Anda di halaman 1dari 3

Gua Selarong, Yogyakarta, 1825

NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK!Walau malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang
menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu
terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu
yang ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus pandang. Semua hewan malam
menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas kegilaan kudadan penunggangnya itu.

Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang
satunya lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya berlumuran darah. Bocah itu sudah tak
bernyawa. Tubuh mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang terus berlari dengan amat cepat
bagai terbang di atas tanah.

Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar
Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu,
dia langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan anaknya.Namun terlambat. Gubuknya sudah
terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih mengepul. Bara masih menyala merah di
mana-mana. Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas yang masih
menyengat kulit, lelaki itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi
bubur. Isterinya ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat dicintainya
itu terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.

Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu
berteriak histeris.

Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir
kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat
pergi meninggalkan dusunnya.Londo anjing!!!

Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada
mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai
malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan pasukan Kanjeng
Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan
Selarong.

Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!

Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari
bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke
dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga
berkeliling untuk mengadu kesaktianmelawan para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng,
dan Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian,
namun kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra
menjadi sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga Dusun
Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.

Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya memerintahkan
kepala pasukan setempat untuk merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau ditempatkan
sebagai kepala regu pasukanreguler yang harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi,
akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.

Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidakmenyangka. Pengabdiannya yang total selama ini kepada
Belanda, ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.

Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.

Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah haluan hidupnya seratus delapan
puluh derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti
nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.

Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh
terbesarku!

Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan
dendam.

Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus. Sebentarlagi dia akan tiba di pelataran
menuju GuaSelarong, di mana Kanjeng Pangeran tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro,
hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat yang membara dan kerinduan yang teramat
sangat.

Inilah jalanku!

Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah
keheningan malamyang sepi. Hampir saja Ki Singalodra terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali
kekangnya. Dia segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga keseimbangannya tetap
terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak jauh di depannya, empat lelaki
dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam mencegatnya dengan tombak
dan pedang terhunus. Salah satunya membawa obor ditangannya.

“Berhenti!” teriak mereka.

“Hendak kemanakahkisanakdan siapa yang digendong itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh
kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan yang satunya lagi
bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya masih berdiri menghadang dengan
senjata terhunus.
Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti
orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun bayangan sosok Kanjeng PangeranDiponegoro
yang setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuatdirinya kuat dan berani.

Anda mungkin juga menyukai