Anda di halaman 1dari 8

JRGI

ISSN: 2685-8649

Interpretasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Kota Kendari


Berdasarkan Data Anomali Medan Magnetik Regional

Nensi Setiani1, Jamhir Safani2*, Abdul Manan2


1
Mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian UHO
2
Dosen Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian UHO
Alamat e-mail: jamhir.safani@uho.ac.id @gmail.com

Abstrak

Telah dilakukan penelitan di daerah Kota Kendari yang bertujuan untuk menentukan pola sebaran
anomali medan magnetik regional dan menentukan struktur bawah permukaan berdasarkan hasil
pemodelan 2D data geomagnetik. Jumlah data tersebar pada 165 titik pengukuran. Pengolahan data
dilakukan dengan koreksi variasi harian, koreksi IGRF (International Geomagnetic Reference Field),
reduksi ke kutub dan kontinuasi ke atas. Pola sebaran anomali medan magnetik regional menunjukkan
rentang nilai -55.5 nT hingga 53.1 nT yang tersebar mulai dari arah utara hingga selatan daerah
penelitian. Pemodelan geologi bawah permukaan dilakukan dengan menggunakan software Oasis
Montaj 6.4.2. Pemodelan 2D data anomali medan magnetik regional menunjukkan dugaan keberadaan
5 formasi batuan. Formasi tersebut terdiri dari Formasi Meluhu (TRJm) dengan rentang nilai dengan
rentang nilai suseptibilitas 0.001– 0.04 SI, Formasi Langkowala (Tml) dengan rentang nilai
suseptibilitas 0.001 – 0.009 SI, Formasi Buara (Ql) dengan nilai suseptibilitas 0.0003 SI. Formasi
Alangga (Qpa) dengan rentang nilai suseptibilitas 0.00064 – 0.0025 SI, dan endapan Alluvium (Qa)
dengan nilai suseptibilitas 0.00001257 SI. Kemudian didapatkan adanya sesar geser yang memotong
Formasi Buara, Formasi Alangga dan Formasi Meluhu yang berada pada koordinat 447017.90 hingga
444755.50.

Kata Kunci: Metode Geomagnetik, Anomali Medan Magnetik Regional, Struktur Bawah Permukaan
Abstract
A research has been done in Kendari City with purpose is to determine the distribution pattern of
regional magnetic field anomaly and determine subsurface based on the result of 2D geomagnetic
modeling data. The amount of data scattered at 165 measurement points. The processing data is done
by diurnal correction, IGRF (International Geomagnetic Reference Field) correction, Reduction to
Pole and upward continuation. The distribution pattern of regional magnetic field anomalies shows the
range of values of -55.5 nT to 53.1 nT which is spread from north to south of the research area. The
subsurface modeling is done by using Oasis Montaj 6.4.2 software. Based on 2D modeling data of
regional magnetic field anomaly data shows the existence of 5 rock formations. The formation consists
of Meluhu Formation with a susceptibility value range of 0.001-0.04 SI. Langkowala Formation (Tml)
with susceptibility value of 0.001 - 0.009 SI. Buara Formation (Ql) with susceptibility value of 0.0003
SI. Alangga Formation (Qpa) with susceptibility value in the range 0.00064-0.0025 SI. Alluvium (Qa)
deposits with susceptibility value of 0.00001257 SI. It was found that the strike-slip fault intersected
the Buara Formation , Alangga Formation and Meluhu Formation at coordinates 447017.90 to
444755.50.
Key words: Geomagnetic Method, Regional Magnetic Field Anomaly, Subsurface Structure.

1. Pendahuluan
Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan salah satu pulau yang memiliki aktivitas
tektonik tinggi. Aktivitas tektonik ini disebabkan oleh posisi dari gugusan pulau Sulawesi
yang berada terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia di Utara,
lempeng Indo-Australia yang menunjam lempeng Eurasia dari Selatan, dan lempeng Pasifik
yang menunjam lempeng Eurasia dari arah Timur. Aktivitas dari ketiga lempeng tektonik ini

25
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019
JRGI
ISSN: 2685-8649

menyebabkan pulau Sulawesi mempunyai kompleksitas tinggi yang mengakibatkan


terbentuknya struktur geologi dan stratigrafi yang rumit, serta jenis batuan yang beragam [5].
Berdasarkan peta geologi Lembar Kolaka dan Lembar Lasusua - Kendari, secara
regional Kota Kendari terdiri dari beberapa formasi batuan. Kelompok batuan ini yang
sebelumnya dimasukkan ke dalam mandala Sulawesi Timur dan anjungan Tukang Besi-
Buton. Mendala geologi Sulawesi Timur yang dicirikan oleh batuan ultramafik, mafik dan
malih [4]. Sedangkan untuk daerah penelitian banyak didominasi oleh kelompok batuan
malihan dan batuan sedimen kelompok Formasi Meluhu (TRJm), Formasi Langkowala (Tml),
Formasi Buara (Ql), Formasi Alangga (Qpa) dan endapan Alluvium (Qa).
Metode geomagnetik dapat digunakan untuk menentukan struktur geologi bawah
permukaan seperti sesar, lipatan, intrusi batuan beku atau kubah garam dan reservoir
geotermal. Metode geomagnetik dapat digunakan juga untuk mengetahui kedalaman dan
struktur bawah permukaan, pengukuran dapat diperoleh dengan mudah untuk studi lokal dan
regional. Metode goemagnetik bekerja didasarkan pada pengukuran variasi kecil intensitas
medan magnetik di permukaan bumi. Variasi ini disebabkan oleh kontras sifat kemagnetan
antar batuan di dalam kerak bumi, sehingga menimbulkan medan magnet bumi yang tidak
homogen, biasa disebut juga sebagai anomali magnetik [2].

2. Metode Peneltian

2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

(a) (b)
Gambar 1. (a) Peta lokasi penelitian dan (b) Sebaran titik-titik pengukuran penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai September 2019 dengan memanfaatkan
data hasil pengukuran alat PPM (Proton Procession Magnetometer) di Lapangan. Lokasi
penelitian meliputi daerah Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, dapat dilihat pada
Gambar 1a. Pengolahan, analisis dan interpretasi data akan dilakukan di Laboratorium
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITK), Universitas Halu Oleo (UHO), Kota
Kendari. Sebaran titik – titik hasil pengukuran PPM (Proton Procession Magnetometer) dapat
di lihat pada Gambar 1b. Dimana jumlah data hasil pengukuran adalah 165 titik.

2.2 Data Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan data sekunder hasil penelitian yang telah ada sebelumnya,
yaitu berupa data hasil pengukuran alat PPM (Proton Procession Magnetometer) mencakup

26
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019
JRGI
ISSN: 2685-8649

data variasi intensitas medan magnetik, waktu pengukuran serta data nama stasiun titik ukur
dan posisi (lintang, bujur dan ketinggian). Data tersebut diperoleh dari hasil kerjasama antara
Université de La Rochelle Perancis dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas
Halu Oleo (UHO) yang dilakukan pada tanggal 28 Agustus sampai 5 Septermber 2013.

2.3 Tahap Pengolahan Data


2.3.1 Koreksi Variasi Harian
Variasi Harian medan magnetik adalah penyimpangan intensitas medan magnetik bumi
yang disebabkan oleh adanya perbedaan waktu pengukuran dan efek sinar matahari dalam
satu hari. Koreksi Variasi Harian adalah koreksi yang dilakukan terhadap data magnetik
terukur untuk menghilangkan pengaruh medan magnetik luar atau variasi harian.
Penghitungan dari Koreksi Variasi Harian dilakukan dengan menggunakan rumus:
 tn − taw 
 ( H ak − H aw )
H harian =  (1)
 tak − taw 
2.3.2 Koreksi IGRF (International Geomagnetic Reference Field)
Koreksi IGRF adalah koreksi yang dilakukan terhadap data medan magnetik terukur untuk
menghilangkan pengaruh medan magnetik utama bumi. Nilai IGRF daerah Kota Kendari akan
diperoleh dari data The Internasional Assosiation of Geomagnetism and Aeronomy (IAGA)
melalui website www.ngdc.noaa.gov. IGRF yang akan digunakan adalah IGRF 2015. Hasil
Perhitungan Nilai IGRF daerah penelitian adalah 42336.7 nanoTesla (nT) dengan nilai sudut
inklinasi sebesar -24.4240 dan nilai sudut deklinasi sebesar 1.2152. Setelah diperoleh nilai
medan magnetik hasil koreksi variasi harian dan koreksi IGRF.

2.3.3 Transformasi Reduksi ke Kutub atau Reduction to Magnetic Pole (RTP)


Proses transformasi Reduksi ke Kutub dilakukan dengan mengubah arah magnetisasi dan
medan utama dalam arah vertikal. Tujuan dilakukan Reduksi ke Kutub adalah untuk
menempatkan daerah-daerah dengan anomali maksimal berada tepat di atas benda penyebab
anomali. Data yang digunakan dalam proses Reduksi ke Kutub adalah data anomali medan
magnetik total [1].

2.3.4 Kontinuasi ke Atas (Upward Continuation)


Kontinuasi ke Atas atau Upward Continuation merupakan proses transformasi data medan
potensial dari suatu bidang datar yang lebih tinggi. Proses ini berfungsi sebagai filter tapis
rendah, yaitu untuk menghilangkan atau mereduksi efek magnetik lokal (residual) yang
berasal dari berbagai sumber benda magnetik yang tersebar di permukaan topografi yang
tidak terkait dengan survei. Proses kontinuasi tidak boleh terlalu tinggi karena hal ini dapat
mereduksi anomali magnetik lokal yang bersumber dari benda magnetik atau struktur geologi
yang menjadi target penelitian [5].

2.3.5 Pemodelan 2D dan Interpretasi


Pemodelan ini untuk memprediksi struktur bawah permukaan daerah penlitian 2D. Pemodelan
2D dilakukan dengan menggunakan salah satu fitur software Oasis Montaj 6.4.2 yaitu Gm-
Sys. Data yang digunakan dalam pembuatan model 2D adalah anomali medan magnetik
regional hasil kontinuasi dengan ketinggian 15000 meter. Sebelum dilakukan pemodelan 2D,
kontur anomali medan magnetik regional disayat sesuai dengan target penelitian. Interpretasi
data dilakukan dengan menganalisis hasil pengolahan data anomali medan magnetik total
hasil Reduksi ke Kutub kemudian di Kontinuasi ke Atas, guna mengetahui keadaan struktur di

27
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019
JRGI
ISSN: 2685-8649

bawah permukaan bumi. Hasil analisis akan memperlihatkan gambar penampang 2D


bagaimana kemungkinan keberadaan struktur bawah permukaan daerah penelitian. Informasi
geologi diperlukan sebagai pembanding dan untuk memudahkan dalam proses analisis data.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Anomali Medan Magnetik Total

Gambar 3. Kontur anomali medan magnetik total daerah penelitian setelah dilakukan koreksi
Variasi Harian dan koreksi IGRF

Pola sebaran anomali medan magnetik total di daerah penelitian dengan intesitas berada
pada rentang nilai antara -230.9 nT hingga 182.1 nT. Daerah penelitian ini memperlihatkan
adanya intesitas nilai medan magnetik yang berbeda-beda yang terbagi atas intesitas medan
magnetik tinggi, sedang dan rendah. Intesitas medan magnetik tinggi berada pada rentang
nilai 32.2 nT hingga 182.1 nT yang di tandai dengan klosur kontur berwarna merah sampai
ungu muda dan tersebar pada bagian Timur laut hingga Barat daya daerah penelitian, intesitas
medan magnetik sedang berada pada rentang nilai 3.7 nT hingga 32.2 nT yang di tandai
dengan klosur kontur berwarna kuning sampai jingga dan tersebar pada bagian Timur laut
hingga Barat daya daerah penelitian, serta intesitas medan magnetik rendah berada pada
rentang nilai -230.9 nT hingga 3.7 nT yang di tandai dengan klosur kontur berwarna hijau
sampai biru dan tersebar pada bagian Timur hingga Barat.

3.2 Transformasi Reduksi ke Kutub atau Reduction to Magnetic Pole (RTP)

Reduksi ke Kutub dilakukan dengan mengubah parameter medan magnetik bumi pada daerah
penelitian yang memiliki rata-rata nilai sudut inklinasi -24.4240° dan deklinasi 1.2152°
menjadi berada di daerah kutub yang memiliki inklinasi 90º dan deklinasi 0°.
Gambar 4 memperlihatkan adanya perubahan pada nilai anomali medan magnetik total
sebelum dan sesudah dilakukan proses Reduksi ke Kutub. Nilai anomali medan magnetik
total sebelum dilakukan Reduksi ke Kutub berkisar antara -230.9 hingga 182.1 nT, sedangkan
setelah dilakukan Reduksi ke Kutub nilainya menjadi -367.1 hingga 318.4 nT.

28
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019
JRGI
ISSN: 2685-8649

Gambar 4. Kontur anomali medan magnetik total setelah dilakukan Reduksi ke Kutub

3.3 Kontinuasi ke Atas (Upward Continuation)


Dalam penelitian ini proses kontinuasi ke atas digunakan software Oasis Montaj. Kontinuasi
dilakukan pada ketinggian 500 meter, 1000 meter, 2500 meter, 5000 meter, 7500 meter,
10000 meter, 12500 meter, 15000 meter. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat perbedaan
anomali regional daerah penelitian pada tiap-tiap ketinggian kontinuasi yang diterapkan. Pola
anomali yang sudah tidak menunjukkan perubahan dipilih sebagai dasar untuk proses
berikutnya yaitu pemodelan.

Gambar 7. Kontinuasi Ke Atas anomali medan magnetik dengan ketinggian 15000 meter

Proses kontinuasi pada penelitian ini berhenti pada ketinggian 15000 m karena
memperlihatkan adanya pola anomali yang cukup jelas dan sudah tidak memperlihatkan
perubahan. Hal ini juga dapat menggambarkan bahwa hasil kontinuasi ke atas pada ketinggian
15000 m merupakan nilai anomali regional tanpa adanya noise dan anomali lokal. Gambar 7
kontur anomali medan magnetik regional hasil Kontinuasi Ke Atas dengan ketinggian 15000
meter menunjukkan pola sebaran anomali medan magnetik regional di daerah penelitian
berada pada rentang nilai antara -55.5 nT hingga 53.1 nT yang tersebar mulai dari arah utara
hingga selatan daerah penelitian yang ditandai dengan kontras warna biru tua hingga ungu
muda. Intensitas anomali medan magnetik regional pada daerah penelitian terbagi atas
intensitas rendah sedang dan tinggi. Intesitas medan magnetik tinggi berada pada rentang nilai
22 nT hingga 53.1 nT yang di tandai dengan kontur berwarna merah sampai ungu muda.

29
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019
JRGI
ISSN: 2685-8649

Intesitas medan magnetik sedang berada pada rentang nilai -7.7 nT hingga 22 nT yang di
tandai dengan kontur berwarna kuning sampai jingga. Serta intesitas medan magnetik rendah
berada pada rentang nilai -55.5 nT hingga -7.7 nT yang di tandai dengan kontur berwarna
hijau sampai biru tua.

3.4 Pemodelan 2D
Data yang digunakan dalam pembuatan model 2D adalah anomali medan magnetik regional
hasil kontinuasi dengan ketinggian 15000 meter. Sebelum dilakukan pemodelan 2D, kontur
anomali medan magnetik regional disayat sesuai dengan target penelitian. Adapun gambar
sayatan pada kontur anomali medan magnetik regional hasil kontinuasi dengan ketinggian
15000 meter dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Sayatan Sayatan A – A’ dan saytan B – B’ pada anomali medan


magnetik regional hasil Kontinuasi ke Atas dengan ketinggian 15000 meter

Pemodelan 2D memiliki 2 bagian utama yaitu bagian atas atau bagian referensi dan
bagian bawah yaitu bentuk model. Bagian atas pada gambar pemodelan menunjukkan nilai
anomali medan magnetik. Bagian bawah pemodelan menunjukkan struktur batuan.
Pemodelan ini terdiri dari blok-blok batuan yang memiliki nilai suseptibilitas dan kedalaman.
Kesesuaian referensi dengan model ditunjukkan dalam angka error yang terletak di bagian
kiri. Pemodelan sayatan A–A’ memiliki nilai error 0.733% dan pemodelan sayatan B–B’
memiliki nilai error 0.977%.

Gambar 10. Hasil pemodelan 2D sayatan A–A’

30
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019
JRGI
ISSN: 2685-8649

Gambar 10. Hasil pemodelan 2D sayatan B–B’

Tabel 1. Nilai suseptibilitas dan kedalaman formasi batuan di daerah penelitian berdasarkan
hasil pemodelan 2D

Kedalaman
No. Model Suseptibilitas (SI) Formasi Batuan
(meter)
Formasi Meluhu (TRJm)
1. 0.001 – 0.04 ± -65 – 3000
0.001 – 0.009 Formasi Langkowala (Tml) ± -50 – 1700
2.
0.00064 – 0.0025 Formasi Alangga (Qpa) ± -100 – 1200
3.
0.0003 Formasi Buara (Ql) ± -105 – 600
4.
0.00001257 Alluvium (Qa) ± -50 – 380
5.

Berdasarkan hasil pemodelan 2D (Gambar 10 dan Gambar 11), Formasi Meluhu


(TRJm) memiliki rentang nilai suseptibilitas 0.001 – 0.04 SI, dimana pada formasi ini diduga
yang mendominasi adalah batupasir dengan nilai suseptibilitas 0.009 – 0.01 SI. Formasi
Meluhu berada mulai dari ±65 meter di atas permukaan bumi hingga kedalaman ±3000 meter
di bawah permukaan bumi. Penyebaran Formasi Meluhu di daerah penelitian termasuk dalam
Anggota Toronipa Formasi Meluhu, dimana pada Anggota Toronipa didominasi oleh
batupasir dan konglomerat dengan sisipan serpih, batulanau dan batulempung [5].
Formasi Langkowala (Tml) memiliki rentang nilai suseptibilitas 0.001 - 0.009 SI, pada
formasi ini diduga yang mendominasi adalah batupasir dengan nilai suseptibilitas 0.009 SI.
Formasi Langkowala berada mulai dari ±50 meter di atas permukaan bumi hingga kedalaman
±1700 meter di bawah permukaan. Penyebaran Formasi Langkowala terdiri dari Anggota
Batupasir dan Anggota Konglomerat. Dimana Anggota Batupasir menyebar luas di daerah
penelitian yang didominasi oleh batupasir dengan sisipan serpih, batulanau dan konglomerat.
serta Anggota Konglomerat yang didominasi oleh konglomerat dengan sedikit sisipan
batupasir dan serpih [5].
Formasi Alangga (Qpa) memiliki nilai suseptibilitas dengan rentang 0.00064 – 0.0025
SI, diduga yang mendominasi adalah konglomerat. Formasi ini berada mulai dari ±100 meter
diatas permukaan hingga pada kedalaman ±1200 meter di bawah permukaan. Secara regional

31
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019
JRGI
ISSN: 2685-8649

Formasi Alangga terdiri atas konglomerat dan batupasir. Formasi Alangga menyebar luas
disekitar Kota Kendari membentuk daratan rendah yang luas [5].
Formasi Buara (Ql) memiliki nilai suseptibilitas 0.0003 SI, diduga yang mendominasi
adalah batugamping. Formasi ini berada mulai dari ±105 meter diatas permukaan hingga pada
kedalaman ±600 meter di bawah permukaan.
Endapan Alluvium (Qa) memiliki nilai suseptibilitas yang rendah yaitu 0.00001257 SI,
Endapan Alluvium merupakan endapan sekunder hasil rombakan batuan di permukaan yang
telah terbentuk sebelumnya. Endapan ini terdiri dari material lepas yang berupa batuan
kerikil, kerakal, pasir lempung dan lumpur. Endapan Alluvium ini berada mulai dari ±50
meter diatas permukaan hingga pada kedalaman ±380 meter di bawah permukaan.
Berdasarkan hasil pemodelan 2D pada sayatan A–A’ terlihat tidak adanya perbedaan
signifikan pada kedalaman batuan, maka dapat diinterpretasikan sebagai sesar geser. Hal ini
didukung dengan informasi peta geologi regional daerah penelitian (Gambar 3) yang
didominasi oleh sruktur geologi berupa sesar–sesar geser. Dimana pada sayatan A–A’,
terdapat tiga formasi batuan yaitu Formasi Alangga (Qa), Formasi Buara (Ql) dan Formasi
meluhu (Tml) dan adanya sesar geser yang berada pada koordinat 447017.90 hingga
444755.50.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil Pengolahan dan analisis data, maka dapat simpulkan sebagai berikut:
1. Pola sebaran anomali medan magnetik regional di daerah penelitian meimiliki rentang
nilai antara -55.5 nT sampai 53.1 nT yang tersebar mulai dari arah utara hingga selatan
daerah penelitian yang ditandai dengan kontras kontur berwarna biru tua (rendah) hingga
ungu muda (tinggi).
2. Struktur bawah permukaan daerah penelitian diinterpretasikan terdiri dari lima formasi
batuan yaitu Formasi Meluhu (TRJm) dengan rentang nilai suseptibilitas 0.001 – 0.04 SI.
Formasi Langkowala (Tml) dengan nilai suseptibilitas 0.001 – 0.009 SI. Formasi Buara
(Ql) dengan nilai suseptibilitas 0.0003 SI. Formasi Alangga (Qpa) dengan rentang nilai
suseptibilitas 0.00064 – 0.0025 SI. Endapan Alluvium (Qa) dengan nilai suseptibilitas
0.00001257 SI. Kemudian didapatkan adanya sesar geser yang memotong Formasi Buara
(Ql), Formasi Alangga (Qpa) dan Formasi Meluhu (TRJm) yang berada pada koordinat
447017.90 hingga 444755.50.

5. Daftar Pustaka

[1]. Blakely, and Richard J., 1995, Potential Theory in Gravity and Magnetic
Application, Cambridge University Press, New York.

[2]. Santosa, B.J., Mashuri, Sutrisno, W.T., Wafi, A., Salim, R., dan Armi, R., 2012, Interpretasi
Metode Magnetik Untuk Penentuan Struktur Bawah Permukaan Di Sekitar Gunung Kelud
Kabupaten Kediri, Jurnal Penelitian Fisika dan Aplikasinya (JPFA), 2(1).

[3]. Singarimbun, A., C.A.N, Bujung., dan R.C. Fatihin., 2013, Penentuan Struktur Bawah Permukaan
Area Panas Bumi Patuha dengan Menggunakan Metode Magnetik, Jurnal Matematika & Sains,
18(2), h. 39 – 48.

[4]. Surono, 2010, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Cetakan pertama, Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung.

[5]. Surono, 2013, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi (Cetakan kedua), Badan Geologi, Bandung.

32
Jurnal Rekayasa Geofisika Indoensia
Vol. 01, No. 03, Tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai