Anda di halaman 1dari 51

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP TINGKAT DEPRESI

PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) YANG MENJALANI


TERAPI HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT ISLAM
SITI KHADIJAH PALEMBANG
TAHUN 2019

Oleh:
SEPTIAN ANGGA SAPUTRA
15.14201.30.40

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah

dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan

dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil,

serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan

darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap kuat (Kemenkes RI, 2017).

Gagal ginjal terjadi jilka ginjal tidak mampu dalam mengangkut sampah

metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya

dielimasi di urin menumpuk di dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal

dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta

asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang

umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Clevo & Margareth, 2012).

Terapi pengganti pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) untuk dapat

mempertahankan hidup adalah hemodialisa (HD), yang bertujuan menghasilkan

fungsi ginjal sehingga dapat memperpanjang kelangsungan hidup pada penderita

GGK. Hemodialisa merupakan suatu proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme

yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang mengalami kegagalan

secara permanen. Penilitian yang dilakukan di unit hemodialisa Rumah Sakit Tentara

dr. Soejono Magelang pada tahun 2017 menunjukkan nilai yang signifikan sebesar
0,000 (p>0,05) yang artinya adanya hubungan dukungan keluarga dengan tingkat

depresi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa (Kartika B. S., 2017).

Dukungan Keluarga sangat dibutukan dalam proses penyembuhan/pemulihan

penderita gagal ginjal kronik yang menjali terapi hemodialisa. Orang yang hidup

dalam lingkungan yang supportif dengan adanya perhatian, kasih sayang, motivasi

kondisinya akan jauh lebih baik dari mereka yang tidak memilikinya. Penelitian yang

dilakukan di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang pada tahun 2017 menunjukkan

bahwa hampir sebagian besar responden yang memiliki dukungan keluarga positif

(47%), sebagian besar responden memiliki kejadian depresi minimal (64%)

(Lukmanulhakim dan Lismawati, 2017).

Data Global Burder of Disease Tahun 2010 menunjukkan, Penyakit Ginjal

Kronis merupakan penyebab kematian ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat

menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk di dunia

mendapatkan perawatan dengan dialisis atau transpalantasi ginjal dan hanya sekitar

10% yang benar-benar mengalami perawatan tersebut.

Menurut prevalensi Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) >15 tahun

menunjukkan, Penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia mencapai 2.0% dan

meningkat menjadi 3.8% pada tahun 2018. Daerah yang mengalami angka tertinggi di

indonesia adalah Kalimatan Utara mencapai 2.0% pada tahun 2013 dan mengalami

peningktan menjadi 6.4% pada tahun 2018. Daerah yang mengalami angka kejadian

paling sedikit di Indonesia pada tahun 2013 diantranya adalah Nusa Tenggara Barat,

DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan
dan Riau mencapai 1.0%. daerah yang mengalami angka kejadian paling sedikit di

indonesia adalah Sulawesi Barat yang mencapai 2.0% pada tahun 2013 dan

mengalami penurunan angka kejadian menjadi 1.8% pada tahun 2018. Di Sumatera

Selatan sendiri Pada tahun 2013 mencapai 1.0% dan mengalami peningkatan

menjadi 2.3% pada tahun 2018.

(Data Kota Palembang)

(Data Rumah Sakit)

Menurut hasil penelitian (Devita J. I., 2017) menunjukkan 50% pasien

menderita depresi ringan dan 50% pasien mendapatkan dukungan keluarga baik.

Hasil uji kolerasi Spearman menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,010 dan nilai

koefisien korelasi sebesar -0,462. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pasien CKD yang menjalani hemodialisa

di RSD dr. Soebandi Jember. Semakin tinggi dukungan keluarga yang didapatkan

pasien maka semakin rendah tingkat depresi pasien tersebut.

Menurut hasil penelitian (Kartika B. S., 2017) menunjukkan nilai signifikasi

sebesar 0,000 (p<0,05) yang artinya adanya hubungan dukungan keluarga dengan

tingkat depresi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa. Ada hubungan

signifikansi dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien yang menjalani

terapi hemodialisa di unit hemodialisa Rumah sakit tentara dr. Soedjono Magelang.

Menurut hasil penelitian (Lukmanulhakim L., 2017) menunjukkan bahwa

hampir sebagian besar responden yang memiliki dukungan keluarga positif (47%),

sebagian besar responden memiliki kejadian depresi minimal (64%). Hasil analisis
bivariat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga

(p=0,010) dengan kejadian depresi. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam

proses penyembuhan/pemulihan penderita penyakit gagal ginjal kronik yang

menjalani terapi hemodialisa.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penliti pada tanggal (......)

2019 terhadap pasien di ruang (.......) ketika survey di RSI Khadijah Kota Palembang,

didapatkan (......)

Berdasarkan latar belakang diatas menjadi penting untuk dilakukannya

penelitian tentang hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada pasien

chronic kidney disease (CKD) yang menjalani terapi hemodialisa di RSI Siti

Khadijah Kota Palembang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat di ketahui angka kejadian gagal

ginjal kronis semakin meningkat dengan seiring berjalannya waktu. Pada tahun 1990

penyakit ginjal kronis menduduki peringkat ke-27 penyebab kematian dunia dan

meningkat menjadi peringkat ke-18 pada tahun 2010. Di ketahui lebih dari 2 juta

penduduk didunia mendapat perawatan dialisis dan hanya 10% yang benar-benar

mengalami perawatan tersebut. Tindakan hemodialisa dapat menurunkan resiko

kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam sirkulasi,

tetapi tindakan hemodialisa tidak menyembuhkan atau mengembalikan fungsi ginjal

secara permanen. Di indonesia sendiri mengalami peningkatan penyakit ginjal kronik

yang semula hanya 2.0% meningkat pada tahun 2018 menjadi 3.8%. Di Sumatera
Selatan sendiri mengalami peningkatan pada tahun 2013 mencapai 1,0% menjadi

2,3% pada tahun 2018.

Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya

hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien cronic kidney

disease (CKD) yang menjalani hemodialisa di RSI Siti Khadijah Palembang.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah ada hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada

pasien chronic kidney disease (CKD) yang menjalani terapi hemodialisa di RSI Siti

Khadijah Kota Palembang.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahuinya hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada

pasien chronic kidney disease (CKD) yang menjalani terapi hemodialisa di RSI Siti

Khadijah Kota Palembang.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa di RSI Siti Khadijah Kota Palembang.

2. Mengetahui distribusi frekuensi tingkat depresi pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa di RSI Siti Khadijah Kota Palembang.

3. Mengetahui hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSI Siti Khadijah

Kota Palembang.
1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini bermanfaat menambah wawasan perawat dalam memahami

tingkat depresi pasien chronic kidney disease yang menjalani terapi hemodialisa,

sehingga berguna dalam meningkatkan kualitas asuhan keperawatan untuk

peningkatan pelayanan keperawatan.

1.5.2 Bagi STIK Bina Husada

Bagi institusi pendidikan diharapkan dapat menjadi tambahan masukan

sumber informasi dalam proses pengembangan belajar dalam teori dan praktik

khususnya dibidang ilmu keperawatan mengenai penyakit gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa.

1.5.3 Bagi Peneliti

Dapat dijadikan sebagai penerapan ilmu yang didapat selama proses belajar

dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan wawasan keilmuan khususnya

tingkat depresi pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini masuk kedalam area masalah keperawatan medikal bedah.

Penelitian ini dilakukan di RSI Siti Khadijah Kota Palembang dan di rencakan akan

dilakukan pada bulan Mei 2019. Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang

menjalani hemodialisa di RSI Siti Khadijah Kota Palembang. Pengambilan sampel

dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria melakukan

hemodialisis minimal 3 bulan, dan kemauan untuk berpartisipasi dalam penelitian.


Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 30 responden. Desain penelitian ini

merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional dengan uji Chi-

square.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik (GGK) atau sering disebut dengan Chronic Kidney

Disease (CKD) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih dan

dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah dipakai sebagai nama keadaan ini

selama lebih dari satu abad, walaupun sekarang kita sadari bahwa gejala gagal ginjal

kronik tidak seluruhnya disebabkan retensi urea di dalam darah (Herdin. M. G, 2009).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yaitu penyakit ginjal atahp akhir dimana kemampuan

tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit

serta mengarah pada kematian (Padilla, 2012).

Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible di mana kemampuan tubuh

gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal

ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan

internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada

kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap

sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Haryono, 2013).

Gagal ginjal kronis disebut juga sebagai Chronic Kidney (CKD). Perbedaan

kata kronis disini dibanding dengan akut adalah kronologis waktu dan tingkat
fisiologis filtrasi. Berdasarkan Mc. Clellan (2006) dijelaskan bahwa gagal ginjal

kronis merupakan kondisi penyakit pada ginjal yang persisten (keberlangsungan >3

bulan) dengan kerusakan ginjal, kerusakan Glomerular Rae (GFR) dengan angka

GFR <60 ml/menit/1.73 m2 (Eko & Andi, 2014).

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Ginjal berfungsi :

1. Mengatur volume air (cairan dalam tubuh). Kelebihan air dalam tubuh

akan dieksresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam

jumlah besar, kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine

yang diekskresi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga

susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.

2. Mengatur keseimbangan osmitik dan mempertahankan keseimbangan ion

yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi


pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan garam

yang berlebihan/penyakit perdarahan (diare,muntah) ginjal akan

meningkatkan ekskresi ion-ion yang penting (misal : Na, K, Cl, Ca dan

posfat).

3. Mengatur keseimbangan asam-basa cairan tubuh bergantung pada apa

yang dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak

asam, pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein.

Apabila banyak makan sayur-sayuran, urine akan bersifat basa. pH urine

bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan

perubahan pH darah.

4. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat

toksik, obat-obatan, hasil metabolism hemoglobin dan bahan kimia asing

(pestisida).

5. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin yang

mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin

angiotensin aldesteron) membentuk eritripoiesis mempunyai peranan

penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).

Disamping itu ginjal juga membentuk hormon dihidroksi kolekalsiferol

(vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorsi ion kalsium di usus.

2.1.3 Etiologi

Menurut Padilla (2012), penyebab gagal ginjal kronik adalah:


1. Diabetus mellitus

2. Glumerulonefritis kronis

3. Pielonefritis

4. Hipertensi tak terkontrol

5. Obstruksi saluran kemih

6. Penyakit ginjal polikistik

7. Gangguan vaskuler

8. Lesi herediter

9. Agen toksik (timah, kadmium, dan merkuri)

Menurut Clevo dan Margareth (2012), penyebab gagal ginjal kronik adalah:

1) Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)

2) Penyakit peradangan glumerulonefritis

3) Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)

4) Gangguan jaringan penyambung (SLE poliarterites nodusa, sklerosi

sistemik)

5) Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis

tubulus ginjal)

6) Penyakit metabolik (DM, gocit, hiperparatiroirisme)

7) Netropati toksik

8) Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)


Menurut Haryono (2013), Penyebab gagal ginjal kronik adalah:

1) Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis).

2) Penyakit peradangan (glomerulonefritis) primer dan sekunder.

Glomerulo-nefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul

pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis

utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen

berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, peningkatan aldosteron

menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefritis kroni,

ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan

tampak ginjal mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan

bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia,

karena tubulus mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan

dinding arteri.

3) Penyakit vaskulerhipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis).

Merupakan penyakit primer dan menyebabkan hipertensi melalui

mekanisme. Retensi Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari sistem rennin,

angiotensin dan defisiensi prostagladin, keadaan ini merupakan salah satu

penyebab utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi bukan orang

kulit putih.

4) Gangguan jaringan penyambung (SLE, Poliarteritis nodusa, sklerosis

sitemik).
5) Penyakit kengenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis

tubulus ginjal). Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista

multiple, bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun

mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat

penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan eksresi H+ dari

tubulus ginjal/kehilangan HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang

memadai tetap dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metsbolik.

6) Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme).

7) Nefropati toksik.

8) Nefropati obstruktif (batu saluran kemih).

2.1.4 Patofisiologi

Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal

gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa

masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal

turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mugkin minimal

karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak.

Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta

mengalami hipertrofi.

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa

menghadapi tugas yang berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya

mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan nefron-

nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan
progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah akan

berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan

sehingga dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal

ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma. Kondisi

akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai

respon dari kerusakan nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis

dengan manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan

dari sikulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak

manifestasi pada setiap organ tubuh. (Muttaqin dan Sari, 2014).

2.1.5 Klasifikasi

Gagal ginjal dibagi menjadi 3 stadium:

a. Stadium I

Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40%-75%). Tahap inilah

yang paling ringan, faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita belum

merasakan gejala-gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih

dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN

(Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik.

Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan

memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang

lama atau dengan mngadakan test GFR yang teliti.

b. Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antara 20%-50%). Pada tahap ini penderita

dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi

ginjal menurun. Pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan

cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian

obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah-langkah

ini dilakukan secepatnya dengan tepat, dapat mencegah penderita masuk

ke tahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang

berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas

normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari

kadar protein dalam diet. Kadar kreatinin serum mulai meningkat

melebihi kadar normal. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar

pada penyakit yang terutama menyerang tubulus meskipun poliuria

bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan

anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25%. Faal ginjal

jelas sangat menurun dan timbul gejala-gejala kekurangan darah, tekanan

darah akan naik, aktivitas penderita mulai terganggu.

c. Stadium III

Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%). Semua gejala sudah

jelas dan penderita masuk dalam keadaan tak dapat melakukan tugas

sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain

mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala,

air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi


penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar

90% dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR-nya 10% dari keadaan

normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10ml/menit atau kurang.

Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan

sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal,

penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak

sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam

tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang

dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit

mula-mula menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan

gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik memengaruhi setiap sistem

dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan

meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi

ginjal atau dialisis (Haryono, 2013).

2.1.6 Manifestasi Klinis

Menurut Eko dan Andi (2014), menunjukkan bahwa tanda dan gejala klinis

pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang bersifat sistemik. Ginjal

sebagian organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak

(organs multifunction), sehingga kerusakan kronis secara fisiologis ginjal akan

mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah

tanda gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis:


1) Ginjal dan gastrointestinal

Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi,mulut kering, penurunan

tugor kulit, kelemahan, fatique, dan mual. Kemudian terjadi penurunan kesadaran

(somnolen) dan nyeri kepala yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium

adalah peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan.

Kelebihan cairan yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis

metabolik. Tanda paling khas adalah terjadinya penurunan urine output dengan

sedimendasi yang tinggi.

2) Kardiovaskuler

Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomypati, uremic percarditis, effusi

perikardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung), gagal jantung, edema

periorbital dan edema perifer.

3) Respiratory system

Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura,

crackles, spuntum yang kental, uremic pleuritis, dan uremic lung, dan sesak

nafas.

4) Gastrointestinal

Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa

gastrointestinal karena stomatis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan kemungkinan

juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis, ulseratif duodenal, lesi pada usus

halus/usus besar, colitis, dan pankreatitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti

seperti anoreksia, nausea dan vomiting.


5) Integumen

Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering, dan ada scalp. Selain itu,

biasanya juga menunjukkan adanya purpura ekimosis, petechiae, dan timbunan

urea pada kulit.

6) Neurologis

Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri gatal pada lengan,

dan kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot dan refleks kedutan, daya

memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma, dan

kejang. Dari hasil EEG menunjukkan adanya perubahan metabolik

encephalophaty.

7) Endokrin

Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan gangguan siklus

menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, pemimgkatan

sekresi aldosteron, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.

8) Hematopoitiec

Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah trombositopenia

(dampak dari dialisis), dan kerusakan platele. Biasanya masalah yang serius pada

sistem hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpora, ekimosis,

dan petechiae).

9) Muskuloskeletal

Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur patologis, dan

klasifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).


2.1.7 Penatalaksanaan Medis

Menurut Eko dan Andi (2014), menunjukkan bahwa fungsi ginjal yang rusak

sangat sulit untuk dilakukan pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien

gagal ginjal kronis adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan

mempertahankan kesimbangan secara maksimal untuk memperpanjang harapan hidup

klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal kronis membutuhkan

penatalaksnaan terpadu dan serius, sehingga akan meminimalisir komplikasi dan

meningkatkan harapan hidup klien. Oleh karena itu, Beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam melakukan penatalaksanaan pada klien gagal ginjal kronik:

1) Perawatan kulit yang baik

Perhatikan hygiene kulit pasien dengan baik melaluipersonal hygiene (mandi)

secara rutin.

2) Jaga kebersihan oral

Lakukan perawat oral hygiene melalui sikat gigi dengan bulu sikat yang

lembut/spon. Kurangi konsumsi gula untuk mengurangi rasa tidak nyaman di

mulut.

3) Beri dukungan nutrisi

Kolaborasi dengan nutrition untuk menyediakan menu makanan favorit sesuai

dengan anjuran diet. Beri dukunan intake tinggi kalori, rendah natrium dan

kalium.

4) Pantau adanya hiperkalemia


Hiperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/kram pada lengan,

abdomen, dan diarea.

5) Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia bisa diatasi dengan pemberian

antasida (kandungan alumunium/kalsium karbonat)

6) Kaji status hidrasi dengan hati-hati

Dilakukan dengan memeriksa ada/tidaknya distensi vena jugularis, dan crackles

pada auskultasi paru.selain itu juga, status hidrasi bisa dilihat dari keringat

berlebih pada aksila, lidah yang kering, hipertensi, dan edema perifer.

7) Kontrol tekanan darah

Tekanan diupayakan dalam kondisi normal. Hipertensi dicegah dengan

mengontrol volume intravaskuler dan obat-obatan antihipertensi.

8) Pantau ada/tidaknya komplikasi pada tulang dan sendi.

9) Latih klien napas dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya kegagalan

napas akibat obstruksi.

10) Jaga kondisi septik dan aseptik setiap prosedur perawatan (pada perawatan luka

operasi).

11) Observasi adanya tanda-tanda perdarahan.

12) Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit klien. Pemberian heparin selama klien

menjalan dialisis harus disesuaikan dengan kebutuhan.

13) Observasi adanya gejala neurologis.

14) Atasi komplikasi dari penyakit.


15) Laporkan segera jika ditemui tanda-tanda perikarditis (friction rub dan nyeri

dada).

16) Tata laksana dialisis/transplantasi ginjal.

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Doenges dan Marilynn (2000) dalam Padila (2012),

menunjukan bahwa pemeriksaan diagnostik sebagai berikut:

1. Urin

 Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)

 Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh

pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan

menunjukkan adanya darah, hb, mioglobin, porfirin.

 Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat

 Osmoalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan

ginjal tubular dan rasio urin/serum sering 1:1

 Klirens kreatinin: mungkin agak menurun

 Natrium: lebih besar dari 40mEq/L karena ginjal tidak mampu

me-reabsorbsi natrium

 Protein: derajat tinggi proteinuria secara kuat menunjukkan

kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada

2. Darah
 BUN/kreatini: meningkat, kadar kreatinin 10mg/dl diduga tahap

akhir

 Hematoksit: menurun pada adanya anemia. Hemoglobin biasanya

kurang dari 7-8 gr/dl

 SDM: menurun, defisiensi eritropoitin

 GDA: asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2

 Natrium serum: rendah

 Kalium: meningkat

 Magnesium: meningkat

 Kalsium: menurun

 Protein: menurun

3. Osmolalitas serum: lebih dari 285 msOm/kg

4. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter

5. Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,

obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas

6. Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar

batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif

7. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi

ekstravaskular, masa

8. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.


2.2 Konsep Dasar Hemodialisa

2.2.1 Definisi Hemodialisa

Hemodialisis berasal dari kata hemo=darah, dan dialisis=pemisahan atau

filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk

mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun

secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Terapi ini

dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang di lengkapi dengan membran

penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemdialisa dapat dilakukan pada saat

toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen

atau menyebabkan kematian (Muttaqin dan Sari, 2011).

Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapipengganti fungsi

ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran

darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatin, asam urat, dan

zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan

dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi

(Clevo & Margareth, 2012).

Hemodialisa merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal

ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaiki

ketidakseimbangan elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi dengan menggunakan

sistem dialisa eksternal dan internal. Proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat

toksik lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah dan

cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dializir (Andra & Yessie, 2013).
2.2.2 Indikasi dan Kontra indikasi

Indikasi terapi hemodialisa:

1) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk

sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus <5 ml).

2) Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat

indikasi:

a. Hiperkalemia (K+ darah > 6 meq/l)

b. Asidosis

c. Kegagalan terapi konservatif

d. Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah (ureum > 200 mg%, kreatinin

serum > 6 mEq/l

e. Kelebihan cairan

f. Mual dan muntah hebat

3) Intoksikasi obat dan zat kimia.

4) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat.

5) Sindrom hepatorenal dengan kriteria.

a. K+ pH darah < 7,10 => asidosis

b. Oliguria / an uria > 5 hr

c. GFR < 5 ml/i pada GGK

d. Ureum darah > 200 mg/dl (Andra & Yessi, 2013).

Kontra indikasi terapi hemodialisa:

1) Hipertensi berat (TD > 200 / 100 mmHg).


2) Hipotesis (TD < 100 mmHg).

3) Adanya pendarahan hebat.

4) Demam tinggi (Wijaya dan Putri, 2013).

2.2.3 Prinsip Hemodialisa

Pada Muttaqin dan Sari (2011), menjelaskan bahwa ada tiga prinsip yang

mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.

1) Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di

dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.

2) Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu

perbedaan osmolalitas dan dialisat.

3) Proses ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan

hidrostatik di dalam darah dan dialisat.

2.2.4 Prosedur Hemodialisa

Ada 3 unsur penting untuk sirkuit HD :

a. Sirkuit darah

Dari klien mengalir darah dari jarum/kanul arteri dengan pompa darah

(200/250 ml/mnt) ke kompartemen darah ginjal buatan kemudian

mengembalikan darah melalui vena yang letaknya proksimal) terhadap

jarum arteri.
Sirkuit darah punya 3 monitor: tekanan arteri, tekanan vena dan detektor

gelembung udara.

b. Sirkuit dialisat / cairan dialisat

Cairan yang terdiri dari air, elektrolit

Air bersih, bebas dari elektrolit, mikroorganisme atau bahkan asing lain

perlu diolah dengan berbagai cara.

Konsentrat dialisat berisi komposisi elektrolit :

 Na+ : 135 - 145 meq/l

 K+ : 0 – 4,0 meq/l

 Cl- : 90 – 112

 Ca : 2,5 – 3,5 meq/l

 Mg : 0,5 -2,0 meq/l

 Dext 5% : 0 – 250 meq/l

 Acetat/bicarbonat : 33 – 45

2.2.5 Komplikasi

Komplikasi dalam pelasanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat

dilakukan terapi adalah:

1. Hipotensi

2. Kram otot

3. Mual atau muntah

4. Sakit kepala
5. Sakit dada

6. Gatal-gatal

7. Demam dan menggigil

8. Kejang (Clevo & Margareth, 2012).

2.3 Konsep Depresi

2.3.1 Definisi Depresi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan

dengan alam perasaan yang sedih gejala penyertaanya. Termasuk perubahan pada

pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrai, anhedonia, kelelahan, rasa putus

asa dan tidak berdaya serta bunuh diri (Lestari, 2015).

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan

dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada

pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa

putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Manurung, 2016).

2.3.2 Teori Tentang Depresi

Menurut Lestari (2015), Ada beberapa teori yang dapatdigunakan untuk

menjelaskan munculnya gangguan depresi, dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Teori biologis

Adanya disregulasi aminobiogenik, pnurunan aktivitas serotigenik, juga

disregulasi asetilkolin.

2. Pandangan psikodinamika
Studi psikologi tentang depresi dimulai oleh freud dan karl Abraham. Mereka

menggambarkan depresi sebagai reaksi yang kompleks terhadap kehilangan.

3. Prespektif behavioral

Perspektif ini menjelaskan bahwa yang mengalami depresi kurang menerima

penghargaan (reward) atau lebih menerima hukuman (punishment) atau lebih

menerima hukuman (punishment) dari pada orang yang tidak mengalami

depresi. Penghargaan yang rendah dan hukuman yang tinggi tersebut

mengakibatkan gangguan depresi melalui tiga cara yaitu:

a. Sesorang yang kurang menerima penghargaan atau lebih banyak menerima

hukuman secara umum akan mengalami kehidupan kurang menyenagkan.

b. Jika prilaku seseorang tidak menghasilkan penghargaan atau hukuman,

maka individu tersebut akan mempunyai penghargaan yang rendah

terhadap dirinya dan mengembangkan konsep diri yang rendah.

c. Jika suatu prilaku tidak diberi penghargaan atau hukuman, maka

kemungkinan akan mengakibatkan penghargaan yang diterima juga kurang.

4. Perspektif kognitif

Dasar teori ini adalah adanya ide bahwa pengalaman yang sama mempengaruhi

dua orang dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh cara

pandang seseorang terhadap suatu peristiwa. Dari perspektif kognitif ini muncul

model distorsi dari Beck dia menyatakan bahwa depresi digambarkan sebagai

kognitif triad tentang pikiran berkembang terhadap dirinya sendiri, terhadap

situasi, dan terhadap masa depan.


2.3.3 Etiologi Depresi

Menurut Manurung (2016), faktor penyebab depresi dapat secara buatan di

bagi menjadi faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial.

a. Faktor Biologi

Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,

seperti: 5 HIAA (5 Hidrosi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH

(5 Methroxy – 0 – hydroksi phenil glikol), di dalam darah urine dan cairan

serebrospinal pada pasien gangguan mood.

b. Faktor Genetik

Penelitian genetic dan keluarga menunjukan bahwa angka resiko diantara

anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat

(unipolar) diperkirakan 2 – 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.

c. Faktor psikososial

Penyebab defresi salah satunya ialah kehilangan objek yang di cintai. Ada faktor

psikososial salah satunya kehilangan salah satunya hilangnya peran sosial,

hilangnya otonomi, kematian teman atau saudara penurunan kesehatan,

peningkatan isolasi diri.

2.3.4 Gejala – gejala depresi

Orang dengan gangguan depresi tidak selalu memiliki gejala yang sama satu

dengan lain. Gejala – gejala depresi antara lain:

a. Perasaan sedih yang menetap,khawatir atau perasaan kosong.

b. Perasaan putus asa dan atau psimisme.


c. Perasaan bersalah, perasaan tidak berharga dan atau putus asa.

d. Cepat marah, tidak dapat istirahat.

e. Insomnia, terjaga dipagi buta, atau tidur yang berlebihan.

f. Pikiran untuk bunuh diri, usaha bunuh diri.

g. Perasaan sakit yang menetap, sakit kepala, kram atau gangguan pencernaan yang

tidak mudah disembuhkan walaupun dengan perawatan (Manurung, 2016).

2.3.5 Macam – macam depresi

Ada beberapa macam dari gangguan depresi, yaitu (Manurung, 2016) :

1. Major Depressive Disorder (gangguan depresi berat)

gangguan ini terdapat beberapa gejala yang mengganggu seseorang untuk

bekerja, tidur, belajar, makan dan menikmati kegiatan yang seharusnya

menyenangkan.

2. Dysthymic Disorder (dysthymia)

Adanya tanda berupa waktu yang lama (dua tahun atau lebih) tidak

terdapat gejala – gejala yang dapat mengganggu kemampuan seseorang

tetapi dapat mengganggu fungsinya secara normal seperti perasaan yang

nyaman.

Beberapa bentuk gangguan depresi menunjukan sedikit perbedaan

karakteristik dari gambaran di atas, atau mungkin saja beberapa gangguan

depresi berkembang dalam keadaan yang unik. Tidak semua ilmuansetuju

dalam hal menggolongkan dan mendefinisikan bentuk – bentuk dari

depresi ini:
a. Psycholic depression, terjadi ketika gangguan defresi dibarengi

dengan gangguan psikosis, seperti memungkiri kenyataan, halusinasi

dan delusi.

b. Postpartum depression (depresi postpartum), yang terjadi pada

seseorang ibu yang baru melahirkan.

c. Seasonal affective disorder (SAD), ditandai dengan gangguan depresi

selama musim dingin, musim panas, dimana pada musim tersebuttidak

ada cahaya matahari. Depresi ini secara umum akan menghiang selama

musim gugur dan musim semi. SAD biasanya diberi perlakuan berupa

terapi cahaya.

2.3.6 Tingkatan Depresi

Depresi menurut PPDGJ-III (2001) dalam Lestari (2013), di bagi dalam tiga

tingkatan yaitu ringan, sedang, berat dimana perbedaan antara episode depresif

ringan, sedang, dan berat terletak pada penilaian klinis yang kompleks yng meliputi

jumlah, bentuk dan keparahan gejala yang ditemukan.

1. Depesi ringan

a. Sekurang kurangnya harus ada dua dari gejala – gejala utama depesi.

b. Ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala yang lain.

c. Lama seluruh episode berlangsung sekuran – kurangnya sekitar dua minggu.

d. Tidak boleh ada gejala berat di antaranya.

2. Depresi sedang

a. Sekurang – kurangnya ada dua dari gejala utama dari deresi ringan.
b. Dan sekurang – kurangnya tiga dan sebaik – baiknya ada empat dari gejala

lain.

c. Lama seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu.

d. Mengahadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan

dan urusan rumah tangga.

3. Depresi berat

a. Semua tiga dari tiga gejala depresi harus ada.

b. Ditambah sekurang – kurangnya empat dari gejala lainnya.

c. Bila ada gejala penting yang jelas, maka pasien tidak mau atau tidak mampu

untuk melaporkan banyak gejala.

d. Lamanya sekurang-kurangnya 2 minggu.

e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu melanjutkan kegiatan sosial.

2.3.7 Penatalaksanaan Depresi

Menurut Lestari (2013), Depresi pada pasien dapat lebih efektif di obati

dengan kombinasi dari psikotrapi yaitu, psikoanalitik psikoterapi :

1. Psikotik yang berorientasi insight

Insight merupakan pemahaman pesan terhadap fungsi psikologis dan

kepribadian, pasien mengalami maladaptifnya dengan mengubah perasaan.

2. Psikotik Suportif

Dukungan oleh figure authority (terapis) dengan bersikap hangat, bersahabat,

membimbng dan memuaskan.

3. Psikotrapi kelompok
Klien membuat sebuah kelompok yang terdiri dari 1 kelompok minimal 3 orang,

dan maksimal 8 – 10 orang. Dan pasien belajar adaftasi dengan kelompok.

4. Latihan relaksasi

Banyak digunakan pada kasus keluhan fisik dengan frekuensi denyut jantung

menurun, tekanan darah menurun, neuromuscular stabil seperti yoga, hypnosis,

realaksasi dengan bimbingan suara.

5. Terapi prilaku

Terapi prilaku ditunjukan untuk mengubah prilaku maladaptife dengan Jenjang

terapi untuk mengatasi depresi dengan menentukan pola tingkah laku

maladaptive.

2.4 Konsep Keluarga

2.4.1 Pengertian keluarga

Keluarga berasal dari bahasa sansakerta: kula dan warga “kulawarga” yang

berarti “anggota” kelompok kerabat. Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa

orang yang masih memiliki hubungan darah (Jhonson dan Leny, 2010).

Bailon dan Maglaya (1989) dalam Salvari (2013), mengemukakan keluarga

adalah dua atau lebih dari individu yang tergabung karena adanya hubungan darah,

hubungan perkawinanatau pengangkatan dan merka hidup dalam satu rumah tangga,

berinteraksi satu sama lain, dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta

mempertahankan kebudayaan. UU No. 10 Tahun (1992) dalam Salvari (2013),

mengemukakan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari

suami-istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya. Friedman (1998) dalam Salvari (2013), mengemukakan keluarga adalah

kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan

emosional dan indiviu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari

keluarga.

2.4.2 Struktur keluarga

Menurut Harmoko (2012), menjelaskan struktur keluarga terdiri atas

bermacam-macam, diantaranya adalah:

1) Patrlineal adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah dalam

beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur ayah.

2) Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah

dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.

3) Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah

istri.

4) Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga saudara

suami.

5) Keluarga kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan

keluarga dan beberapa sanak.

2.4.3 Tipe/bentuk keluarga

Menurut Jhonson dan Leny (2010), mengemukakan bahwa tipe keluarga

yakni:

1. inti, yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak.
2. Keluarga konjugal, yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan

anak-anak mereka, dimana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu

atau dua pihak orang tua.

3. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di

atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi,

keluarga kakek, dan keluarga nenek.

2.4.4 Fungsi keluarga

Menurut Jhonson dan Leny (2010), ada beberapa fungsi keluarga dalam

konsep keluarga adalah sebagai berikut:

1) Fungsi biologis:

a. Meneruskan keturunan,

b. Memelihara dan membesarkan anak,

c. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga,

d. Memelihara dan merawatanggota keluarga.

2) Fungsi psikologis:

a. Memberikan kasih sayang dan rasa aman,

b. Memberikan perhatian diantara anggota keluarga,

c. Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga,

d. Memberikan ientitas keluarga.

3) Fungsi sosialisasi:

a. Membina sosialisasi pada anak,


b. Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat

perkembangan anak,

c. Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

4) Fungsi ekonomi:

a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga,

b. Pengaturan penggunaan penghasilan keluargauntuk memenuhi kebutuhan

keluarga,

c. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang

akan datang (pendidikan, jaminan hari tua).

5) Fungsi pendidikan:

a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan

membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang

dimilikinya,

b. Mempesiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam

memenuhi peranannya sebagai orang dewasa,

c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.

2.4.5 Tugas kesehatan keluarga

Menurut Jhonson dan Leny (2010), tugas kesehatan keluarga adalah sebagai

berikut.

a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keliarga.

b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.


c. Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan yang

tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu

muda.

d. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarga.

e. Mempertahankan hubungan timbal balik antar keluarga dan lembaga-lembaga

kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas

kesehatan yang ada.

2.4.6 Dukungan keluarga

Menurut Nadirawati tahun 2018, dukungan sosial keluarga merujuk pada

dukungan sosial yang dirasakan oleh anggota keluarga ada atau dapat diakses

(dukungan sosial dapat atau tidak digunakan, pendukung siap memberikan bantuan

dan pertolongan jika dibutuhkan). Dukungan sosial keluarga dapat datang dari dalam

dukungan sosial keluarga, seperti dukungan pasangan atau dukungan sibling atau dari

luar dukungan sosial keluarga, yaitu dukungan sosial berada di luar keluarga nuklir

(dalam jaringan sosial keluarga).

Menurut Hernilawati (2013), jenis dukungan keluarga ada 4, yaitu sebagai

berikut:

a. Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis

dan konkrit.

b. Dukungan informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor

dan disseminator (penyebar informasi).


c. Dukungan penilaian (appraisal), yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah

umpan balik, membimbing dan menengah pemecahan masalah dan sebagai

sumber dan validator identitas keluarga.

d. Dukungan emosional yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan

damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap

emosi.

2.5 Penelitian Terkait

Berdasarkan penelitian Lukmanulhakim dan Lismawati (2017), dengan judul

Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kejadian Depresi pada Penderita

Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUD dr. Dradjat

Prawiranegara Serang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar

responden yang memiliki dukungan keluarga positif (47%), sebagian besar responden

memiliki kejadian depresi minimal (64%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada

hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga (p=0,010) dengan kejadian

depresi. Yang artinya dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam proses

penyembuhan/pemulihan penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisa.

Berdasarkan penelitian Kartika Nurmalia dkk (2017), dengan judul Hubungan

Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi pada Pasien yang Menjalani Terapi

Hemodialisa di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono Magelang. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dengan jumlah sampel 46 responden dengan teknik

accidental sampling. Menunjukkan nilai signifikan sebesar 0,000 (p<0,05) yang


artinya adanya hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien yang

menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono

Magelang.

2.6 Kerangka Teori


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif survey analitik

dengan pendekatan desain Cross Sectional yaitu penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara hubungan dengan efek dengan cara pendekatan observasi

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat artinya tiap subjek penelitian hanya

diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau

variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010).

Desain ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga

terhadap tingkat defresi pada pasien Choronic Kidney Disease ( CKD) yang

menjalani terapi hemodialisa di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang 2019.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang tahun 2019.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Tahun 2019.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi merupakan wilayah generelisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang,
tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar

jumlah yang ada pada objek/subjek yang dipelajari, akan tetapi meliputi seluruh

karakteristik/sifat yang dimiliki oleh objek/subjek itu (Setiadi, 2013).

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasien CKD yang menjalani

hemodialisa di Rumah Sakit Islam Siti Khadjah Palembang Tahun 2019.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi. Dengan kata lain, sampel adalah elemen-elemen

populasi yang dipilih berdasarkan kemampuan mewakilinya (Setiadi, 2013).

Pengambilan sampel di dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani

hemodialisa sebanyak 30 pasien CKD yang menjalani terapi hemodialisa

3.3.3 Teknik Sampling Purposive Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Purposive

Sampling dengan pengambilan data secara purposive didasarkan pada suatu

pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat –

sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya,(Notoatmojo,2012).

Kriteria Inklusi penelitian ini adalah :

a. ……………..

b. ……………..

c. ………………..

Kriteria ekslusi penelitian ini adalah :

a. ……………..
b. ……………

c. ……………………..

penulis, maka sample yang di dapatkan adalah sebanyak …………………

3.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu

terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konsep ini

gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar tentang suatu

topik yang akan dibahas. Kerangka ini didapatkan dari konsep ilmu/teori yang

dipakai sebagai landasan penelitian yang didapatkan dibab tinjauan pustaka atau

kalau boleh dikatakan oleh penulis merupakan ringkasan dari tinjauan pustaka yang

dihubungkan dengan garis sesuai variabel yang diteliti (Setiadi, 2013).

Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas dan variabel terikat.

Variabel bebas dalam penelitian ini ……………….

Skema 3.1
Kerangka Konsep penelitian

Independen (Bebas) Dependen (Terikat)


3.5 Definisi Operasional

Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel

diamati/diteliti, perlu sekali variabel-variabel tersebut diberi batasan atau “definisi

operasional variable”. Definisi operasional ini penting dan di perlukan juga

bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen (alat ukur)

(Notoatmodjo, 2010).

Adapun definisi operasional dari penelitian adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1

Definisi Operasional

Definisi Skala
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Tingkat Kondisi Wawancara Kuesioner Dinyatakan Interval

Depresi dimana interval dalam

seseorang skor:

mengalami 1. Ringan

gangguan jika skor

mood yang di 5-8

tandai oleh 2. Sedang

hilangnya jika skor

perasaan 9-11

kendali dan 3. Berat jika


pengalaman skor 12-15

subjektif

adanya

penderitaan

berat

Dukunga Bantuan Wawancara Kuesioner 1. Baik, jika Ordinal

n berupa skor >

Keluarga dukungan mean/medi

informasi, an

simpatik dan 2. Kurang,

empati, cinta jika skor <

dan mean/medi

kepercayaan an

dan

penghargaan

pada pasien

penyakit gagal

ginjal yang

menjalani

terapi

hemodialisa
3.6 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di

mana rumusan penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan

(Sugiyono, 2017). Hipotesis dalam penelitian ini yaitu:

Ha :

a. ………………………………

Ho :

a. ………………………………………

3.7 Pengumpulan Data

3.7.1 Sumber Data

a. Data primer

dalam penelitian ini adalah data yang di dapat langsung dengan

menggunakan kuesioner dan wawancara yang di isi oleh responden yaitu

pasien CKD yang menjalani hemodialisa di rumah sakit islam siti khadjah

tahun 2019.

b. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari

……………………………………………………………………………..

Tahun 2019.
3.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dengan menggunakan

wawancara yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang tingkat kecemasan dan

kualitas tidur lansia penderita Reumatoid Arthritis.

Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap

pelaksanaan.

1. Tahap Persiapan

a. Pada tahap ini peneliti mengurus surat perizinan tempat penelitian dengan

mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Ketua Program Studi

Ilmu Keperawatan STIK Bina Husada Palembang yang diajukan ke rumah

sakit islam siti khadijah .

b. Setalah surat di Acc oleh pihak kampus, peneliti mengajukan surat

pemohonan izin penelitian kepada pihak rumah sakit.

c. Setelah surat atau izin dari rumah sakit, peneliti mendatangi kembali rumah

sakit islam siti khadijah.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini, peneliti akan melakukan pengumpulan data dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan responden terlebih dahulu dengan mengambil responden sesuai

dengan kriteria melalui wawancara dengan petugas kesehatan rumah sakit

maupun melihat data rekam medik pasien CKD yang menjalani hemodialisa.

b. Melakukan perkenalan identitas dengan responden.


c. Memberikan informasi penelitian dengan sejelas-jelasnya kepada responden.

d. Melakukan kesepakatan atau informed concent kepada responden dan

melakukan kesepakatan yang akan dilakukan.

e. Melakukan wawancara dan observasi kepada responden.

f. Dengan cara bertanya langsung tentang poin yang kita inginkan.

g. Ucapan terima kasih atas kerjasama antara responden dan peneliti.

3.8 Pengolahan Data

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh data

atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan

rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan. Ada beberapa

kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam pengolahan data dibagi menjadi 5 tahap,

yaitu (Setiadi, 2013).

1. Editing (Memeriksa)

Adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para

pengumpul data.

2. Coding (Memberi Tanda Kode)

Adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dan para responden ke dalam

bentuk angka/bilangan. Biasanya klasifikasi di lakukan dengan cara memberi

tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban.

3. Skoring (Pemrosesan Data)

Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data yang
sudah di-entry dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-

entry data dan kuesioner ke paket program komputer. Ada bermacam-macam

paket program yang dapat digunakan untuk pemrosesan data dengan masing-

masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Salah satu paket program yang

sudah umum digunakan untuk entry data adalah paket program SPSS for

Window.

4. Cleaning (Pembersihan Data)

Pembersihan data, lihat variabel apakah data sudah benar atau belum.

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data

yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut

dimungkinkan terjadi pada saat kita meng-entry data ke computer.

5. Mengeluarkan informasi

Disesuaikan dengan tujuan penelitian yang dilakukan.

3.9 Analisa Data

3.9.1 Analisa Univariat

Pada analisa ini semua datayang terkumpul di sajikan dalam bentuk table

distribusi frekuensi gunanya untuk mendapatkan gambaran distribusi dari responden

atau variable yang di teliti. (Notoatmodjo, 2012).

3.9.2 Analisa Bivariat

Apabila telah dilakukan analisa univariat tersebut diatas, hasilnya akan

diketahui karakteristik atau destribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis

bivariat. Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel


independen adalah tingkat ............ dan variabel dependen adalah ............. Untuk

membuktikan adanya hubungan antara dua variable tersebut di gunakan uji statistik

Chi Squere dengan batasan kemaknaan 0,05 < Apabila nilai P , 0,05 maka hasil

perhitungan statistic bermakna dan apabila nilai P > 0,05 maka hasil perhitungan

statistic tidak bermakna. (Notoatmodjo, 2010). Analisi bivariat dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Tingkat Depresi

pada Pasien CKD yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSI Siti Khadijah

Palembang.

3.10 Etika Penelitian

Dalam peneletian ini peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Rumah Sakit

Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan sebagai tempat penelitian melalui

rekomendasi dari institusi pendidikan. Selanjutnya lembar persetujuan disampaikan

kepada responden dengan menekankan pada etika yang meliputi (Hidayat, 2014):

1. Informed Consent

Subjek yang akan diteliti sebelumnya di beritahu tentang maksud, tujuan,

manfaat dan dampak dari tindakan yang dilakukan.

2. Anonymity

Anonymity merupakan etika penelitian dimana peneliti tidak mencantumkan

nama responden pada lembar alat ukur, tetapi hanya menuliskan kode pada

lembar pengumpulan data.

3. Confidentiality
Kerahasian informasi yang dikumpulkan dari subyek dijamin oleh peneliti,

seluruh informasi akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan hanya

kelompok tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai