Anda di halaman 1dari 3

Kehidupan manusia yang semakin komplek, menjadikan kebutuhan manusia semakin bertambah, baik kebutuhan

jasmani maupun kebutuhan rohani. Kebutuhan jasmani bisa dicapai dengan bekerja, sedangkan kebutuhan rohani
didapat dengan belajar. Kedua kebutuhan tersebut memerlukan nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu tingginya
nilai ekonomi akan berdampak pada status sosial, dan perubahan status sosial akan berpengaruh pada nilai etika
kehidupan

Perubahan sosial yang tejadi di masyarakat juga menimbulkan dampak secara ekonomi, dampak
ekonomi dijelaskan oleh Stynes (dalam Disbudpar Banten, 2013 : 20) dikelompokkan dalam tiga
indikator, (1) direct effect meliputi penjualan, kesempatan kerja, pendapatan pajak, dan tingkat
pendapatan, (2) indirect effect, meliputi perubahan tingkat harga, perubahan mutu dan jumlah barang
dan jasa,perubahan dalam penyediaan properti dan variasi pajak, serta perubahan sosial dan
lingkungan, (3) induced effects, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan peningkatan pendapatan. Selain
itu dampak ekonomi juga dijelaskan oleh Cohen (dalam Dwi, 2015 : 21) terdiri dari, (1) dampak terhadap
pendapatan, (2) dampak terhadap aktivitas ekonomi, (3) dampak terhadap pengeluaran. Dari sini lebih
diperjelas bahwa dampak ekonomi dijelaskan sebagai akibat dari suatu perubahan yang terjadi
dilingkungan. Hal lain menurut Sinaga (dalam Setyaningsih, 2014: 6) dampak sosial ekonomi dapat
dilihat dari sisi positif dan negatif sehingga dapat lebih berimbang dalam memberikan penilaian. 156 |
JKMP (ISSN. 2338-445X dan E-ISSN. 2527 9246), Vol. 4, No. 2, September 2016, 117-234

Kemiskinan merupakan isu global yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs),
penurunan kemiskinan menjadi isu yang mendapatkan perhatian serius. Hal ini terbukti dengan
masuknya penurunan kemiskinan dan kelaparan sebagai tujuan pertama dan kedua, serta dibangunnya
komitmen global untuk mengakhiri kemiskinan dalam bentuk apapun.

Secara absolut, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 25,95 juta penduduk.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 61,32 persen diantaranya bertempat tinggal di wilayah perdesaan dan
umumnya bekerja pada sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan di Indonesia
merupakan permasalahan yang dominan di daerah perdesaan. Sebagian besar penduduk miskin, yakni
74,45 persen, terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI), terutama di pulau Sumatera dan Jawa.
Tingginya jumlah penduduk miskin di kedua pulau ini merupakan hal yang wajar mengingat lebih dari
separuh penduduk Indonesia tinggal di kedua pulau ini.

Secara umum, konsep kemiskinan dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kondisi ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan.
Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan
minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang
pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Sedangkan
kemiskinan relatif adalah kondisi yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum
mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan seseorang lebih miskin
dibandingkan dengan lainnya. Kondisi ini terjadi apabila antarkelompok pendapatan menunjukkan
fenomena ketimpangan

Pada provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi seperti Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, dan
Gorontalo, aksesibilitas di wilayah ini cenderung sulit akibat dari kondisi topografi wilayah yang
dipisahkan oleh pegunungan, lembah, ataupun tersebar di pulau-pulau kecil. Kondisi keterisolasian ini
pun menyebabkan terhambatnya mobilitas penduduk, distribusi barang dan jasa, hingga
penyelenggaraan layanan dasar kepada masyarakat. Selain itu, bencana alam seperti tanah longsor,
kekeringan, dan banjir memperparah kondisi kemiskinan karena hilangnya aset masyarakat ataupun
rusaknya fasilitas publik pada wilayah yang terkena bencana. Terkait akses terhadap layanan dasar,
kurangnya tenaga dan fasilitas kesehatan serta pendidikan masih menjadi tantangan yang kerap
dihadapi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pola pikir masyarakat yang masih mementingkan upacara
dan pesta adat berbiaya besar dengan mengorbankan kebutuhan pendidikan ataupun gizi turut
mempengaruhi rendahnya kualitas sumber daya manusia di wilayah ini. Lebih lanjut, karakter
masyarakat yang cenderung cepat puas dan kurang bijak dalam memanfaatkan bantuan dan dana desa
menyebabkan produktivitas masyarakat tidak berkembang optimal. Jika dikaitkan dengan rendahnya
investasi masuk ke wilayah ini, keterbatasan kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu faktor
penyebabnya

Melalui investasi kesehatan peningkatan produktifitas kerja seseorang dapat ditingkatkan,


meningkatkan pendapatan dan tingkat pendidikannya, menurunkan angka kematian serta akhirnya
menurunkan kemiskinan. Kesehatan merupakan hak dasar bagi masyarakat untuk memperoleh
pelayanan kesehatan, dalam hal ini menjadi kewajiban pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk
mewujudkannya. Pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas merupakan idaman seluruh
lapisan masyarakat, khususnya bagi masyarakat golongan menengah kebawah, namun pada
kenyataanya masih banyak negara yang belum menyadari bahwa pelayanan kesehatan yang disediakan
ternyata belum mampu memberikan pelayanan kesehatan yang mereka harapkan. Biaya kesehatan yang
semakin mahal, namun kualitas pelayanan yang diberikan banyak dikeluhkan oleh masyarakat
khususnya masyarakat miskin yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Krisis
ekonomi yang berkepanjangan menimbulkan adanya krisis kesehatan bagi penduduk miskin yaitu
banyak kebutuhan kesehatan masyarakat miskin di perkotaan maupun di pedesaan yang belum dapat
terpenuhi. Krisis kesehatan sebagai akibat krisis ekonomi telah membuat masyarakat miskin semakin
menderita karena semakin sulitnya menjangkau biaya pelayanan kesehatan. Maka seharusnya
pemerintah lebih mengupayakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin akan kesehatan
tersebut yaitu dengan pembangunan di segala bidang terutama di bidang kesehatan dengan mendirikan
Puskesmas. Kedudukan puskesmas dalam Sistem Kesehatan Nasional adalah sebagai sarana pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang bertanggungjawab menyelengarakan upaya kesehatan perorangan
maupun kesehatan masyarakat

Kemampuan dalam memperoleh permukiman yang sehat dan layak untuk ditinggali, terkait
erat dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang berpenghasilan
rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan perumahan, sehingga tinggal dengan kondisi yang
kurang layak dan menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh. Gambaran permukiman
kumuh erat kaitannya dengan keadaan permukiman yang
tidak layak huni, tingkat kepadatan yang tinggi, kualitas bangunan dengan sarana dan
prasarana yang tidak memenuhi syarat (Republik Indonesia, 2011)Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Andina dan Evans, kelompok masyarakat yang
berisiko mengalami gangguan kesehatanmental, salah satunya adalah kelompok
masyarakat miskin (Andina, 2013; Evans, 2016)
Hal ini sejalan dengan hasil studi, bahwa kelompok masyarakat dari status sosial ekonomi
rendah, lebih berisiko 1,3 kali mengalami gangguan mental emosional dibandingkan status
sosial ekonomi tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh kondisi masyarakat yang secara
ekonomi tidak aktif, merasa kurang bahagia sehingga mungkin
mengalami gangguan kesehatan mental yang serius. Hasil analisis menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara kondisi permukiman,
status sosial ekonomi masyarakat dengan kondisi kesehatan mental emosional. Kualitas
permukiman yang sehat bukan hanya bertujuan untuk melindungi fisik seluruh anggota
keluarga, akan tetapi juga berperan dalam kesehatan mental emosional penghuninya.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan permukiman yang sehat, perlu adanya keterjangkauan
ekonomi masyarakat terhadap perumahan yang layak
dan sehat.
Tingkat pendapatan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap status kesehatan baik.
Sementara, anggota rumah tangga dengan tingkat pendidikan lebih tinggi secara individu berpeluang
status kesehatan buruk pada semua kelompok, baik pada pendapatan di atas Rp. 1 500 000,- maupun
pendapatan di bawah Rp. 1 500 000,-. Mengenai pengaruh jumlah anggota rumah tangga, secara individu
berpengaruh terhadap status kesehatan baik, yakni jika anggota rumah tangga lebih tiga orang, semakin
baik kondisi kesehatannya dari setiap tingkatan pendapatan kepala rumah tangga (jurnal palu)
Meskipun pendapatan keluarga meningkat hal ini tidak akan meningkatkan kesehatan gizi balita karena
para responden yang pendapatannya meningkat akan lebih memilih membelanjakan pendapatannya
untuk keperluan rumah tangga tanpa memikirkan kebutuhan bagi kesehatan balitanya.(jurnal balita)
faktor-faktor sosial ekonomi karena pada hakikatnya perilaku higiene dan pemanfaatan posyandu
merupakan pola asuh kesehatan terhadap balita. Pola asuh ibu terhadap balita dibentuk dari pengetahuan
ibu yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Pengetahuan didapatkan dari proses
pendidikan dan kemampuan mengakses informasi. Oleh karena itu, akses terhadap pendidikan harus
ditingkatkan. Salah satunya dengan meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian penduduk karena
tingkat kesejahteraan dan perekonomian yang rendah merupakan salah satu hambatan dalam
menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai