kandung empedu.1 Sekitar 10%-15% penduduk Amerika Serikat memiliki batu empedu.
Pembentukan batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.
Batu empedu sendiri diklasifikasikan menjadi 2 tipe mayor yaitu batu kolesterol sebanyak
80% dari total dan batu pigmen menempati 20% dari total. Batu pigmen paling banyak
ditemukan pada daerah Asia dan sering disertai infeksi pada kandung empedu.2
Lebih dari 80% karier batu empedu tidak menyadari mengenai penyakit mereka.
Hanya 1-2% tiap tahunnya pasien mengalami komplikasi dan membutuhkan terapi
memiliki batu empedu yang memiliki diameter >3cm dan pasien yang memiliki anomali
laparoskopi memiliki keunggulan berupa menyingkatnya waktu rawat inap dan masa
1
penyembuhan dan minimnya luka parut dari segi kosmetik. Hanya
2,7- 6,2% pasien yang membutuhkan konversi dari laparoskopi menjadi
laparotomi. Pada anestesiologi ada beberapa dampak fisiologi laparoskopi
berkaitan dengan kombinasi beberapa efek meliputi insuflasi karbon
dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan pneumoperitonium,
perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga pengaruh
refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah agar dokter muda dapat
memahami anestesi pada pasien laparoskopi.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif terutama tentang general
anesthesia dengan pemasangan ETT.
b. Bagi Akademik
Dapat dijadikan landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. 2. Laparoskopi Cholesistektomi
Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti
menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk
Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi.3 Keuntungan
melakukan prosedur laparoskopi pada cholesistektomi yaitu: laparoscopic
cholesistektomi menggabungkan manfaat dari penghilangan gallblader
dengan singkatnya lama tinggal di rumah sakit, cepatnya pengembalian
kondisi untuk melakukan aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena
torehan yang kecil dan terbatas, dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi
dibandingkan dengan teknik open laparotomi. Namun kerugiannya, trauma
saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan
open cholesistektomi dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan laparotomi.9
Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain:
penderita ada resiko tinggi untuk anestesi umum; penderita dengan morbid
obesity; ada tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu
2
kandung empedu yang besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan
hernia diafragma yang besar. 3
3
2. 1. 5. Kerugian Prosedur Laparoskopi
Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat
ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang
tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan
cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur
precordial, transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring
(CO2 meningkat secara sementara kemudian turun kembali). Pengobatan
dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100%
O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan memasang
kateter vena central untuk aspirasi gas.4
4
tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu
mencolok dibandingkan posisi anti tredelenburg.4
5
operasi setelah laparoskopi ginekologi lebih sedikit dibandingkan dengan
general anestesi dengan desflurane.1
2. 1. 8. Evaluasi Preoperasi
Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik
dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur laparoskopi, evaluasi
sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit
paru berat dan gangguan fungsi jantung.4
2. 1. 9. Manajemen Intraoperatif
Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi
umum dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah
noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan
pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi
tertentu, monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi
tindakan monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat,
end tidal CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun.
Sama halnya dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan
kateter arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk
pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru.1
Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan
pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah
6
jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan
resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada
saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa
endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang
positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan
CO2 yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan
posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana
ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu
bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan
trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal
pada pasien.1
7
Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur
laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat
anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan
pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek
tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau
calcium channel blocker. Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine
atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat menyebabkan
penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi).
Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik,
namun pasien dengan fungsi jantung yang buruk bisa dipengaruhi menjadi
lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan monitor secara invasif
(arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi) selama prosedur
berlangsung.1
8
analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral,
atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali
sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena
(fentanyl, morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena membantu
agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal,
seperti bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri
somatik dan visceral.1
1. Umur
a. Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
b. Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau umum
2. Status fisik
a. Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui
apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui
apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.
9
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
d. Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
a. Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
a. Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
6. Keinginan pasien
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
a. Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif
adalah pilihan utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.
1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesia akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui
membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat
anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan
10
tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi
hal tersebut adalah:10
a. Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika
dalam alveolus.
b. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena.
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
a. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika
diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
b. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya
dalam keadaan seimbang.
c. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika
yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga
induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
3. Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar
zat anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung
hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan
11
cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah
jantung.
b. Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c. Lemak : jaringan lemak
d. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.
4. Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar
minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut.
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia
12
berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan obat yang
kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan
ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.5
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.5
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.10
13
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
f. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode
tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam
dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
3. Premedikasi
14
3. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat
diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.5
15
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis:
Intraoperatif anestesi: 2-50 mcg/kgBB (IV)
Postopertif analgetik: 0,5-1,5 mg/kgBB (IV)
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis:
Induksi : 1-2 mg/kgBB (IV)
3-5 mg/kgBB (IV)
Maintenace infus : 10-2- mcg /kgBB (IV)
Analgetik atau sedasi: 2,5-15 mcg/kgBB (IV)
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis
Premedikasi: 0,2-0,5 mg/kgBB (oral)
Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg/BB (IV)
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis :
Premedikasi : 0,07-0,15mg/kgBB (IM)
Sedasi : 0,01-0,1 mg/kg/BB (IV)
Induksi : 0,1-0,4 mg/kgBB (IV)
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis:
Induksi: 1-2,5 mg/kgBB (IV)
Maintenance infus: 50-200 mcg/kgBB (IV)
Infus sedasi: 25-100 mcg/kgBB (IV)
5. Antiemetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.
16
4. Induksi Anastesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan
6
pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
a. Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop
untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake
dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
Gambar Laringoscope
Gambar 2. Laringoskop
b. Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
17
dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam
ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan
dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak
kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.
Jarak Sampai
Usia Diameter (mm) Skala French
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
18
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai
pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan
bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi
hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea.
Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor
tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan
dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas.
Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
19
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi
dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
2,5 mm 4,5 mm
3,0 mm 5,0 mm
3,5 mm 5,5 mm
4,0 mm 6,0 mm
4,5 mm 6,5 mm
5,0 mm 7,0 mm
5,5 mm 7,5 mm
c. Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
20
Gambar 4. Oropharingeal airway
d. Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
e. Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
Gambar 5. Stylet
f. Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anesthesia.
g. Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan
lainnya.
21
1. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
a. Tiopental (pentotal, tiopenton) yaitu amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% (1ml = 25mg). Hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-
analgesi.
b. Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Propofol digunakan
baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan
merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat
ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada
pasien dalam keadaan kritis. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5
mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
22
Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan
untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya
kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali
lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan
ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan
kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh
total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik,
sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.6
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih
cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik.6
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50
mg).6
23
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum
pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salivas diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis
bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1
ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung.
Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.
3. Induksi inhalasi6
a. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
b. Halotan (fluotan)
24
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
c. Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
d. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
e. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan
napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.
25
4. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental
atau midazolam.
5. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka
pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien
tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
5. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak
larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,
oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan
dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang
berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi
karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan
26
tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30%
atau 50% : 50%5.
b. Terapi Cairan
A. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
B. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
- Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
- Sedang = 6 ml/kgBB/jam
- Berat = 8 ml/kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
27
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran.
C. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
6. Pemulihan
28
Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
Apneu/tidak bernafas
0
1 Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap stimuli
1
Tak ada respon
0
29
3 Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud
1
Tidak bergerak
0
30
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage score < 2 boleh pindah ke ruang perawatan.
3.5. Intubasi
Intubasi adalah memasukan pipa ke d alam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.5
31
2.5.3. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan
saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan
keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi
yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,
menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan
berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah
dan sekresi keluar dari trakea selama operasi.4
Klasifikasi Mallampati :
32
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah
intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.10
kelas 3 : tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis terlihat
Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai 'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.7
33
suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan
pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat
tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau
oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya
pipa difiksasi dengan plester.7
34
inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot
dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk
memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan
disertai pula dengan triple airway manuver standar.10
6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.
35
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Hasil anamnesis didapatkan secara autoanamnesis pada tanggal 21 April
2019 pukul 14. 00 WIB.
36
3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit
• Pasien datang ke poli bedah dengan keluhan nyeri perut bagian
kanan atas yang menjalar hingga ke punggung kanan sejak 6 tahun
SMRS, keluhan dirasakan hilang timbul. Pasien mengatakan setelah
memakanan makann yang berminyak dan berlemak pasien mengeluh perut
terasa nyeri.. Demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada, BAB dan
BAK normal.
Akibat keluhan ini os dirawat di Bangsal Bedah Kelas I karena
diduga terdapat batu di kantung empedu dan akan dilakukan tindakan
berupa pengangkatana kantung empedu pada tanggal 22 April 2019.
37
4. Riwayat asthma di keluarga tidak ada
5. Riwayat alergi makanan dan alergi obat-obatan di keluarga tidak ada
Status Generalis
Kepala
Rambut : Hitam beruban, rambut sulit dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/),
palpebra edema (-/-)
Telinga : Simetris, serumen (-/-), othorea (-/-)
Hidung : Septum tidak deviasi, sekret (-/-),
pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Airway : Jalan nafas bersih (+), Mallampati I,
Tiromental distance > 5cm, buka mulut > 3
jari, gigi palsu (-)
Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
38
JVP : 5 cm H20
Trakhea : di tengah
Thoraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-),
gallops (-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil hemitoraks kanan =
hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, massa (-), jejas (-),
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor
kulit baik, tremor (-).
Inferior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baik.
39
3.4 Pemeriksaan Penunjang (11-4-2019)
Hematologi
- Hemoglobin : 15,3 g/dl
- Eritrosit : 5.270.000 /uL
- Leukosit : 7.400 /ul
- Trombosit : 250.000/ul
- Hematokrit : 44 %
- Hitung Jenis :
- Basofil : 0%
- Eosinofil : 2%
- Batang : 3%
- Segmen : 53%
- Limfosit : 37%
- Monosit : 5%
- Bilirubun total : 0,92 mg/dL
- Billirubin direct : 0,26 mg/dL
- Billirubin inderect : 0,26 mg/dL
- SGOT : 22 u/L
- SGPT : 37 u/L
40
Hasil USG
Kesan:
Cholelihiasis
single,
berukuran 1,5
cm dan
Cholecystitis
chronics
3.5 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
maka:
Diagnosis Klinis : Cholelihiasis single dan Cholecystitis chronics
Diagnosis Anestesi : ASA I, mallampati II
Rencana Operasi : Kolesistektomi
Rencana Anestesi : General Anesthesia dengan pemasangan
Endotracheal T ube (ETT).
3.6 Tatalaksana
Tatalaksana post operasi
IVFD Asering 1000 cc/ 24 jam
Inj. Ketorolac 30mg bolus (jika mengalami nyeri)
Inj. Ondansentron 4 mg (jika mengalami mual dan muntah)
41
3.7 Durante Operasi (Catatan Anestesi)
3.7.1 Status Fisik ASA
ASA I
3.7.5 Monitoring
- SpO2 :+
- NIBP :+
- HR :+
3.7.7 Premedikasi
Ondansentron 4 mg (i.v).
3.7.8 Induksi
- Intravena : Fentanyl, Propofol
- Inhalasi : Sevoflurane, O2, N2O.
42
3.7.9 Muscle Relaxant
- Atracurium Besylate 10 mg (i.v)
3.7.10 Intubasi
- ETT ukuran 8
- Sesudah tidur :+
- Oral :+
- Preoksigenasi :+
- Mudah intubasi :+
Tekanan Cairan
Pukul Nadi SpO2
Darah Infus
3.7.12 Reverse
- Neostigmin
- Sulfas Atrofin.
43
3.8 Post Operasi
3.8.1 Di Ruang Pemulihan (RR)
- Jalan Napas : clear
- Pernafasan : spontan, adekuat bersuara
- Kesadaran : compos mentis
Skor ALDRETTE: 8
- Aktivitas :2
- Sirkulasi :2
- Pernafasan :2
- Kesadaran :2
- Warna Kulit :2
44
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien ini telah berpuasa selama 6 jam, dan sebelumya telah melakukan
pemeriksaan darah berupa Hb, leukosit, trombosist, hematokrit, hitung jenis, dan
golongan darah. Preoperatif merupakan tindakan yang dilakukan sebelum
dilakukan anestesi dan proses pembedahan dimana dilakukan kunjungan pasien
terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bug.
Preoperative dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis, menilai kebugaran fisik berdasarkan The
American Society of Anesthesiologists (ASA), dan masukan oral (puasa 6-8 jam).5,6
45
Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin type-3. pemberian dosis 4-8 mg
i.v pada dewasa sebelum induksi, ondansetron menunjukkan efektivitas yang
tinggi mencegah mual dan muntah postoperasi.
Pada tahap induksi anestesi, pada pasien ini dilakukan dengan pemberian
Propofol 13 ml (1 ml =10 mg) secara intravena. Induksi anestesi merupakan
tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan
secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan
untuk operasi bagi pasien rawat jalan.5 Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Dosis bolus untuk
induksi 1-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pada pasien ini
diberikan propofol sebanyak 1-2.5 mg x 67 kg = 67-167,5 mg.6
Sedangkan untuk anestesi inhalasi menggunakan O2, N2O dan sevofluran 2%. O2
pertama kali diberikan pada pasien ini dengan dosis 5L/menit. Setelah nafas pasien
teratur, kemudian dosis O2 diturunkan dan kemudian N2O dimasukkan. Dosis keduanya
seimbang yaitu 50:50 (2,5L/menit : 2,5 L/menit). Kemudian anestesi inhalasi mulai juga
dimasukkan. Anestesi inhalasi yang digunakan adalah sevofluran dengan dosis 2%.
Sevofluran sendiri berbentuk volatile jernih, tidak berwarna dengan bau enak, tidak
iritatif, tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya. Gas ini mempunyai kelarutan
darah/gas yang rendah (0,68), sehingga menghasilkan induksi dan recovery yang cepat.
Selain itu, karena bau yang enak maka menjadi pilihan untuk anestesi inhalasi pada
pasien dewasa dan anak. Hilangnya kesadaran dengan sevofluran relative cepat, karena
dapat dicapai pada 5 kali tarikan napas tunggal.
46
dianjurkan 400 mg. Dexametason diberikan sebagai antiinflamasi yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya edema setelah pembedahan.
47
Pasca operasi dapat terjadi mual dan muntah.jika terjadi mual dan muntah
dapat diberikan ondansentron.hal ini sesuai dengan teori jika mual muntah pasca
operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari
pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal
maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini
meliputi metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone.1
48
BAB V
KESIMPULAN
Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, S.A., Suryadi, K.A. dan Dachlan, M.R. 2002. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 6th edition.
McGraw Hill. New York. 2018.
3. Sdrales, Loraine M., Miller, R D., Anesteshia Review: A Study Guide to
Anesthesia, fifth edition and basic of anesthesia forth edition. Churchill
Livingstone, USA. 2001
4. Zollinger, Robert M., Zollinger’s Atlas of Surgical Operations 8th edition,
international edition: McGraw Hill. United State Of America. 2003.
5. Said dkk. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
6. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management.
Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001
7. Errawan, Laparoscopyc surgery available:
http://www.mediaonline.com/Laparoscopyc surgery.asp (Accessed: 2008,
January 22)
8. Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Handbook of Clinical Anesthesia,
4th edition. Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001
9. Lestari, A.P. 2010. Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol dan Tiopental
Terhadap Respon Hemodinamik pada Induksi Anestesi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Semarang.
10. Salam, S.H. 2007. Dasar-Dasar Terapi Cairan dan Elektrolit. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.