Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karena peserta dididk merupakan komponen manusiawi yang terpenting dalam proses
pendidikan, maka seorang guru dituntut memiliki pemahaman yang mendalam tentang
hakikat peserta didik tersebut. Sebagai komponen manusiawi, berarti pemahaman tentang
hakikat peserta didik tidak terlepas dari pemahaman tentang hakikat manusia secara umum.
Dalam kajian psikologi terdapat sejumlah teori yang berupaya untuk menjelaskan tentang
hakikat manusia, terutama tentang bagaimana manusia berkembang dan bertingkah laku,
faktor-faktor apa yang mempengaruhi manusia sehingga mampu mendinamisasikan
dirinya dalam berbagai perilaku kehidupan.
Sebenarnya banyak aliran psikologi serta konsep-konsep hasil pemikiran ahli
pendidikan yang melandasi teori belajar. Namun sampai saat ini, banyak sumber yang
cenderung mengelompokkannya hanya menjadi dua aliran besar, yaitu behaviorisme dan
konstruktivisme. Alasan pokoknya adalah bahwa dari kedua alian besar tersebut banyak
dikembangkan berbagai varian teori belajar, dengan kata lain kedua aliran tersebut banyak
mempengaruhi para ahli dam pemikir pendidikan untuk mengembangkan berbagai teori
dan konsep

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Konstruktivisme?
2. Apa saja aspek-aspek pembelajaran konstruktivistik?
3. Bagaimana pandangan konstuktivistik tentang belajar dan pembelajaran?
4. Apa sajakah kelebihan dan kekurangan teori belajar konstruktivistik?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Konstruktivisme.
2. Untuk mengetahui aspek-aspek pembelajaran konstruktivistik.
3. Untuk mengetahui pandangan konstuktivistik tentang belajar dan pembelajaran.
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori belajar konsteuktivisik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembelajaran Kontruktivisme


Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa
dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun mengkonstruksi pengetahuan
pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup.
Konstruktivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu
yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan
merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah
gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang . ia membentuk skema, kategori,
konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989
dalam Suparno, 1997 : 18).
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus
aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka
yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara
aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa sendiri. Maka siswa harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi maknasesuatu yang
dipelajarinya.maka paraguru, perancang membelajaran, dan pengembang program-
program pembelajaran ini berperan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan
terjadinya belajar.
Asumsi-asumsi dasar dari konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Merril
(1991) adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman;
2. Belajar adalah menafsirkan personal tentang dunia nyata;
3. Belajar adalah sebuah proses aktif dimana makna dikembangkan berlandaskan
pengalaman;
4. Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang
perspektif ganda pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif;
5. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-
tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian auntentik).

Hakikat pembelajaran konstruktivisik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng


mengatakan bahwa pengetahuan adalah nonobjective, bersifat temporer, selalu berubah dan
tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkret,
aktivitas kolaboratif,dan refleksi serta interprestasi. Mengajar berarti menata lingkungan
agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta mengenai ketidakmenentuan. Atas
dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterprestasikannya.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivisik,yaitu:
1. Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relavan.
2. Mengutamakan proses.
3. Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial.
4. Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkostruksi pengalaman.

B. Aspek-Aspek Pembelajaran Konstruktivistik


Fornor mengemukakan aspek-aspek konstruktivistik sebagai berikut : adaptasi
(adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of environment), dan pembentukan
makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna
yaitu adaptasi terhadap lingkungan dan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan
akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintergrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus, dalam artian tidak menyebabkan perubahan atau pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dimiliki.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam
keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk
membentuk skema yang baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi
skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi
terhadap lingkungan maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada dan
akan mengalami munculnya struktur baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses
terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang
(disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada
pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Vygotskian menyebut tingkatan pengetahuan ini sebagai scaffolding. Scaffolding,
artinya memberikan sejumlah bantuan besar kepada seorang individu selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar setelah mampu mengerjakannya sendiri. Bantuan yang diberikan dapat berupa
petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan malah dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian
siswa dalam upayanya dalam memecahkan permasalahan, yaitu :
(1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
(2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,
(3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajaran untuk
membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan eorang guru sangat
dbutuhkan agar siswa dapat mencapai jenjang yang lebih tinggi dengan optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antarindividu dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu.
Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya.
Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra
individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para
konstruktivis Vygoyskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan
antarindividual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah sebagai berikut :
1. Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan
pengetahuan.
2. Zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran
mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian, dan kompetensi.

Sumbangan penting dari Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran


sosiokultural. Inti dari teori tersebut adalah penekanan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran.
Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-
masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi
saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum pernah dipelajari, namun tugas
tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya (zona of proximal development). Zona of
proximal development didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara
mandiri di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebuh mampu.

Dalam hal ini pembelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik, tetapi
juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaraan yang
kooperatif ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang
diinginkan oleh siswa. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan
kelas yaitu pengelompokan, semangat kooperatif, dan penataan kelas.
C. Pandangan Konstruktivistik Tentang Belajar dan Pembelajaran
Berdasarkan pandangan konstruktivistik pengetahuan adalah nonobjective, bersifat
temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Sedangkan belajar adalah penyusunan
pengetahuan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interprestasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dan menggali
makna serta menghargai ketidakmenentuan.
1. Pandangan Kontruktivisktik tentang Tujuan Pembelajaran
a. Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna
mengikuti urutan dari keseluruhan ke-bagian.
b. Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladani pertanyaan atau pandangan
si belajar.
c. Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif
dengan penekatan pada keterampilan berpikir kritis.
d. Pembelajaran menekankan pada proses.
2. Pandangan Konstruktivistik tentang Penataan Lingkungan Belajar
a. Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan
b. Si belajar harus bebas
c. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.
d. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai
interprestasi yang berbeda yang perlu dihargai.
e. Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah
subjek yang harus mampu mneggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan
diri dalam belajar.
f. Kontrol belajar dipegang oleh si belajar.

3. Pandangan Konstruktivistik tantang evaluasi pembelajaran


a. Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan
keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.
b. Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan
hanya satu jawaban benar.
c. Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas
yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang
dipelajari dalam konteks nyata. Evaluasi menekankan pada keterampilan proses
dalam kelompok.
4. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran kontruktivis di kelas
berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas, yaitu sebagai
berikut :
a. Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Pada tahap ini guru mengidentifikasi pengetahuan awal siswa tentang konsep
tekanan, guna untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya
miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan
dengan tes awal, interview. yang dimaksud dengan miskonsepsi adalah pengertian
yang tidak akurat tentang konsep, penggunaan konsep yang salah.
b. Penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam
bentuk satuan pembelajaran.
c. Orientasi dan elisitasi. Siswa dituntut agar mereka mau mengemukakan gagasan
intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam
lingkungan hidupnya sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat melalui
diskusi, menulis, ilustrasi gambar, dans sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut akan
dipertimbangankan bersama . suasana belaajr dibuat santai, kondusif dan
mengasikkan agar tidak membuat siswa takut dan khawatir jika gagasannya salah.
Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran dari gagasan
siswa tersebut akan terungkap sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik
kognitif.

d. Refleksi.
Dalam tahap ini, berabgai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonspesi yang
muncul pada tahap orientasi dan elisitasi direfleksikan dengan miskonsepsi yang
telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat
kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
e. Restrukturisasi ide.
1) Tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang
kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum, mereka diminta
untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung
ramalannya itu.
2) Konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah
ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan
dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan
mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka.
Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana
yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat.
Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi
melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasitasnya sebagai guru
dan mediator.
3) Membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntut untuk menemukan
sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal.
Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari
gagasan yang lama.
f. Aplikasi.
Meyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih dari miskonsepsi menuju
konsepsi ilmiah, menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiah itu ke
dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan
kemudian menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu
membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasan secara
keilmuan.
g. Reviu dilakukan dengan tujuan meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang
telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal
pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan jika miskonsepsi
bersifat sangat resisten. Hal ini dilakukan agar miskonsepsi tidak selamanya
menghinggapi struktur kognitif, dan tidak akan berdampak kepada proses dan
prestasi belajar.
D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
1. Kelebihan Teori Belajar Konstruktivistik antara lain :
a. Teori ini dalam proses berpikir membina pengetahuan baru, membantu siswa untuk
menyelesaikan masalah dan mengembangkan ide dalam membuat keputusan
b. Paham, mereka akan lebih paham dan dapat mengaplikasikan dalam semua situasi
c. Ingat, Mereka akan ingat lebih lama semua konsep
d. Kemahiran sosial, diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam
membina pengetahuan baru
e. Seronok, mereka akan paham, ingat, yakin, dan berinteraksi maka akan timbul
semangat dalam belajar dan membina pengetahuan baru. Jadi mereka akan berasa
seronok belajar dalam membina pengetahuan baru
2. Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik anatara lain :
a. Peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung,karena teori
ini menanamkan supaya siswa membangun pengetahuan sendiri, hal ini pasti
membutuhkan waktu yang lama apalagi untuk siswa yang malas
b. Lebih luas cakupan makna dan sulit dipahami
c. Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan
d. Sulit dipraktikkan
e. Beberapa prinsip seperti inteligensi sulit dipahami dan pembahasannya masih
belum tuntas
f. Siswa membuat pengetauan dengan ide mereka msing-masing, oleh karena itu
pendapat siswa berbeda dengan pendapat para ahli
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model
konstruktivisme dalam pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana
siswa sendiri aktif secara mental, membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh
struktur kognitif yang dimilikinya. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan
mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus
terhadap suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka. Menurut
Werrington (dalam Suherman, 2003:75), menyatakan bahwa dalam kelas
konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana
menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa
untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika
siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak mengatakan bahwa
jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong siswa untuk setuju
atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai
persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya
yang berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat
antara satu dengan lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk
menyelesaikan setiap masalah. Beberapa prinsip pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivis diantaranya bahwa observasi dan mendengar aktivitas dan
pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk
mengajar, untuk kurikulum, untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan
siswa dapat dievaluasi.
Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivis mungkin diwujudkan
melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas
menggunakan apa yang ’biasa’ muncul dalam materi kurikulum kelas ’biasa’.
Dalam konstruktivis proses pembelajaran senantiasa ”problem centered approach”
dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna
matematika. Beberapa ciri itulah yang akan mendasari pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivis.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peseta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurochim. 2013. Perencanaan Pembelajaran Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT Rajagrafindo
Persada
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta : PT Bumi Aksara
Sudarna, I Ketut.2018. Prespektif Teori Konstruktivisme.Jurnal Pendidikan. 1 (1).
http://ejournal.jayapanguspress.org/index.php/cetta ,
Diakses 21 September 2018.

Anda mungkin juga menyukai