Anda di halaman 1dari 4

Mencegah transmisi HIV lewat ibu hamil

© UNICEF Indonesia/2011/Estey
Dekilena Wandik, 26, yang sedang hamil delapan bulan
dengan anak ke-enamnya, merasa lega bahwa bayinya
terbebas dari HIV. Kini puskesmas dan rumah sakit
diharuskan menyediakan layanan tes HIV untuk ibu hamil.

WAMENA, 14 Nopember 2011 - Wanda (bukan nama sebenarnya) masih berusia 32 tahun
dan sedang mengandung anak kedua, ketika ia mendengar kabar suaminya telah mengidap
AIDS cukup parah.

Dengan anjuran dokter dan suster di Rumah Sakit Umum Wamena di Papua, Wanda, yang
usia kandungannya sudah delapan bulan saat itu, turut menjalani tes, dan mendapati bahwa
ia pun telah terinfeksi HIV. Dokter segera memberinya obat yang dibutuhkan selama
kehamilannya, dan ia melahirkan anaknya lewat operasi Cesar.

Suaminya meninggal beberapa bulan setelah ia melahirkan, namun bayi laki-lakinya telah
dinyatakan bebas HIV ketika menjalani pemeriksaan pada usia 19 bulan.

“Saya sangat lega dia tidak tertular saya,” kata Wanda, yang sekarang tinggal di sebuah
shelter untuk orang yang hidup dengan HIV dan AIDS selama menjalani perawatan. Untuk
melindungi anaknya yang sekarang sudah berusia dua tahun dan dirawat oleh neneknya di
kampung, dia tidak pernah memberinya ASI.

Kalau saja Wanda tidak menjalankan tes HIV tersebut, mungkin dia telah menularkan
virusnya ke bayinya. Melindungi bayi dari penularan HIV oleh ibu mereka adalah tujuan
layanan Pencegahan Transmisi HIV dari Ibu ke Anak - yang lebih dikenal dengan singkatan
bahasa Inggrisnya PMTCT - di Papua dan Papua Barat.
“Program PMTCT telah berjalan selama beberapa saat, namun keprihatinan kami selama
ini adalah apakah kualitas dan kapasitas untuk menjalankan program ini cukup baik,” kata
Dr. Tajudeen Oyewale, Spesialis HIV/AIDS di UNICEF untuk Papua dan Papua Barat.

“Jika rejimen perawatan dilakukan dengan benar, yaitu dimulai tepat waktu, diberikan
dengan dosis yang tepat, dan diawasi dengan baik, transmisi HIV dari ibu ke anak dapat
dikurangi sebesar 95 persen,” tambahnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya Agus Naronggear mengatakan program


PMTCT telah bertambah baik tahun ini, karena beberapa puskesmas dan rumah sakit
diharuskan menyediakan layanan tes HIV untuk ibu hamil.

Menurut Agus, tercatat 1,400 orang dengan HIV di kabupaten Jayawijaya dan daerah
Pegunungan Tengah di Papua. Dua puluh persen dari kasus kesehatan di rumah sakit adalah
kasus HIV dan AIDS, tambahnya.

Di kabupaten tersebut, dari 800 ibu hamil yang melakukan tes HIV di puskesmas dan
rumah sakit umum tahun ini, paling tidak 45 dinyatakan positif (atau 6 persen dari jumlah
yang dites).

Melalui pendekatan baru ini, puskesmas dan rumah sakit yang ditunjuk diharuskan
memberi voluntary counselling and testing (VCT) atau layanan konseling dan tes sukarela
kepada ibu hamil yang datang untuk pemeriksaan antenatal. Diharapkan melalui konseling,
para ibu hamil setuju untuk pengambilan rapid test HIV/AIDS, yang hanya memakan
waktu 10 menit.

Jika sang ibu dinyatakan positif HIV, maka ia dirujuk ke bidan atau dokter yang
bertanggung jawab akan VCT, yang kemudian akan memberi obat Co-trimoxazole
Prophylaxis, sebelum kemudian memberi paket obat-obatan antiretroviral (ARV), yang
dibutuhkan.

“Lebih dini mereka teridentifikasi positif HIV lebih baik, jadi kami dapat merencanakan
perawatan yang dibutuhkan selama kehamilan mereka, dan mempersiapkan mereka untuk
persalinan cesar,” kata Theresia Resubun, bidan yang bertanggung jawab akan Kesehatan
Ibu dan Anak di Puskesmas Wamena Kota.

Suatu pagi, Dekilena Wandik, 26, yang sedang hamil delapan bulan dengan anak ke-
enamnya, telah berjalan kaki selama dua jam ditemani suaminya dari rumahnya ke
puskesmas untuk cek rutin antenatal.

Setelah menjalani konseling VCT dengan Kepala Puskesmas Wamena Kota Dr. Deri
Sihombing, Dekilena setuju untuk menjalankan pemeriksaan darah untuk tes HIV. Dia dan
suaminya terlihat sangat lega ketika hasil tes tersebut dinyatakan negatif.

Suaminya, Titus Kogoya, 27, yang sedang mendalami sekolah alkitab, mengakui bahwa
masa lalunya yang cukup bebas membuat dia khawatir akan hasil tes istrinya.

“Saya dulu memang sering main ke luar, tapi saya tidak melakukan ini lagi, karena saya
sekarang hamba Tuhan,” katanya.

Dari 750 ibu hamil yang menjalani pemeriksaan antenatal di puskesmas ini tahun ini, hanya
setengahnya yang mau dites HIV. Menurut bidan Theresia, masih banyak perempuan yang
takut untuk menjalankan tes tersebut karena khawatir suami mereka akan marah jika tahu
mereka positif HIV. Padahal hasil tes hanya boleh diberikan kepada si ibu hamil, sehingga
kerahasiaannya terjamin, kata Theresia.

Dari sejumlah wanita yang telah menjalani tes di puskemas tersebut sejak tahun lalu, 15
dinyatakan positif HIV dan dua diantaranya melahirkan bayi yang positif. Hanya satu dari
dua bayi tersebut selamat.

Mereka yang dinyatakan positif HIV dirujuk ke Rumah Sakit Umum untuk operasi
persalinan cesar.

Konselor VCT di RSU Wamena, Nurhayati Hasan, mengatakan banyak wanita yang
dinyatakan positif HIV ketika kandungannya sudah 30 bulan.

“Idealnya mereka sudah harus minum obat ARV sejak 14 bulan kehamilan agar kans
pencegahan transmisi ke bayi lebih tinggi,” ujar Nurhayati.

Bayi yang terlahir dari ibu dengan HIV/AIDS baru bisa dites ketika telah berumur 18 bulan.
Sebelum itu, mereka diharuskan mendapatkan perawatan prophylaxis dan tidak diberi ASI
oleh ibu mereka, kata Nurhayati.

Di beberapa bagian dari Papua, seperti di kota pesisir Manokwari, jumlah ibu hamil yang
menjalankan tes HIV mencapai 100 persen, dua kali lipat dari jumlah di Wamena.

Namun Dr. Oyewale dari UNICEF tetap positif: “Lima puluh persen adalah berita baik bagi
saya, paling tidak untuk permulaan.”

“Pada Agustus tahun lalu, ketika saya mengunjungi puskesmas yang sama, tingkat ibu
hamil yang memeriksa HIV/AIDS hanya 5 persen,” katanya.

Dr. Zanty Manuputti, yang bertanggung jawab akan VCT di RSU Wamena, mengatakan
masalah bahasa dan absennya pendidikan juga membuat sulit bagi perempuan yang positif
HIV di Jayawijaya dan daerah pegunungan sekitarnya untuk menjalankan perawatannya
dengan benar.

“Banyak dari mereka yang tidak bisa membaca atau menulis, dan hanya bisa dialek asli
mereka. Seringkali mereka tidak meminum obatnya dengan benar, sehingga pengobatan
tidak maximal,” ujar Dr. Zanty.
Bahkan banyak perempuan yang berhenti melakukan pemeriksaan bulanan setelah beberapa
saat, sehingga sulit bagi rumah sakit untuk mengawasi progress mereka, lanjutnya.

“Memang masih ada alasan klasik geografis dan transportasi di sini. Sulit bagi banyak
orang yang tinggal di kawasan pegunungan yang terpencil untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan,” kata Agus Naronggear dari Dinas Kesehatan di Wamena.

Dr. Oyewale mengakui bahwa program PMTCT membutuhkan pekerja kesehatan yang
cakap, koordinasi yang lebih baik, dan kemampuan pemerintah daerah untuk melakukan
investasi yang dibutuhkan untuk memastikan pendekatan yang berkelanjutan.

“PMTCT bukan hanya respon sektor kesehatan, tetapi juga membutuhkan dukungan
keluarga, jaringan masyarakat dan lainnya, karena ini adalah masa depan HIV,” katanya.

Kesuksesan program ini akan menghasilkan generasi baru yang bebas HIV, tambahnya.

Anda mungkin juga menyukai