Anda di halaman 1dari 51

BAB I

1.1 Latar Belakang


Cholecystolithiasis merupakan pembentukan batu empedu yang berlokasi di

kandung empedu.1 Sekitar 10%-15% penduduk Amerika Serikat memiliki batu empedu.

Pembentukan batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.

Batu empedu sendiri diklasifikasikan menjadi 2 tipe mayor yaitu batu kolesterol sebanyak

80% dari total dan batu pigmen menempati 20% dari total. Batu pigmen paling banyak

ditemukan pada daerah Asia dan sering disertai infeksi pada kandung empedu.2

Lebih dari 80% karier batu empedu tidak menyadari mengenai penyakit mereka.
Hanya 1-2% tiap tahunnya pasien mengalami komplikasi dan membutuhkan terapi

operasi.1–3 Penanganan kolesistektomi profilaksis tidak dianjurkan untuk batu empedu

asimtomatik.1 Pertimbangangan kolesistektomi profilaksis hanya pada pasien yang

memiliki batu empedu yang memiliki diameter >3cm dan pasien yang memiliki anomali

kandung empedu kongenital.2

Terdapat 2 jenis operasi pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) yaitu

laparoskopi dan laparotomi kolesistektomi. Tidak terdapat perbedaan mortalitas dan

komplikasi antara laparoskopi dan laparotomi (open) kolesistektomi, akan tetapi

laparoskopi memiliki keunggulan berupa menyingkatnya waktu rawat inap dan masa

1
penyembuhan dan minimnya luka parut dari segi kosmetik. Hanya
2,7- 6,2% pasien yang membutuhkan konversi dari laparoskopi menjadi
laparotomi. Pada anestesiologi ada beberapa dampak fisiologi laparoskopi
berkaitan dengan kombinasi beberapa efek meliputi insuflasi karbon
dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan pneumoperitonium,
perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga pengaruh
refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah agar dokter muda dapat
memahami anestesi pada pasien laparoskopi.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif terutama tentang general
anesthesia dengan pemasangan ETT.
b. Bagi Akademik
Dapat dijadikan landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan laporan kasus ini
dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan dapat diterapkan
di kemudian hari dalam praktik klinik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2. 1. 1. Definisi Laparoskopi
Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive
dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat
ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan
akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.7 Sejak 1997,
Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-
penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan
beberapa kota besar di Indonesia. 5

2. 1. 2. Laparoskopi Cholesistektomi
Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti
menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk
Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi.3 Keuntungan
melakukan prosedur laparoskopi pada cholesistektomi yaitu: laparoscopic
cholesistektomi menggabungkan manfaat dari penghilangan gallblader
dengan singkatnya lama tinggal di rumah sakit, cepatnya pengembalian
kondisi untuk melakukan aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena
torehan yang kecil dan terbatas, dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi
dibandingkan dengan teknik open laparotomi. Namun kerugiannya, trauma
saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan
open cholesistektomi dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan laparotomi.9
Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain:
penderita ada resiko tinggi untuk anestesi umum; penderita dengan morbid
obesity; ada tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu

2
kandung empedu yang besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan
hernia diafragma yang besar. 3

2. 1. 3. Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi


CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar,
tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah
keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2
kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat
ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup,
konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.7
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini
menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi
karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan
peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel
darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam
bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu.
Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah
melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun
sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh
darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.7

2. 1. 4. Keuntungan Prosedur Laparoskopi


Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih
menguntungkan karena insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih
ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan sedikit kemungkinan
terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi
pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek,
serta lebih cepat kembali beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung
pasien dan tipe prosedur.4

3
2. 1. 5. Kerugian Prosedur Laparoskopi
Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat
ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang
tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan
cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur
precordial, transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring
(CO2 meningkat secara sementara kemudian turun kembali). Pengobatan
dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100%
O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan memasang
kateter vena central untuk aspirasi gas.4

Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau


prosedur laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk
adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa terjadi, volume
tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan terdapat
krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah
pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau
insisi yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan.
Intervensi tidak selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika
insuflasi dihentikan.4

2. 1. 6. Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi


Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang
menjalani prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada
prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2. Insuflasi CO2 ke dalam
rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang
bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini
juga meningkatkan tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi
pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun sementara tekanan
darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi

4
tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu
mencolok dibandingkan posisi anti tredelenburg.4

Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh


insuflasi CO2 memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi
hiperkapnia selama beberapa menit dimana kenaikan CO2 biasanya mencapai
30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam
sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan
berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat
dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari
pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan intra
abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance dan kapasitas
residu fungsional serta peningkatan dead space.4

2. 1. 7. Manajemen Anestesi pada Laparoskopi


Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain :
umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan
peralatan yang dipakai, ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan
sarananya, status rumah sakit, dan permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75
% operasi pada rumah sakit, dilakukan di bawah anestesi umum (general
anesthesia). Operasi sekitar kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik
dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa
endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan metode ini jalan nafas dapat
dikontrol dengan baik sepanjang waktu.1

Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi,


karena iritasi yang mengenai diafragma dari insuflasi CO2. bisa
menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu penyembuhan untuk
pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah
dan teknik spinal opioid, salah satu studi menemukan bahwa nyeri pasca

5
operasi setelah laparoskopi ginekologi lebih sedikit dibandingkan dengan
general anestesi dengan desflurane.1

2. 1. 8. Evaluasi Preoperasi
Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik
dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur laparoskopi, evaluasi
sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit
paru berat dan gangguan fungsi jantung.4

2. 1. 9. Manajemen Intraoperatif
Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi
umum dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah
noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan
pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi
tertentu, monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi
tindakan monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat,
end tidal CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun.
Sama halnya dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan
kateter arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk
pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru.1

Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada


prosedur laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk
memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari resusitasi
cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau
emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan
gangguan vena perifer.1

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan
pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah

6
jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan
resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada
saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa
endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang
positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan
CO2 yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan
posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana
ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu
bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan
trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal
pada pasien.1

Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid


intravena, dan obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O
sebaiknya dihindari selama prosedur laparoskopi karena ini akan
meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan
klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.1

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg


atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari
dengan mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas. Tekanan
pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya
butuh penyesuaian.1

Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi


dengan anestesi umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah
ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa
menit setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi
ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan
volume tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus
sulit prosedur bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka. 1

7
Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur
laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat
anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan
pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek
tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau
calcium channel blocker. Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine
atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat menyebabkan
penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi).
Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik,
namun pasien dengan fungsi jantung yang buruk bisa dipengaruhi menjadi
lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan monitor secara invasif
(arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi) selama prosedur
berlangsung.1

2. 1. 10. Manajemen Pasca Operasi


Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi
selama 45 menit setelah prosedur selesai.1 Insiden mual muntah pasca operasi
laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%.7 Mual muntah
pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari
prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa
obat baik itu tunggal maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan
mengobati komplikasi ini meliputi metoclopramide, ondansentron, dan
dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi
dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan
pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi
direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan pulang
juga diperlukan.1

Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit


dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan

8
analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral,
atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali
sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena
(fentanyl, morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena membantu
agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal,
seperti bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri
somatik dan visceral.1

2.1. Anestesi Umum


2.1.1. Definisi

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral


disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang
ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.5

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:5

1. Hipnotik/sedasi yaitu hilangnya kesadaran


2. Analgesia yaitu hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant untuk relaksasi otot rangka

2.1.2. Pemilihan Cara Anestesi

Pemilihan cara anestesi dapat ditentukan berdasarkan:5

1. Umur
a. Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
b. Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau umum
2. Status fisik
a. Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui
apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui
apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.

9
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
d. Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
a. Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
a. Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
6. Keinginan pasien
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
a. Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif
adalah pilihan utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum

1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesia akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui
membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat
anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan

10
tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi
hal tersebut adalah:10
a. Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika
dalam alveolus.
b. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena.
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
a. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika
diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
b. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya
dalam keadaan seimbang.
c. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika
yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga
induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
3. Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar
zat anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung
hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan

11
cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah
jantung.
b. Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c. Lemak : jaringan lemak
d. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.
4. Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar
minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut.

2.1.4. Tahapan Tindakan Anestesi Umum

1. Penilaian dan persiapan pra anestesia


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah
untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.5

2. Penilaian pra bedah

a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia

12
berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan obat yang
kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan
ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.5

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.5

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak


boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
system organ tubuh pasien.10

c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.10

d. Kebugaran untuk anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

e. Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena
dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan.6

ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

13
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.

ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan


aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.

ASA V : Pasien terminal yang diperkirakan dengan atau tanpa


pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

f. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode
tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam
dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.

3. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah


dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:5

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien


a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
1. Kunjungan pre anestesi
2. Pengertian masalah yang dihadapi

14
3. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat
diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.5

Obat-obat yang sering digunakan:

1. Ana lgesik narkotik


a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg) dosis Post operative :
IM : 0,005-0,2 mg/kgBB
IV : 0,03-0,15 mg/kgBB

15
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis:
Intraoperatif anestesi: 2-50 mcg/kgBB (IV)
Postopertif analgetik: 0,5-1,5 mg/kgBB (IV)
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis:
Induksi : 1-2 mg/kgBB (IV)
3-5 mg/kgBB (IV)
Maintenace infus : 10-2- mcg /kgBB (IV)
Analgetik atau sedasi: 2,5-15 mcg/kgBB (IV)
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis
Premedikasi: 0,2-0,5 mg/kgBB (oral)
Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg/BB (IV)
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis :
Premedikasi : 0,07-0,15mg/kgBB (IM)
Sedasi : 0,01-0,1 mg/kg/BB (IV)
Induksi : 0,1-0,4 mg/kgBB (IV)
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis:
Induksi: 1-2,5 mg/kgBB (IV)
Maintenance infus: 50-200 mcg/kgBB (IV)
Infus sedasi: 25-100 mcg/kgBB (IV)
5. Antiemetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.

16
4. Induksi Anastesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan
6
pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:6

a. Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop
untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake
dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.

b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Gambar Laringoscope

Gambar 2. Laringoskop
b. Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat

17
dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam
ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan
dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak
kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau


melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan
bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena
terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun
penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur
basis kranii.

Tabel 1. Ukuran pipa trakea

Jarak Sampai
Usia Diameter (mm) Skala French
Bibir

Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:

18
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.

Gambar 3. Pipa Endotrakeal

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai
pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan
bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi
hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea.
Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor
tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan
dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas.
Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.

19
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi
dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya


dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada
hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan
stenosis subglotis.9

Tabel 2. Ukuran Pipa Endotrakeal

Size PLAIN Size CUFFED

2,5 mm 4,5 mm

3,0 mm 5,0 mm

3,5 mm 5,5 mm

4,0 mm 6,0 mm

4,5 mm 6,5 mm

5,0 mm 7,0 mm

5,5 mm 7,5 mm

c. Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

20
Gambar 4. Oropharingeal airway

d. Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.

e. Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.

Gambar 5. Stylet

f. Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anesthesia.

g. Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan
lainnya.

Induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara:

21
1. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
a. Tiopental (pentotal, tiopenton) yaitu amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% (1ml = 25mg). Hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-
analgesi.
b. Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Propofol digunakan
baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan
merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat
ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada
pasien dalam keadaan kritis. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5
mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.

22
Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan
untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya
kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali
lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan
ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan
kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh
total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik,
sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.6
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih
cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik.6
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50
mg).6

23
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum
pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salivas diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis
bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1
ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung.
Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.

3. Induksi inhalasi6
a. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
b. Halotan (fluotan)

24
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
c. Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
d. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
e. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan
napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.

25
4. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental
atau midazolam.
5. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka
pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien
tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.

Pemberian pelumpuh otot nondepolarisasi seperti Tracurium


20 mg (Antracurium) akan berikatan dengan reseptor nikotinik-
kolinergik, tetapi tidak menyebabkna depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak
dapat bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1
mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2
menit. Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot cegukan (hiccup),
dinding perut kaku, ada tahanan pada inflasi paru.5

5. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak
larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,
oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan
dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang
berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi
karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan

26
tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30%
atau 50% : 50%5.

b. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus


mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk:10

a) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama


operasi.
b) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :

A. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
B. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
- Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
- Sedang = 6 ml/kgBB/jam
- Berat = 8 ml/kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila

27
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran.

C. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

6. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan


anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.10

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan


perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum
yaitu cara Aldrete dan Steward. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan
skor Bromage10.

Tabel 3. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2


motorik atas perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas
perintah atau secara sadar. 1

 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas


atas perintah atau secara sadar.
0

2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2

28
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas
0

3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2


 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari
1
semula
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula

4 Kesadaran  Sadar penuh 2


 Bangun jika dipanggil
1
 Tidak ada respon atau belum sadar
0

5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2


 Pucat
1
 Sianosis
0

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 4. Steward Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli
1
 Tak ada respon
0

2 Jalan napas  Batuk atas perintah atau menangis 2


 Mempertahankan jalan nafas dengan baik
1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan
nafas 0

29
3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
 Gerakan tanpa maksud
1
 Tidak bergerak
0

Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 5. Robertson Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran  Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4


 Tidur ringan
3
 Membuka mata atas perintah
 Tidak ada respon 2

2 Jalan napas  Batuk atas perintah 3


 Jalan nafas bebas tanpa bantuan
2
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi
kepala 1

 Tanpa bantuan obstruksi 0

3 Aktifitas  Mengangkat tangan atas perintah 2


 Gerakan tanpa maksud
1
 Tidak bergerak
0

Tabel 6. Bromage Scoring System

30
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage score < 2  boleh pindah ke ruang perawatan.

3.5. Intubasi

3.5.1. Pengertian Intubasi

Intubasi adalah memasukan pipa ke d alam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.5

2.5.2. Tujuan Intubasi


Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuan
dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut:5

a. Mempermudah pemberian anestesia.


b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut

31
2.5.3. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan
saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan
keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi
yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,
menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan
berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah
dan sekresi keluar dari trakea selama operasi.4

Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah trauma servikal yang memerlukan


keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan
intubasi.4

2.5.4. Kesulitan Intubasi

Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama


ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang
paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem
ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan
menjulurkan lidah.8

Gambar 6. Klasifikasi Mallampati

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil

32
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula

Mallampati 4 : Palatum durum saja

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah
intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.10

Gambar 7. Kesulitan Intubasi Trakea

Kelas 1 : Sebagian besar glotis terlihat

Kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis dan epiglotis tampak

kelas 3 : tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis terlihat

Kelas 4 : tidak bahkan epiglotis terlihat.

Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai 'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.

2.5.6. Persiapan intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan


memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT
sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet
sebaiknya dimasukkan ke ETT.7

3.5.6. Cara Intubasi Endotrakea

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.7

Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat


sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita

33
suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan
pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat
tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau
oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya
pipa difiksasi dengan plester.7

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,


dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas
kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret
lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi
seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila
terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang
keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru.
Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.7

2.5.7. Ekstubasi Perioperatif

Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu


pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat
setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian
apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang
mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah
hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien
sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan
dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien
sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien berangsur-angsur akan
sadar.10

Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot


tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan.
Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas yang lapang dan saat

34
inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot
dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk
memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan
disertai pula dengan triple airway manuver standar.10

Syarat-syarat ekstubasi yaitu

1. Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.

2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.

3. PaO2 diatas 80 mm Hg.

4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.

5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.

6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

35
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. I
No. RM : 57. 28. 20
Tanggal Lahir : 23 Oktober 1962
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Satria Villa Bunda RT 004/002
Tanggal Masuk : 21 April 2019

3.2 Anamnesis
Hasil anamnesis didapatkan secara autoanamnesis pada tanggal 21 April
2019 pukul 14. 00 WIB.

3.2.1 Keluhan Utama


Nyeri perut kanan bawah sejak 6 tahun SMRS

3.2.2 Keluhan Tambahan


Tidak ada

36
3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit
• Pasien datang ke poli bedah dengan keluhan nyeri perut bagian
kanan atas yang menjalar hingga ke punggung kanan sejak 6 tahun
SMRS, keluhan dirasakan hilang timbul. Pasien mengatakan setelah
memakanan makann yang berminyak dan berlemak pasien mengeluh perut
terasa nyeri.. Demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada, BAB dan
BAK normal.
Akibat keluhan ini os dirawat di Bangsal Bedah Kelas I karena
diduga terdapat batu di kantung empedu dan akan dilakukan tindakan
berupa pengangkatana kantung empedu pada tanggal 22 April 2019.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat diabetes melitus tidak ada
2. Riwayat hipertensi tidak ada
3. Riwayat asthma tidak ada
4. Riwayat alergi makanan dan alergi obat-obatan tidak ada

3.2.5 Riwayat Kebiasaan


1. Makan sehari 3x, sering mengkonsumsi makanan yang berlemak.
2. Merokok

3.2.6 Riwayat Pengobatan


Tidak ada.

3.2.7 Riwayat Pembedahan


Tidak ada

3.2.8 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada
2. Riwayat diabetes melitus di keluarga tidak ada
3. Riwayat hipertensi di keluarga tidak ada

37
4. Riwayat asthma di keluarga tidak ada
5. Riwayat alergi makanan dan alergi obat-obatan di keluarga tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang, ASA I
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : E4V5 M6 = 15
 Vital sign
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 21 x/menit
Suhu : 37 o C
 BB/TB : 67 kg/ 166 cm

Status Generalis
 Kepala
Rambut : Hitam beruban, rambut sulit dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/),
palpebra edema (-/-)
Telinga : Simetris, serumen (-/-), othorea (-/-)
Hidung : Septum tidak deviasi, sekret (-/-),
pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Airway : Jalan nafas bersih (+), Mallampati I,
Tiromental distance > 5cm, buka mulut > 3
jari, gigi palsu (-)

 Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

38
JVP : 5 cm H20
Trakhea : di tengah

 Thoraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-),
gallops (-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil hemitoraks kanan =
hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

 Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, massa (-), jejas (-),
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

 Ekstremitas
Superior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor
kulit baik, tremor (-).
Inferior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baik.

39
3.4 Pemeriksaan Penunjang (11-4-2019)
 Hematologi
- Hemoglobin : 15,3 g/dl
- Eritrosit : 5.270.000 /uL
- Leukosit : 7.400 /ul
- Trombosit : 250.000/ul
- Hematokrit : 44 %
- Hitung Jenis :
- Basofil : 0%
- Eosinofil : 2%
- Batang : 3%
- Segmen : 53%
- Limfosit : 37%
- Monosit : 5%
- Bilirubun total : 0,92 mg/dL
- Billirubin direct : 0,26 mg/dL
- Billirubin inderect : 0,26 mg/dL
- SGOT : 22 u/L
- SGPT : 37 u/L

40
Hasil USG
Kesan:
Cholelihiasis
single,
berukuran 1,5
cm dan
Cholecystitis
chronics

3.5 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
maka:
 Diagnosis Klinis : Cholelihiasis single dan Cholecystitis chronics
 Diagnosis Anestesi : ASA I, mallampati II
 Rencana Operasi : Kolesistektomi
 Rencana Anestesi : General Anesthesia dengan pemasangan
Endotracheal T ube (ETT).

3.6 Tatalaksana
Tatalaksana post operasi
 IVFD Asering 1000 cc/ 24 jam
 Inj. Ketorolac 30mg bolus (jika mengalami nyeri)
 Inj. Ondansentron 4 mg (jika mengalami mual dan muntah)

41
3.7 Durante Operasi (Catatan Anestesi)
3.7.1 Status Fisik ASA
ASA I

3.7.2 Penyulit Praanestesi


Tidak Ada

3.7.3 Checklist Sebelum Induksi


- Izin operasi :+
- Cek mesin anestesi :+
- Check suction unit :+
- Persiapan obat-obatan :+

3.7.4 Teknik Anestesi


General Anesthesia dengan pemasangan Endotracheal Tube (ETT).

3.7.5 Monitoring
- SpO2 :+
- NIBP :+
- HR :+

3.7.6 Posisi Pasien


Supine.

3.7.7 Premedikasi
Ondansentron 4 mg (i.v).

3.7.8 Induksi
- Intravena : Fentanyl, Propofol
- Inhalasi : Sevoflurane, O2, N2O.

42
3.7.9 Muscle Relaxant
- Atracurium Besylate 10 mg (i.v)

3.7.10 Intubasi
- ETT ukuran 8
- Sesudah tidur :+
- Oral :+
- Preoksigenasi :+
- Mudah intubasi :+

3.7.11 Observasi Tanda Vital

Tekanan Cairan
Pukul Nadi SpO2
Darah Infus

11.30 100/57 60 100 Asering

11.45 109/58 65 100 Asering

12.00 108/57 68 100 Asering

12.15 100/60 70 100 Asering

12.30 100/60 65 100 Asering

12.45 100/61 65 100 Asering

3.7.12 Reverse
- Neostigmin
- Sulfas Atrofin.

3.7.13 Lama Tindakan


- Lama pembiusan : 1 jam 30 menit
- Lama pembedahan : 1 jam 00 menit.

43
3.8 Post Operasi
3.8.1 Di Ruang Pemulihan (RR)
- Jalan Napas : clear
- Pernafasan : spontan, adekuat bersuara
- Kesadaran : compos mentis

Skor ALDRETTE: 8
- Aktivitas :2
- Sirkulasi :2
- Pernafasan :2
- Kesadaran :2
- Warna Kulit :2

Pindah ke Ruang Perawatan

3.8.2 Intruksi Pasca Bedah


Bila kesakitan : Inj. ketorolac 30 mg (IV)
Bila mual/muntah : Inj. Ondansentron 4 mg (IV)
Antibiotik : sesuai instruksi Dokter Bedah
Obat-obatan lain : sesuai instruksi Dokter Bedah
Infus : sesuai instruksi Dokter Bedah
Minum : sesuai instruksi Dokter Bedah
Pemantauan Tanda Vital : sesuai instruksi Dokter Bedah.

44
BAB IV
ANALISA KASUS

Dari hasil preoperatif yang dilakukan terhadap Tn. I, seorang laki-laki


berusia 28 tahun dengan diagnosis Cholelihiasis single dan Cholecystitis chronics.
Penderita tidak mengalami hipertensi, diabetes mellitus, asma, hemofili, alergi,
dan tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya. Dengan hasil pemeriksaan fisik:

Airway : Clear, Mallampati I

Breathing : Spontan, RR 21 x/menit, ronki (-), wheezing (-)

Circultion : Nadi 80 x/menit

Disability : GCS 15, Temp 37,0 oC, ASA I

Pasien ini telah berpuasa selama 6 jam, dan sebelumya telah melakukan
pemeriksaan darah berupa Hb, leukosit, trombosist, hematokrit, hitung jenis, dan
golongan darah. Preoperatif merupakan tindakan yang dilakukan sebelum
dilakukan anestesi dan proses pembedahan dimana dilakukan kunjungan pasien
terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bug.
Preoperative dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis, menilai kebugaran fisik berdasarkan The
American Society of Anesthesiologists (ASA), dan masukan oral (puasa 6-8 jam).5,6

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg


atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari
dengan mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan
bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh
penyesuaian.1
Premedikasi yang diberikan pada Tn. I dengan pemberian ondansentron 4
mg (i.v). Premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi.5

45
Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin type-3. pemberian dosis 4-8 mg
i.v pada dewasa sebelum induksi, ondansetron menunjukkan efektivitas yang
tinggi mencegah mual dan muntah postoperasi.

Pada tahap induksi anestesi, pada pasien ini dilakukan dengan pemberian
Propofol 13 ml (1 ml =10 mg) secara intravena. Induksi anestesi merupakan
tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan
secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan
untuk operasi bagi pasien rawat jalan.5 Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Dosis bolus untuk
induksi 1-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pada pasien ini
diberikan propofol sebanyak 1-2.5 mg x 67 kg = 67-167,5 mg.6

Sedangkan untuk anestesi inhalasi menggunakan O2, N2O dan sevofluran 2%. O2
pertama kali diberikan pada pasien ini dengan dosis 5L/menit. Setelah nafas pasien
teratur, kemudian dosis O2 diturunkan dan kemudian N2O dimasukkan. Dosis keduanya
seimbang yaitu 50:50 (2,5L/menit : 2,5 L/menit). Kemudian anestesi inhalasi mulai juga
dimasukkan. Anestesi inhalasi yang digunakan adalah sevofluran dengan dosis 2%.
Sevofluran sendiri berbentuk volatile jernih, tidak berwarna dengan bau enak, tidak
iritatif, tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya. Gas ini mempunyai kelarutan
darah/gas yang rendah (0,68), sehingga menghasilkan induksi dan recovery yang cepat.
Selain itu, karena bau yang enak maka menjadi pilihan untuk anestesi inhalasi pada
pasien dewasa dan anak. Hilangnya kesadaran dengan sevofluran relative cepat, karena
dapat dicapai pada 5 kali tarikan napas tunggal.

Pemberian Tramadol bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri pasca bedah.


Tramadol merupakan analog kodein sintetk yang merupakan agonist reseptor 𝜇
yang lemah. Sebagaian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan
norepineprhin dan serotonin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau
meperidin untuk nyeri ringan samapai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik
lebih lemah. Lama analgesia selama 6 jam dengan dosisi maksimum per hari yang

46
dianjurkan 400 mg. Dexametason diberikan sebagai antiinflamasi yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya edema setelah pembedahan.

Pada pasien ini dilakukan laparoscopy yaitu sebuah prosedur pembedahan


minimally invasive dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum
untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga
memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut7, sehingga
untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa
endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan
nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan resiko
kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi Pada saat tekanan
intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat
digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah
hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi.
Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada
pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa
endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga memasang pipa
endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering
mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.1

Selama tahap intraoperatif, dilakukan monitoring yang bertujuan untuk


membantu anestetis mendapatkan informasi fungsi organ vital selama peri
anesthesia. Monitoring dilakukan dengan menilai fungsi kardiovaskular (nadi,
tekanan darah, banyaknya perdarahan), monitoring respirasi tanpa alat (gerakan
dada-perut, warna mukosa bibir, kuku, ujung jari),dan oksimetri.7

Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu


pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan.
Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai
penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan
nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien
mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan.10

47
Pasca operasi dapat terjadi mual dan muntah.jika terjadi mual dan muntah
dapat diberikan ondansentron.hal ini sesuai dengan teori jika mual muntah pasca
operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari
pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal
maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini
meliputi metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone.1

Sebelum dipindahkan ke ruang perawatan, dilakukan penilaian pulih sadar


menurut Aldrete Score di ruang pemulihan dan ditemukan tingkat kesadaran
dengan nilai 2, pernafasan dengan nilai 2, tekanan darah dengan nilai 2, aktivitas
dengan nilai 2, warna kulit dengan nilai 2 dan total nilai keseluruhan 10. Yang
menandakan pasien diperbolehkan pindah ke ruang perawatan.

48
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi penting dilakukan pada setiap operasi yang


melibatkan anestesi yang bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien. Tindakan
pada operasi Cholecystektomy pada Tn. I, usia 36 tahun, status fisik ASA I,
mallampati II dengan diagnosis Cholelihiasis single dan Cholecystitis chronics
yang dilakukan dengan anestesi umum dan pemasangan endotrakeal tube.

Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung


dengan baik.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S.A., Suryadi, K.A. dan Dachlan, M.R. 2002. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 6th edition.
McGraw Hill. New York. 2018.
3. Sdrales, Loraine M., Miller, R D., Anesteshia Review: A Study Guide to
Anesthesia, fifth edition and basic of anesthesia forth edition. Churchill
Livingstone, USA. 2001
4. Zollinger, Robert M., Zollinger’s Atlas of Surgical Operations 8th edition,
international edition: McGraw Hill. United State Of America. 2003.
5. Said dkk. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
6. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management.
Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001
7. Errawan, Laparoscopyc surgery available:
http://www.mediaonline.com/Laparoscopyc surgery.asp (Accessed: 2008,
January 22)
8. Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Handbook of Clinical Anesthesia,
4th edition. Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001
9. Lestari, A.P. 2010. Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol dan Tiopental
Terhadap Respon Hemodinamik pada Induksi Anestesi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Semarang.
10. Salam, S.H. 2007. Dasar-Dasar Terapi Cairan dan Elektrolit. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.

Anda mungkin juga menyukai