganjurkan latihan rentang
R: gerak sendi secara aktif maupun
S: pasif
T: - Menjelaskan pentingnya
Tools . . . . . . . . (form Terlampir) kebutuhan istirahat dalam proses
Kekuatan otot menurun penyembuhan penyakit
Atrofi
Nyeri terus-menerus
perkusi Perkusi
Reflex patella : + / + Reflex patella : - /-
Reflex Babinski : + / + Reflex Babinski : - /-
Reflex bisep/trisep : + / + Reflex bisep/trisep : - /-
Hasil: ………………………….. Hasil: …………………………..
Istirahat istirahat
Tidur 6-8 jam/hari Tidur : . . . . . . . . . . . . . . . jam/hri
Hasil : . . . . . . . . . . . . Insomnia
Keluhan sering terbangun pada pukul 3 -5
Siklus tidur normal pagi karena sesak
Hasil : . . . . . . . . . . . . Keluhan susah untuk memulai tidur karena
nyeri, berdebar-debar
Tidur nyenyak Hasil : . . . . . . . . . . . .
Mata sayu
Lingkaran hitam sekitar kelopak mata
Ct scan Ct scan
Kesan : Dalam Batas Normal Kesan: …………………………
MRI
MRI
Kesan: dalam batas normal Kesan: …………………………
Interaksi dan isolasi Pasien mampu berinteraksi Ketidakmampuan berinteraksi yang baik Wholly Compensantory System : Ganguan identitas diri
Sosial dengan pasien lain dengan baik dengan orang lain - Membutuhkan bantuan Ganguan interaksi sosial
Hasil : . . . . . . . . . . . . sepenuhnya untuk Harga diri rendah
Pasien mampu berinteraksi mengekspresikan keadaan yang Gangguan Komunikasi verbal
dengan keluarga maupun Ketidakmampuan berbicara dialmai/dirasaakan
perawat dengan baik Hasil : . . . . . . . . . . . . Partially Compensatory System :
Pasien mampu memodifikasi - Membutuhkan bantuan
teknik komunikasi yang dapt Ketidaksesuaian budaya sebagian dalam tindakan
dimengerti Ketidak mampuan kontak mata komunikasi dua arah yang baik
Disfonia (suara serak) antara pasien dengan
perawat,keluarga serta petugas
kesehatan lainnya
Supportif dan Edukatif :
- Menganjurkan pasien
mengungkapkan perubahan gaya
hidup
Pencegahan terhadap Tidak merokok Klien mengeluh nyeri pada luka post op Wholly Compensantory System : Kelelahan
Resiko yang limfadenitis - Penggunaan alat bantu (kursi Resiko trauma
Mengancam Jiwa P : Nyeri bertambah apabila reaksi analgetik roda) Resiko Injury
Tidak mengkonsumsi alcohol hilang, nyeri berkurang apabila diberi - Membutuhkan terapi pengobatan Gangguan rasa nyaman nyeri
terapi analgetik (analgesic, sedative, narkotik) Resiko Infeksi
Memperbaiki ventilasi udara Q : Nyeri seperti tersayat, sampai leher sulit Partially Compensatory System : Gangguan integritas kulit
digerakkan - Penggunaan alat bantu (tongkat,
R : Nyeri pada luka operasi daerah leher kruk, walker)
Mengerti etika batuk dan bersin sebelah kanan, tidak menyebar - Penggunaan tempat yang tenang,
S : Skala nyeri 6 dari 10 pembatasan pengunjung
T : nyeri jika leher digerakkan Supportif dan Edukatif :
Tidak adanya deformitas Terdapat luka operasi hari ke 2 - Menganjurkan latihan rentang
Tidak terjadi injury Terpasang drain gerak sendi secara aktif maupun
Mengunakan alat bantu dalam Luka masih basah pasif
beraktifitas Terdapat lesi pada seluruh tubuh pasien - Menjelaskan pentingnya
Hasil : . . . . . . . . . . . . Pasien mengatakan gatal pada seluruh tubuh kebutuhan istirahat dalam proses
Pasien sering menggaruk penyembuhan penyakit
Vaksinasi
Hasil : . . . . . . . . . . . .
Peningkatan Fungsi Pasien mematuhi instruksi Tidak mampu mandi/mengenakan pakaian Wholly Compensantory System : Defisit perawatan diri
dan Perkembangan perawat /makan ke toilet - Membutuhkan bantuan
Hidup dalam Pasien mampu Minat melakuakan perawatan diri kurang sepenuhnya dalam
Kelompok Sosial mempertahankan Keterbatasan pergerakan menyelesaikan perawatan diri
keinginannya untuk sembuh Hasil : . . . . . . . . . . . . Partially Compensatory System :
- Membutuhkan bantuan sebagian
dalam perawatan diri
Supportif dan Edukatif :
- Menganjurkan dan menjelaskan
pentingnya kebutuhan perawatan
diri
PEMBAHASAN
ANALISA DATA
PEMBAHASAN
-
Memonitor karakteristik, warna, ukuran, cairan dan bau
luka
- membersihkan luka dengan normal salin
- merawat luka dengan konsep steril
- mengajarkan klien dan keluarga untuk melakukan
perawatan luka
- memberikan penjelasan kepada klien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala dari infeksi
- melakukan Kolaborasi pemberian antibiotic
E : Pasien pulang sore
Gangguan integritas kulit S :
berhubungan dengan adanya - Pasien mengatakan gatal pada seluruh tubuh
penurunan sistem imun O:
- Terdapat lesi pada seluruh tubuh pasien
- Pasien sering menggaruk
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
I:
- Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
- Hindari kerutan padaa tempat tidur
- Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
- Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
- Monitor kulit akan adanya kemerahan
- Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
- Monitor status nutrisi pasien
- Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
- Jaga kebersihan alat tenun
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi protein,mineral dan vitamin
- Monitor serum albumin dan transferin
I:
- menganjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
- menghindari kerutan pada tempat tidur
- menjaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
- memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
- memonitor kulit akan adanya kemerahan
- mengoleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
- memonitor aktivitas dan mobilisasi pasien
- memonitor status nutrisi pasien
- Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
- menginspeksi kulit terutama pada tulang-tulang yang menonjoldan titik-titik
menjaga kebersihan alat tenun
- melakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi protein,mineral dan
vitamin
- memoonitor serum albumin dan transferin
E : Pasien pulang
R : Intervensi dilanjutkan di rumah
DAFTAR PUSTAKA