Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 C-Reactive Protein (CRP)

2.1.1. Sintesis dan struktur dari CRP

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang

terdapat dalam serum normal walaupun dalam konsentrasi yang amat

kecil. Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan

jaringan baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan

infeksi, konsentrasi CRP dapat meningkat sampai 100 kali. Sehingga

diperlukan suatu pemeriksaan yang dapat mengukur kadar CRP.1

High sensitivity C-Reactive Protein ( hs-CRP) adalah pengukuran

konsentrasi CRP secara kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai

< 0,2 – 0,3 mg/L.5

Pada tahun 1930 William Tillet dan Thomas Francis di Institut

Rockefeller mengobservasi substansi dalam serum penderita Pneumonia

pneumokokkus. Serum penderita membentuk presipitasi ketika dicampur

dengan Capsular (C) Polisakarida dari dinding sel Pneumococcus.

Aktivitas ‘C-reactive’ ini tidak dijumpai pada orang yang sehat. MacLeod

dan Avery kemudian menemukan substansi ini suatu protein dan

menambahkan nama ‘acute phase’ di akhir . Lofstrom menemukan respon

fase akut yang mirip pada keadaan inflamasi akut dan kronik, dan

kemudian diakui menjadi CRP yaitu protein fase akut yang

nonspesifik.2,4,21

Universitas Sumatera Utara


CRP dalam plasma diproduksi oleh sel hepatosit hati terutama

dipengaruhi oleh Interleukin 6 (IL-6).22,23 CRP merupakan marker

inflamasi yang diproduksi dan dilepas oleh hati dibawah rangsangan

sitokin-sitokin seperti IL-6,Interleukin 1 (IL-1), dan Tumor Necroting Factor

α (TNF-α).9,22 Beberapa obat seperti colchicine dapat menghambat

produksi CRP sedangkan obat immunosupresif saperti cortikosteroid dan

yang lainnya atau obat anti radang (Non Steroid Anti Inflamation Drug)

tidak dapat menghambat sekresinya.22

Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit

rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam

dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma

adalah 19 jam dan menetap pada semua keadaan sehat dan sakit,

sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di sirkulasi adalah

menghitung sintesa IL-6 dengan demikian menggambarkan secara

langsung intensitas proses patologi yang merangsang produksi CRP.

Kadar CRP akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan

jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai

normal kembali .Kadar CRP stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi

variasi diurnal.2,5,22

CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu

protein pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul

CRP terdiri dari 5-6 subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri

Universitas Sumatera Utara


dari 206 residu asam amino, dan berikatan satu sama lain secara non

kovalen, membentuk satu molekul berbentuk cakram (disc) dengan berat

molekul 110 – 140 kDa, setiap unit mempunyai berat molekul 23 kDa.22

Eisenhardt dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa C-Reactive

Protein terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan

monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai

reaksi fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan

jaringan. Bentuk monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami

dissosiasi dan mungkin dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti

otot polos dinding arteri, jaringan adiposa dan makrofag.47

2.1.2 Fungsi Biologis CRP

Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh ( in vivo ) belum diketahui

seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP

bukan suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis

yang menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme

daya tahan tubuh terhadap infeksi.5

Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP ialah 3,5,23,28 :

1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri

melalui reaksi presipitasi/aglutinasi.

2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti

granulosit dan monosit/makrofag.

Universitas Sumatera Utara


3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai

dengan C1q maupun jalur alternatif.

4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini

diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa

fungsi tertentu selama proses keradangan.

5. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein

membran sel rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.

6. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen

yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.

2.1.3 Inflamasi dan Respon Fase Akut

Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap

trauma atau invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau

membatasi bahan yang berbahaya dan merusak jaringan. Inflamasi

diperlukan tubuh untuk mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang

mengganggu keseimbangan tetapi juga dapt memperbaiki kerusakan

struktur serta gangguan fungsi jaringan. Reaksi inflamasi termasuk dalam

respons imun nonspesifik. Bila terjadi inflamasi, sel-sel sistem imun yang

tersebar di seluruh tubuh akan bergerak ke lokasi infeksi beserta produk-

produk yang dihasilkannya24.

Selama respon ini berlangsung terjadi 3 proses yang penting yaitu24,25:

 Peningkatan aliran darah ke daerah infeksi

Universitas Sumatera Utara


 Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel

yang mengakibatkan molekul-molekul besar dapat menembus

dinding vaskuler.

 Migrasi leukosit ke vaskuler

Gejala inflamasi dini ditandai oleh pelepasan berbagai mediator sel

mast setempat seperti histamin dan bradikinin. Kejadian ini disertai

dengan aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel-sel inflamasi dan sel

endotel yang masing-masing melepas mediator yang menimbulkan efek

sistemik seperti panas, neutrofilia dan protein fase akut. Proses inflamasi

akan berjalan terus sampai antigen dapat disingkirkan1.

Sejumlah protein plasma secara bersama disebut protein-protein

fase akut. Protein-protein ini menunjukkan peningkatan dramatis dalam

menanggapi mediator-mediator yang bertindak sebagai tanda bahaya dini1

Suatu sifat utama dari CRP adalah kemampuannya mengikat

( dengan pola yang bergantung dengan kalsium ) sejumlah

mikroorganisme yang mengandung fosforilkolin dalam membran mereka,

kompleks yang berguna untuk mengaktifkan komplemen ( melalui jalur

klasik ). Ini mengakibatkan deposisi C3b diatas permukaan mikroba yang

kemudian diopsonisasi untuk perlekatan pada fagosit. Aktivasi komplemen

berikutnya adalah terjadinya penarikan dan pemacuan neutrofil, fagosit

yang telah aktif terikat pada mikroba yang telah diselaputi oleh C3b

melalui permukaan reseptor C3b dan kemudian menelan mereka. CRP

Universitas Sumatera Utara


juga diikat C1q dan karenanya dapat mengaktifkan komplemen atau

bekerja sebagai opsonin melalui interaksi dengan reseptor C1q pada

fagosit.25,26,27.

Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma

sehingga laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap

tinggi menunjukkan infeksi yang tetap persisten1,26.

2.1.4. Pemeriksaan Kadar C-Reactive Protein

2.1.4.1.Prinsip dan Metode Pemeriksaan

Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai antigen yang

akan ditentukan dengan menggunakan suatu antibodi spesifik yang

diketahui (antibodi anti-CRP). Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP

(merupakan antigen yang larut) dalam serum mudah dipresipitasikan.5

Jadi pada dasarnya, penentuan CRP dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

Tes presipitasi: Sebagai antigen ialah CRP yang akan ditentukan,

dan sebagai antibodi adalah anti-CRP yang telah diketahui.

Tes aglutinasi pasif: Antibodi disalutkan pada partikel untuk

menentukan adanya antigen di dalam serum.

Uji ELISA: Dipakai teknik Double Antibody Sandwich ELISA.

Antibodi pertama (antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat,

kemudian ditambahkan serum penderita. Selanjutnya ditambahkan

antibodi kedua (antibodi pelacak) yang berlabel enzim. Akhirnya

Universitas Sumatera Utara


ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya

dinyatakan secara kuantitatif.

Imunokromatografi: Merupakan uji Sandwich imunometrik. Pada tes

ini, antibodi monoklonal terhadap CRP diimobilisasi pada membran

selulosa nitrat di garis pengikat. Bila ditambahkan serum yang

diencerkan sampai ambang atas titer rujukannya pada bantalan

sampel maka CRP dalam sampel akan diisap oleh bantalan

absorban menuju bantalan konjugat, dan akan diikat oleh konjugat

(antibodi monoklonal) pertama, berlabel emas koloidal. Selanjutnya

CRP yang telah mengikat konjugat akan diisap oleh bantalan

absorban menuju ke garis pengikat yang mengandung antibodi

monoklonal kedua terhadap CRP (imobile) sehingga berubah

warna menjadi merah. Sisanya yang tidak terikat pada garis

pengikat akan bergerak menuju garis kontrol yang mengandung

antibodi anti tikus yang mengikat sisa konjugat yang tidak terikat

pada garis pengikat. Konjugat yang tidak terikat dibersihkan dari

membran dengan larutan pencuci yang selanjutnya diisap oleh

membran absorban. Bila kadar CRP lebih tinggi daripada ambang

atas titer rujukannya, akan terbentuk warna merah coklat pada

garis pengikat di membran yang intensitasnya berbanding lurus

dengan kadar CRP dalam serum. Pembacaan hasil secara

kuantitatif.

Universitas Sumatera Utara


Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan yang kualitatif. CRP

dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP

membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang

terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris.

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan

pengukuran turbidimetrik.

Gambar 2.1. Prinsip pemeriksaan hs-CRP dengan metode Particle Enhanced

Immunoturbidimetry

CRP Anti-CRP Antibodi Kompleks Antigen-

Antigen CRP (berikatan dengan latex)


CRP Antibodi

2.1.4.2.Cara Pemeriksaan C-Reactive Protein

Ada banyak cara yang dapat dipakai untuk penentuan CRP. Beberapa

cara yang sering dikerjakan di Indonesia yaitu:


Cara presipitasi tabung kapiler

Cara Aglutinasi Latex

Universitas Sumatera Utara



Uji Imunodifusi Radial

Uji Imunokromatografik dari CRP (Nycocard)

High Sensitivity C-Reactif Protein

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dimana dapat

mengukur kadar sampai < 0,2 – 0,3 mg/L sehingga disebut dengan high

sensitivity C-Reactive Protein ( hs-CRP). Metode berdasarkan reaksi

antara antigen dan antibodi dalam larutan buffer dan diikuti dengan

pengukuran intensitas sinar dari suatu sumber cahaya yang diteruskan

melalui proses imuno presipitasi yang terbentuk dalam fase cair. Dalam

penelitian ini memakai metode imunoturbidimetri menggunakan reagen

Cardiac C-Reactive Protein (latex) High Sensitive-Roche.

Sampel yang berisi CRP (sebagai antigen) ditambah dengan R1

( buffer ) kemudian ditambah R2 ( latex antibodi anti CRP ) dan dimulai

reaksi dimana antibodi anti CRP yang berikatan dengan mikropartikel latex

akan bereaksi dengan antigen dalam sampel untuk membentuk kompleks

Ag-Ab. Presipitasi dari kompleks Ag-Ab ini diukur secara turbidimetrik.

2.1.4.3.Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan CRP

CRP meningkat pada penyakit Demam rematik akut, Rheumatoid

arthritis, Infark Miokard Akut, Infeksi pasca operasi, Infeksi bakteri, Infeksi

virus, Penyakit Chron’s, Sindrom Reiter’s, Sindrom vaskulitis, Lupus

Eritematosus, Nekrosis jaringan atau trauma.1,5 Obat-obatan yang dapat

menurunkan kadar CRP seperti colchicines dan statin.5

Universitas Sumatera Utara


2.2. SINDROM METABOLIK

2.2.1. Sejarah

Pada tahun 1920, Kylin dari Swedia orang yang pertama kali

menjelaskan mengenai kumpulan gangguan metabolik, yang melibatkan

faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular, atherosclerotic cardiovascular

disease (ASCVD),hipertensi,hiperglikemia, dan gout. Pada tahun 1988,

Reaven membuat postulat beberapa faktor rIsiko seperti

dyslipidemia,hiperglikemia,dan hipertensi yang dinamakan sebagai

multiple risk factors terhadap CVD yang disebut dengan sindrom X. Pada

tahun 1998, Reaven memperkenalkan lagi hipotesa bahwa resistensi

insulin juga menjadi penyebab faktor-faktor resiko asal mula gangguan

metabolik. Pada tahun 1989 Kaplan menamai kembali sindroma tersebut

menjadi “ The Deadly Quartet” (kuartet yang mematikan) atau sindroma

dismetabolik dan pada tahun 1992 kembali dinamai ulang menjadi

Sindroma Resistensi Insulin. Pada tahun 1998 oleh World Health

Organization diresmikan istilah “ Sindrom Metabolik” yang sekarang telah

dikenal luas dan tetap menjadi deskripsi yang paling umum dari
8,9,30
sekelompok kelainan metabolik ini.

2.2.2. Definisi

Sindrom Metabolik (Syndrome X, insulin resistance syndrome)

adalah kumpulan keadaan metabolisme yang tidak normal yang saling

mempengaruhi dan memberi resiko tinggi dengan timbulnya penyakit

Universitas Sumatera Utara


jantung dan pembuluh darah (CardioVascular Disease / CVD) dan

Diabetes Mellitus. SM bukan merupakan suatu penyakit.6

Kriteria SM berkembang sejak WHO membuat definisi pada tahun

1998, mencerminkan pertumbuhan bukti klinis dan analisa dari beragam

konferensi-konferensi konsensus dan organisasi profesional, diantaranya

adalah:6,7,8,9,31

1. National Cholesterol Education Program Adult Treatment

Panel III (NCEP:ATP III).

2. The European Group for the Study of Insulin Resistance

Definition (EGIR).

3. American College of Endocrinology Criteria (ACE)

4. International Diabetes Federation Criteria (IDF).

5. American Heart Assiciation/National Heart,Lung and Blood

Institute Criteria (AHA/NHLBI).

Universitas Sumatera Utara


8
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa Sindrom Metabolik

Komponen WHO NCEP:ATPIII EGIR ACE AHA/NHLBI


sindrom
metabolik
Hipertensi TD≥140/90 TD≥130/85 TD≥140/90 TD≥130/85 TD≥130/85
mmHg mmHg atau mmHg atau mmHg atau mmHg atau
sedang terapi sedang sedang terapi sedang terapi
antihipertensi terapi antihipertensi antihipertensi
antihiperten
si
Dislipidemi TG≥150mg/dL TG≥150mg/dL TG>190 TG≥150mg/dL TG≥150mg/dL
a HDL<35mg/dL atau mg/dL atau atau sedang atau sedang
(pria) sedang terapi HDL<40 terapi terapi
HDL<39mg/dL menurunkan TG mg/dL menurunkan menurunkan
(wanita) HDL<40mg/dL TG TG
(pria) HDL<40mg/dL HDL<40mg/dL
HDL<50mg/dL (pria) (pria)
(wanita) atau HDL<50mg/dL HDL<50mg/dL
sedang terapi (wanita) atau (wanita) atau
menaikkan HDL sedang terapi sedang terapi
menaikkan menaikkan
HDL HDL
Obesitas IMT>30kg/m2 atau WC>102cm(pria) WC≥94cm ≥ 102 cm(≥ 40
WHR>0,90 (pria) WC>88cm (pria)
in ) pada pria
WHR>0,85 (wanita) WC≥80cm
(wanita) (wanita) ≥ 88 cm(≥ 35
in) pada
wanita
Gangguan DMT2 atau IGT KGDP≥110mg/dL KGDP≥110 KGDP 110- KGDP≥100mg
metabolism atau sedang mg/dL 125mg/dL /dL atau
e glukosa terapi KGD2jamPP dinyatakan DM
hiperglikemia 140-200mg/dL sebelumnya
Lain-lain Mikroalbuminuri - Resisten
atau Insulin atau
Laju ekskresi hiperinsulin
albumin emia
urin≥20μg/min
atau
ACR≥30mg/dL
Kriteria DMT2 atau IGT Dijumpai 3 dari Resisten Dijumpai
Diagnosa ditambah 2 dari komponen SM insulin minimal 3 dari
kriteria lain diikuti komponen
dengan 2
atau lebih
komponen
SM
Keterangan: TD: Tekanan Darah, HDL: High Density Lipoprotein, TG: Trigliserida, WC:
Weist Circumference, DMT2: Diabetes Melitus Tipe 2, KGDP: Kadar Gula Darah Puasa,
ACR: Albumin Creatinin Ratio

