Anda di halaman 1dari 7

Faktor-faktor Penyebab Akseptor Kontrasepsi Drop Out

* Program Magister Kebidanan, Fakultas Ilmu Kesehatan, ‘Universitas Aisyiyah Yogyakarta,


Yogyakarta, Indonesia, ** Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Perwakilan Daerah
Istimewa Provinsi Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
Abstrak
Program keluarga berencana (KB) memiliki makna yang sangat strategis, komprehensif dan
fundamental dalam mewujudkan orang Indonesia yang sehat dan sejahtera. Tingginya angka kejadian
akseptor KB drop out memerlukan suatu upaya agar akseptor KB tetap menggunakan alat kontrasepsi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab akseptor drop out. Penelitian ini
merupakan survei analitik dengan pendekatan potong lintang. Penelitian dilakukan pada bulan Juli
sampai Desember 2016. Populasi penelitian yaitu akseptor KB yang drop out selama 3 bulan berturut-
turut dan tidak sedang hamil dengan jumlah sampel 52 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan
kuesioner tertutup dan terbuka. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui usia (OR = 6,486; 95% CI = 1,500
– 28,041), pendidikan (OR = 1,129; 95% CI = 0,265 – 4,804), riwayat KB (OR = 5,845; 95% CI = 1,252
– 27,287), dan efek samping (OR = 5,983; 95% = 1,150 – 31,136). Sebagai kesimpulan, usia, pendidikan,
dan efek samping berpengaruh signifikan penyebab akseptor KB drop out, sedangkan pendidikan tidak
berpengaruh terhadap akseptor KB drop out. Kata kunci: Akseptor drop out, efek samping, kontrasepsi

PENDAHULUAN
Menurut keluarga berencana di seluruh dunia dalam Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan, Indonesia memiliki 65 juta wanita reproduksi. Jumlah ini adalah yang tertinggi dibandingkan
dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam dengan 25,3 juta, Filipina dengan 23 juta,
Thailand dengan 17,9 juta, Myanmar dengan 14,1 juta singa, Kamboja dengan 4 juta, Lao dengan 1,6
juta, dan Timor Leste dengan 0,3 juta. Berdasarkan data tahun 2012 dari Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah pasangan pada usia
reproduksi sama dengan 47.692 orang yang terdiri dari 1.780 peserta kontrasepsi baru dan 36.267 peserta
kontrasepsi aktif.
Berdasarkan data dari World Health Statistics, tingkat akseptor kontrasepsi di negara-negara Asia
Tenggara pada 2005-2012, termasuk Thailand 80%, Kamboja 79%, Vietnam 78%, Indonesia 61%,
Filipina 49 %, Lao sebesar 38%, dan Timor Leste sebesar 22% dari persentase rata-rata penggunaan
kontrasepsi adalah sebesar 58,1% berarti bahwa Indonesia melebihi rata-rata untuk penggunaan
kontrasepsi. Namun, total tingkat kesuburan (TFR) Indonesia (2,9%) berada di bawah TFR rata-rata
negara-negara Asia Tenggara lainnya, yaitu Timor Leste 6,6%, Filipina 3,5%, Kamboja 3,4%, Laos
3,3%, Malaysia 2,6%, Brunei Darussalam 2,3%, Vietnam 1,9%, Thailand 1,6%, Singapura 1,3% .3,1
Persentase akseptor kontrasepsi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2013 menunjukkan 46,84%
akseptor injeksi, 25,13% pil akseptor, 11,53% akseptor IUD, akseptor implan 9,17%, akseptor tubektomi
3,48%, akseptor vasektomi 0,3% dan akseptor kondom 3,13%. Sementara itu, hanya ada 1.356 peserta
kontrasepsi baru yang terdiri dari 771 akseptor IUD (56,86%), 60 akseptor tubektomi (4,42%), 3 akseptor
vasektomi (0,22), akseptor 60 kondom (4,42%), akseptor aki-tanaman (87) 6,42%), 345 akseptor injeksi
(25,44%), dan 30 akseptor pil (2,21%). Ada dua metode kontrasepsi, yaitu pemilihan metode kontrasepsi
jangka panjang (LTCM) dan Non-LTCM. Penggunaan non-LTCM lebih besar dari LTCM karena rasio
penggunaan LTCM pada tahun 2012 adalah 10,6 LTCM dan Non-LTCM sebesar 47,3 dengan 45 rasio
penggunaan. Peluang akseptor putus sekolah yang lebih besar terjadi pada Non-LTCM sebesar 20-40%
karena kontrasepsi ini hanya bertahan 1-3 bulan. Selain itu, drop-out dapat disebabkan oleh beberapa
alasan, seperti kenaikan berat badan, penurunan berat badan, perdarahan, hipertensi, pusing, mual, bukan
menstruasi, kelemahan, dll.5,6 Tingkat akseptor putus sekolah di Yogyakarta pada tahun 2013 cukup
tinggi sekitar 16-20% dibandingkan tahun lalu di bawah 10%. Alasan putus akseptor yang berharap untuk
hamil adalah sebanyak 5%, masalah dalam metode kontrasepsi yang dipilih sebesar 5%, sementara alasan
lain (biaya, ketidaknyamanan, perceraian, hubungan seksual yang jarang terjadi) Mufdlilah et al,
Faktor-faktor Penyebab Akseptor Kontrasepsi Putus Sekolah 3%, kegagalan menggunakan
kontrasepsi 2%, dan keinginan untuk mengubah metode kontrasepsi 13% .7,8 Hasil analisis yang
dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta
menunjukkan bahwa 16 peserta kontrasepsi di wilayah tersebut hanya meningkatkan 1 peserta
kontrasepsi aktif, yang berarti bahwa banyak peserta baru beralih ke kontrasepsi lain. Oleh karena itu,
penilaian terhadap kejadian dan penyebab putus sekolah perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan akseptor putus.
METODE
Penelitian ini telah melalui persetujuan etis No.01 / KEP-SAY-VII-2015. Penelitian ini adalah
penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Populasi penelitian adalah semua akseptor
kontrasepsi secara berturut-turut dihentikan atau mereka berhenti menggunakan kontrasepsi. Sampel
adalah 52 akseptor dengan kriteria yang secara berturut-turut berhenti menggunakan kontrasepsi dalam
waktu 3 bulan, LTCM atau Non-LTCM, dan tidak hamil pada saat data diambil. Pengumpulan data
menggunakan kuesioner. Penelitian ini berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Gunung Kidul dan Kabupaten Bantul. Analisis
statistik dilakukan dengan menggunakan chi-square (χ2).
HASIL
Penelitian ini dilakukan pada 52 akseptor kontrasepsi drop-out melalui kuesioner terbuka dan
tertutup yang dibantu oleh perekam suara selama wawancara. Karakteristik responden meliputi usia,
tingkat pendidikan, pekerjaan, catatan kontrasepsi, dan efek samping.
Table 1. Descriptive Statistics

Variables Category Mean 95% CI Min Max

Institutional delivery 0.72 0.71 – 0.73 0 1


Health insurance 0.45 0.44 – 0.46 0 1
Age (years) 28.26 28.17 – 28.35 13 49
Parity 3 children 0.32 0.31 – 0.33 0 1
2 children 0.35 0.34 – 0.36 0 1
1 child 0.33 0.32 – 0.34 0 1
Education Elementary school 0.36 0.36 – 0.37 0 1
Junior high school 0.27 0.26 – 0.27 0 1
High school 0.37 0.36 – 0.38 0 1
Economic status Lowest 0.13 0.12 – 0.14 0 1
Low-middle 0.18 0.18 – 0.19 0 1
Middle 0.23 0.22 – 0.24 0 1
Upper-middle 0.27 0.26 – 0.27 0 1
Highest 0.19 0.19 – 0.20 0 1
One-way travel time to health facility < 60 minutes 0.93 0.92 – 0.93 0 1
One-way travel cost to health facility < USD 1 0.84 0.83 – 0.84 0 1
Living in urban area 0.52 0.50 – 0.53 0 1
Living in Java-Bali 0.59 0.57 – 0.60 0 1
Health facility ratio 5.49 5.41 – 5.57 0.93 21.25
Health professional ratio 3.23 3.18 – 3.29 0.24 18.77
Long distance to health facility (km) 3.12 3.11 – 3.13 1.81 7.42
Intended pregnancy 0.85 0.84 – 0.86 0 1
Complete antenatal care visit 0.73 0.72 – 0.74 0 1
Pregnancy complication 0.14 0.13 – 0.14 0 1
Childbirth complication 0.13 0.12 – 0.13 0 1

