HPK 2.4 Panduan Penolakan Resusitasi
HPK 2.4 Panduan Penolakan Resusitasi
YOGYAKARTA 2019
BAB I
DEFINISI
A. Pengertian
Resusitasi adalah tindakan atau usaha yang dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis . (Sunartrio DR, Resusitasi Jantung
Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur,IDI ,Jakarta,hal 193)
Resusitasi adalah suatu usaha pemberian bantuan untuk mengembalikan fungsi organ-
organ vital ke fungsi optimal guna mencegah terjadinya kematian melalui pengenalan
dan intervensi segera (, materi pelatihan PPGD bagi tenaga Keperawatan, 1998)
Resusitasi Jantung Paru (RJP) didefinisikan sebagai sarana dalam memberikan bantuan
hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti nafas atau henti jantung. RJP
diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak bernafas dan tidak menunjukkan
adanya tanda- tanda sirkulasi.
CPR atau cardiopulmonary resuscitation adalah suatu prosedur medis yang digunakan
untuk mengembalikan fungsi jantung (sirkulasi) dan pernafasan spontan pasien bila
seorang pasien mengalami kegagalan jantung dan pernafasan. CPR melibatkan ventilasi
paru (resusitasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung) dan kompresi dinding dada untuk
mempertahankan perfusi ke jaringan organ vital selama dilakukan upaya-upaya untuk
mengembalikan respirasi dan ritme jantung yang spontan. CPR lanjut melibatkan DC
shock, insersi tube untuk membuka jalan nafas, injeksi obat-obatan ke jantung dan untuk
kasus-kasus ekstrim pijat jantung langsung
DNR (Do Not Resucitate) tidak berarti mengobati atau tidak peduli. DNR hanya berarti
tidak melakukan resusitasi dengan memberikan CPR, electric shock atau obat untuk
restart jantung. Jika situasi memburuk, ada peran dalam situasi tertentu untuk
membiarkan kerusakan alami dari tubuh terjadi
(dr Lauren Jodi Van Scoy)
Label DNR tidak berarti semua tata laksana atau penanganan aktif terhadap pasien
dihentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena, pemberian
obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua perawatan mendasar tetap harus
diberikan tanpa kecuali.
1. Harus ada tanggapan untuk melakukan resusitasi kecuali telah dibuat keputusan
secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR)
2. Keputusan tindakan DNR harus dicatat dalam rekam medis pasien
3. Diperlukan komunikasi yang baik
4. Dokter harus bicara dengan pasien yang mempunyai kemungkinan henti
nafas/jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika
terjadi henti nafas/jantung
5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan
penyakit pasien, prosedur RJP dan kemungkinan hasilnya
6. Tanggungjawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada DPJP dan dapat
konsultasi dengan dokter senior atau tim jika terdapat keraguan.
Resusitasi jantung paru sebaiknya tidak dilakukan dalam kondisi-kondisi:
1. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan pasien
2. Pasien dewasa yang kompeten secara secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan RJP
3. Terdapat alasan yang kuat, valid dan dapat diterima mengenai pengambilan
keputusan untuk tidak dilakukan tindakan RJP
4. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap dan dengan alasan yang
kuat.Pada pasien-pasien yang berada pada fase terminal penyakitnya atau sekarat, di
mana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal atau kondisi sekarat pasien
dan tidak memberikan keuntungan terapeutik (risiko atau bahayanya melebihi
keuntungannya)
Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal. Pengambilan keputusan untuk
DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien dan harus didiskusikan dengan
pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika untuk mendiskusikan tindakan DNR
pada pasien yang menjalani perawatan paliatif. Diskusi dengan pasien dan keluarga
merupakan hal yang penting dan tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup
pasien. Diskusi dapat dilakukan oleh konsultan RS, dokter, atau perawat yang bertugas.
Staf harus menyampaikan hasil diskusi dengan pasien kepada DPJP.
Jika pada situasi tertentu terdapat perbedaan antara dokter dan pasien mengenai tindakan
DNR, dokter harus menghargai kepentingan pasien (yang kompeten secara mental).Hasil
diskusi dengan pasien dan keluarga harus ditulis di Rekam Medis pasien.Pada pasien
asing (populasi minoritas), di mana terdapat kesulitan bahasa, maka wajib difasilitasi
penerjemah yang kompeten.
Berikut adalah kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien:
1. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya/sia-sia
2. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien misalnya pasien menjadi
depresi
3. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin
mendiskusikan tentang hal tersebut
4. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada pada fase sekarat/terminal
dari penyakitnya
5. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil keputusan.
Pasien diperbolehkan mengambil keputusan dini akan tindakan penyelamatan hidup
dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Usia harus lebih atau sama dengan 21 tahun
2. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk
mengambil keputusan
3. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau
keluarga atau kerabat pasien yang dipercayai pasien dan harus dicatat dalam rekam
medis pasien
4. Harus ditandatangani oleh 2 orang yaitu pasien / keluarga / kerabat yang dipercayai
dan orang lain sebagai saksi
5. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat keputusan,
dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah yang menyatakan keputusan dini ini
dapat diaplikasi untuk tindakan/penanganan spesifik, bahkan jika terdapat resiko
kematian
6. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani dan
disaksikan oleh 2 orang, diantaranya pasien.
Diskusi antara dokter dan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus atas ijin pasien.
Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga/wali
sah pasien, dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan pasien. Jika tidak terdapat
keluarga/wali yang sah dari pasien, keputusan dapat diambil oleh DPJP. Jika terdapat
situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk membuat keputusan tetapi telah
membuat keputusan dini DNR sebelumnya dan valid, keputusan ini haruslah dihargai.
Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini pasien jika terdapat hal-hal berikut
1. Pasien melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini/awal yang
dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan pasien (misalnya pindah agama)
2. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan pasien (misalnya perkembangan terkini dalam tatalaksana
pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi tertentu pasien)
3. Situasi/kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
4. Terdapat perdebatan/perselisihan mengenai keputusan dini/awal dan kasus tersebut
sudah dibawa ke pengadilan.
Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan/maksudkan, paramedik harus
bertindak sesuai dengan kepentingan/hal yang terbaik untuk pasien. Dapat meminta
saran dari dokter senior juga.Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena
mencari ada tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instruksi tersebut ada. Pasien tidak boleh menolak perawatan dasar yang diberikan.
Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai gejala-gejala yang memicu stress fisik
(seperti sesak nafas, muntah, inkontinensia), dan menejemen kebersihan diri pasien.Jika
pasien tetap menolak perawatan dasar, maka bisa dikonsultasikan ke tim etik/komite
etik Rumah Sakit/dokter senior. Rumah Sakit membuat kerangka konsep dalam hal
mengambil keputusan DNR.
Pelayanan juga harus menjelaskan dan memperhatikan bahwa pasien mengalami
kematian batang otak.
Yang dimaksud Mati Batang Otak (MBO) adalah : Suatu keadaan yang ditandai oleh
menghilangnya fungsi batang otak, diskontinuitas system neuronal saraf perifer ke
kortek (syarat mutlak untuk kesadarannya)
Prosedur menyatakan Mati Batang Otak (MBO) ,
1. Sebelum Tes Refleks Batang Otak
Harus ada tanda-tanda fungsi batang otak telah hilang :
a. Pasien koma
b. Tidak ada sikap abnormal (dekortikasi atau deserebrasi)
c. Tidak ada refleks batang otak : refleks okulosefalik
d. Tidak ada sentakan epileptik
e. Tidak ada nafas spontan
Bila salah satu (+), batang otak : refleks otak masih hidup, maka tidak perlu tes
refleks batang otak.
2. Lima Tes Refleks Batang Otak
a. Tidak ada respon terhadap cahaya
b. Tidak ada refleks kornea
c. Tidak ada refleks vestibulo - okuler
d. Tidak ada respon motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang
adekuat pada area somatik
e. Tidak ada refleks muntah (gag refleks) atau refleks batuk terhadap rangsang
oleh kateter isap yang dimasukkan kedalam trakea.
3. Pengulangan Tes
a. Tes ulang perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan pengamatan dan
perubahan tanda-tanda.
b. Interval waktu 25 menit - 24 jam tergantung rumah sakit dan rekomendasi
yang dianut.
Kewenangan menyatakan Mati Batang Otak
Yang berhak menyatakan seorang pasien mati batang otak adalah minimal 3
(orang) dokter, yaitu Dokter Spesialis Anesthesia , Dokter Spesialis Saraf dan 1
(satu) dokter lain yang ditunjuk oleh Komite Medis Rumah Sakit.
B. Tujuan
Ruang lingkup panduan ini adalah seluruh Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala meliputi.
Tindakan penolakan resusitasi atau DNR ini bisa dilakukan di:
A. Dokter
Menjelaskan hak sebagai keluarga :
1. Mengambil keputusan sesuai norma dan kepercayaan
2. Mengambil keputusan dengan pertimbangan etika dan hukum
3. Menjelaskan indikasi penolakan tindakan resusitasi, fungsi dan resiko yang mungkin
ada
4. Menjelaskan tentang:
a. Prosedur penolakan resusitasi
b. Kesempatan keluarga dan pasien untuk mendapatkan pendampingan rohani
c. Keluarga diberi kesempatan untuk mendampingi pasien
5. Memberi kesempatan keluarga bertanya atau mengungkapkan alasannya
6. Memberi kesempatan keluarga berdiskusi dengan kerabat terdekat diluar keluarga
inti
7. Menjelaskan formulir pengisian penolakan atau penghentian tindakan resusitasi
sesuai prosedur.
8. Formulir diisi lengkap oleh dokter dan keluarga disertai tanda tangan dari dokter
pemberi informasi, keluarga sebagai penerima informasi, saksi dari pihak keluarga
dan perawat sebagai saksi dari rumah sakit. Jika tidak ada saksi dari keluarga maka
perawat (selain perawat yang menjadi saksi dari rumah sakit) bisa menjadi saksi dari
keluarga dengan catatan tidak ada saksi dari keluarga. mendokumentasikan tindakan
dalam catatan terintegrasi dan mengarsipkan formulir penolakan dalam rekam medis
pasien. Melakukan perawatan pasien pada tahap terminal dengan minimal therapi.
B. Perawat
1. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien terminal
2. Menggunakan formulir permohonan kerohanian untuk permohonan pendampingan
kerohanian dan formulir penolakan resusitasi
3. Mencatat tindakan yang dilakukan pada catatan terintegrasi, formulir yang
digunakan diarsipkan dalam rekam medis pasien
C. Pastoral Sosiomedik (Pasosmed)
Memberikan pendampingan secara rohani dan memfasilitasi dalam pendampingan rohani
bagi pasien dan keluarga pasien
BAB IV
DOKUMENTASI