Aang Achmad**
Abstract Abstrak
*
Diolah dari Hasil Penelitian Disertasi pada Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Katolik
Parahyangan Bandung Tahun 2010.
**
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung (e-mail: aangachmad@yahoo.com).
1
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi, Mandar Maju, Jakarta, hlm. 9.
598 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645
karena terbentur dengan asas legalitas yang penyehatan bank-bank yang bermasalah
bersifat legal-positivistic (kaku), sehingga pada waktu krisis moneter pada tahun 1997
sulit dalam pembuktiannya.2 Oleh karena- dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat,
nya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 serta kendala-kendala hukum apakah yang
diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 mempengaruhinya, sehingga penyelesaian
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor kasus BLBI tersebut berlarut-larut. Se-
20 Tahun 2001. Undang-undang tersebut lanjutnya dapat diidentifikasikan sebagai
memuat beberapa pembaharuan hukum berikut:
yang luar biasa, antara lain pemanfaatan 1. Aspek hukum perdata yang bagaimana
aspek perdata dalam pemberantasan tindak yang mampu dan efektif dalam
pidana korupsi sebagaimana dituangkan penyelesaian tindak pidana korupsi
dalam Pasal 32. Menurut pendapat penulis, yang dilakukan oleh para obligor BLBI
telah terjadi pergeseran aspek hukum yang selaku penerima kucuran dana dari
signifikan, yakni pergeseran aspek hukum BI, sehingga tercipta rasa keadilan
publik ke aspek hukum privat, sekalipun masyarakat?
implementasinya belum maksimal. Pem- 2. Kendala hukum apakah yang mem-
baharuan selanjutnya adanya perluasan pengaruhinya, sehingga penyelesaian
pengertian tentang sifat melawan hukum kasus BLBI tersebut berlarut-larut?
yang dijabarkan dalam penjelasan Pasal 2
ayat (1), yakni mempertegas pengertian sifat C. Metode Penelitian
melawan hukum formil dan materiil, yang Berdasarkan latar belakang dan tujuan
dapat dijadikan acuan untuk memberikan penelitian yang telah diuraikan di atas,
sanksi kepada para pelaku korupsi dengan dalam melakukan penelitian ini digunakan
mendasarkan pada asas ultimum remedium.3 metode penelitian secara spesifikasi yakni
penelitian yang bersifat deskriptif analitis.
B. Perumusan Masalah Metode ini menggambarkan tentang aspek
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat hukum apa yang dapat dipergunakan untuk
dirumuskan suatu masalah yang mendasar, menanggulangi tindak pidana korupsi dalam
yaitu aspek hukum apakah yang mampu kasus BLBI, kemudian dianalisis melalui
menyelesaikan tindak pidana korupsi metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
yang dilakukan oleh para obligator BLBI diteliti melalui hukum sebagai norma positif
selaku penerima dana bantuan BI dalam dengan menggunakan metode penafsiran
2
Muladi dan Barda Nawawi, yang mengutip pendapat Don C. Gibbson, tipologi kejahatan dengan karakteristik
“law visibility” yang mencakup pelbagai dimensi lapangan kerja (notaris, wartawan, pengacara dan lain-lain).
Contohnya yang dahulu adalah diajukannya seseorang akuntan publik yang berkolusi dengan wajib pajak untuk
meringankan pajak dan merugikan keuangan negara. Begitu pula, beberapa waktu yang lalu (sekitar tanggal 26
Agustus 1996), bank Indonesia, sebagai Bank Central Indonesia, kebobolan sekitar Rp. 3 milyar sebagai akibat
perbuatan managerial profesional internal yang bekerja sama dengan perusahaan suasta yang mengakibatkan
kerugian keuangan negara.
3
Sudarto dalam Agus Raharjo,”Perkembangan Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam Hukum Pidana
Indonesia”, http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/Agus, diakses 9 Mei 2011. Lihat juga
dalam Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi, Mandar Maju, Bandung, hlm. 13.
Achmad, Kajian Kasus Blbi: Penggeseran Hukum Publik 599
4
Lobby Loqman, 1991, Beberapa Ikhwal dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, hlm. 5.
600 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645
5
Indriyanto Seno Adji, 2007, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diedit Media, Jakarta,
hlm. 17.
6
Niegel Walker, 1972, Sentencing in a Rational Society, New York, hlm. 15.
7
Romli Atmasasmita, Loc.cit.
8
Dalam Penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Achmad, Kajian Kasus Blbi: Penggeseran Hukum Publik 601
serta korporasi.9 Hal ini secara filosofi ber- titusi (MK) ”tidak mempunyai kekuatan
tujuan agar dapat mengakomodir segala hukum mengikat” tersebut bukan berarti
bentuk modus operandi dalam tindak pidana Penjelasan Pasal 2 ayat (1) kemudian sama
korupsi yang dilakukan oleh setiap orang, sekali tidak dapat diterapkan, tergantung
sehingga mudah dalam pembuktiannya. kepada keberanian para penegak hukum
Untuk itu pembaharuan dan atau perubahan dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi
hukum pidana yang mengatur tindak pidana yang menjamur di Indonesia.
korupsi berlaku asas lex specialis derogat Berkaitan dengan hal itu Indonesia
legi generalis ketika menjadi aturan baru.10 meratifikasi Konvensi Internasional Anti
Namun demikian dalam praktiknya tetap Korupsi Sedunia (UNCAC) 2003,11 disah-
belum menyelesaikan kasus BLBI secara kan melalui Undang-Undang No. 7 Tahun
tuntas. 2006. Dalam kongres International Penal
Perluasan arti sifat melawan hukum Reform Conference yang diselenggarakan
(materiil), sesungguhnya merupakan di Royal Holloway College, University of
terobosan hukum dengan tujuan seperti London, pada tanggal 13-17 April Tahun
yang telah saya sampaikan di atas, ternyata 1999 dikemukakan, bahwa salah satu
menimbulkan perdebatan di antara para unsur kunci dari agenda baru pembaharuan
penegak hukum dan para pakar hukum yang hukum pidana (the key elements of a new
berfikir normatif dan cenderung formal- agenda for penal reform) ialah perlu-
positivistic (tidak progresif), akhirnya nya memperkaya sistem peradilan formal
muncul Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sistem atau mekanisme informal
Republik Indonesia (MKRI) Nomor 003/ dalam penyelesaian sengketa yang sesuai
PPU-IV/ 2006, yang intinya menyebutkan dengan standar-standar hak asasi manusia
bahwa “Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU (the need to enrich the formal judicial
No. 31 Tahun 1999 bertentangan dengan system with informal, locally based,
UUD Negara RI Tahun 1945 dan menyata- dispute resolution mechanisms which
kan tidak mempunyai kekuatan hukum meet human rights standards), dengan
mengikat”. Maka penulis berpendapat strategi pengembangan dalam melakukan
putusan tersebut dapat menyulitkan pe- pembaharuan hukum pidana, antara lain: 12
nyidik dan penuntut umum dalam mem- 1. Restorative justice;
proses tindak pidana korupsi. 2. Alternative dispute resolution;
Namun demikian apabila menyimak 3. Informal justice; dan
kalimat dalam Putusan Mahkamah Kons- 4. The role of civil society in penal reform.
9
Lihat Pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
10
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana (Dalam Perspektif Kajian Perbandingan), Citra
Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 29.
11
UNCAC diadopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003. UNCAC
telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2006 tentang Pengesahan (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) pada tanggal 18
April 2006.
12
Ibid.
602 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645
13
Roswita Oktavianti, “Koruptor Rp25 Juta Bisa Dibebaskan”, http://www.jurnas.com/news/25205/Koruptor_
Rp25_Juta_Bisa_Dibebaskan//Nasional/Hukum, diakses 24 Maret 2011.
14
Dwidja Priyatno, “Sekali Lagi Tentang Restorative Justice”, Jurnal Lembaga Perlindungan Hak Anak Restora-
si, Edisi VIII, Volume III, Agustus, 2007, hlm. 3-4.
15
Satjipto Rahardjo,“Modernisasi dan Perkembangan Kesadaran Hukum Masyaraka”, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, FH Undip, Nomor 1-6, Tahun X, Agustus, 1980, hlm. 18.
16
Satjipto Rahardjo, “Membedah Hukum Progresif”, Kompas, 2006.
Achmad, Kajian Kasus Blbi: Penggeseran Hukum Publik 603
17
Pasal 66 ayat (2) mengatur tentang penyelesaian perselisihan antara negara pihak yang tidak dapat diselesaikan
melalui jalur negosiasi. Menurut ketentuan ini, sengketa negara pihak mengenai penafsiran atau penerapan kon-
vensi wajib diajukan pada Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dengan permohonan sesuai
dengan statute pengadilan.
18
Romli Atmasasmita, “Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi
Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi”, Makalah, Seminar, Jakarta, 2006.
19
Romli Atmasasmita, “Strategi dan Kebijakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Kor-
porasi di Indonesia: Membentuk Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun
2003”, Makalah, Seminar, Jakarta, 2006.
20
Romli Atmasasmita, “Indonesia Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi”, Makalah, Seminar, Jakarta, 2006.
21
Romli Atmasasmita, “Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sektor Swasta dalam Lingkup Kon-
vensi PBB Anti Korupsi 2003”, Makalah, Seminar, Jakarta, 2006.
604 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645
22
Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-undangan, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hlm. 109. Lihat Niegel
Walker, 1972, Sentencing in a Rational Society, New York, hlm. 15.
23
Mekanisme MSAA, MRNIA, dan release and discharge dapat disebut sebagai pola negosiasi karena me-
ngandung proses tawar-menawar dan karena itu kesepakatan, meskipun posisi tawar para obligor lebih lemah.
24
Takdir Rachmadi dalam Basuki Rekso Wibowo, “Menyelesaikan Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”,
Pidato, Pengukuhan Guru Besar di Bidang Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, 17 Desember 2005, hlm. 6-7.
Achmad, Kajian Kasus Blbi: Penggeseran Hukum Publik 605
25
Redaksi Kompas, “Perlu Mekanisme Atasi Hambatan”, Kompas, 27 Oktober 2007.
26
Hukumonline, “Lagi, Putusan MA Salah Ketik”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17428/lagi-
putusan-ma-salah-ketik, diakses 23 Februari 2010.
27
Satjipto Rahardjo, Loc.cit.
606 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645
Pola penyelesaian melalui Inpres No. 8 hukum dan pembagian hasil tindak pidana
Tahun 2002 tentang Release and Discharge yang disita kepada negara yang membantu.
(atau pelepasan dan penghapusan) pada Berkaitan dengan pengembalian
masa pemerintahan Megawati inilah yang aset (Asset Recovery), UNCAC, Pasal
pada akhirnya berhasil mengembalikan aset- 43, Ketentuan yang dimuat dalam Bab V,
aset negara hingga puluhan triliunan rupiah, dan Pasal 31 UNCAC mengatur tentang
walaupun perluasan dari kasusnya sendiri percepatan proses Stolen Asset Recovery
hingga saat ini belum tuntas. Menyikapi (StAR) terhadap negara yang sedang
hal ini penulis berpendapat bahwa pola menghadapi permasalahan pidana (korupsi)
negosiasi dapat diistilahkan dengan golden yang berkaitan dengan aset-aset negara
handshake dapat menjadi salah satu jalan yang dibawa atau ditanam di luar negeri.
ke luar dalam mempercepat penyelesaian Perampasan aset negara yang ditinggalkan
tindak pidana korupsi selain menggunakan pelaku korupsi ke luar negeri sesungguhnya
proses pidana. dapat dilakukan tanpa pemidanaan, hal
Kemudian untuk pengambilan aset yang demikian di dalam bukunya Theodore
negara yang berada di luar negeri dapat S. Greenberg yang berjudul Stolen Asset
dilakukan yang didasarkan kepada ketentuan Recovery, Good Practice Guide Untuk
dalam Bab V tentang pengembalian asset Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-
(Asset Recovery) UNCAC,28 tentunya Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)
dengan meningkatkan hubungan diploma- disebut dengan istilah “Perampasan Aset
tik antara negara Indonesia dengan negara Non-Conviction Based (NCB) atau Tanpa
lain tempat aset negara tersebut berada Pemidanaan”.30
(seandainya perjanjian ekstradisi belum Ketentuan tersebut telah diatur dalam
ada), yaitu melalui sarana Mutual Legal Pasal 18 ayat (1) UU PTPK dapat diber-
Assistance in Criminal Matters (MLA) atau lakukan dan diterapkan dalam menangani
Bantuan Hukum Timbal Balik di bidang kasus korupsi, mengingat fenomena yang
pidana dengan berbagai negara29 yang di- terjadi belakangan ini, yaitu hasil korupsi
atur dalam Undang-Undang No 1 tahun 2006 (aset negara yang dicuri) ditransfer ke
tentang Bantuan Timbal Balik yang meng- luar negeri, yang diikuti kepindahan
atur tentang prosedur Mutual Assistance kewarganegaraan koruptor sehingga tidak
Request (MAR) atau permohonan bantuan memungkinkan lagi tersentuh oleh hukum
28
Komisi Hukum Nasional, “Pendapat KHN tentang Stolen Asset Recovery (Star) Initiative”, http://www.komisi-
hukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=83%3Apendapat-khn-tentang-stolen-asset-
recovery-starAnitiative&catid=37%3Aopini&Itemid=61&lang=in, diakses 15 Mei 2011.
29
Dalam Chapter IV UNCAC, Negara Pihak wajib untuk membantu satu sama lain dalam setiap aspek perjuangan
melawan korupsi, termasuk pencegahan, investigasi dan penuntutan pelanggar. Penekanan khusus diletakkan
pada bantuan hukum timbal balik, dalam pengumpulan dan mentransfer bukti untuk digunakan di pengadilan,
dan ekstradisi pelanggar.
30
Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, et.al., 2009, Stolen Asset Recovery, Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), The World Bank,
Washington DC 20433, USA, hlm. 1.
Achmad, Kajian Kasus Blbi: Penggeseran Hukum Publik 607
nasional, maka negara di mana barang atau pidana korupsi yang dilakukan atas dasar
aset negara korban (Indonesia) berada dan (sarat) dengan muatan politis, sehingga
telah diduga bahwa barang tersebut hasil harus mengembalikan barang (uang
kejahatan, maka negara yang bersangkutan atau dana) kepada negara yang menjadi
dapat melakukan tindakan perampasan korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 54
terhadap barang atau aset (NCB) tersebut Number (1) huruf c UNCAC. Sayangnya,
tanpa dilakukan pemidanaan terhadap pe- meskipun Indonesia telah turut meratifikasi
laku (koruptor) tersebut. UNCAC, namun hingga saat ini belum
Selain itu, terhadap barang-barang diimplementasikan dengan maksimal, baik
yang ditinggalkan di negara korban sebagai upaya pencegahan maupun sebagai
(Indonesia) meskipun telah dikuasai pihak upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
ke III namun perolehan barang (aset) telah di Indonesia.
diduga dari hasil kejahatan (korupsi), maka
menurut UNCAC negara korban dapat 3. Kendala Hukum yang Menyebab-
melakukan perampasan atas barang (NCB) kan Berlarut-Larutnya Penyelesaian
tanpa pemidanaan guna pemulihan atau Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus
pengembalian aset negara yang dicurinya, BLBI
artinya bahwa diketahui adanya barang Berdasarkan hasil penelitian yang
yang diduga hasil tindak kejahatan (korupsi) dilakukan oleh peneliti, bahwa diketahui
dapat dirampas oleh negara, meskipun si dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi
pelaku (koruptor) belum atau sedang dan yang terkait dalam kasus BLBI, hingga
atau bahkan sudah menjalani proses pidana- saat ini belum terselesaikan dengan tuntas,
nya. Model yang demikian seharusnya dapat artinya masih banyak kendala yang dihadapi
diterapkan dalam menyelesaikan kasus para penegak hukum. Sesungguhnya tindak
BLBI. pidana korupsi telah tumbuh subur di
Namun, dalam kasus BLBI banyak Indonesia sejak penjajahan Belanda, hanya
pelaku yang kemudian tidak diproses saja berlainan bentuk yaitu yang dikenal
pidananya dengan alasan kurang adanya dengan istilah “upeti”. Penanggulangan
bukti tindak kejahatannya, tetapi telah nyata dan pencegahannya telah pula dilakukan
adanya kerugian negara yang timbul akibat baik melalui preemtif dan preventif. KUHP,
perbuatannya tersebut, maka seharusnya Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960
pemerintah dapat melakukan perampasan tidak mampu untuk menyelesaikan kasus
atas barang-barang (NCB) pelaku tanpa korupsi, kemudian diubah menjadi Undang-
dilakukan pemidanaan, hal ini merupakan Undang Nomor 3 Tahun 1971. Kasus BLBI
tindakan in rem terhadap harta benda, bukan yang terjadi pada tahun 1976 seharusnya
terhadap orangnya.31 dapat diselesaikan melalui UU tersebut,
Menurut pendapat penulis, prosedur tetapi karena muatan politik pada waktu itu
ini akan efektif terutama terhadap tindak lebih kuat (eksekutif dapat mempengaruhi
31
Ibid., hlm. 15.
608 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645
dalam penegakan hukumnya), maka BLBI untuk menentukan asset para koruptor yang
belum juga dapat diselesaikan, hingga saat pada umumnya telah berpindah tangan
ini sekalipun UU No. 3 Tahun 1971 telah atau bahkan berasimilasi melalui tindakan
diubah kembali dengan Undang-Undang money laundering, sehingga sulit dalam
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang pembuktiannya.
Nomor 20 Tahun 2001. Kemudian hingga saat ini, pemerintah
Sebagaimana dikemukakan di atas belum pula memaksimalkan prinsip litigasi
bahwa tindak pidana korupsi tergolong multiyurisdiksi, artinya gugatan perdata
extraordinary crime, karena sifatnya cair, dapat dilakukan oleh suatu negara yang
dinamis, terorganisasi dan terselubung, menjadi korban (victim countries) dari
maka penyelesaiannya diperlukan cara tindak pidana korupsi yang diajukan melalui
yang luar biasa pula. Namun oleh karena negara lain dengan alasan biayanya mahal,
sistem hukum pidananya yang bersifat belum adanya perjanjian ekstradisi, dengan
legal formalistik maka terdapat kesulitan demikian penerapan UNCAC di Indonesia
dalam pembuktiannya. Kurangnya kepe- belum maksimal. Sekalipun hukum
dulian dan atau kurang maksimalnya yang mengatur tentang korupsi telah ada
pemerintah dalam mengungkap kasus (internasional/nasional), namun oleh karena
BLBI, karena adanya kekhawatiran ter- pengetahuan dan keberanian para penegak
hadap sebagian petinggi negara yang hukum masih kurang untuk menerapkan
tersangkut dalam kasus tersebut juga aturan hukum tersebut secara elastis,
merupakan kendala, karena seolah-olah artinya sesuai dengan asas manfaat dan
mempersulit para penegak hukum yang asas keadilan masyarakat, maka hingga saat
lebih lanjut akan melakukan penyelidikan ini penegak hukum tetap menjadi corong
atau penyidikan kepada para obligor atau undang-undang.
pelaku korupsi BLBI.
Selain itu, sistem hukum pidana tidak E. Kesimpulan
dapat maksimal atau menjangkau dalam Pemberantasan korupsi di Indonesia
upaya pengembalian kerugian negara, telah dilakukan dengan berbagai pemba-
terlebih apabila hasil korupsi tersebut telah haruan hukum dan telah pula diimple-
berpindah atau di tanam di luar negeri. mentasikan oleh para penegak hukum
Maka untuk segera dapat mengembalikan (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat), namun
uang negara, aspek hukum perdata menjadi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
mempunyai peran penting, yaitu melalui melalui pembaharuan hukum pidana tersebut
restorative justice, ADR dan tindakan belum menyelesaikan atau belum membuat
perampasan terhadap barang atau aset para koruptor menjadi jera. Pada prinsipnya,
(NCB) dengan memaksimalkan hubungan pemanfaatan Hukum Perdata baik litigasi
antar negara (G to G). Namun aspek maupun non litigasi (negosiasi atau mediasi)
hukum perdata yang demikian pun, selain dalam penyelesaian tindak pidana korupsi
belum diakui keberadaannya, juga ditemui BLBI dapat dilakukan dalam rangka
adanya kendala yakni adanya kesulitan pengembalian, pemulihan, dan perampasan
Achmad, Kajian Kasus Blbi: Penggeseran Hukum Publik 609
aset negara yang dicuri oleh para koruptor, tempat aset berada; 4. Belum diterapkannya
baik yang berada di Indonesia, maupun yang pembuktian terbalik secara penuh; 5.
dibawa ke luar negeri atau yang di transfer Koruptor dan Barangnya di bawa atau di
ke luar negeri. transfer keluar negeri; 6. Adanya perbedaan
Kendala hukum yang menyebabkan sistem hukum antara Indonesia dengan
berlarut-larutnya penyelesaian tindak negara lainnya, sehingga dapat menimbulkan
pidana korupsi dalam kasus BLBI, antara perselisihan penerapan hukumnya; dan 7.
lain: 1. Cara kerja sistem hukum pidananya Adanya keengganan dari obligator BLBI
bersifat formal-legal-positivistic; 2. Sulit mengembalikan pinjamannya karena tetap
pembuktiannya; 3. Belum adanya kerjasama diancam secara pidana sesuai dengan Pasal
(perjanjian ekstradisi) dengan semua negara 4 UUPTPK.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku B. Jurnal
Adji, Indriyanto Seno, 2007, Korupsi, Priyatno, Dwidja, “Sekali Lagi Tentang
Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Restorative Justice”, Jurnal Lembaga
Pidana, Diedit Media, Jakarta. Perlindungan Hak Anak Restorasi,
Arief, Barda Nawawi, 2005, Pembaharuan Edisi VIII, Volume III, Agustus, 2007.
Hukum Pidana (Dalam Perspektif
Kajian Perbandingan), Citra Aditya C. Makalah/Pidato
Bhakti, Bandung. Atmasasmita, Romli, “Indonesia Pasca
Atmasasmita, Romli, 2004, Sekitar Masalah Konvensi PBB Menentang Korupsi”,
Korupsi, Mandar Maju, Bandung. Makalah, Seminar, Jakarta, 2006.
Bentham, Jeremy, 2006, Teori Perundang- _____________, “Strategi dan Kebijakan
undangan, Nusamedia dan Nuansa, Hukum dalam Pemberantasan
Bandung. Korupsi Melawan Kejahatan
Greenberg, Theodore S., Linda M. Samuel, Korporasi di Indonesia: Membentuk
et.al., 2009, Stolen Asset Recovery, Good Ius Constituendum Pasca Ratifikasi
Practice Guide Untuk Perampasan Aset Konvensi PBB Menentang Korupsi
Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Tahun 2003”, Makalah, Seminar,
Based/NCB Asset Forfeiture), The Jakarta, 2006.
World Bank, Washington DC 20433, _____________, “Strategi dan Kebijakan
USA. Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi
Loqman, Lobby, 1991, Beberapa Ikhwal PBB Menentang Korupsi Tahun 2003:
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun Melawan Kejahatan Korporasi”,
1971 tentang Pemberantasan Tindak Makalah, Seminar, Jakarta, 2006.
Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta. _____________, “Strategi Pencegahan
Walker, Niegel, 1972, Sentencing in a dan Pemberantasan Korupsi di Sektor
Rational Society, New York. Swasta dalam Lingkup Konvensi PBB
610 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645
Anti Korupsi 2003”, Makalah, Seminar, Komisi Hukum Nasional, “Pendapat KHN
Jakarta, 2006. tentang Stolen Asset Recovery (Star)
Rahardjo, Satjipto, “Modernisasi dan Initiative”, http://www.komisihukum.
Perkembangan Kesadaran Hukum go.id/index.php?option=com_conten
Masyaraka”, Jurnal Masalah-Masalah t&view=article&id=83%3Apendapa
Hukum, FH Undip, Nomor 1-6, Tahun t-khn-tentang-stolen-asset-recovery-s
X, Agustus, 1980. tarAnitiative&catid=37%3Aopini&I
Wibowo, Basuki Rekso, “Menyelesaikan temid=61&lang=in, diakses 15 Mei
Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”, 2011.
Pidato, Pengukuhan Guru Besar di Oktavianti, Roswita, “Koruptor Rp25 Juta
Bidang Ilmu Hukum, Universitas Bisa Dibebaskan”, http://www.jurnas.
Airlangga, 17 Desember 2005. com/news/25205/Koruptor_Rp25_
Juta_Bisa_Dibebaskan//Nasional/
D. Artikel Koran Hukum, diakses 24 Maret 2011.
Rahardjo, Satjipto, “Membedah Hukum Raharjo, Agus, ”Perkembangan Ajaran
Progresif”, Kompas, 2006. Sifat Melawan Hukum Material dalam
Redaksi Kompas, “Perlu Mekanisme Atasi Hukum Pidana Indonesia”, http://www.
Hambatan”, Kompas, 27 Oktober 2007. unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/
File/HUKUM/Agus, diakses 9 Mei
E. Artikel Internet 2011.
Hukumonline, “Lagi, Putusan MA Salah
Ketik”, http://www.hukumonline.com/ F. Peraturan Perundang-undangan
berita/baca/hol17428/lagi-putusan- Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
masalah-ketik, diakses 23 Februari tentang Pemberantasan Tindak Pidana
2010. Korupsi.