Note: CI= Confidence Interval

Table 2. Bivariate Analysis

Variable Correlation Coef OR p Value

Age 0.50 10.22 0.001*


Education level 0.12 0.16 0.413
Contraceptive records 0.34 4.22 0.025*
Side effects 0.36 5.00 0.011*

Note:
OR= Odds Ratio

Table 3. Multivariate Analysis

Variable β p Value OR 95% CI

Age 1.87 0.012* 6.49 1.50 - 28.04


Education level 0.12 0.869 1.13 0.27 - 4.80
Contraceptive records 1.77 0.025* 5.85 1.25 - 27.29
Side effects 1.79 0.034* 5.98 1.15 - 31.14

Notes:
*significant p Value < 0.05; OR= Odds Ratio; CI= Confidence Interval
Tabel 1 menunjukkan bahwa usia sebagian besar ibu yang putus sekolah adalah> 35
tahun (53,8%), sebagian besar responden memperoleh pendidikan tinggi (36,5%), responden
tidak bekerja atau ibu rumah tangga (46,2%), responden pernah menggunakan kontrasepsi
(26,9%) ), dan rata-rata ibu putus sekolah karena efek samping obesitas (26,9%). Hasil
analisis bivariat menemukan hubungan yang signifikan antara usia, catatan kontrasepsi, dan
efek samping dengan kejadian putus (p value = 0,05) (Tabel 2). Tabel 3 menyajikan hasil
analisis multivariat menunjukkan usia ibu (OR = 6.486; 95% CI = 1.500 -28.041) tingkat
pendidikan (OR = 1.129; 95% CI = 0,265 -4,804), catatan kontrasepsi (OR = 5,845; 95% CI
=1.252 - 27.287) dan efek samping (OR = 5.983; 95% CI1.150 - 31.136). Ada tiga variabel
yang menyebabkan akseptor putus yaitu usia ibu, catatan kontrasepsi, dan efek samping,
sedangkan pengetahuan tidak mempengaruhi akseptor.

DISKUSI
Berdasarkan hasil analisis, ada beberapa alasan putus akseptor kontrasepsi,
termasuk usia, catatan kontrasepsi, efek samping. Namun, tingkat pendidikan tidak secara
signifikan mempengaruhi akseptor untuk putus sekolah. Dalam penelitian ini, sebagian besar
responden berusia di atas 35 tahun. Usia ini termasuk risiko tinggi bagi ibu, terutama jika ibu
berharap memiliki lebih banyak anak, sehingga penggunaan kontrasepsi direkomendasikan
sebagai cara mencegah kehamilan, dan ini dapat membantu meningkatkan tingkat kesehatan.
Oleh karena itu, pemilihan alat kontrasepsi yang akan digunakan harus tepat, sehingga hal ini
dapat meminimalkan ketidakcocokan penggunaan alat kontrasepsi yang dapat menyebabkan
akseptor keluar. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Mufdlilah & Kanthi, 9
bahwa usia lebih dari 35 tahun berisiko lebih tinggi putus sekolah. Selain itu, penelitian ini
juga didukung oleh Tolley, et al., 10 bahwa usia tersebut berpengaruh terhadap terjadinya
akseptor putus sekolah, terutama pengguna implan kontrasepsi.
Faktor lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah catatan kontrasepsi yang
berpengaruh terhadap terjadinya akunting putus sekolah karena banyak alasan, termasuk
pengaturan kehamilan dan tidak mengharapkan kelahiran lagi. Namun, dalam kehidupan
manusia, pasangan dalam keluarga mengharapkan lebih dari satu anak, jadi ini menjadi
alasan oleh para akseptor kontrasepsi untuk keluar, tidak cocok menggunakan alat
kontrasepsi, akseptor ingin mengubah metode kontrasepsi, desas-desus, dan budaya
dipahami. Dengan demikian, akseptor dengan catatan kontrasepsi yang baik kadang-kadang
keluar atau membuat keputusan yang berbeda, sehingga mereka tidak menggunakan alat
kontrasepsi.
Catatan kontrasepsi yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
hampir semua responden pernah menggunakan kontrasepsi. Kondisi tersebut
menggambarkan bahwa di lokasi studi, orang-orang masih memperhatikan kesejahteraan dan
kesehatan keluarga mereka dengan menggunakan alat kontrasepsi, sehingga mereka peduli
dengan masa depan keluarga mereka. Responden yang pernah putus lalu masih ingin
menggunakan kontrasepsi, semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk menggunakan
kontrasepsi lagi karena penggunaan kontrasepsi merupakan cara penting untuk mengontrol
jumlah anak atau kelahiran. Dengan kontrol kelahiran dalam keluarga, itu menciptakan
keluarga yang makmur, baik dari segi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan mereka.
Penelitian ini didukung oleh N. Peyman dan Oakley, 11 yang menyatakan bahwa catatan
kontrasepsi dapat menyebabkan putus sekolah karena kurang dukungan, perawatan khusus,
penanganan, efek samping, pendekatan budaya, upaya klinis, dan rendahnya kepercayaan
terhadap aksepta. Jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh akseptor adalah
suntikan kontrasepsi karena injeksi tidak membuat risiko langsung, akseptor merasa nyaman
dengan layanan, juga praktis dan terjangkau. Namun, tidak semua orang tahu efek
penggunaan kontrasepsi hormonal yang berkepanjangan. Penggunaan kontrasepsi jangka
panjang ini adalah metode kontrasepsi yang sebagian besar dipilih oleh wanita usia subur
dibandingkan dengan Non-LTCM. Penggunaan metode kontrasepsi ini membutuhkan
dukungan dan motivasi yang kuat, baik dari akseptor sendiri maupun suami karena
menimbulkan keluhan atau efek samping pada akseptor. Oleh karena itu, diperlukan
komunikasi, informasi, dan pendidikan tentang pemilihan kontrasepsi hormonal yang baik
dan sesuai dengan usia, kapan harus berhenti, dan selalu mengingatkan untuk menjadwal
ulang kunjungan agar penggunaan kontrasepsi tidak dihentikan atau putus.
Faktor lain yang menyebabkan akseptor kontrasepsi putus adalah efek samping.
Efek samping adalah reaksi yang mungkin dihasilkan setelah penggunaan obat atau alat. Efek
sampingnya bisa ringan atau berat. Ringan jika masih bisa diatasi, penggunaan kontrasepsi
akan dilanjutkan. Jika tidak, jika reaksi tidak dapat diatasi dan karenanya tidak ada, sebagian
besar akseptor akan menghapus atau tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi. Dalam
penelitian ini, efek samping yang terpengaruh adalah perasaan tidak nyaman, sakit kepala,
dan gangguan seksual, sehingga akseptor memutuskan untuk tidak melanjutkan penggunaan
kontrasepsi. Gangguan menstruasi adalah salah satu efek samping di antara akseptor
kontrasepsi, sehingga penggunaan kontrasepsi dihentikan karena dapat mempengaruhi
kesehatan masyarakat perkotaan.12 Gangguan menstruasi dan kenaikan berat badan adalah
efek samping dari penggunaan kontrasepsi, Hasil penelitian ini mirip dengan bahwa dari
Sabatini, et al, 13 bahwa gangguan menstruasi dan penambahan berat badan adalah efek
samping dari penggunaan kontrasepsi.
Penelitian ini didukung oleh Dokter Amerika bahwa efek samping dari kontrasepsi
adalah penambahan berat badan, sakit kepala, nyeri pada payudara, menstruasi tidak teratur,
perubahan suasana hati, libido rendah, jerawat, dan mual.14 Ini juga sejalan dengan
penelitian oleh Whetsoff, 15 bahwa banyak akseptor oral kontrasepsi keluar karena
menyebabkan sakit kepala, penambahan berat badan, dan bercak tiga bulan. Penelitian ini
didukung oleh pendapat Musdalifah bahwa akseptor keluar karena perasaan tidak nyaman
dan tidak aman, kurang dukungan dari suami, sehingga mereka memilih untuk berhenti
menggunakan kontrasepsi. Peran suami untuk mendukung ibu drop out karena keluhan efek
samping sangat penting karena suami adalah orang yang selalu ingin pasangannya sehat.
Peran suami adalah penentu dalam pembuatan keputusan keluarga, sehingga istri harus
mematuhi dan menghormati keputusan suami. 16 Khan, 17 juga berpikir bahwa terjadinya
akseptor kontrasepsi yang keluar karena efek samping disebabkan oleh kurangnya konseling.
Studi oleh Tolley, 10 menemukan bahwa 30% akseptor kontrasepsi tidak menggunakan
kontrasepsi karena efek samping sebesar 1,4 kali karena kurangnya dukungan dari suami dan
dukungan manajemen terkait dengan kontrasepsi, dan karena efek samping yang dihasilkan
seperti perdarahan pada yang pertama. enam bulan dan enam hari bercak dalam penggunaan
injeksi kontrasepsi pada 70%, IUD pada 34%, dan implan pada 10%, sehingga ini
menyebabkan akseptor kontrasepsi putus pada 2-4%. Selain itu, alasan berhenti
menggunakan kontrasepsi adalah catatan kegagalan karena kehamilan, kurang kesadaran, dan
efek samping.18 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada efek antara pendidikan
dan penyebab kontrasepsi karena pengetahuan setiap orang berbeda. Ini dapat dipengaruhi
oleh rumor, budaya, lingkungan, dan dukungan lain termasuk petugas kesehatan. Pendidikan
terakhir dari sebagian besar responden di lokasi studi adalah pendidikan tinggi. Tingkat
pendidikan rendah atau tinggi tidak cukup untuk menggerakkan pola pikir orang untuk
berpartisipasi. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Littlejhon, 19 yang menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan ras, pendidikan yang mempengaruhi penggunaan injeksi kontrasepsi.
Hasil penelitian ini berbeda dari penelitian Follan, 20 bahwa pendidikan mempengaruhi
insiden akseptor kontrasepsi drop-out. Dalam penelitian ini, penerimaan akseptor terhadap
layanan kontrasepsi melalui persetujuan dan sistem kontrasepsi dipahami oleh akseptor
termasuk efek samping yang terjadi pada masing-masing akseptor. Hal ini sangat didukung
oleh sumber daya manusia dalam memberikan layanan terutama keterampilan petugas,
adaptasi kontrasepsi yang diterima oleh sistem tubuh penerima, dan pengalaman akseptor
pada efek samping penggunaan kontrasepsi.

Kesimpulan
Pendidikan tidak berpengaruh menyebabkan akseptor drop out, tetapi riwayat
kontrasepsi, efek samping, dan usia mempengaruhi akseptor drop out.

Rekomendasi
Upaya untuk memberikan promosi kesehatan tentang kontrasepsi harus
dikembangkan, sehingga akseptor dapat memperoleh informasi yang lebih jelas. Selain itu,
mempertahankan kesadaran masyarakat untuk tidak berhenti menggunakan kontrasepsi
dianjurkan untuk membantu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat.
Pengakuan
Para peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memfasilitasi, baik dalam
bentuk dana dan fasilitas dalam penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai