Anda di halaman 1dari 9

LANGKAH-LANGKAH PENYIDIKAN KLB

1. Persiapan penelitian lapangan.


2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
3. Memastikan Diagnosis Etiologis
4. Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu dan tempat.
6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera(jika diperlukan).
7. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran
8. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB
9. Merencanakan penelitian lain yang sistimatis
10. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan.
11. Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi.
12. Melaporkan hasil penyidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus dikerjakan


secara berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan secara serentak. Pemastian
diagnosa dan penetapan KLB merupakan langkah awal yang harus dikerjaka.
1. Persiapan Penelitian Lapangan
Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama
sesudah adanya informasi. Kelsey., (1986), Greg (1985) dan Bres (1986) dalam Maulani
(2010) mengatakan bahwa persiapan penelitian lapangan meliputi:
a. Pemantapan (konfirmasi) informasi.
b. Pembuatan rencana kerja
c. Pertemuan dengan pejabat setempat.

2. Pemastian Diagnosis Penyakit


Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan
gejala/tanda penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi
gejala klinisnya.
3. Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang
tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik) pada populasi
yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Adanya KLB juga ditetapkan
apabila memenuhi salah satu dari kriteria KLB. Pada penyakit yang endemis, maka cara
menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik pola maksimum-minimum 5 tahunan
atau 3 tahunan.

4. Identifikasi kasus atau paparan


Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus dengan
teliti. Hasil perhitungan kasus ini digunakan selanjutnya untuk mendeskripsikan KLB.
Dasar yang dipakai pada identifikasi kasus adalah hasil pemastian diagnosis penyakit.
Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi sumber
penularan. Pada tahap ini cara penentuan paparan dapat dilakukan dengan mempelajari
teori cara penularan penyakit tersebut. Ini penting dilakukan terutama pada penyakit
yang cara penularannya tidak jelas (bervariasi). Pada KLB keracunan makanan
identifikasi paparan ini secara awal perlu dilakukan untuk penanggulangan sementara
dengan segera (CDC, 1979 dalam Maulani, 2010).
5. Deskripsi KLB
a. Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu.
Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB
berlangsung) digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik adalah suatu
grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of
illness) selama periode wabah. Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan cara
penularan penyakit. Salah satu cara untuk menentukan cara penularan penyakit pada
suatu KLB yaitu dengan melihat tipe kurva epidemik, sebagai berikut:
 Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal dari satu
sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus yang terpapar
dalam waktu yang sama dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit
yang ditularkan melalui air dan makanan (misalnya: kolera, typoid).
 Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada KLB
dengan cara penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat adanya beberapa
puncak. Jarak antara puncak sistematis, kurang lebih sebesar masa inkubasi rata
rata penyakit tersebut.
 Tipe kurva epidemik campuran antara common source dan propagated. Tipe
kurva ini terjadi pda KLB yang pada awalnya kasus-kasus memperoleh paparan
suatu sumber secara bersama, kemudian terjadi karena penyebaran dari orang ke
orang (kasus sekunder).
b. Deskripsi kasus berdasarkan tempat Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan
tempat adalah untuk mendapatkan petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan
tempat (tempat tinggal, tempat pekerjaan). Hasil analisis ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai, maka kasus dapat
dikelompokan menurut daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok sensus),
tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi, sekolah,
kesamaan hubungan (kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari
orang ke orang atau melalui vector.
c. Deskripsi kasus berdasarkan orang Teknik ini digunakan untuk membantu
merumuskan hipotesis sumber penularan atau etiologi penyakit. Orang dideskripsikan
menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status kekebalan, status perkawinan,
tingkah laku, atau kebudayaan setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus
dengan variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan
perhatian pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus berdasarkan umur
harus selalu dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan frekuensi dan beratnya
penyakit. Analisis ini akan berguna untuk membantu pengujian hipotesis mengenai
penyebab penyakit atau sebagai kunci yang digunakan untuk menentukan sumber
penyakit.
6. Penanggulangan sementara Kadang-kadang cara penanggulangan sementara sudah dapat
dilakukan atau diperlukan, sebelum semua tahap penyelidikan dilampaui. Cara
penanggulangan ini dapat lebih spesifik atau berubah sesudah semua langkah
penyelidikan KLB dilaksanakan. Menurut Goodman et al. (1990) dalam Maulani (2010),
kecepatan keputusan cara penanggulangan sangat tergantung dari diketahuinya etiologi
penyakit, sumber dan cara penularannya, sebagai berikut:
a. Jika etiologi telah diketahui, sumber dan cara penularannya dapat dipastikan
maka penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas. Sebagai contoh
adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit, segera dapat dilakukan penanggulangannya
yaitu memberikan imunisasi pada penderita yang diduga kontak,
sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan
penderita (MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
b. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat dipastikan,
maka belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan penyelidikan yang
lebih luas untuk mencari sumber dan cara penularannya. Sebagai contoh: KLB
Salmonella Muenchen tahun 1971. Pada penyelidikan telah diketahui etiologinya
(Salmonella). Walaupun demikian cara penanggulangan tidap segera ditetapkan
sebelum hasil penyelidikan mengenai sumber dan cara penularan ditemukan.
Cara penanggulangan baru dapat ditetapkan sesudah diketahui sumber penularan
dengan suatu penelitian kasus pembanding (Taylor et al., 1982 dalam Maulani,
2010).
c. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui
maka penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan
penyelidikan yang luas tentang etiologinya. Sebagai contoh: suatu KLB
Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui bahwa sumber penularan adalah roti,
sehingga cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan mengamankan roti
tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui etiologinya yaitu
dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai penyebabnya
(Etzel et al., 1987 dalam Maulani, 2010).
d. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan
tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan
sesudah penyelidikan. Sebagai contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara
penanggulangan baru dapat dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas
mengenai etiologi dan cara penularan penyakit tersebut (Frase et al., 1977 dalam
Maulani, 2010). 7.

7. Identifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB


a. Identifikasi sumber penularan Untuk mengetahui sumber dan cara penularan
dilakukan dengan membuktikan adanya agent pada sumber penularan.
b. Identifikasi keadaan penyebab KLB Secara umum keadaan penyebab KLB adalah
adanya perubahan keseimbangan dari agent, penjamu, dan lingkungan.
8. Perencanaan penelitian lain yang sistematis Goodman et al (1990) dalam Maulani, 2010
mengatakan bahwa KLB merupakan kejadian yang alami (natural), oleh karenanya selain
untuk mencapai tujuan utamanya penyelidikan epidemiologi KLB merupakan
kesempatan baik untuk melakukan penelitian. Mengingat hal ini sebaiknya pada
penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan:
a. Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya
yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan
kewajiban pelaksanaan sistem surveilans
b. Penelitian faktor risiko kejadian penyakit KLB yang sedang berlangsung.
c. Evaluasi terhadap program kesehatan.
9. Penyusunan Rekomendasi
a. Program Pengendalian Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan
dalam upaya menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit
menular dan penyakit tidak menular. Tahapan – tahapan program, yaitu:
 Perencanaan
Dalam tahap perencanaan dilakukan analisis situasi masalah, penetapan
masalah prioritas, inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan
dokumen perencanaan. Dokumen perencaan harus detail terhadap
target/tujuan yang ingin dicapai, uraian kegiatan dimana, kapan, satuan setiap
kegiatan, volume, rincian kebutuhan biaya, adanya petugas penanggungjawab
setiap kegiatan, metode pengukuran keberhasilan.
 Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan dilakukan implemantasi dokumen perencanaan,
menggerakan dan mengkoordinasikn seluruh komponen dan semua pihak
yang terkait
 Pengendalian (Monitoring/Supervisi)
Supervisi dilakukan untuk memastikan seluruh kegiatan benar-benar
dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan. (Pickett dan John, 2009).
b. Penanggulangan KLB Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara
terpadu oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi:
 Penyelidikan epidemilogis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk
mengetahui keadaan penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut, termasuk aspek sosial dan
perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan dan pengendaian
yang efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009).
 Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan
karantina. Tujuannya adalah:
o Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan
mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan.
o Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi
mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat
menularkan penyakit (carrier).
c. Pencegahan dan pengendalian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-
orang yang belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena penyakit agar jangan
sampai terjangkit penyakit.
d. Pemusnahan penyebab penyakit
Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan terhadap bibit penyakit/kuman
dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung bibit penyakit.
e. Penanganan jenazah akibat wabah
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus menurut
jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada orang lain
f. Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif
edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti
sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila
terkena, tidak menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar
masyarakat dapat berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.
g. Upaya penanggulangan lainnya Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-
tindakan khusus masing-masing penyakit yang dilakukan dalam rangka
penanggulangan wabah. (Menteri Kesehatan RI, 2010)
10. Penyusunan laporan KLB
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang
berwenang baik secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi
kesehatan setempat berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian KLB yang
disarankan dapat dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan agar pengalaman dan hasil
penyelidikan epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan menerapkan teknik-
teknik sistim surveilans yang lebih baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program
kesehatan serta dapat dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB.

CONTOH KASUS

1. Pemastian Diagnosa
Pemastian diagnosa di Kecamatan Jiken Kabupaten Blora ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik. Pada KLB ini gejala yang ditemukan adalah
panas 44 (100%), rash 44 (100%), batuk 41 (93,18%), pilek 38 (86,36%), mata merah 35
(79,54%) dan diare 25 (56,81%).
2. Deskripsi KLB berdasarkan Waktu,
Tempat dan Orang Kasus pertama terjadi pada tanggal 20 September 2016. Jika
dihitung dengan menggunakan masa inkubasi Campak terpendek adalah 7 hari, maka
didapatkan waktu paparan terjadi pada tanggal 13 September 2016. Kemudian jika
diidentifikasi dengan menggunakan masa inkubasi terpanjang yaitu 18 hari, maka
didapatkan waktu paparan pada tanggal 2 September 2016. Dari perhitungan tersebut
dapat disimpulkan bahwa ada dugaan periode waktu paparan yang paling memungkinkan
terjadi adalah pada tanggal 2-13 September 2016.
Berdasarkan tempat tinggal bahwa kasus Campak pada KLB ini mayoritas tinggal
di Desa Jiken, Kecamatan Jiken dengan jumlah kasus sebanyak 39 orang (88,65%), yang
tersebar di Dukuh Nglencong, Boleran, Suruhan, Watulumbung dan Kalitengah.
Sedangkan di desa lainnya masingmasing terdapat 1 kasus (2,27%) Berdasarkan variabel
orang, kejadian Campak mengelompok pada usia 5 – 10 tahun sebanyak 25 anak
(56,81%) dan 10 – 20 tahun 14 anak (31,82%). Hal ini dikarenakan kasus terjadi di TK
Pertiwi Jiken dan SMK Nurul Huda Jiken. Kejadian KLB Campak di Kecamatan Jiken
berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan yaitu sebanyak 23 anak (52,28%) dan anak
Laki-Laki 21 (47,72%).
3. Sumber dan Cara Penularan
Pada uji bivariat, didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara riwayat kontak
dengan kejadian Campak, dengan nilai p Value < 0,05 yaitu sebesar 0,011. Nilai OR
sebesar 4,034 yang berarti bahwa orang yang mempunyai riwayat kontak dengan
penderita Campak mempunyai peluang terkena Campak sebesar 4,034 kali dibandingkan
dengan orang yang tidak mempunyai riwayat kontak. Tang et al. (2016), menyatakan
bahwa saat terjadi KLB di Guangxi (China), orang yang mempunyai kontak dengan
penderita Campak (berkunjung di Rumah Sakit) berpeluang untuk sakit Campak 9,84 kali
dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat kontak dengan penderita.
Pada uji bivariat antara riwayat sakit Campak sebelumnya juga mempunyai
hubungan dengan kejadian Campak dengan p Value < 0,05 yaitu sebesar 0,035. Pada uji
statistik diperoleh OR sebesar 4,020 yang berarti bahwa orang yang tidak pernah
mempunyai riwayat sakit Campak akan berisiko terkena Campak sebesar 4,020 kali
dibandingkan dengan orang yang pernah menderita Campak sebelumnya. Vemula et al.
(2016), dalam penelitiannya Faktor Risiko dan Kejadian Campak Klinis di Singapore
menyatakan bahwa ada hubungan antara riwayat bepergian ke daerah yang sedang terjadi
wabah Campak dengan kemungkinan tertularnya Campak.
Peningkatan kekebalan terhadap Campak adalah dengan vaksinasi. Pada
penyelidikan ini status vaksinasi tidak bisa didapatkan datanya dari instansi terkait.
Menurut Vemula et al. (2016), cakupan vaksinasi yang tinggi akan mengurangi risiko
terkena Campak, dari seluruh kasus yang terlaporkan, sebanyak 89,7% belum pernah
mendapatkan vaksinasi Campak. Pada uji analisis multivariat, hubungan antara faktor
risiko dengan kejadian Campak dengan nilai overall precentage sebesar 63,6% yang
berarti bahwa KLB Campak di Kecamatan Jiken 63,6% disebabkan oleh Rwayat kontak
dengan penderita Campak dan riwayat sakit sebelumnya. Sedangkan sisanya 36,4%
disebabkan oleh faktor lainnya yang dalam penelitian ini tidak bisa terlihat dalam studi
ini.
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang tidak
pernah menderita Campak sebelumnya dan mempunyai riwayat kontak dengan penderita
Campak akan berpeluang untuk menderita Campak sebesar 63,6%. Faktor risiko yang
bisa menyebabkan terkena Campak adalah riwayat vaksinasi, kekebalan tubuh penderita,
riwayak kontak dengan penderita Campak baik di rumah maupun saat berkunjung ke
Rumah Sakit, riwayat bepergian ke daerah yang sedang ada kejadian Campak dengan
angka serangan yang tinggi terutama pada anak-anak(Vemula et al. 2016). Tahapan
dalam melakukan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB ada 10 tahapan
investigasi yaitu identifikasi team dan sumber daya, tentukan keberadaan KLB, verifikasi
diagnosa, definisi kasus, case finding dan line listing, deskripsi epidemiologi, hipotesa
dan evaluasi hipotesa serta studi lanjutan, lakukan tindakan pengendalian, komunikasi
temuan dan surveilans ketat KLB(Gregg, 2008).

Anda mungkin juga menyukai