Universitas Sumatera Utara


8
Tabel 2.2. Kriteria Diagnosa SM menurut IDF 2005

Komponen SM Cutt points kategori

Obesitas WC≥94cm (pria Eropa)


WC≥90cm (Pria Asia Selatan,Cina dan Jepang)
WC≥80cm (wanita)
Trigliserida meningkat ≥ 150 mg/dl (1,7 mmol/l) atau
dalam pengobatan untuk trigliserida
Kolesterol HDL rendah Pria < 40 mg/dl ; wanita < 50 mg/dl atau
Dalam pengobatan untuk kolesterol HDL
Tekanan darah meningkat TDS ≥ 130 mmHg atau TDD ≥ 85 mmHg
atau dalam pengobatan hipertensi
Kadar gula darah puasa meningkat ≥ 100 mg/dl atau dalam pengobatan untuk
kadar gula darah
Diagnosa Obesitas ditambah 2 komponen lain
Keterangan: WC: Weist Circumference, HDL: High Density Lipoprotein, TDS: Tekanan
Darah Sistol, TDD: Tekanan Darah Diastol

Kriteria yang dibuat WHO berdasar pada hipotesa Reaven dengan

syndrome x ditambah dengan obesitas dan mikroalbuminuria yang

belakangan ini sebagai faktor risiko penting terhadap CVD,terutama pada

pasien DMT2 sebagaimana dihubungkan dengan resistensi insulin.

Perhatian utama NCEP:ATP III adalah mengenal orang-orang yang

berisiko tinggi terhadap CVD sabagai tambahan terhadap faktor resiko

konvensional yang sudah ada saperti LDL-C, merokok dan riwayat

keluarga. IDF lebih menyukai kriteria NCEP:ATP III karena sederhana dan

bermakna secara klinis. Kriteria IDF hampir mirip dengan NCEP:ATPIII.

Secara umum prevalensi SM lebih tinggi berdasar kriteria IDF karena

perbedaan WC. AHA/NHLBI merevisi kriteria yang dibuat oleh

NCEP:ATPIII. Sindrom ini terutama digunakan dalam praktek klinis untuk

Universitas Sumatera Utara


memberi perhatian lebih dalam menetapkan risiko CVD dan DM dengan

memberikan intervensi dini sehingga menurunkan risiko kematian CVD

dan DM.6,8

2.2.3. Epidemiologi

Prevalensi SM sangat bervariasi dikarenakan banyak hal yang

antara lain adalah ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan

ras atau etnis, jenis kelamin, dan umur. Peningkatan prevalensi obesitas

secara langsung juga meningkatkan prevalensi SM.18 Prevalensi SM

bervariasi di seluruh dunia yang sebagian menggambarkan umur dan

etnis dari populasi yang diteliti dan kriteria penegakan diagnosa SM yang

digunakan.6

Tercatat prevalensi tertinggi di dunia adalah penduduk asli Amerika,

sekitar 60% pada wanita berusia 45-49 tahun dan 45% pada laki-laki

berusia 45-49 tahun dengan memakai kriteria NCEP:ATP III. Anand dkk

(2003) dalam penelitiannya ditemukan prevalensi SM dewasa dengan

memakai NCEP:ATP III sebagai kriteria diagnosa SM di Asia Selatan

adalah 25,9%.7

Di Amerika Serikat, SM lebih sedikit pada pria African-Amerika,

lebih banyak pada wanita Mexican-Amerika. Berdasar data National

Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III, prevalensi SM di

Amerika Serikat adalah 34% pada pria dan 35% pada wanita. Di Prancis,

SM pada usia 30-64 tahun <10% pada pria dan wanita, sedangkan pada

umur 60-64 tahun sekitar 17,5%.6

Universitas Sumatera Utara


Di Indonesia sendiri telah dilakukan beberapa penelitian SM.

Diantaranya, Soewondo dkk (2006) meneliti prevalensi SM dengan

menggunakan NCEP:ATP III yang dimodifikasi dengan kriteria Asian

sebagai kriteria SM di Jakarta. Diantara 1591 subjek yang diteliti 30,4%

SM pada pria dan 25,4% pada wanita, prevalensi cenderung meningkat

sesuai dengan kenaikan umur. Penelitian Soegondo (2004) menunjukkan

prevalensi SM di Indonesia adalah 13,13% berdasarkan Survey

Kesehatan Rumah Tangga. Dalam penelitiannya yang dilakukan di Depok

(2001) dengan memakai NCEP:ATP III sebagai kategori SM didapat

prevalensi SM sebesar 25,7% pada pria dan 25% pada

wanita.Tjokroprawiro dkk (2005) dalam penelitiannya di Surabaya didapat

prevalensi SM 34% dimana 17,64% pada wanita dan 82,35% pada pria

dengan menggunakan NCEP-ATP III sebagai kriteria SM dan melakukan

penyesuaian untuk kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) dan lingkar

pinggang yang dipakai adalah berdasarkan IMT yang disesuaikan untuk

orang Asia yaitu disebut obesitas jika IMT >25kg/m2 dan lingkar pinggang

wanita >80cm atau pria >90cm.11,12,13

2.2.4. Etiologi Sindroma Metabolik

2.2.4.1.Resistensi Insulin

Definisi singkat resistensi insulin adalah keadaan dimana respon

insulin berkurang dari normal. Hipotesa yang paling bisa diterima untuk

menjelaskan patofisiologi SM adalah resistensi insulin. Awal resistensi

Universitas Sumatera Utara


insulin ini adalah hiperinsulinemia postprandial, diikuti dengan

hiperinsulinemia puasa dan akhirnya hiperglikemia.6,32

Kontributor dini yang utama terhadap berkembangnya resistensi

insulin adalah asam-asam lemak yang beredar di sirkulasi dalam jumlah

yang berlebih-lebih. Hipotesa Stress Oksidatif merupakan teori sepihak

pada umur dan predisposisi SM. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan

didapat gangguan posporilasi oksidatif mitokondria dengan penumpukan

trigliserida dan hubungan molekul-molekul lemak. Penumpukan lemak

yang di otot ini dihubungkan dengan resistensi insulin.6,37

Mekanisme lain menyatakan ketika sel-sel yang dipenuhi dengan

bahan bakar yang berlebih seperti karbohidrat atau lemak menyebabkan

jaringan ini menjadi resisten terhadap insulin. Dimana di dalam sel-sel

akan muncul proses metabolik bersifat kritikal seperti penumpukan Uridine

diphosphate (UDP), glukosamine yang ketika tersaturasi mengakibatkan

perubahan kompleks aktivitas enzyme dan merubah respon insulin jadi

berhenti.32

2.2.4.2.Obesitas

Peningkatan angka kejadian SM salah satunya disebabkan oleh

peningkatan populasi dan prevalensi obesitas. Obesitas dan SM memiliki

keterkaitan yang erat dan merupakan suatu hubungan kausal. WHO

mendefinisikan obesitas berdasar IMT (kg/m2), dinyatakan obesitas jika

IMT=30,0-39,9. Definisi WHO ini memiliki batasan dimana morbiditas

Universitas Sumatera Utara


obesitas berhubungan dengan jumlah jaringan lemak di visceral dan

bukan berdasar berat badan. Penilaian persentase lemak tubuh lebih baik

daripada IMT. Di Asia Selatan morbiditas obesitas lebih berhubungan

dengan adipositas jaringan dibanding dengan IMT, sehingga WHO

menyarankan cuts-off IMT diturunkan menjadi 25kg/m2 pada kelompok

Asia Pasifik.32,33

Tabel 2.3. Klasifikasi BMI untuk dewasa Asia.33

Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko Co-morbidities

Underweight < 18,5 Rendah (Resiko tinggi masalah klinik lain)

Normal range 18,5-22,9 Sedang

Overwight >23

• At risk 23 – 24,9 Rendah

• Obese I 25 – 29,9 Sedang

• Obese II ≥30 Berat

Keterangan : IMT: Indeks Massa Tubuh

Jaringan adiposa merupakan organ aktif yang berkontribusi

terhadap regulasi homeostatis energi tubuh. Terdiri dari White Adipose

Tissue (WAT) dan Brown Adipose Tissue (BAT). Dikatakan aktif karena

organ ini dialiri sistem syaraf dan vaskularisasi dan mengatur

keseimbangan energi tubuh. WAT merupakan depot energi tinggi yang

bisa menutupi kebutuhan energi selama selang sampai makan. BAT

memiliki energi tinggi untuk menghasilkan panas yang difungsikan oleh

UCP1 (Uncoupling Protein1).34

Universitas Sumatera Utara


Sejumlah faktor baik genetik maupun lingkungan mempengaruhi

perkembangan obesitas, antara lain tingginya konsumsi makanan luar

rumah, tingginya porsi makanan, kebiasaan minum soft drink , kebiasaan

mengkonsumsi makanan restoran, kebiasaan menonton TV, penggunaan

komputer, berkurangnya aktivitas fisik baik di sekolah maupun tempat

kerja.3

Dalam populasi umum, obesitas merupakan penyebab utama

kenaikan penyakit Kardiovaskular(Garrison dkk,1996). Obesitas juga

menjadi penyebab utama DMT2 dan morbiditas lain, dan diduga obesitas

memberi dampak penyakit Kardiovaskular di populasi umum kira-kira

sama dengan penyebab merokok dan kenaikan LDL-C.32

Manifestasi klinis obesitas dengan penyakit Kardiovaskular antara

lain penyakit aterosklerotik koroner, kardiomiopati dan gagal jantung,

arritmia dan kematian tiba-tiba, penyakit tromboemboli vena, dan

stroke.8,38

Obesitas juga jadi penyebab resistensi insulin. Kerja insulin sebagai

hormon antilipolitik gagal sehingga terjadi penumpukan Non Esterify Fatty

Acid (NEFA) di sirkulasi dan terjadi penumpukan lemak di hati dan

mengganggu metabolisme VLDL. Kerja enzyme Lipoprotein Lipase (LPL)

sabagai clearance trigliserida dan juga transfer interpartikel apolipoprotein

A-1 dan kolesterol menurun pada obesitas, yang berkontribusi secara

langsung pembentukan aterogenik.6,40

Universitas Sumatera Utara


2.2.4.3.Intoleransi Glukosa Terganggu

Gangguan kerja insulin menimbulkan kegagalan penekanan

produksi glukosa oleh hati dan ginjal dan menurunkan uptake glukosa dan

metabolisme di dalam jaringan yang sensitif dengan insulin, misalnya otot

dan jaringan adiposa. Untuk mengkompensasi gangguan kerja insulin,

sekresi dan atau clearance insulin harus dimodifikasi untuk menahan

euglycemia. Akhirnya mekanisme kompensasi gagal, biasanya karena

gangguan sekresi insulin, sehingga kegagalan glukosa puasa atau

intoleransi glukosa terganggu jatuh ke DM.6,39

2.2.4.4.Hipertensi

Hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi ditetapkan

dengan baik. Pada keadaan fisiologi normal, insulin adalah vasodilator

yang mereabsorbsi natrium di ginjal. Pada obesitas, efek vasodilator

insulin ini hilang tetapi efek reabsorbsi natrium menetap. Efek insulin untuk

meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatis juga menetap. Di

endothelium terjadi ketidakseimbangan produksi NO dan sekresi

endothelin-1, sehingga terjadi penurunan aliran darah.6,40

Aspek lain termasuk hiperinsulinemia yang diprovokasi oleh

hiperglikemia menyebabkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis

dan aktivasi Hypothalamo-Pituitary Adrenal Axis (HPAA) yang

berkontribusi dengan hipertensi.32

Universitas Sumatera Utara


2.2.4.5.Adiponektin

Adiponektin adalah sitokin antiinflamasi yang dihasilkan adiposit.

Adiponektin meningkatkan sensitivitas insulin dan menghambat proses

inflamasi. Di hati, adiponektin menghambat ekspresi enzyme glukoneogen

dan laju produksi glukosa. Di otot, adiponektin meningkatkan transport

glukosa dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Adiponektin ini

berkurang pada SM.6,36

2.2.4.6.Dislipidemia

Secara umum, peningkatan asam lemak bebas di hati dihubungkan

dengan peningkatan produksi apoB yang berisi trigliserida yang kaya

VLDL. Proses ini sangat kompleks, tetapi hipertrigliseridemia adalah

penanda yang tepat dari keadaan resistensi insulin.6

Gangguan yang lain berupa penurunan HDL-C, merupakan

konsekuensi dari perubahan komposisi dan metabolisme HDL.

Hipertrigliseridemia dan penurunan HDL-C adalah konsekuensi dari

penurunan ester kolesterol dari core lipoprotein dalam penggabungannya

dengan protein pemindah ester kolesterol melalui perubahan dalam

trigliserida membuat partikel kecil dan padat.6,41

2.2.4.7. Sitokin-sitokin proinflamasi

Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1,IL-6, IL-18,

resistin, TNF-α, dan CRP merupakan gambaran produksi yang berlebihan

Universitas Sumatera Utara


dari massa jaringan adiposa. Subjek dengan obesitas sebenarnya berada

dalam keadaan proinflamasi, hal ini ditandai dengan adanya peningkatan

kadar high sensitivity C- reactive protein (hs-CRP) serum. Peningkatan hs-

CRP secara tidak langsung mencerminkan tingginya kadar sitokin dalam

serum.6,9

2.2.5. Patofisiologi Sindrom Metabolik

Asam lemak bebas (FFA) dilepas dalam jumlah yang banyak dari

massa jaringan lemak yang berkembang. Di dalam hati,asam lemak bebas

yang meninggi diproduksi dari glukosa dan trigliserida dan sekresi dari

VLDL. Hubungan abnormalitas lipid atau lipoprotein termasuk penurunan

kolesterol HDL dan peningkatan densitas LDL. Asam lemak bebas juga

menurunkan sensitifitas insulin dalam otot melalui penghambatan insulin-

mediated glucose uptake. Hubungan gangguan ini termasuk penurunan

pembentukan glukosa menjadi glikogen dan peningkatan akumulasi lipid

dalam trigliserida. Peningkatan glukosa,asam lemak bebas,sekresi insulin

di sirkulasi membuat suatu keadaan hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia

mungkin menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium dan

meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis yang berkontribusi ke

hipertensi karena peningkatan kadar asam lemak bebas di sirkulasi.6

Status proinflamatori adalah superimposed dan merupakan

kontribusi resistensi insulin yang sebagai produk dari asam lemak bebas

yang berlebih. Peningkatan sekresi interleukin-6 (IL-6) dan Tumor

Universitas Sumatera Utara


Necroting Factor α (TNF-α) yang dihasilkan adiposit dan monosit turunan

makrophag menghasilkan keadaan resistensi insulin yang berlebih dan

lipolisis simpanan trigliserida jaringan lemak menjadi asam lemak bebas di

sirkulasi. IL-6 dan sitokin-sitokin yang lain juga meningkatkan produksi

glukosa dan VLDL di hati dan resistensi insulin di otot. Sitokin dan asam

lemak bebas juga meningkatkan produksi fibrinogen dari hati dan

Plasminogen Activator Inhibitor 1 (PAI-1) dari sel adiposa membuat suatu

keadaan prothrombotic state. Kadar sitokin yang lebih tinggi juga

merangsang hati untuk mengeluarkan CRP.6,9,30

2.2.6. Inflamasi, hs-CRP, Sindrom Metabolik dan Penyakit Kardiovaskular

Hotamisligil dkk yang pertama kali menjelaskan hubungan antara

inflamasi dan obesitas dan menjadi fundasi pertama konsep ini. Mereka

mendukung hubungan kuat antara obesitas dan proses inflamasi, seperti

mereka tunjukkan bahwa jaringan adiposa mengekspresikan mediator-

mediator inflamasi ( TNF-α, IL-6, CRP, MIF/Migration Inhibitor Factor ).

Mereka juga menunjukkan bahwa mekanisme inflamasi berperan pada

resistensi insulin dan ahli patologi juga menghubungkannya dengan

peningkatan risiko kardiovaskular. Insulin berefek sebagai antiinflamatori

di endotel dan sel-sel mononuklear dengan melalui kenaikan kadar I-κB,

sehingga kadar sitokin-sitokin proinflamasi (TNF-α,IL-6, adhesion

molecule, intercellular adhesion molecule dan kemokin seperti CRP)

berkurang. Efek inilah yang dihambat resistensi insulin dan sitokin-sitokin

lain sehingga menimbulkan aterogenesis.9,42,43

Universitas Sumatera Utara


Menurut Khreiss dkk, CRP berbentuk pentamer mengalami

dissosiasi menjadi monomer sebelum dapat merangsang terjadinya

inflamasi.46

Gambar 2.2. Perubahan bentuk CRP sebagai proatherosklerotik46

C-reactive protein yang ada dalam sirkulasi berbentuk sebagai disc

shaped pentamer dan mengalami dissosiasi (terurai) melalui terpaparnya

terhadap lemak bioaktif membran sel dari platelet-platelet yang diaktifkan

dan sel-sel yang nekrosis dan apoptosis. Sebagai hasilnya yaitu mCRP

(monomer CRP) kemudian memberi efek proinflamasi seperti

digambarkan dibawah ini.47

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3. Peran CRP pada inflamasi vaskular47

Protein fase akut CRP mendatangkan efek proatherogenik dan

proinflamatori secara langsung dan bekerja sebagai mediator langsung

pada gangguan fungsi endothel. CRP pada kadar yang bisa diterima

umum sebagai prediktor terjadinya risiko penyakit kardiovaskular secara

langsung menurunkan produksi NO sabagai relaksan di sel endotelial

melalui sintesa endothelial NO (eNOS). Dengan berkurangnya kadar NO,

CRP menghambat angiogenesis dan merangsang apoptosis sel endothel.

CRP juga mengawali pelepasan endothelium-derived contracting factor

endothelin-1 (ET-1) dan IL-6 dari sel-sel endotel, menginduksi

upregulation adhesion molecule seperti InterCellular Adhesion Molecule

(ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM) dan E-selectin.

Universitas Sumatera Utara


CRP juga merangsang pelepasan MCP-1 yang memfasilitasi transmigrasi

leukosit. Bukti juga menunjukkan bahwa CRP juga meningkatkan

upregulasi NF-κB yang memfasilitasi transkripsi sejumlah gen

proatherosklerotik. Dalam proses atherogenik, CRP secara langsung

menaikkan uptake LDL alami ke dalam makrofag.9,42,43,47

Gambar 2.3. Proses pembentukan sel foam pada aterosklerosis49

Low Density Lipoprotein (LDL) dapat lewat masuk dan keluar dari

Intima, tetapi ketika dijumpai jumlahnya berlebih, cenderung terperangkap

di dalam matriks melalui ikatan dengan Proteoglycan. Pada saat jumlah

antioksidan terbatas, lemak-lemak dan protein LDL adalah subjek oksidasi

melalui turunan produk-produk oksidatif dari sisa sel-sel dalam dinding

pembuluh darah, protein LDL sebagai subjek juga mengalami proses

glikasi. Sehingga terjadi kenaikan Minimally Modified – LDL (MM-LDL)

dimana akan mengalami oksidasi lanjut menjadi Oxidized-LDL.49

Universitas Sumatera Utara


Masuknya sel-sel Monosit dan Limfosit T sebagai respon inflamasi

terhadap Modified-LDL adalah tahap awal pembentukan lesi

aterosklerosis. Adhesion Molecules Spesific seperti Von Willebrand

Factor, Selectin, dan VCAM-1, ditampilkan di permukaan sel-sel endotel

pembuluh darah yang diaktifkan Mediated Leukocyte Adhesion. Sel-sel

mononukleus masuk secara langsung ke dinding arteri melalui

Chemoattractant Chemokine seperti Monocyte Chemoattractant Protein-1

(MCP-1). Partikel-partikel LDL yang terperangkap di intima cenderung

mengalami oksidasi yang progresif, membuat mereka dapat dikenal oleh

reseptor-reseptor scavenger makrofag sehingga Modified-LDL menjadi

target-target internalisasi oleh sel-sel ini.49

Pada pengambilan ekstensive Modified LDL melalui reseptor-

reseptor scavenger (CD36 dan SR-A), makrofag akhirnya masuk ke dalam

sel foam. Proses differensiasi ini kemungkinn dipercepat oleh MCSF

(Macrophage Colony Stimulating Factor), Lipopolisakarida (LPS) melalui

rseptor CD14 dalam hubungannya dengan Toll-Like Receptor 4 (TLR-4)

oleh HSP-60 (Heat Shock Protein) melalui CD14, dan oleh Platelet Activity

Factor (PAF) dan sitokin-sitokin yang di lepas dari makrofag secara

autokrin.49

Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-γ (PPAR-γ) diaktifkan

oleh LDL, penting untuk upregulasi CD36 dan downregulation pelepasan

sitokin-sitokin. Dalam proses pembentukan sel foam, sitokin-sitokin

dilepaskan dari makrofag dan sel Limfosit T di dalam sel-sel otot polos dan

Universitas Sumatera Utara


sel endotel. Mobilisasi sel Limfosit T dan interferon-γ (IFN-γ) aktivasinya

mensekresikan sitokin-sitokin dimana peran utama makrofag yang

membuat mereka lebih mudah kena dengan TLR. Sel Limfosit T juga

mengekspresikan ligand CD40 dalam makrofag. Chemoattractant yang

dilepas dari LDL, makrofag, dan sel-sel foam (MCP-1) mempercepat

pengambilan monosit lebih banyak lagi ke tunika intima.49

Pada Januari 2003 The Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) dan AHA mempublikasikan petunjuk awal untuk mengesahkan

pemakaian hs-CRP sebagai tambahan screening faktor risiko tradisional

penyakit Kardiovaskular.43

Ridker PM dkk dalam penelitiannya tahun 2003 menyimpulkan

bahwa pengukuran CRP merupakan tambahan klinis yang penting untuk

memberikan informasi prognostik SM.16

Dalam penelitian Framingham Offspring oleh Ruter MK dkk

menyimpulkan bahwa proses inflamasi yang diukur dengan memakai CRP

berhubungan kuat dengan semua komponen SM baik pada pria maupun

wanita. Dan keduanya merupakan faktor resiko terhadap CVD. Keduanya

juga bisa digunakan sebagai prediktor risiko CVD.44

Universitas Sumatera Utara


Nilai cut-off points yang direkomendasikan oleh CDC/AHA terhadap risiko

penyakit CVD adalah44,50:

Risiko rendah jika hs-CRP < 1,0 mg/L.

Risiko sedang jika hs-CRP 1,0-3,0 mg/L

Risiko tinggi jika hs-CRP > 3,0 mg/L

Gambar 2.5. Penyakit kardiovaskular pada sindrom metabolik43

Universitas Sumatera Utara


2.3. Kerangka Konsep

Hipertensi
Peradangan
TG↑ Sindrom Obesitas yang bersifat
HDL-C↓ Metabolik perlahan-lahan
dan menahun
Gangguan Metabolisme Glukosa

IL-1

IL-6 Inhibitor : gangguan fungsi


hati, mengkonsumsi obat
TNα statin, colchitin

Hati hs-CRP

Enhancer : Infeksi, artritis,


merokok aktif

Atherosclerosis

Penyakit Jantung

dan Pembuluh

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai