Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

Tentang

“”
Dosen Pembimbing : Prayugo, M.Si

DI SUSUN OLEH :

PRODI
JURUSAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
2020 M / 1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah bertema “Teori Perilaku Kolektif”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami mendapatkan begitu banyak
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada siapa saja yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk
belajar mengajar, Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan
nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap
kritik dan sarannya yang akan menjadikan makalah ini lebih baik.

Bengkalis, 10 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Pembuatan Makalah ............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perilaku Kolektif............................................................................ 3
B. Teori Perilaku Kolektif .................................................................................... 4
C. Macam-Macam Perilaku Kolektif ................................................................... 5
D. Bentuk Penyimpangan Kolektif ....................................................................... 8
E. Penyiumpangan Olahraga ................................................................................ 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 11
B. Saran ................................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
. Keistimewaan manusia dari segala sesuatu adalah manusia karena punya akal
fikiran. Maka manusia dengan fikirannya merupakan isi dari alam ini, yang mana tidak ada
yang mulia di dunia ini, kecuali manusia yang berakalnya. Salah satu fungsi akal dalam
kehidupan manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang bermanfaat dan
meninggalkan yang mudharat.

Berbagai kenyataan di lapangan yang ditemukan penulis seputar berpikir kritis, analitik, dan
logic, jauh dari harapan penulis bagi sebuah masyarakat modern yang menjunjung tinggi
ilmu pengetahuan sebagai salah satu kebutuhan dalam kehidupannya.

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akal pikiran benar-benar menganjurkan
ummatnya untuk melakukan apapun dengan landasan ilmiah yang memiliki akurasi data
yang baik, dan benar.Sehingga ditemukan pemahaman “BAL” dalam bertindak; Benar-
Akurat-Lengkap. Filsafat melalui salah satu cabangnya, memberikan jalan keluarnya dengan
istilah logika yang juga banyak dikenal di dunia Islam dengan istilah mantiq, yang juga
memiliki cabang alat berfikir runtut yang dikenal dengan silogisme.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian perilaku kolektif ?
2. Bagaimana teori perilaku kolektif ?
3. Apa saja macam-macam perilaku kolektif ?
4. Bagaimana bentuk penyimpangan kolektif penyiumpangan olahraga ?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu bertujuan untuk memberikan
informasi tentang apa itu penyimpangan olahraga dengan tujuan pembaca bisa
menentukan sikap dalam berolahraga karena banyak hal yang negatif dalam perilaku
penyimpangan dalam olahraga.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Mantiq atau Logika


Ilmu berasal dari bahasa arab yang merupakan terjemahan dari kata logika.
Menurut istilah maka diartikan suatu cabang ilmu filsafat yang menentukan
penghargaan atau penelitian tetntang suatu cara berfikir atau cara
mengemukakan alasan-alasan, jika fakta-fakta yang digunakan dalam cara
berfikir itu sebelumnya sudah dikatakan benar logika memperhatikan kebenaran
suatu cara berfikir tetapi kurang memperhatikan kondisi psikologis yang
mungkin menjadi sebab dari cara berfikir itu. Oleh karena itu, logika bukanlah
suatu ilmu empirik, tetapi juga bersifat normatif.

Ilmu mantik adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia
kearah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia
terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kesimpulan salah. Ilmu
mantik juga merupakan suatu lafadz yang mempunyai pengertian ganda, pertama,
berarti apa yang diketahui (yakni dipercaya dengan pasti dan sesuai dengan kenyataan
yang muncul dari satu alasan suatu argumentasi yang disebut dalil). Kedua, yang
berarti gambaran yang ada di akal tentang sesuatu seperti kerbau, sapi dan
sebagainya. Dengan menyebut atau mendengar lafadz tersebut, maka dengan
sendirinya akal akan memunculkan suatu gambaran. Lafadz yang ada pada gambaran
di akal inilah yang disebut tasawur.

Sedangkan mantiq secara etimologis atau bahasa berasal dari dua bahasa, yaitu
bahasa arab nataqa yang berarti berkata atau berucap dan bahasa latin logos yang
berarti perkataan atau sabda.

Pengertian mantiq menurut istilah ialah:


1. Alat atau dasar yang gunanya untuk menjaga dari kesalahan berpikir.
2. Sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir sehingga seseorang
yang menggunakannya akan selamat dari berfikir yang salah.
Ilmu diantara fungsinya adalah untuk menyusuri sesuatu hal apakah itu sebuah
kenyataan atau tidak.

Dalil yang dipelajari untuk mengetahui sesuatu hal apakah itu sebuah kenyataan atau
tidak itulah yang disebut mantik. Dengan begitulah dapat diketahui ilmu tadi benar
atau tidak. Jika benar dengan kenyataan maka dikatakan sidik atau benar. Dan
sebaliknya jika salah maka dikatakan batil walaupun demikian tetap dalam kategori
ilmu. Karena mantik merupakan alat untuk menuju ilmu yang benar atau karena ilmu
yang benar perlu adanya pengarahan mantik. Jadi, ilmu mantik dikatakan ilmu segala
yang benar atau sering disebut bapak dari segala ilmu.

3
Rumusan Ilmu mantiq menurut Syekh Abu Abdullah Muhammad Ahmad
Muhammad ‘Ulaisyi:

ِ ‫ص ُم ُموا عاتُهُ بِـت ْوفِ ْي‬


َ‫ق هللاِ تعًا لى ال ِذ‬ ْ ‫فى فِ ْك ِر ِه‬
ِ ‫َلم ْن ِط ُق هُو قا نُ ْو ٌن ت ْع‬ ِ ‫ْهن ِمن ْآلخط‬
ِ ‫اء‬

“Ilmu mantiq adalah tatanan berfikir yang dapat memelihara otak dari kesalahan
berfikir dengan pertolongan Allah Swt”.
Rumusan ilmu mantiq menurut Al-Quasini:

‫ق‬
ٍ ‫ص ِد ْي‬ ُ ‫ت ِم ْن حي‬
ِ ‫ْث أنَّها تُو‬
ْ ‫ص ُل اِلى مجْ ُه ْو ٍل تص ُّو ِري ٍ ا ْوت‬ ْ َّ ‫ت و ْالت‬
ِ ‫ص ِد ْي ِقيا‬ ِ ‫ت ْالتَّص ُّو ِر يا‬
ِ ‫ث فِ ْي ِه ع ِن ْالم ْعلُ ْوما‬
ُ ‫ِع ْل ٌم يُبْح‬
‫ص ُل اِلى ذا ِلك‬ ُ ‫ف عليْها ْالتَّو‬ ُ ‫ا ْويتوق‬

“Ilmu yang membahas objek-objek pengetahuan tashawur dan tashdiq untuk


mencapai interaksi dari keduanya, atau sesuatu pemahaman yang dapat
mendeskripsikan tashawur dan tashdiq”.
Rumusan ilmu mantiq menurut Syekh Aj-Jurjani:
“Suatu alat yang mengatur kerja otak dalam berfikir agar tehindar dari kesalahan,
selain merupakan ilmu kecermatan praktis”.
Semantara itu adapun pengertian berfikir sebagai suatu kerja otak adalah sebagai
berikut:
Menyusun berbagai persoalan objek tahu (muqoddimah Shugrodan muqoddimah
qubro) untuk memperoleh suatu kesimpulan (natijah) Gerakan jiwa dalam memahami
objek pikir.
Dari ketiga definisi tersebut yang penuturannya bersifat fungsional dan operasional
dapatlah disimpulkan bahwa ilmu mantiq merupakan ilmu yang membahas suatu tata
aturan berfikir benar berkenaan dengan objek pikir, untuk memperoleh kebenaran.

Bisa dikatakan ilmu mantiq adalah satu disiplin ilmu untuk mengenai cara mengotak-
ngatik otak untuk memahami objek pikir agar menemukan kebenaran yang logis.

Sedangkan Logika adalah istilah yang dibentuk dari kata logikos yang berasal dari
kata benda logos. Kata logos, berarti sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan
akal (pikiran), kata, percakapan, atau ungkapan lewat bahasa. Kata logikos, berarti
mengenal kata, mengenai percakapan atau yang berkenaan dengan ungkapan lewat
bahasa. Dengan demikian, dapatlah dikatan bahwa logika adalah suatu pertimbangan
akal atau pikiran yang diutrakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.adalah ilmu
pengetahuan dan keterampilan berpikir lurus.1

B. Sejarah Ilmu Mantiq

4
Kegiatan berfikir muncul berbarengan dengan adanya manusia pertama.
Manusia diberi potensi berfikir untuk memikirkan dirinya dan segala sesuatu yang
berada di luar dirinya. Namun, mengenai berfikir sistematis (dalam pengertian secara
mantiq), para penulis ilmu mantiq mengatakan bahwa secara konsepsional dan
sistematis kegiatan berfikir yang kemudian melahirkan tatacara berfikir yang
dituangkan dalam suatu disiplin ilmu yang disebut mantiq.

Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya
yang mendapat karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi
sumber berbagai ilmu.

Pada abad ke 5 sebelum masehi di yunani mantiq (logika) oleh ahli-ahli filsafat
yunani kuno dijadikan sebagai ilmu. Perkembangan ilmu mantiq tidak terlepas dari
sejarah perjalanan filsafat di yunani dan transformasinya kedalam pemikiran muslim
dalam kegiatan ilmiah sejarah perkembangan ilmu mantiq di latar belakangi dengan
ilmu mantiq dan perintis-perintisnya. Tercatat sebagai perintis pertamanya adalah
sofisme. Kelompok ini mencoba mengangkat persoalan kemasyarakatan, agama, dan
akhlak dengan pendekatan akal, benar salah baik buruk sesuatu di ukur dengan
timbangan akal mereka. Sayangnya kajian mereka sering mengarah pada kesesatan
dalam berfikir, karena sebelumnya belum ada norma berfikir yang baku yang dapat
menuntun mereka kearah berfikir yang benar dan menjunjung tinggi martabat
kemanusiaan.

Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-, Aristoteles adalah
ikon rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-
premis, dan kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini
disebut logika. Bangsa Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan
tercengang dan terhipnotis dengan karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru
Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah yang
didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal di
tengah-tengah masyarakat Yunani. Sampai pada tingkatan tertentu, logika Aristoteles
mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan. Logika
Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam
“dialog”nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa
Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya,
Socrates dan Plato. Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap Aristoteles
sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan
ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran.Rasionalitas
dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik. Logika
akan terus berkembang dan mengambil peran yang sangat relevan terhadap segala
perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh
penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan rasional. Hal ini

5
tercermin dari setiap karyanya. Bahkan alam semesta, menurutnya, tidak
dikendalikan oleh hal-hal yang serba kebetulan. Gerakan alam semesta ini tunduk
pada hukum-hukum rasional. Pengamatan empiris dan landasan-landasan logis harus
dimanfaatkan dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis. Dengan
‘dogma’ inilah budaya Eropa mulai bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik
dan takhayul menuju rasio.

Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu


pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara
manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya
atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah
yang paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan segala potensi yang
dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa al-
Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk
berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang memahami esensi di
luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah konsepsi
(tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa
petaka. Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi
sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari
eksperimen. Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik. Dan ketiga, akal yang
menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang
biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq)
berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.

Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum berpikir dengan


tepat harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli
mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan
sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada
koherensi logis adalah benar, karena kekuatan pikir kita sebatas kebenaran yang kita
ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika
aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari segala kebenaran
pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan ‘ke-independensian’ logika, apakah
termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai ‘kacung’ ilmu
pengetahuan? Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu
metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih
cenderung memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat. Berbeda dengan Ibnu
Sina (1037 M.) dalam bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yang memisahkan logika
sebagai ilmu independen sekaligus sebagai pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950
M.) juga berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yang independen.
Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika
dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu sendiri adalah ketetapan
hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui. Dan sejatinya tidak

6
ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya dari sisi pandangnya saja yang
membuat seakan berbeda.

Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama ilmu murni-


independen (‘ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang mencakup ilmu
tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yang mencakup fisika dan ketuhanan.
Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti
ilmu bahasa Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu syari’ah, dan mantik
sebagai pengantar filsafat. Pengkajian terhadap ilmu pengantar hendaknya hanya
sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Karena jika tidak
demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan
bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen. Pembahasan panjang lebar
terhadap ilmu pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf. Dalam
perkembangan selanjutnya, hanya ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai
ilmu. Sedangkan ilmu perantara bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan,
bisa dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika bukanlah sebagai peletak hukum
berpikir melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang
benar.

Karena memperhatikan kenyataan kelompok sofisme tersebut maka muncullah


Socrates dan muridnya Plato serta Aristoteles. Mereka mulai merintis tata aturan
berfikir benar dalam suatu bentuk kaedah-kaedah berfikir. Kaedah-kaedah inilah yang
kemudian mewujud dalam suatu disiplin ilmu logika atau mantiq. Tercatat sebagai
pencetus pertamanya ilmu mantiq adalah Aristoteles dan para sejarah peneliti
pemikiran manusia menjuluki Aristoteles sebagai produk dasar ilmu mantiq. Maka
tak heran jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama). Karya tulis
Aristoteles sebagai peletak dasar bangunan ilmu mantik. Adapun karya tulis
Aristoteles di bidang logika diantaranya adalah Ornagon Oa Laterpretation dan Prior
Arsiliteis.

Sepintas, ada beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini.
Akan tetapi jika ditelisik lebih mendalam, maka akan tampak suatu benang merah
bahwa sebelum Aristoteles memang ada logika, akan tetapi ilmu logika sebagai ilmu
yang sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah
yang pertama akali membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem.

Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara


lain, lahirnya kelompok Safshathah. Kelompok ini dengan ketangkasan debat yang
mereka miliki menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan
cara mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya benar, tetapi membuat
penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan

7
pernyataan-pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi
dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan
masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan.

Dalam perkembangan selanjutnya mantiq Aristoteles di transfer ke dunia islam


melalui kegiatan penerjemahan kedalam bahasa Arab pada Zaman Daulah Abbasiyah
(tahun 153-656 H/750-1258 M). Upaya penerjemahannya dilakukan oleh Abdullah
bin Mughafah (sekretaris Abu Jafar al-Mansur dan Muhammad bin Abdullah bin
Muhafah. Banyak karya-karya ilmiah Yunani dan lain-lainnya diterjemahkan
kedalam bahasa Arab, sehingga ada satu masa dalam sejarah islam yang dijuluki
dengan nama abad terjemahan. Logika karya Aristoteles di terjemahkan juga dengan
nama ‘Ilm Al-Mantiq.

Ilmu mantik dipelajari oleh umat islam sehingga banyak dari mereka yang
menjadi seorang pakar mantik. Diantara mereka juga menulis buku ilmu mantik dan
mengembangkannya dalam berbagai segi mengislamisasikannya melalui contoh-
contoh yang dimunculkan oleh mereka. Mereka juga menggunakan ilmu mantik
untuk mempertajam dan mempercepat daya pikir dan aplikasi kesimpulan yang benar
dan mereka juga menggunakan ilmu mantik untuk membantu mengokohkan hujjah-
hujjah agamawi termasuk wujud Tuhan dan kebaharuan alam semesta. Diantara
ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami menerjemah dan
mengarang di bidang ilmu mantik adalah Abdullah Ibn Al-Muqaffa’, Yaqub Ibn
Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibn Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibn Rusyd
Al-Kuthubi dan masih banyak yang lainnya. Pada Zaman kebangkitan Eropa dari
abad gelap Al-Farabi malah dijuluki dengan guru kedua logika. Tokoh-tokoh
ilmuwan lainnya yang sangat terkenal di bidang ilmu logika adalah Abu Ali Al-
Haitsam, Abu Abdillah Al-khawarizmi, Al-Tibrizi, Ibn Bajah, Al-Asmawi, Al-
Sarmanqandi yang tidak terkenal hanya belahan timur tetapi juga belahan barat.

Kemudian menyusulah zaman kemunduran di bidang ilmu mantik karena


dianggap terlalu memuja akal. Diantara ulama-ulama besar islam, seperti Muhyiddin
Al-Nawawi, Ibn Shalah, Taqiyun Ibn Taimiyah, Saduddin Al-Taftajani malah
mengharamkan mempelajari ilmu mantik dengan tuduhan akan menjadi zindiq, ilhad
dan kufur. Pengaruh mereka ini telah menyebabkan banyak ulama yang tidak
memperkenankan ilmu mantik diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan yang diasuh
mereka.

Namun demikian banyak orang ulama besar masih mempertahankan ilmu mantik
sebagai suatu ilmu yang harus dipelajari, tetapi mempunyai bagian yang terbatas saat
menggunkannya sebagai penunjang bagi ilmu tauhid saja diantara mereka adalah
Sayid Syarif Ali Al-Jurjani, Muhammad Al-Duwani, Abdurahman Al-Akhdari,
muhibullah Al-Bisri, Ahmad Al-Malawi, Muhammad Subhan, Al-Hindi dan masih

8
banyak yang lainnya.

Eropa hampir seribu tahun dalam masa abad gelap mulai abad ke 13 sampai abah ke
14. Meraka menggali lagi pelajaran logika tetapi mereka tidak dapat mempelajari
pelajaran logika dengan sepenuhnya karena masih ada pengucilan gereja yang ketat.
Namun demikian kegairahan ilmu di Eropa pada masa abad tersebut setelah melalui
perjuangan berat memisahkan gereja dari negara sangat tinggi. Berbagai ilmu yang
tadinya disalin dan diterjemahkan para ilmuan-ilmuan Muslim kedalam bahasa Arab
diterjemahkan kembali oleh mereka dalam bahasa latin dan berlanjut ke bahasa-
bahasa Eropa. Di bidang logika mereka juga menggelari jabatan atau julukan kepada
Al-Farabi sebagai guru kedua dan Ibn Sina sebagai guru ketiga.

Buku logika Ibn Sina diterjemahkan dalam bahasa latin oleh mereka di
penghujung abad ke 12. Terjemahan yang lebih lengkap adalah dari karya logika Ibn
Rusyd di awal abad ke 14. Tejemahannya disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford
(Inggris). Setelah itu ilmu logika mulai hidup kembali di Eropa, Amerika dan negara-
negara lainnya berkembang dengan subur.

Dalam masa filsuf-filsuf muslim Alpharabi merupakan maha guru kedua dalam
ilmu pengetahuan karena masa Alpharabi ilmu mantiq di pelajari lebih rinci dan di
praktikan termasuk dalam pentasdiqan qodhiah.
Pada era modern muncul pemikir Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
pemikir lainnya yang mengembangkan ilmu mantiq melalui karya-karya tulisnya.

Setelah di transfer ke dunia islam, mantiq yunani terdiri dari tiga corak berikut:
1. Mantik hasil karya kelonpok Peripateticieus (Masya’ayun) atau mantiq aliran
Peripatetisme (Massaiah, yaitu pengembangan metode aristo mabtu )
2. Mantik hasil karya Stoicieus (Rawakiyun) atau mantiq aliran Stoicisme
(Rawakiyah) yang di kembangkan oleh ahli ilmu kalam dan ahli ushul fiqh
3. Mantik hasil karya ahli tasawuf yang disebut dengan mantik Isyaraqi (Manthiq
Isyraqi)
Dalam kategori lain ilmu mantiq mempunyai corak yang dikelompokan menjadi tiga
kelompok antara lain sebagai berikut:
1. Mantik murni yunani
2. Mantik yunani yang bercampur dengan pemikiran islam
3. Mantik islami
Ilmu Mantiq Aristoteles dapat diterima dan berkembang di dunia pemikiran islam
disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
1. Islam mengajarkan prinsip persamaan drajat antara pemeluk islam bangsa arab dan
non arab, berbeda dengan agama non islam yang kerap kali memandang rendah
masyarakat jajahannya.
2. Adanya prinsip kebebasan berfikir bagi setiap individu muslim.

9
3. Adanya sikap terbuka untuk mempelajari ilmu pengetahuan peninggalan karya
pemikir yunani sebagai bagian dari objek kajian ilmiah.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, ilmu mantiq banyak


menyumbangkan baik dalam pembahasan maupun percobaan-percobaan yang
dilakukan oleh para ahli belakangan seperti Discartes, Imanuel Kant, dan yang
lainnya.

Sejalan dengan itu, dalam dunia islam menjadi mundur di bidang ilmu
pengetahuan. Pada masa kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Islam, timbullah
berbagai kritikan terhadap Ilmu Mantiq/ Logika karena dianggap logika sebagai
penyebab lahirnya paham-paham zindiq (atheis) karena terlalu memuja akal fikiran di
dalam mencari kebenaran. Sebagian ulama kemudian mengharamkan mempelajari
ilmu logika, seperti Imam an-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243 M),
Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan Sa’adduddin at-Taftazani (1322-1389 M).

Pengaruh fatwa tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga kegiatan
dan perkembangan alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan kebekuan.
Sementara dunia Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan
(Renaissance) di Eropa (abad 13-14 M).

Namun demikian di awal kebangkitan islam (pada penghujung abad ke 19 yang


ditandai dengan gerakan pembaharuan, ilmu mantik yang di singkirkan oleh islam
mulai dipelajari dan dikembangkan kembali. Gerakan pembaharuan ini di pelopori
oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain.
Mendapat pengharuh besar dan meluas keseluruh dunia islam, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, ilmu mantik pada mulanya dipelajari secara terbatas di


perguruan-perguruan agama dan pesantren. Ilmu ini kemudian mendapatkan
perhatian berkat semangat positif dari gerakan pembaharuan. Meskipun pakar-pakar
mantik banyak di Indonesia ternyata buku-buku mantik atau logika yang mereka
susun dalam bahasa indonesia masih digolongkan sedikit. Sementara itu mereka juga
mengakui besarnya yang signifikan dan peranan ilmu mantik atau logika bagi
pengembangan ilmu pada umumnya dan peningkatan daya pikir untuk memperoleh
kesimpulan yang benar dan logis. Ilmu Mantik sampai ke Indonesia bersama ilmu-
ilmu agama lainnya yang dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang belajar di Timur
Tengah.

Ilmu logika baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku Madilog
karangan Tan Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq telah
dipelajari secara lebih luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.

10
Ditulis oleh wakidyusuf18 Mei 2018

Sejarah Ilmu Mantiq (Logika) dan Perkembangannya

Keistimewaan manusia dari segala sesuatu adalah manusia karena punya akal fikiran.
Maka manusia dengan fikirannya merupakan isi dari alam ini, yang mana tidak ada
yang mulia di dunia ini, kecuali manusia yang berakalnya. Salah satu fungsi akal
dalam kehidupan manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang
bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat.

Berbagai kenyataan di lapangan yang ditemukan penulis seputar berpikir kritis,


analitik, dan logic, jauh dari harapan penulis bagi sebuah masyarakat modern yang
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sebagai salah satu kebutuhan dalam
kehidupannya.

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akal pikiran benar-benar menganjurkan
ummatnya untuk melakukan apapun dengan landasan ilmiah yang memiliki akurasi
data yang baik, dan benar.Sehingga ditemukan pemahaman “BAL” dalam bertindak;
Benar-Akurat-Lengkap. Filsafat melalui salah satu cabangnya, memberikan jalan
keluarnya dengan istilah logika yang juga banyak dikenal di dunia Islam dengan
istilah mantiq, yang juga memiliki cabang alat berfikir runtut yang dikenal dengan
silogisme.

Pengertian Ilmu Mantiq

Ilmu berasal dari bahasa arab yang merupakan terjemahan dari kata logika. Menurut
istilah maka diartikan suatu cabang ilmu filsafat yang menentukan penghargaan atau
penelitian tetntang suatu cara berfikir atau cara mengemukakan alasan-alasan, jika
fakta-fakta yang digunakan dalam cara berfikir itu sebelumnya sudah dikatakan benar
logika memperhatikan kebenaran suatu cara berfikir tetapi kurang memperhatikan
kondisi psikologis yang mungkin menjadi sebab dari cara berfikir itu. Oleh karena
itu, logika bukanlah suatu ilmu empirik, tetapi juga bersifat normatif.

Ilmu mantik adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia
kearah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia
terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kesimpulan salah. Ilmu
mantik juga merupakan suatu lafadz yang mempunyai pengertian ganda, pertama,
berarti apa yang diketahui (yakni dipercaya dengan pasti dan sesuai dengan kenyataan
yang muncul dari satu alasan suatu argumentasi yang disebut dalil). Kedua, yang
berarti gambaran yang ada di akal tentang sesuatu seperti kerbau, sapi dan

11
sebagainya. Dengan menyebut atau mendengar lafadz tersebut, maka dengan
sendirinya akal akan memunculkan suatu gambaran. Lafadz yang ada pada gambaran
di akal inilah yang disebut tasawur.

Sedangkan mantiq secara etimologis atau bahasa berasal dari dua bahasa, yaitu
bahasa arab nataqa yang berarti berkata atau berucap dan bahasa latin logos yang
berarti perkataan atau sabda.

Pengertian mantiq menurut istilah ialah:


1. Alat atau dasar yang gunanya untuk menjaga dari kesalahan berpikir.
2. Sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir sehingga seseorang
yang menggunakannya akan selamat dari berfikir yang salah.
Ilmu diantara fungsinya adalah untuk menyusuri sesuatu hal apakah itu sebuah
kenyataan atau tidak.

Dalil yang dipelajari untuk mengetahui sesuatu hal apakah itu sebuah kenyataan atau
tidak itulah yang disebut mantik. Dengan begitulah dapat diketahui ilmu tadi benar
atau tidak. Jika benar dengan kenyataan maka dikatakan sidik atau benar. Dan
sebaliknya jika salah maka dikatakan batil walaupun demikian tetap dalam kategori
ilmu. Karena mantik merupakan alat untuk menuju ilmu yang benar atau karena ilmu
yang benar perlu adanya pengarahan mantik. Jadi, ilmu mantik dikatakan ilmu segala
yang benar atau sering disebut bapak dari segala ilmu.

Rumusan Ilmu mantiq menurut Syekh Abu Abdullah Muhammad Ahmad


Muhammad ‘Ulaisyi:

َ‫فى ِف ْك ِر ِه‬ ِ ‫ق هللاِ ت ًعا لى ال ِذ ْهن ِمن ْآلخط‬


ِ ‫اء‬ ِ ‫ْلم ْن ِط ُق هُو قا نُ ْو ٌن ت ْع‬
ِ ‫ص ُم ُموا عاتُهُ ِبـت ْو ِف ْي‬

“Ilmu mantiq adalah tatanan berfikir yang dapat memelihara otak dari kesalahan
berfikir dengan pertolongan Allah Swt”.
Rumusan ilmu mantiq menurut Al-Quasini:

‫ق‬
ٍ ‫ص ِد ْي‬ ُ ‫ت ِم ْن حي‬
ِ ‫ْث أنَّها تُو‬
ْ ‫ص ُل اِلى مجْ ُه ْو ٍل تص ُّو ِري ٍ ا ْوت‬ ْ َّ ‫ت و ْالت‬
ِ ‫ص ِد ْي ِقيا‬ ِ ‫ت ْالتَّص ُّو ِر يا‬
ِ ‫ث فِ ْي ِه ع ِن ْالم ْعلُ ْوما‬
ُ ‫ِع ْل ٌم يُبْح‬
‫ص ُل اِلى ذا ِلك‬ َّ ْ
ُ ‫ف عليْها التو‬ ُ ‫ا ْويتوق‬

“Ilmu yang membahas objek-objek pengetahuan tashawur dan tashdiq untuk


mencapai interaksi dari keduanya, atau sesuatu pemahaman yang dapat
mendeskripsikan tashawur dan tashdiq”.
Rumusan ilmu mantiq menurut Syekh Aj-Jurjani:
“Suatu alat yang mengatur kerja otak dalam berfikir agar tehindar dari kesalahan,
selain merupakan ilmu kecermatan praktis”.
Semantara itu adapun pengertian berfikir sebagai suatu kerja otak adalah sebagai

12
berikut:
Menyusun berbagai persoalan objek tahu (muqoddimah Shugrodan muqoddimah
qubro) untuk memperoleh suatu kesimpulan (natijah) Gerakan jiwa dalam memahami
objek pikir.
Dari ketiga definisi tersebut yang penuturannya bersifat fungsional dan operasional
dapatlah disimpulkan bahwa ilmu mantiq merupakan ilmu yang membahas suatu tata
aturan berfikir benar berkenaan dengan objek pikir, untuk memperoleh kebenaran.

Bisa dikatakan ilmu mantiq adalah satu disiplin ilmu untuk mengenai cara mengotak-
ngatik otak untuk memahami objek pikir agar menemukan kebenaran yang logis.

Sejarah Ilmu Mantiq

Kegiatan berfikir muncul berbarengan dengan adanya manusia pertama. Manusia


diberi potensi berfikir untuk memikirkan dirinya dan segala sesuatu yang berada di
luar dirinya. Namun, mengenai berfikir sistematis (dalam pengertian secara mantiq),
para penulis ilmu mantiq mengatakan bahwa secara konsepsional dan sistematis
kegiatan berfikir yang kemudian melahirkan tatacara berfikir yang dituangkan dalam
suatu disiplin ilmu yang disebut mantiq.

Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang
mendapat karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi
sumber berbagai ilmu.

Pada abad ke 5 sebelum masehi di yunani mantiq (logika) oleh ahli-ahli filsafat
yunani kuno dijadikan sebagai ilmu. Perkembangan ilmu mantiq tidak terlepas dari
sejarah perjalanan filsafat di yunani dan transformasinya kedalam pemikiran muslim
dalam kegiatan ilmiah sejarah perkembangan ilmu mantiq di latar belakangi dengan
ilmu mantiq dan perintis-perintisnya. Tercatat sebagai perintis pertamanya adalah
sofisme. Kelompok ini mencoba mengangkat persoalan kemasyarakatan, agama, dan
akhlak dengan pendekatan akal, benar salah baik buruk sesuatu di ukur dengan
timbangan akal mereka. Sayangnya kajian mereka sering mengarah pada kesesatan
dalam berfikir, karena sebelumnya belum ada norma berfikir yang baku yang dapat
menuntun mereka kearah berfikir yang benar dan menjunjung tinggi martabat
kemanusiaan.

Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-, Aristoteles adalah ikon
rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-
premis, dan kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini
disebut logika. Bangsa Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan
tercengang dan terhipnotis dengan karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru
Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah yang

13
didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal di
tengah-tengah masyarakat Yunani. Sampai pada tingkatan tertentu, logika Aristoteles
mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan. Logika
Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam
“dialog”nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa
Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya,
Socrates dan Plato. Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap Aristoteles
sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan
ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran.Rasionalitas
dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik. Logika
akan terus berkembang dan mengambil peran yang sangat relevan terhadap segala
perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh
penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan rasional. Hal ini
tercermin dari setiap karyanya. Bahkan alam semesta, menurutnya, tidak
dikendalikan oleh hal-hal yang serba kebetulan. Gerakan alam semesta ini tunduk
pada hukum-hukum rasional. Pengamatan empiris dan landasan-landasan logis harus
dimanfaatkan dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis. Dengan
‘dogma’ inilah budaya Eropa mulai bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik
dan takhayul menuju rasio.

Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan
secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia
mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak-
serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah yang
paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan segala potensi yang
dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa al-
Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk
berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang memahami esensi di
luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah konsepsi
(tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa
petaka. Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi
sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari
eksperimen. Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik. Dan ketiga, akal yang
menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang
biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq)
berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.

Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum berpikir dengan tepat
harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik
dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan sesuai
dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada koherensi
logis adalah benar, karena kekuatan pikir kita sebatas kebenaran yang kita ketahui.

14
Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi
mengarah kepada logika adalah representasi dari segala kebenaran pengetahuan,
maka akan timbul pertanyaan ‘ke-independensian’ logika, apakah termasuk dari
bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai ‘kacung’ ilmu pengetahuan?
Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu metafisika,
dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih cenderung
memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat. Berbeda dengan Ibnu Sina (1037
M.) dalam bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yang memisahkan logika sebagai ilmu
independen sekaligus sebagai pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga
berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yang independen. Keterpengaruhan
mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal
ini, karena essensi dari pada logika itu sendiri adalah ketetapan hukum untuk
mengetahui sesuatu yang belum diketahui. Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan
yang mendalam, hanya dari sisi pandangnya saja yang membuat seakan berbeda.

Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama ilmu murni-independen


(‘ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits,
fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yang mencakup fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu
pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti ilmu bahasa
Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu syari’ah, dan mantik sebagai
pengantar filsafat. Pengkajian terhadap ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas
kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Karena jika tidak demikian,
ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan bisa
mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen. Pembahasan panjang lebar terhadap
ilmu pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf. Dalam
perkembangan selanjutnya, hanya ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai
ilmu. Sedangkan ilmu perantara bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan,
bisa dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika bukanlah sebagai peletak hukum
berpikir melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang
benar.

Karena memperhatikan kenyataan kelompok sofisme tersebut maka muncullah


Socrates dan muridnya Plato serta Aristoteles. Mereka mulai merintis tata aturan
berfikir benar dalam suatu bentuk kaedah-kaedah berfikir. Kaedah-kaedah inilah yang
kemudian mewujud dalam suatu disiplin ilmu logika atau mantiq. Tercatat sebagai
pencetus pertamanya ilmu mantiq adalah Aristoteles dan para sejarah peneliti
pemikiran manusia menjuluki Aristoteles sebagai produk dasar ilmu mantiq. Maka
tak heran jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama). Karya tulis
Aristoteles sebagai peletak dasar bangunan ilmu mantik. Adapun karya tulis
Aristoteles di bidang logika diantaranya adalah Ornagon Oa Laterpretation dan Prior
Arsiliteis.

15
Sepintas, ada beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini. Akan
tetapi jika ditelisik lebih mendalam, maka akan tampak suatu benang merah bahwa
sebelum Aristoteles memang ada logika, akan tetapi ilmu logika sebagai ilmu yang
sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah yang
pertama akali membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem.

Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain,
lahirnya kelompok Safshathah. Kelompok ini dengan ketangkasan debat yang mereka
miliki menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan cara
mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya benar, tetapi membuat
penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan
pernyataan-pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi
dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan
masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan.

Dalam perkembangan selanjutnya mantiq Aristoteles di transfer ke dunia islam


melalui kegiatan penerjemahan kedalam bahasa Arab pada Zaman Daulah Abbasiyah
(tahun 153-656 H/750-1258 M). Upaya penerjemahannya dilakukan oleh Abdullah
bin Mughafah (sekretaris Abu Jafar al-Mansur dan Muhammad bin Abdullah bin
Muhafah. Banyak karya-karya ilmiah Yunani dan lain-lainnya diterjemahkan
kedalam bahasa Arab, sehingga ada satu masa dalam sejarah islam yang dijuluki
dengan nama abad terjemahan. Logika karya Aristoteles di terjemahkan juga dengan
nama ‘Ilm Al-Mantiq.

Ilmu mantik dipelajari oleh umat islam sehingga banyak dari mereka yang menjadi
seorang pakar mantik. Diantara mereka juga menulis buku ilmu mantik dan
mengembangkannya dalam berbagai segi mengislamisasikannya melalui contoh-
contoh yang dimunculkan oleh mereka. Mereka juga menggunakan ilmu mantik
untuk mempertajam dan mempercepat daya pikir dan aplikasi kesimpulan yang benar
dan mereka juga menggunakan ilmu mantik untuk membantu mengokohkan hujjah-
hujjah agamawi termasuk wujud Tuhan dan kebaharuan alam semesta. Diantara
ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami menerjemah dan
mengarang di bidang ilmu mantik adalah Abdullah Ibn Al-Muqaffa’, Yaqub Ibn
Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibn Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibn Rusyd
Al-Kuthubi dan masih banyak yang lainnya. Pada Zaman kebangkitan Eropa dari
abad gelap Al-Farabi malah dijuluki dengan guru kedua logika. Tokoh-tokoh
ilmuwan lainnya yang sangat terkenal di bidang ilmu logika adalah Abu Ali Al-
Haitsam, Abu Abdillah Al-khawarizmi, Al-Tibrizi, Ibn Bajah, Al-Asmawi, Al-
Sarmanqandi yang tidak terkenal hanya belahan timur tetapi juga belahan barat.

16
Kemudian menyusulah zaman kemunduran di bidang ilmu mantik karena dianggap
terlalu memuja akal. Diantara ulama-ulama besar islam, seperti Muhyiddin Al-
Nawawi, Ibn Shalah, Taqiyun Ibn Taimiyah, Saduddin Al-Taftajani malah
mengharamkan mempelajari ilmu mantik dengan tuduhan akan menjadi zindiq, ilhad
dan kufur. Pengaruh mereka ini telah menyebabkan banyak ulama yang tidak
memperkenankan ilmu mantik diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan yang diasuh
mereka.

Namun demikian banyak orang ulama besar masih mempertahankan ilmu mantik
sebagai suatu ilmu yang harus dipelajari, tetapi mempunyai bagian yang terbatas saat
menggunkannya sebagai penunjang bagi ilmu tauhid saja diantara mereka adalah
Sayid Syarif Ali Al-Jurjani, Muhammad Al-Duwani, Abdurahman Al-Akhdari,
muhibullah Al-Bisri, Ahmad Al-Malawi, Muhammad Subhan, Al-Hindi dan masih
banyak yang lainnya.

Eropa hampir seribu tahun dalam masa abad gelap mulai abad ke 13 sampai abah ke
14. Meraka menggali lagi pelajaran logika tetapi mereka tidak dapat mempelajari
pelajaran logika dengan sepenuhnya karena masih ada pengucilan gereja yang ketat.
Namun demikian kegairahan ilmu di Eropa pada masa abad tersebut setelah melalui
perjuangan berat memisahkan gereja dari negara sangat tinggi. Berbagai ilmu yang
tadinya disalin dan diterjemahkan para ilmuan-ilmuan Muslim kedalam bahasa Arab
diterjemahkan kembali oleh mereka dalam bahasa latin dan berlanjut ke bahasa-
bahasa Eropa. Di bidang logika mereka juga menggelari jabatan atau julukan kepada
Al-Farabi sebagai guru kedua dan Ibn Sina sebagai guru ketiga.

Buku logika Ibn Sina diterjemahkan dalam bahasa latin oleh mereka di penghujung
abad ke 12. Terjemahan yang lebih lengkap adalah dari karya logika Ibn Rusyd di
awal abad ke 14. Tejemahannya disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris).
Setelah itu ilmu logika mulai hidup kembali di Eropa, Amerika dan negara-negara
lainnya berkembang dengan subur.

Dalam masa filsuf-filsuf muslim Alpharabi merupakan maha guru kedua dalam ilmu
pengetahuan karena masa Alpharabi ilmu mantiq di pelajari lebih rinci dan di
praktikan termasuk dalam pentasdiqan qodhiah.
Pada era modern muncul pemikir Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
pemikir lainnya yang mengembangkan ilmu mantiq melalui karya-karya tulisnya.

Setelah di transfer ke dunia islam, mantiq yunani terdiri dari tiga corak berikut:
1. Mantik hasil karya kelonpok Peripateticieus (Masya’ayun) atau mantiq aliran
Peripatetisme (Massaiah, yaitu pengembangan metode aristo mabtu )
2. Mantik hasil karya Stoicieus (Rawakiyun) atau mantiq aliran Stoicisme
(Rawakiyah) yang di kembangkan oleh ahli ilmu kalam dan ahli ushul fiqh

17
3. Mantik hasil karya ahli tasawuf yang disebut dengan mantik Isyaraqi (Manthiq
Isyraqi)
Dalam kategori lain ilmu mantiq mempunyai corak yang dikelompokan menjadi tiga
kelompok antara lain sebagai berikut:
1. Mantik murni yunani
2. Mantik yunani yang bercampur dengan pemikiran islam
3. Mantik islami
Ilmu Mantiq Aristoteles dapat diterima dan berkembang di dunia pemikiran islam
disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
1. Islam mengajarkan prinsip persamaan drajat antara pemeluk islam bangsa arab dan
non arab, berbeda dengan agama non islam yang kerap kali memandang rendah
masyarakat jajahannya.
2. Adanya prinsip kebebasan berfikir bagi setiap individu muslim.
3. Adanya sikap terbuka untuk mempelajari ilmu pengetahuan peninggalan karya
pemikir yunani sebagai bagian dari objek kajian ilmiah.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, ilmu mantiq banyak


menyumbangkan baik dalam pembahasan maupun percobaan-percobaan yang
dilakukan oleh para ahli belakangan seperti Discartes, Imanuel Kant, dan yang
lainnya.

Sejalan dengan itu, dalam dunia islam menjadi mundur di bidang ilmu pengetahuan.
Pada masa kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Islam, timbullah berbagai kritikan
terhadap Ilmu Mantiq/ Logika karena dianggap logika sebagai penyebab lahirnya
paham-paham zindiq (atheis) karena terlalu memuja akal fikiran di dalam mencari
kebenaran. Sebagian ulama kemudian mengharamkan mempelajari ilmu logika,
seperti Imam an-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243 M), Ibnu Taimiyah
(1263-1328 M) dan Sa’adduddin at-Taftazani (1322-1389 M).

Pengaruh fatwa tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga kegiatan dan
perkembangan alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan kebekuan.
Sementara dunia Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan
(Renaissance) di Eropa (abad 13-14 M).

Namun demikian di awal kebangkitan islam (pada penghujung abad ke 19 yang


ditandai dengan gerakan pembaharuan, ilmu mantik yang di singkirkan oleh islam
mulai dipelajari dan dikembangkan kembali. Gerakan pembaharuan ini di pelopori
oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain.
Mendapat pengharuh besar dan meluas keseluruh dunia islam, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, ilmu mantik pada mulanya dipelajari secara terbatas di perguruan-


perguruan agama dan pesantren. Ilmu ini kemudian mendapatkan perhatian berkat

18
semangat positif dari gerakan pembaharuan. Meskipun pakar-pakar mantik banyak di
Indonesia ternyata buku-buku mantik atau logika yang mereka susun dalam bahasa
indonesia masih digolongkan sedikit. Sementara itu mereka juga mengakui besarnya
yang signifikan dan peranan ilmu mantik atau logika bagi pengembangan ilmu pada
umumnya dan peningkatan daya pikir untuk memperoleh kesimpulan yang benar dan
logis. Ilmu Mantik sampai ke Indonesia bersama ilmu-ilmu agama lainnya yang
dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang belajar di Timur Tengah.

Ilmu logika baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku Madilog
karangan Tan Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq telah
dipelajari secara lebih luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.

Logika dan Perkembangannya

Dalam dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat gagasan. Setiap argumen dapat
diuji keabsahannya dengan logika. Maka, untuk mewujudkan argumen yang baik dan
benar perlu menguasai logika. Dalam pembacaan ini, penulis sedikitnya telah
menggunakan perumusan logika yang diusung Aristoteles sebagai pencipta bentuk-
bentuk pengungkapan dan penjelasan baru yang berupa dialektita atau logika. Karena
korelasi sebuah pernyataan dan jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan
rumusan tersebut. Kesalahan penyimpulan ditemukan ketika tidak menggunakan
hukum, prinsip dan metode berpikir. Berangkat dari upaya pencarian kebenaran
tersebut ilmuwan Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles semakin gencar
untuk merumuskan perangkat metode berpikir yang rasional.

Logika dalam perkembangannya mengalami berbagai fase. Bentuk logika formal


yang ada dewasa ini adalah perwujudan kolaborasi antara pakar klasik dan modern.
Tapi pionir logika formal yang sebenarnya adalah Aristoteles, meskipun dalam
pengertian yang berbeda dengan logika formal modern. Pada hakekatnya logika tidak
terpisah dari materi, yang pada awalnya merupakan sebuah pemahaman sehingga
akan mewujudkan ‘thing’ (sesuatu). Tetapi pakar modern mengawali dari sesuatu
sehingga akan muncul pemahaman. Makna awal logika Yunani adalah kalam yang
kemudian dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan. Baru sekitar abad ke-2 M
bangsa Arab mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi bahasa yaitu kalam dan
talaffud tanpa menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang digunakan di
Yunani ketika itu. Susunan logika Aristoteles yang sudah tertata rapi disertai
peninggalan karya-karyanya dalam jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai
salah satu faktor berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab. Sejarahpun
mencatat, banyak karya Aristoteles telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti
Syria, Arab, Persia dan India. Maka tak heran jika metode Aristoteles sangat ‘heboh’
merasuki hampir di segala cabang ilmu pengetahuan.

19
Ada enam tema besar dalam mantik Aristoteles yaitu, “Categoria Seu
Praediecamenta” (al-Maqqûlât), “Perihermenias Seu de Interpretatione” (al-‘Ibârah),
“Analytica Priora” (al-Tahlîlât al-Ulâ), “Analytica Posteriora” (al- Tahlîlât al-
Tsâniyyah), “Topica, Seu De Locis Communis” (al-Jadal), “De Sophisticis Elenchis”
(al-Safsathâ’i). Seiring dengan perkembangan mantik di dunia Arab, logika banyak
mengalami perubahan, yaitu dari yang enam menjadi sembilan; ‘Isagog’ (madkhal),
‘Retorika’ (al- Khithâbah), ‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar itulah yang
banyak berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi dalam bukunya ” Mafâtîh
al-‘Ulûm” juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema tersebut. Lain
halnya dengan al-Farabi dalam “Ihshâ` al-‘Ulûm” yang tidak mengkategorikan
‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian dari mantik.

Sejarah mengisahkan tentang perkembangan ilmu berawal dari penerjemahan gede-


gedean yang diprakarsai Khalifah Al-Ma’mun (masa penerjemahan terhadap karya
pemikir Yunani dimulai pada masa Khalifah al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah.
Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan Aristoteles. Perbincangan mereka
mengarah bahwa sumber kebenaran adalah akal. Segera Al-Ma’mun mengirim
delegasi ke Roma guna mempelajari ilmu yang banyak berkembang dan tersimpan,
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak adalah
‘Sang Hero’ pada masa itu, karena dia telah berhasil membujuk bahkan
membebaskan karya para intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal yang
ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para intelektual Yunani adalah ketika buku-
buku tersebut dikonsumsi oleh rakyatnya dan mulai tersebar maka agama Nasrani
kemungkinan besar akan ditinggalkan, dan kembali pada agama Yunani. Ilmu asing
yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang
ilmu, dan mantik adalah salah satu di antaranya. Adalah Ayyub bin al-Qasim al-Raqi
yang menerjemahkan Isagog dari bahasa Suryani ke Arab yang pada awalnya telah
diadopsi dari Madrasah Iskandaria.

Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak pengaruh dalam dunia


pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan logika sebagai
pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang
berkembang pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana Islam mulai proaktif dalam
mengembangkan ilmu yang bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.),
seorang filsuf muslim yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang mengawali
pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian ikut andil
dalam mengkolaborasikan logika Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan
nahwu. Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu kalam pada
periode selanjutnya. Maka jika kita telisik kembali dalam perjalanan sejarah, lewat
orang-orang muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan
kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen dari Timur mempunyai pengaruh

20
penting dalam pola berpikir manusia sehingga mengembangkan metode ilmiah yang
menggabungkan cara berpikir baik secara deduktif dan induktif.

Rasionalitas Eropa Klasik-Modern

Perkembangan logika Barat berawal dari masalah teosentris yang sangat berbalik arah
dengan perkembangan mantik di Arab-Islam. Pertemuan pemikiran Aristoteles
dengan iman kristiani menghasilkan banyak pemikir dan filsuf penting. Mereka
sebagian besar berasal dari dua ordo baru yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu
Dominikan dan Fransiskan. Aliran ini dinamai sebagai filsafat Skolastik (dari kata
Latin “scholasticus” yang berarti “guru”). Tema-tema pokok dari ajaran mereka
antara lain hubungan iman-akal budi, eksistensi dan hakekat Tuhan, antropologi, etika
dan politik. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan
pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Dan pada masa ini filsafat diajarkan di
sekolah-sekolah biara serta universitas mengikuti kurikulum tetap yang bersifat
internasional. Berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia Islam, sebagaimana
pendapat Ibnu Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat dan agama mempunyai persamaan,
yaitu sama-sama melaporkan prinsip-prinsip wujud tertinggi dan mempunyai tujuan
puncak yaitu kebahagiaan manusia. Dalam tataran ini Siger de Brabant menyatakan
bahwa agama lebih benar dari pada akal, karena betapapun itu, akal hanyalah akal,
yang tidak dapat melampaui posisi agama. Adapun filsafat, laporannya lebih bersifat
persuatif sedangkan agama lebih ke imajinatif.

Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban Eropa secara periodik terbagi


tiga, yaitu pada permulaan abad Masehi (sekitar abad ke-2 dan ke-3 M.), kemudian
pada pertengahan abad (sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 M.) dan akhir abad ke-
19 M. Yang perlu ditekankan di sini, bahwa otoritas gereja pada pertengahan abad
sangat menghegemoni hampir semua wilayah Eropa dengan mengusung etika
rasional sebagai titik tolak pemikiran. Sehingga wahyu Tuhan seakan dipaksakan
untuk memasuki wilayah akal. Nah, hal inilah yang menimbulkan perpecahan dalam
gereja. Mulai abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang
berpusat di Spanyol dan Napoli.

Orang Yahudi ketika itu banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika,
matematika, astronomi dan filsafat. Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah
al-Syifa’ karya Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai
melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi. Pengadopsian karya-karya
tersebut didukung dengan hadirnya Madrasah Paris yang sedang naik daun sekaligus
mendapat ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus. Penyelaman terhadap karya sarjana
muslim tidak berjalan mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan pembantahan
dari pihak gereja yang masih fundamentalis. Karena banyak berlawanan dengan hasil
konsensus gereja, maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan

21
pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M. Maka, langkah
selanjutnya yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari
buku Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas Aquinas dalam
pembaruan gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi
empat pusat keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan
Oxford.

Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena ‘berfilsafat’
harus menggunakan akal sehat dengan melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar
utamannya adalah kekuatan iman, bukan akal. Pergolakan iman Kristiani banyak
tercabik-cabik dalam pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi
gereja yang menyatakan tidak adanya filsafat dalam agama karena itu sangat
mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yang
menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya dengan filsafat. Dalam
tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan keputusan gereja. Berbeda dengan
pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah agama dan rasionalitas.
Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat Kristen adalah cinta akan
kebenaran, dan kebenaran merupakan ‘kalimah’ yang menyatu dalam tubuh al-Masih.
Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena
nasrani adalah agama yang rasional. Agustine sedikit menjelaskan korelasi antara
rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio antecedit fidem)
guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah, sedangkan tujuan iman
mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya wajib agar akal digunakan untuk
memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik benang merah bahwa tujuan hakiki
filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah, melainkan berakidah untuk berpikir.
Hal ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas (1274 M.), bahwa
berpikir merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas
dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, sejatinya
agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika
membahas ‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang
berangkat dari agama. Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat
dari penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal
terhadap agama.

Pergulatan sejarah mengisahkan zaman Renaissance adalah yang menjembatani


perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-
1600 M. dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli
(1469-1527 M.). Mereka mulai menguak kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno
yang dihidupkan kembali dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya
adalah “Antroposentris” ala mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah
kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik
fokus dari kenyataan.

22
Descartes sebagai filsuf, matematikawan dan ilmuwan Prancis abad pertengahan
(1596-1650 M.) memberikan sebuah elaborasi pernyataan yang berlawanan filsafat
klasik tetapi justru mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik “apakah asal-muasal
pengetahuan manusia itu?” diselaraskan dengan pertanyaan “bagaimana saya tahu?”
adalah hepotesa aktif yang menuntut akal untuk proaktif dalam melihat sesuatu.
Pengaruh besar yang dicetuskan Descartes adalah pemahaman tentang fisik alam
semesta, bahwa seluruh alam -selain Tuhan dan jiwa manusia- bekerja secara
mekanis. Oleh karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan dari sebab musabab
mekanis. Atas dasar inilah dia menolak pandangan astrologi, magis dan takhayul,
yang berarti juga menolak penjelasan teologis. Dia berpendapat seharusnya para
ilmuwan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat semu dan harus menjabarkan
dunia secara matematis. Dia menyusun suatu sistem filsafat dengan metode
matematika.

Perkembangan baru muncul lagi di abad ke-18 M., yang biasa disebut masa
enlightment atau Aufklarung, yang mulai menciptakan suatu sintesis dari
rasionalisme dan empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke (1632-1704 M.), di
Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778 M.) dan di Jerman ada Immanuel Kant
(1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme, empirisme dan idealisme, Barat sampai saat
ini mempunyai banyak aliran filsafat, yang kebanyakan hanya berkutat pada satu
negara dan kebudayaan.

Nalar Arab- Islam

Terdapat banyak versi kapan mulainya penerjemahan dari Yunani ke Arab. Ada yang
mengatakan bahwa penerjemahan itu terjadi pada masa kekuasaan Daulah Bani
Umayah, ada juga yang berpendapat pada awal Daulah Abbasiyah. Al-Syahrastani
sepakat bahwa mantik lebih dulu memasuki wilayah Arab sebelum zaman
penerjemahan, yang berarti sebelum abad ke-8 M. Proses penerjemahan terhadap
karya filsuf Yunani didukung oleh upaya ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah
asing. Namun, mantik dalam masa ini belum menemukan perkembangan pesat, bisa
jadi keadaan sosial masyarakatnya memang belum butuh atau aksi pencekalan oleh
ulama salaf yang begitu menghegemoni. Sebagian dari ahli sejarah mengatakan,
bahwa ilmu mantik mulai masuk ke dalam pemikiran Arab pada abad ke-7 M ketika
masa penerjemahan Khalifah Ma’mun.

Menurut Deboura, belum tersebarnya mantik secara meluas disebabkan karena


hilangnya beberapa dokumentasi terjemahan buku-buku mantik sebelum abad ke-8
M. Tetapi pendapat ini banyak disangkal oleh sejarawan lain, karena justru pada masa
sebelumnya telah muncul ilmu nahwu yang banyak berdialog dengan mantik. Bahkan
ulama nahwu dari Basrah ketika itu mendapatkan julukan ahli mantik, karena dalam
metodenya banyak menggunakan rasio. Hal tersebut sangat didukung oleh kondisi

23
sosial politik Basrah yang terus berkecamuk, sehingga aksi perlawanan dan
pertentangan dari tiap kelompok tak dapat dihindari. Akibatnya, mantik digunakan
sebagai senjata perlawanan untuk adu argumentasi. Nah, hal ini sangat berbeda
dengan ulama Nahwu Kufah yang cenderung kurang rasionalistik.

Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070 M./462 H.) dijelaskan, bahwa
Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.) diyakini sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia
telah menerjemahkan tiga buku karya Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais,
Analytica, serta Eisagoge karya Porphyry. Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bahasa,
juga berpartisipasi dalam menerjemahkan berbagai disiplin ilmu Yunani ke dalam
bahasa Arab. Bahkan Ishaq juga ikut menerjemahkan dari bahasa Suryani. Dalam
buku Thatawwur Mantiq al-Araby dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adalah awal
penerjemahan buku-buku Yunani, hingga wafatnya murid dan kerabat Hunain bin
Ishaq, karena mereka banyak membantu proses penerjemahan.

Organon adalah kitab pertama yang diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani


ketika itu juga banyak membantu dalam proses penerjemahan, yang secara tidak
langsung pemikiran Aristoteles berkembang biak tidak hanya dalam kedokteran,
astronomi dan matematika melainkan mulai menyentuh wilayah teologi Kristen.
Maka, dari sini mulai terjadi perbedaan dalam penertiban ilmu antara filsafat Suryani
dan Nasrani. Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran utama dalam ilmu kedokteran
dan mulai berkembang dalam bahasa Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M.
yang diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah ilmu kedokteran
dari Yunani ke Arab. Apalagi didukung dengan hadirnya madrasah di Jundisapur
(Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan dari teks Yunani pada awal abad
pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad. Maka tak bisa dipungkiri lagi, bahwa
dari sinilah lahir sarjana muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan
mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-
Ghazali dst.

Berawal dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia, Al-Kindi mulai memberanikan
diri untuk menerjemahkan filsafat Yunani yang sekaligus mendapat persetujuan dari
Khalifah al-Ma’mun (850-873 M). Kemudian mantik mulai berdialektika dan
mempengaruhi disiplin ilmu Islam lainnya, termasuk nahwu. Mantik dalam hal ini
digunakan sebagai rumusan metode dalam pengambilan hukum gramatikal bahasa,
terlebih lagi dalam hal silogisme. Pada saat yang bersamaan, ilmu kalam juga mulai
merayap dan terus berkembang di tangan Qadariyah, baru diwariskan ke Mu’tazilah
sebagai titisan golongan rasionalis. Pertemuan umat Kristen dengan logika menuntut
cendekiawan muslim untuk lebih giat mempelajari mantik sebagai upaya dalam
menjaga teologi Islam.

24
Pada dasarnya logika Aristoteles telah hidup dalam budaya Arab kurang lebih satu
setengah abad. Penolakan terhadap filsafat termasuk logika Yunani baru terjadi pada
masa Imam al-Asy’ari abad keempat Hijriah. Menurut beberapa penulis, penolakan
yang sesungguhnya baru terjadi pada masa al-Ghazali yang menulis bukunya Tahâfut
al-Falâsifah pada pertengahan kedua abad kelima Hijriah. Penolakan tersebut
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teologis. Tetapi ada faktor-faktor positif
yang terdapat pada logika Yunani sehingga dapat diterima di dunia Islam, di
antaranya akurasi logika dan ilmu-ilmu matematika yang memberikan kontribusi luar
biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya, filsuf dan teolog muslim mempercayai
akurasi dan kebenaran logika, bahkan sampai memasuki wilayah ketuhanan
(metafisika). Kekaguman akan logika terjadi karena, dulunya, Islam yang hanya
mengenal segi-segi intuisi dan perasaan dalam mempertahankan akidah, kemudian
mulai beranjak menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi akidah Islam
sebagaimana disinggung al-Ghazali dalam bukunya, Al-Munqidz min al-Dhalâl.

Logika Aristoteles memberikan perubahan besar dalam dinamika sosial masyarakat


Arab, terlebih dalam urusan administrasi negara serta dalam sistem politik sekalipun.
Mantik, pada masa itu juga digunakan sebagai piranti tata letak kota, karena Islam
sebagai negara sangat membutuhkan sistem baru untuk maju. Tak hanya itu, ide-ide
materialisme yang diusung Aristoteles juga berperan dalam problematika pimikiran
Arab-Islam, meskipun kontradiksi dalam hal ini tidak dapat dinafikan. Peran logika
Aristoteles dapat disimpulkan dalam tiga hal; yaitu sebagai perangkat praktis dan
media berargumen yang marak dalam berbagai perdebatan ideologi. Selanjutnya,
mantik digunakan sebagai salah satu langkah kesuksesan pola pikir Arab-Islam,
sehingga dengan mantik peran akal menjadi primer demi mencapai tingkat keyakinan.
Dan terakhir, bahwa logika dijadikan sebagai media (wasîlah) untuk menyatukan
berbagai ideologi dan pimikiran menuju hakekat Satu Yang Mutlak, yaitu sumber
kebenaran dan pengetahuan.

Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan
dan sanggahan terhadap al-Kindi kala itu tak dapat dihindari. Karena menurut mereka
belajar filsafat sama halnya belajar sesuatu yang menyesatkan. Parahnya, mereka
mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan mantik adalah bagian dari perbuatan
setan. Imam al-Syafi’i banyak mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap
pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya berbunyi “akan dianggap bodoh lagi
diperdebatkan bagi mereka yang mulai meninggalkan bahasa Arab dan berganti
mempelajari filsafat Aristoteles”. Padahal dalam fikih, Imam Syafi’i banyak
menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath hukum. Ada
pula riwayat yang berbunyi “barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan
dengan kaum zindiq”. Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash hadist lainnya yang
menyatakan pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh
Syeikh Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.

25
Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika Al-Mutawakkil mulai
menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang terbesar terhadap
pemikiran Yunani adalah golongan teolog Asy’ariyah terutama Al-Ghazali (1059-
1111 M). Perlawanan tersebut meluas dari wilayah timur hingga barat. Namun barat
Islam lebih terpengaruh akan hal ini karena mayoritas bermadzhab Maliki yang tidak
lain adalah salafi. Mantik dan filsafat terus dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai
pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd pemikir besar Islam yang berani melawan
mainstream tersebut dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut. Yang juga menjadi
komentator atas aliran Aristoteles –selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah
Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat al-Isyraq”, yang berisikan kritikan
terhadap aliran Paripatetik dan filsafat materialisme yang dianut oleh aliran
Stoicisme. Meskipun demikian, perlawanan terus berlanjut bahkan sampai puncaknya
pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi setelah terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi
pada akhir abad ke-12 M., muncul dua penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244
M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan
terhadap buku-buku filsafat dan mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’ terhadap
Ibnu Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ” (terbitan Kairo, hal 138).
Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat. Muncul setelahnya, abad ke-14
M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap perjalanan filsafat
dan mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna
membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.

Dalam tataran praktis, asal-muasal masuknya mantik ke dunia Arab melalui jalur
kedokteran, dan berakhir ketika mencapai puncak relasinya dengan ilmu kalam oleh
Ghazali (al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd). Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana muslim pertama
yang banyak berbicara logika serta menghubungkannya dengan ilmu Islam lain
adalah al-Ghazali, maka tak heran jika ketika masuk abad ke-10 M., mantik sudah
tidak dalam bentuknya yang dulu (ala Yunani), melainkan mulai disusupi nilai-nilai
keislaman. Dialektika mantik dengan disiplin ilmu Islam lainnya semakin tampak,
bahkan ketika nahwu dikatakan sebagai ‘mantiknya’ bahasa, maka mantik juga
merupakan ‘bahasanya’ akal. Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan untuk
memutuskan yang baik dan buruk.

Setelah runtuhnya Baghdad abad ke-11 M., Andalusia dijadikan sebagai pusat
peradaban keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam mantik, berakhirnya
madrasah Bagdad menjadikan mantik lebih dewasa, artinya yang dipakai saat itu
bukan lagi metode Aristoteles melainkan diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat dari
abad-abad selanjutnya sekitar ke-13 dan ke-14 M., karya Ibnu Sina lebih membumi
dari pada karya Aristoteles. Di sisi lain, sekitar 970-1030 M. muncul jamaah Ikhawan
al-Shafa dengan basis terbesarnya di Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti
metode Aristoteles tetapi lebih condong kepada Neoplatonisme, terlebih dalam
pengertian tentang pitagoras. Banyak buku mantik yang telah dihasilkan oleh para

26
pendahulu mereka, khususnya al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani
dengan pemikiran Arab Islam.

Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia dari abad ke-12 hingga
abad ke-13 M. dengan style baru yang mulai terbebaskan dari filsafat. Ketika mantik
dianggap hanya dibutuhkan dalam filsafat, Al-Ghazali memberikan inovasi baru yaitu
membawa mantik secara perlahan memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh
dan ilmu sosial. Karena logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya
problem-problem teologis dan filsafat saja. Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat
muslim untuk mempelajari logika dalam kapasitasnya sebagai kewajiban komunal
(fardhu kifâyah). Terlebih lagi, buku-buku mantik karya Ibnu Rusyd dan karya
Fakhruddin al-Razi menjadi pedoman penting dalam kajian mantik sekaligus menjadi
rujukan bagi para sarjana muslim abad ini. Upaya Ibnu Rusyd dalam mengeleminasi
logika Yunani ternyata menuai hasil yang tidak mengecewakan.

Relasi Mantik dengan Disiplin Ilmu Islam Lainnya

Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkutat
dengan logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, sehingga butuh sebuah upaya
harmonisasi demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme. Mantik
dalam pandangan al-Ghazali terbagi dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup
segala pengetahuan kecuali teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup
masalah ketuhanan. Tapi menurut Ibnu Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga
dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika
kemasyarakatan. Dalam relasinya dengan ilmu kalam, al-Ghazali lebih
mengunggulkan metode analogi (qiyâs) daripada eksplorasi (istiqrâ’) karena dianggap
tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara
dunia metafisis dan realita. Syahdan, ilmu Kalam yang diusung al-Ghazali bukan
dalam artian harfiahnya (yaitu: pembicaraan), melainkan dalam pengertian
pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu kalam
adalah rasionalitas atau logika.

Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami perkembangan


signifikan pada abad ke-13 hingga abad ke-14 M. Masa setelah hadirnya Ibnu Rusyd
dapat dikatakan sebagai masa melangsungkan kembali kritikan-kritikan beserta
ulasannya dari golongan rasionalis sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan Sa’aduddin Al-
Taftazani. Dalam beberapa kurun waktu selanjutnya merupakan masa kritikan
terhadap pemakaian metode pikiran dalam memahami soal-soal akidah, salah satunya
adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al- Qaym. Nah, baru
ketika beranjak ke abad selanjutnya perkembangan mantik berupa penertiban materi
yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua madrasah abad pertengahan. Al-

27
Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas mantik. Maka
standarisasi mantik telah sempurna sekitar abad ke-15 M. sampai sekarang.

Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan terlebih di Arab Islam


sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu mengatasnamakan akal. Model
penalaran al-Asy’ari dapat dikategorikan sebagai ‘orthodox style’, karena lebih setia
dengan teks suci agama dibandingkan dengan mu’tazilah dan filsuf. Meskipun masih
dalam lingkaran Islam, tapi penalaran yang dipakai mu’tazilah dan filsuf kebanyakan
produk Yunani, sehingga mulai melakukan pendekatan ta’wil atau interpretasi
metaforis terhadap kalam Tuhan, yang mereka anggap “mutasyabihât”. Nah, hal ini
disebabkan kuatnya peranan unsur mantik serta dialektika. Maka sistem ini
dinamakan ilmu kalam atau teologi rasional.

Sebenarnya tidak hanya mu’tazilah dan filsuf saja yang mengedepankan nalar, tapi al-
Asy’ari pun menggunakan argumen dan dialektika logis meskipun dalam tataran
sekunder. Metodologi alAsy’ari yang aristotelian dengan ciri rasional-deduktif
rupanya paling mendapatkan simpatisan, terutama sekali ketika dua abad kemudian
Al-Ghazali muncul dengan membawa kekuatan argumennya yang luar biasa. Bisa
disebut bahwa madzhab ini sebagai jalan tengah dari berbagai ekstremitas. Praktis,
semua titik-titik penting keagamaaan mereka dukung dengan argumen dan dialektik
yang logis, bahkan menjadi inspirator orisinil bagi pemikiran keislaman.
Sebagaimana pembahasan dalam teologi, pusat argumentasi kalam al-Asy’ari berada
pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad
raya dari ketiadaan (ex nihilo) serta pembuktian adanya hari akhir dan malaikat.
Konsep ‘kasb’ termasuk salah satu teori yang diyakini pengikut al-Asy’ari, karena
pengolahan argumentasinya dinilai sangat logis.

Kajian fikih berkembang pada saat peralihan zaman Umawiyah ke zaman Abbasiah,
yaitu berdirinya “school of thought” oleh Abu Hanifah (699-767 M.) yang terbentuk
dalam lingkungan Irak. Kekuatan politik untuk menjabarkan penalaran ajaran Islam
sangatlah riil, terlihat dari ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran
dalam setiap ilmu. Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah qiyas dan
pertimbangan kebaikan umum (istihsan). Kemudian Syafi’i meneruskan tema aliran
pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya. Dalam tataran
ini, Syafi’i sangat berjasa dengan teori yang dirumuskannya, sebagai dasar teoritis
Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai metode rasional untuk
mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus ulama (ijma’) juga diterima
Syafi’i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat. Maka, titik tolak fikih berkat Syafi’i
ada empat yaitu Kitab Suci, hadist Nabi SAW, ijma’ dan qiyas.

Dalam disiplin ilmu nahwu, mantik dengan analogi-nya sangat berperan penting.
Kecenderungan pemakaian qiyas seiringan dengan munculnya gramatika dan kaedah

28
bahasa, terutama oleh para ulama bahasa yang ada di Bashrah. Mereka lebih memilih
mengkiaskan dengan metode sima’i terhadap dalil fasih yang mereka pakai untuk ber-
istinbath. Ketelitian dalam mengambil argumen merupakan ciri khas mereka, berbeda
halnya dengan ahli nahwu Kufah. Untuk menetapkan qiyas mereka tidak sepenuhnya
selektif terhadap dalil-dalil yang akan dipakai, hal ini bisa dikarenakan
keterpengaruhan pemikiran mereka dengan corak filsafat Persia yang lebih
mengutamakan logika akal dari pada dalil. Adapun faktor lainnya, yaitu keterbatasan
sumber-sumber dalil di samping letak geografisnya yang jauh dari pusat keilmuan
dan peradaban. Tidak hanya model qiyas yang digunakan ahlu nahwu dalam
pengambilan hukum, karena ternyata teori illat atau apologi juga banyak difungsikan.

Jika diruntut dari awal perkembangan mantik, sudah berapa cabang keilmuan yang
telah disisipi kekuasaan logika? Bahkan sampai kepada pengetahuan yang
bertendensi iluminasi atau intuisi sekalipun, hal ini membuktikan bahwa peran akal
beserta rumus-rumusnya akan selalu dibutuhkan meskipun ada beberapa hal yang
dapat berjalan tanpanya. Tasawuf sebagai disiplin ilmu irasional, dalam beberapa
halnya-pun menggunakan teori dan asas logika. Politik, sosial, kedokteran,
aritmatika, dan masih banyak disiplin ilmu lain yang pasti membutuhkan aturan
berpikir untuk mencapai sebuah kebenaran yang dituju. Namun, kebenaran ilmu
pengetahuan sifatnya relatif, sedangkan agama kebenaran yang dituju adalah sebuah
kebenaran mutlak.

C. Hukum Mempelajari Ilmu Mantiq


D. Manfaat Ilmu Mantiq

Seperti dengan mempelajari ilmu-ilmu yang lain ilmu mantiq tidak terlepas dari
kegunaan dan tujuan, adapun kegunaan dan tujuan ilmu mantiq menurut muhammad
nur al-ibrahimi:
1. Membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga menjadikan
lebih berkembang dengan melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta
mengungkapkan sesuatu pemasalahan secara runtun atau ilmiah
2. Membuat seseorang menjadi mampu menempatkan persoalan dan menunaikan
tugas pada situasi dan kondisi yang tepat
3. Membuat seseorang mampu membedakan proses dengan urut fikir yang benar dan
oleh karenanya maka akan menimbulkan kesimpulan berfikir yang benar (hak) dari
yang salah (bathil) secara sendirinya.

Adapun menurut imam al-ahdhari, tujuan dan kegunaan ilmu mantiq adalah sebagai
berikut:
“Mantiq dapat memelihara pikiran dari kesalahan berfikir, memperdalam
pemahaman, dan menyingkap selimut kebodohan”.
Setelah memperhatikan tujuan dan kegunaan ilmu mantiq di atas, kita semakin

29
menyadari betapa pentingnya mempelajari dan menkaji ilmu mantiq dalam kegiatan
akademik (ilmiah) mengenai hal itu, imam alghozali menegaskan:
“Sesungguhnya orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang mantiq, maka ilmuny
tidak dapat dipercaya”
Kegunaan yang sangat Nampak pada ilmu mantiq ini ialah untuk dapat berfikir
dengan benar hingga sampainya seseorang pada kesimpulan yang benar tanpa
mempertimbangkan kondisi dan situasi yang kemungkinan dapat mempengaruhi
seseorang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
Dalam penulisan ini tentu terjadi banyak kesalahan. Saran dan kritikan tentu
akan di tampung guna untuk meperbaiki kesalahan tersebut. Penulis menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini belum semua penulis jelaskan dalam
pembahasan diatas, masih terdapat banyak kekurangan dari itu penulis akan
menerima segala saran dan masukan yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

30
Wakid, Yusuf. 2018. Sejarah Ilmu Mantiq (Logika) dan Perkembangannya.
https://wakidyusuf.wordpress.com/2018/05/18/sejarah-ilmu-mantiq-logika-dan-
perkembangannya/
Kurniawan, Redo. 2017. Pentingnya Ilmu Mantiq Dan Logika Dalam
Kehidupan Sehari – Hari. http://myredokurnia.blogspot.com/2017/01/pentingnya-
ilmu-mantiq-dan-logika-dalam.html

31

Anda mungkin juga menyukai