Anda di halaman 1dari 30

perpustakaan.uns.ac.

id 5
digilib.uns.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Nasofaring

Nasofaring adalah bangunan rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak

dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter

anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung

dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk

oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah

(Witte, 2008).

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (dikutip dari Netter, 2012 )

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

B. Karsinoma Nasofaring

1. Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa

Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju

dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan

orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher. KNF pertama kali dilaporkan

secara terpisah oleh Regaud dan Schminke pada tahun 1921 (Brennan, 2005).

2. Epidemiologi

KNF dapat terjadi pada setiap usia dan pada umumnya terjadi di usia

antara 45 – 54 tahun, namun 2 dekade terakhir dilaporkan peningkatan kasus

kejadian pada usia yang lebih muda. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher

merupakan KNF (Brennan, 2005). Kasus kejadian KNF pada laki-laki lebih

banyak dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum

dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika

Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Brennan, 2005).

Disebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu

15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong

dan Guangzhou, dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.

Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di

negara-negara lain. Hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan untuk penyakit

ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan pemicu. Secara mikroskopis

commit to user cell carcinoma 86%, sedangkan


gambaran terbanyak adalah tipe Undifferentiated
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

di Amerika Utara 63%, Cina Selatan 96% (Wei, 2006). KNF menempati urutan

ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh di Indonesia, dan

menempati urutan ke-1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT-KL). Di

Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta angka prevalensi KNF selama tahun 2008-

2009 Undifferentiated cell carcinoma nasofaring sebesar 89,1% (Sari, 2010).

Tumor ini memiliki insidensi sebesar 95% pada keganasan nasofaring

dewasa dan 20-35% pada pasien anak. Faktor yang diduga sebagai

presdisposisinya adalah genetic, dan EBV (Epstein Barr Virus) (Allen, 2005;

Hartati, 2005; Anderson, 2007). Secara makroskopis dapat dijumpai beberapa

penonjolan mukosa yang sifatnya invasif dan metastase (Maa et al., 2007).

3. Etiologi

Karsinogenesis nasofaring merupakan proses yang terjadi akibat dari

multifaktorial, dan belum seluruhnya dapat diterangkan. Bukti saat ini penyebab

KNF dihubungkan dengan lingkungan, makanan, genetika dan infeksi EBV multi

tahap, antara lain : ( Wei dan Sam, 2006; Hariwiyanto, 2009; Sudiana, 2008).

1. Kerentanan Genetik.

KNF tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap KNF pada

kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi

familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan

gen pengkode enzim sitokrom kerentanan terhadap KNF (Brennan, 2005).

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964

dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. EBV dapat bereplikasi

pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat ludah dan

menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, EBV dapat

menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap

pada penderita yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti.

Ada dua jenis infeksi EBV yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan

protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis

infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di

dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut

menjadi keganasan. (Notopuro, Kentjono dan Harijono, 2005).

EBV adalah virus yang termasuk dalam famili herpes virus yang

menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan

penyebab infeksi mononukleosis KNF merupakan neoplasma epitel nasofaring

yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. EBV jika menginfeksi penderita,

akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi asimtomatik.

EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan dengan beberapa

penyakit antara lain KNF, limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan Mononukleosis

infeksiosa (Thompson dan Kurzrok, 2004).

Hubungan antara EBV dengan KNF telah berhasil diteliti, pertama kali

hubungan tersebut terungkap yaitu dengan adanya deteksi kadar antibodi anti-

EBV yang tinggi dalam serum pasien dengan KNF. Perbedaan polimorfisme

nukleotida tunggal ikut berkontribusi dalam KNF. (Wang et al., 2009). Bentuk-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan KNF tidak berdifrensiasi

(undifferentiated) dan KNF non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif

(dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel

skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Brennan, 2005).

4. Gejala klinis

Gejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga,

hidung dan saraf kranial (Brennan, 2005; Dol Cetti et al., 2002; Lin, 2003;

Roezin dan Adham, 2007). Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher

(regional) sering terjadi, yaitu sekitar 60-97,5 % (Kentjono, 2003). Gejala tumor

leher yang besar,dan lebih sering didapatkan pada KNF WHO tipe 3( Karsinoma

tidak berdiferensiasi) dibandingkan dengan KNF WHO tipe 1(Karsinoma sel

skuamosa keratinisasi). Benjolan di leher sering kali merupakan gejala pertama

yang membawa penderita datang berobat ke dokter. Gejala lanjut KNF dapat

berupa gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menurut Kentjono et

al., (2000) antara lain :

1. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar

sepanjang fossa kranii media, disebut penjalaran petrosfenoid. Sel tumor

biasanya masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum dan

menyebabkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak dari yang

paling sering terjadi, yaitu gangguan N.VI (keluhan diplopia)

mengakibatkan kelumpuhan m rektus bulbi lateral sehingga timbul

keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus


commit to user
konvergen), yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

wajah), kemudian gangguan pada N. III berupa ptosis, gangguan gerakan

bola mata (oftalmoplegia), dan gangguan N.IV mengakibatkan

kelumpuhan musculus obliqus inferior bola mata.

2. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal,

fossa pterigopalatina dan dapat mencapai apeks orbita. Tumor yang besar

dapat mendesak palatum molle, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas

atas dan jalan makanan.

3. Perluasan tumor kearah postero lateral menuju ke ruang parafaring dan

fossa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen jugulare. Disini

yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N. IX sampai dengan

N. XII, serta pleksus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia

orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sindroma

retroparotidean. Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher

(regional) sering terjadi, yaitu sekitar 65,73%

5. Histopatologi

Menurut WHO KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:

Tipe 1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi

Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus

aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin, atau sebagian sel

mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada

sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan

intersel (intercellular bridges). Sebanyak 25% KNF merupakan karsinoma tipe I


commit to user
di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi endemik ( Lin, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi

Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa,

namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan

masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun

teratur/ berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat

sebagai sel tumor yang jernih/ terang yang disebabkan adanya glikogen dalam

sitoplasma sel, serta tidak terdapat musin atau defferensiasi dari kelenjar (Lin,

2003).

Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi

KNF WHO tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah

endemik, namun populasi resiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika

Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Lin, 2003).

Kebanyakan kasus KNF pada anak dan remaja adalah KNF WHO tipe 3,

hanya beberapa yang tipe 2, pada KNF WHO tipe 2 dan 3 ditemui titer EBV yang

tinggi, tetapi tipe I tidak mempunyai hubungan dengan titer EBV (Brennan,

2005).

6. Diagnosis

Diagnosis KNF terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan klinis, radiologi dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi

biopsi nasofaring sampai saat ini diakui sebagai standar baku emas (gold

standard).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

Pemeriksaan radiologi digunakan untuk melihat massa tumor

nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan di

sekitarnya dengan menggunakan :

1) Computed Tomografi Scaning (CT Scan), dapat memperlihatkan

penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring

2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging

yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan

tumor dari peradangan, mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang,

serta lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase.

3) Foto thorak posterior/anterior (PA) untuk mengetahui adanya kecurigaan

metastasis ke paru.

4) USG abdomen digunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh ke

organ-organ intra abdomen.

Pemeriksaan Radiologi ini merupakan pemeriksaan penunjang yang

penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya invasi ke organ sekitar,

destruksi pada tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Pemeriksaan

Computerized Tomographic Scanning (CT scan) dan Magnetic Resonance

Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih informatif dan akurat

mengenai perluasan tumor (Witte, 2008).

Pemeriksaan serologi pada tumor, DNA Epstein Barr bersifat homogen

dan klonal melalui pengulangan skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger

commit todapat
RNAs atau produk gen secara konsisten user dideteksi pada seluruh sel tumor.
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Virus dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan

tehnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan material yang diperoleh

dari asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher.

Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan

antibodi Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di

Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis KNF. Virus Epstein Barr dapat

dijumpai pada Undifferentiated carcinoma dan Non keratinizing squamous cell

carcinoma.

Pemeriksaan patologi anatomi digunakan untuk melihat massa tumor

nasofaring

1) Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) pada kelenjar getah bening servikalis

2) Biopsi Histopatologi

Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut.

7. Terapi

a. Radioterapi

Radioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan untuk KNF

dan merupakan terapi utama untuk KNF yang belum ada metastasis jauh. Radiasi

diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan

hidup pasien, karena KNF termasuk golongan penyakit kanker yang dapat

disembuhkan dengan penyinaran, terutama bila masih dini (stadium I, II).

Pemberian dosis radioterapi adalah sebagai berikut: (Chan dan Teo, 2002).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

1. Untuk KNF stadium dini (T1 dan T2) diberikan dosis 200 - 220 cGy per

fraksi, diberikan 5 kali dalam seminggu sampai mencapai dosis total 6000

- 7000 cGy.

2. KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis

total radiasi pada nasofaring yang lebih tinggi yaitu 7000 - 7500 cGy.

3. Bila tidak didapatkan metastasis di kelenjar getah bening (KGB) leher

(N0), diberikan radiasi profilaktik 4000-5000 cGy dalam empat minggu.

4. Bila terdapat pembesaran KGB di leher diberikan radiasi dengan dosis

6000 - 7500 cGy

b. Kemoterapi

Indikasi pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring antara lain

stadium lanjut, disertai atau dicurigai adanya metastasis jauh, tumor persisten dan

rekuren. Beberapa sitostatika telah direkomendasi untuk digunakan pada

keganasan di daerah kepala dan leher termasuk karsinoma nasofaring yaitu

cisplatin, carboplatin, methotrexate, 5-fluorouracil, bleomycin, hydroxyurea,

doxorubicin, cyclophosphamide, docetaxel, mitomycin-C, vincristine dan

paclitaxel (Kentjono, 2003).

C. Heat Shock Protein 70( HSP 70)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Telah dibuktikan 70-80% pasien yang datang ke dokter berhubungan

dengan stres, yaitu sakit yang dipicu oleh stresor, dan tercatat bahwa stres beperan

50% dari semua penyakit di Amerika Serikat (Young danWelsh, 2005).

Ketidakteraturan di negara berkembang dapat merupakan stresor sehingga terjadi

distres, seperti pada kejadian kanker ( Peters, 2002).

Semua organisme akan merespon stres dengan mensintesis sekelompok

protein spesifik yang disebut protein heat shock (HSP), protein ini membantu

dalam pelipatan, translokasi, dan perakitan protein lain. Diantara HSP, HSP 70

memediasi perlindungan sel-sel tumor dari kerusakan mematikan oleh stres

dengan mengganggu jalur Apoptosis. Stres terdiri dari 3 tahap, yaitu activation,

resistence, dan exhaustion (distres). Berdasarkan konsep sel memori dan konsep

Selye pada imunologi maka jelas bahwa sel dapat melakukan proses stres

(Suhartono, 2005), dimana stresor ditangkap dan sel di locus cereleus

noradrenergic center di hipotalamus sehinggga mensekresi ACTH (aktivasi stres

tahap 1), kemudian ACTH ditangkap oleh sel di korteks adrenal, mengeluarkan

glukokortikoid dan sel di medula adrenal mengeluarkan epinefrin dan

norepinefrin. Limfosit mempunyai reseptor untuk glukokortikoid, epinefrin, dan

norepinefrin (aktivasi stres tahap 1), berlanjut ketidakmampuan tubuh melawan

stresor(resistence), dan menjadi fase pertama sakit(distres). Gangguan pada salah

satu elemen dapat menjadi suatu protein yang salah melipat dan dipercaya sebagai

pokok kejadian kesalahan pada manusia salah satunya tumor (Alder, Felten, dan

Cohen, 2001).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

Mekanisme Tumor Escape merupakan salah satu proses yang kompleks

yang disebut dengan imune editing. Bagaimana tubuh mengatasi antigen yang

masuk atau sel yang bermutasi adalah dengan NER (Nuclear Excission Repair),

Apoptosis dan sistem imun (Sudiana, 2008). Fokus pada sistem imun dalam

mengatasi sel yang terinfeksi (virus) maupun yang mutasi dikenal dengan immune

surveillance yang terdiri 3 fase, yaitu fase eliminasi, equilibrium dan escape

(penghindaran terhadap sistem imun) (Swann dan Smyth, 2007; Kim et al.,

2006).

Tumor Escape adalah mekanisme penghindaran diri sel tumor terhadap

respon imun yang bisa diakibatkan oleh penurunan MHC1 sehingga kurang

dikenal oleh limfosit T sitotoksis (Abbas dan Litchmann, 2007). Disamping itu

sel-sel tumor dapat memproduksi TGFβ dan IL10 yang dapat menghambat

makrofag dan limfosit. Fas-ligand yang diekspresikan tumor berikatan dengan

FAS pada limfosit menyebabkan Apoptosis (Kim et al., 2006).

Apoptosis adalah mekanisme kematian sel secara terprogram.Apoptosis

dapat digunakan untuk membuang sel-sel yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh.

Apoptosis terjadi secara spontan dan merupakan inisiatif dari sel itu sendiri,

jaringan yang mengelilinginya, atau dari sel yang berasal dari sel imun. Apabila

sel sudah kehilangan kemampuan Apoptosis atau kemampuan Apoptosis

dihambat oleh suatu virus, sel-sel dapat berkembang secara tidak terkendali dan

akhirnya akan menjadi kanker.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Keterangan:

Ketika sel mengalami Apoptosis, dan mulai


membentuk tonjolan kecil (yaitu, blebs).
Selanjutnya, inti sel istirahat terpisah dan
DNA istirahat menjadi potongan-potongan
kecil. Potongan-potongan nucleus dan DNA,
serta komponen sel lainnya (yaitu, organel)
didistribusikan di antara blebs, yang
bertambah besar. Setiap bleb akhirnya
membungkus sebagian dari isi sel, dan sel
pecah, membentuk beberapa disebut
badan Apoptosis yang kemudian dapat
dicerna dan dihancurkan oleh makrofag

Gambar 2.2. Perubahan morfologi selama Apoptosis (Neuman, M.G, 2001 ).

Heat Shock Protein( HSP ) adalah protein yang ada di semua sel sepanjang

hidup dan diinduksi oleh stres. Dalam keadaan normal HSP berperan sebagai

chaperon ( memastikan sel dalam bentuk yang benar) sehingga mempunyai peran

penting dalam maturasi protein (melipat dan menyesuaikan gugus asam

aminonya), dan memindahkan protein yg rusak ataupun tua untuk Apoptosis.

Respon tubuh berupa pembentukan HSP yang dipicu oleh adanya sel kanker ini

merupakan respon pertama di tingkat seluler. Diantara HSP, HSP 70 mempunyai

implikasi dalam perkembangan tumor, akan tetapi pada KNF masih belum

jelas.(Kabakov et al., 2002).

HSP 70 paling instensif dipelajari diantara semua HSP, HSP 70

mengandung dua domain utama. HSP 70 dikenal sebagai chaperone tergantung

ATP, tidak jelas bagaimana HSP ini melawan proteotoksis pada kondisi tidak ada
commit to user
ATP. Overexpression deletion mutant of human HSP 70 tanpa ATP binding
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

domain menghasilkan kondisi termoresisten dan mengurangi agregasi

intranuklear protein di heat shock sel. Ketidakmampuan mutant untuk mengikat

dan menghidrolisis ATP tidak kemudian menghilang efek proteksinya. Mutant

tetap berkemampuan membentuk kompleks dengan protein sel terdenaturasi

panas, jadi mengurangi protein agregasi selama shock heat/ panas. HSP 70 terikat

lebih kuat dengan ADP daripada ATP,rasio ATP/ADP secara nyata menurun di

sel yang kekurangan energi. Jadi kemungkinan dalam kondisi kekurangan ATP

yang berat hampir semua molekul HSP 70 dalam kondisi ADP state. Pada kondisi

kecepatan pelan, kelebihan HSP 70 ADP state dalam sel toleran dengan kondisi

kekurangan ATP dapat membentuk kompleks yang stabil dengan protein yang

terpengaruh stres (Kabakov et al., 2002).

HSP 70 mempunyai afinitas yang tinggi terhadap peptida hidrofobik dan

afinitas ini meningkat setelah hidrolisis ATP. Kompleks HSP 70 dan ATP terikat

di domain hidrofobik protein, setelah hidrolisa ATP menjadi ADP, ikatan akan

semakin kuat dan memperlama waktu interaksi HSP 70-polipeptida. Aktivitas

ATPase terhadap HSP 70 di stimulasi oleh HSP lainnya seperti HSP 40 (DnaJ).

Setelah perubahan ADP menjadi ATP yang didukung oleh molekul chaperone

GrpE, polipeptida dilepas dan siklus berulang kembali. Polipeptida yang di lepas

langsung ditujukan ke jalur protein folding sel yang mempunyai komposisi

dengan beberapa protein chaperone lain. Kenyataannya interaksi HSP 70 dengan

polipeptida adalah reversibel dan penting untuk protein folding dan translokasi.

Sebagai contoh hubungan HSP 70 dengan domain hidrofobik polipeptida baru

menjaga rantai baru dalam status unfolded partial sampai translasi selesai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Patogen seperti virus dapat menginduksi HSP 70, Saat stres HSP 70

tampak berinteraksi dengan domain hidrofobik protein yang akan terekspose

akibat insult, misalnya temperature meningkat. Saat sel kembali ke kondisi

normal, polipeptida yang terdenaturasi kembali melipat (fold) atau menjadi target

proteolitik kompartemen subsellular (De Maio, 2011)

Tabel 2.1. Pemicu peningkatan HSP 70( De Maio, 1999 cit De Maio, 2011).

Jenis stresor Zat


Lingkungan Temperatur
Logam berat
Ethanol
Radikal bebas
Oxygen peroxida
Ozone
NO
Metabolit Latihan
Hipoglikemi
Tunicamycin
Calcium ionophrone
Amino acid analogues
Klinis Iskemia
Syok Sirkulasi
Syok Hemorhagi
Anoksia
Hipertensi akut
Endotoksin
Patogen Virus
Bakteri
Parasit

HSP 70 mempunyai implikasi dalam perkembangan tumor, akan tetapi

pada KNF masih belum jelas. Dari 507 pasien KNF dengan pemeriksaan IHC

disebutkan bahwa HSP 70 pada membran sel dan sitoplasma mempunyai harapan

hidup lebih baik dibandingkan dengan yang di inti. Tingkat ekspresi HSP 70 pada

membranal dan sitoplasma yang tinggi memprediksi tingkat kelangsungan hidup

commitHSP
lebih baik, sedangkan tingkat ekspresi to user
70 yang tinggi pada inti berkorelasi
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

dengan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa

HSP 70 memungkinkan menjadi indikator prognostik.(Cai et al.,2012).

Pengaturan ekspresi HSP:

1. Efisiensi tinggi

Regulasi ekspresi heat shock berbeda diantara spesies. Di sel drosophila,

gen heat shock di transkrip selama stres dan translasi pesan non heat shock

terblok, sehingga HSP mRNA mengalami translasi yang ekslusif. Di sel

mamalia transkripsi gen heat shock terjadi dengan cepat selama stres dan

pesannya ditranslasikan dengan efisiensi yang tinggi dibandingkan dengan

pesan non heat shock. Tidak ada bukti translasi pesan non heat shock terblok

di sel mamalia. (De Maio, 2011).

2. Didesain untuk respon yang cepat

Transkripsi HSP 70 pada sel tanpa stres, RNA polymerase II secara

transkripsional berlangsung tetapi mengalami istirahat saat memulai gen HSP

70. Jadi RNA polymerase II dapat kembali bekerja segera untuk transkripsi gen

HSP 70 saat terpicu stres. (De Maio, 2011).

3. Lingkungan sel berperan pada ekspresi HSP 70.

Level ekspresi HSP 70 berbeda pada jaringan tikus yang berbeda setelah

suhu tubuhnya mencapai 420C. Pola ekspresi HSP 70 secara berurutan adalah

hati mirip usus, spleen, otot rectus, otot gastrocnemius, ginjal, Paru, Jantung,

otak. Penurunan eksprsi HSP 70 di jantung kemungkinan karena suhu yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

lebih rendah dari 410C, selama heat shock. Perbedaan satu derajat celcius, akan

memuat perbedaan level ekspresi HSP 70 di tikus (De Maio, 2011).

4. Regulasi self limiting

Terdapat hipotesis bahwa HSP 70 terikat HSF akan menghentikan aktivasi

faktor transkripsi. Setelah heat shock ada protein yang mengalami denaturasi

mendekat ke HSP 70, affinitasnya lebih kuat terhadap protein denaturasi dari

pada HSF. Mungkin saat di sel terjadi konsentrasi HSP 70 yang tinggi (kritis),

melebihi jumlah protein yang terdenaturasi, HSP terikat di HSF lagi dan

menghentikan ekspresi gen.

Saat heat shock, HSF teraktivasi, trimerizes ikat ke heat shock promoter,

dan menstimulasi transkripsi. HSP 70 mRNA ditranslasikan dengan cepat. HSP

70 baru berinteraksi dengan protein yang mengalami denaturasi akibat stres. Saat

HSP 70 berlebih akibat konsentrasi polipeptid terdenaturasi atau saat sel

mengalami pemulihan dari stres (semua polipeptid terdenaturasi mengalami

pelipatan kembali), HSP 70 akan terikat ke HSF monomer. Ikatan HSP 70 tidak

membuat HSF berhenti mengalami aktivasi dan translasi. Saat timbul stres ulang

HSP 70 direkruit untuk berinteraksi dengan polipeptid yang mengalami denaturasi

(De Maio, 2011).

1 HSP 70 dan Permeabilitas Epitel

Stres fisiologis sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Manusia hidup

mendapat manfaat dari stres ringan karena dapat mendorong atau meningkatkan

commit
fungsi fisiologi di tubuh. Intestinal to user
adalah salah satu target stres. Intestinal
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

barrierterdiri dari satu lapis sel epitel, membuat nutrisi dan air terabsorpsi dan

mencegah absorpsi subtansi racun/noxious (Yang et al., 2009).

Protein heat shock juga disebut protein stres, merupakan kelompok protein

yang ada di semua sel di sepanjang hidup. Diinduksi saat sel mengalami berbagai

tipe stres lingkungan seperti panas, dingin dan kekurangan oksigen. HSP juga ada

disel pada kondisi sel normal. HSP akan berperan sebagai chaperones, yang

memastikan bahwa protein sel dalam bentuk yang benar, ditempat yang benar,

dan diwaktu yang benar. HSP menolong protein baru atau protein yang terganggu

melipat menjadi bentuk yang sesuai dengan fungsinya. HSP juga sebagai shuttle

protein dari satu kompartemen ke lainnya didalam sel , dan memindahkan protein

tua ke keranjang sampah di dalam sel. HSP juga dipercaya berperan penting

dalam presentasi bagian dari protein (atau peptida) pada permukaan sel untuk

menolong sistem imun mengenal sel sakit.

Salah satu perubahan patologis diinduksi stres kronik adalah Apoptosis sel

epitel intestinal. HSP 70 mempunyai kemampuan untuk menekan berbagai tipe sel

death, termasuk kematian nekrose, Apoptosis klasik, dan berbagai program

kematian sel yang tidak tergantung Caspase dan tidak terblok oleh Bcl-2.

Penelitian ini menjelaskan bahwa HSP 70 menghambat stres kronik yang

menginduksi disfungsi barrier intestinal, mungkin melalui pencegahan terhadap

pengaruh stres menginduksi Apoptosis sel epitel intestinal.Pretreatment dengan

HSP 70 secara bermakna memproteksi fungsi barrier epitel intestinal yang

terganggu oleh stres kronik. Proteksi dimediasi oleh HSP 70 melalui refolding

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

denaturated protein, preventing unfolded demage protein dan melalui mekanisme

anti Apoptosis langsung (Yang et al., 2009).

2 HSP 70 dan Apoptosis

Selama menjalani kehidupan, sel-sel organisme mengalami berbagai

kerusakan yang terus menerus dari faktor internal maupun faktor eksternal. Oleh

karena itu sistem hidup harus mempunyai berbagai strategi untuk memperbaiki

ataupun eliminasi komponen yang rusak. Heat shock atau respon stres merupakan

respon adaptif selular, yang menolong menjaga homeostasis sel saat stres. HSP

70, berefek lebih kuat sebagai antiapoptotic, berinteraksi dengan jalur Apoptosis

intrinsik dan ekstrinsik, pada sejumlah tahapan dan menghambat kematian sel

(Arya, 2007).

Pada jalur intrinsik HSP 70 menghambat pembentukan kompleks

apoptosome melalui interaksi langsung dengan Apaf-1.HSP 70 mencegah late

Caspase dependent event, juga melindungi sel dari ekspresi kuat dari Caspase-

3.HSP 70 (tak tergantung aktivitas cheperonnya) dapat menghambat JNK yang

dapat memediasi kematian sel, dengan menekan fosforilasi JNK.Caspase-8

memediasi aktivasi Bid, yang kemudian menyebabkan Bax migrasi ke membran

mitokondria untuk memicu pelepasan berbagai faktor kematian. Jalur ini

merupakan link antara jalur intrinsik dan ekstrinsik, HSP 70 meregulasi aktivasi

Bid ini tanpa tergantung fungsi cheperonnya.HSP 70 berperan sebagai anti

Apoptosis di independent Caspase pathway, melalui keterikatannya dengan

Apoptosis Inducing Factor (AIF) yang dilepas dari mitokondria setelah death-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

inducing stimuli. HSP 70 juga menghalangi lysosome mediated Caspase

independent cell death pathway, dapat menjaga integritas membran lisosom,

sehingga dapat mencegah pelepasan cathepsin ke sitosol (Arya, 2007).

Gambar 2.3. Peran HSP 70 di Apoptosis (dikutip dari Arya, 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

HSP 70 (Kotak merah) umumnya sebagai antiapoptotic karena

menghambat (garis merah) pada berbagai tahap jalur intrinsik apoptotik

3 HSP 70 dan Inflamasi

Pengaruh HSP 70 terhadap inflamasi adalah menekan faktor transkripsi

Nf-kβ. Komponen HSR, yaitu Heat Shock Protein, terutama HSP 70, dan Heat

Shock Transcription Factor-1 (HSF-1) mempunyai peranan sebagai molekul pro

dan antiinflamasi dalam memproduksi dan melepaskan modulator inflamasi.

Dalam kemampuannya sebagai antiinflamasi, HSR memodulasi cytokine signal

transduction dan gene expression dengan cara menghambat translokasi faktor

transkripsi nuclear factor-kappa B (NF-κB) ke nucleus dan mencegah ekspresi

mediator inflamasi. Sebagai mediator proinflamasi, pelepasan HSP melalui

nekrosis dan non nekrosis ke lingkungan ekstraselular menghasilkan berbagai

respon imun/inflamasi dengan mengaktifkan pelepasan berbagai sel efektor imun

dan sitokin (Calderwood et al., 2007; Amorim dan Moseley, 2010).

Beberapa keterangan yang potensial,menerangkan tentang pengaruh HSP

merepresi NF-κB. Penelitian dari kultur sel dan binatang hidup menguatkan bukti

bahwa interaksi fisik secara langsung antara HSP 70 dan protein inhibitor NF-κB,

IkB-α,mencegah disosiasi NF-κB. Sun et al.,(2005), menunjukkan bahwa paparan

LPS menginduksi aktivasi NF-κB kemudian akumulasi HSP 70 akan menekan

aktivasinya, diikuti dengan penurunan produksi TNF-α dan ekspresi mRNA. HSP

70 akan memblok degradasi IkB-α dan meningkatkan ekspresi IkB-α mRNA.

Menggunakan binatang hidup, Pritts et al., (2000) menunjukkan paparan panas

menghambat peningkatan aktivitas NF-κB dan pengurangan IkB-α setelah induksi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

respon stres invivo, menurunkan aktivitas NF-κB di mukosa jejunum pada tikus

yang mengalami endotoksemik. Mekanisme lain efek HSP 70 adalah mekanisme

indirek, represi aktivasi MAPK memediasi inhibisi rangkaian peristiwa akibat

pengaruh dari NF-κB. Hubungan HSP 70 dan aktivasi Jun kinase (JNK) MAPK

menginduksi fosforilasi c-JUN (kombinasi dengan c-Fos) untuk aktifkan faktor

transkripsi AP-1.AP-1 berperan pada peningkatan sitokin proinflamasi IL-18,

yang diketahui bahwa, over produksinya berhubungan dengan gangguan inflamasi

berat.Wang et al., (2002) mengamati bahwa HSP dapat menekan ekspresi IL-18

pada respon terhadap LPS melalui inhibisi jalur sinyal JNK MAPK. Tang et al.

(2005) mengamati stimulasi LPS akan menginduksi mediator pro inflamasi dan

memediasi Apoptosis/kematian.

HSP intrasel sebagai anti inflamasi karena mengatur produksi sitokin

inflamasi oleh sel efektor imun, peningkatan toleransi sel dan jaringan terhadap

sitokin yang memediasi sitotoksik, dan melemahkan perubahan permeabilitas

barier epitel.Sebaliknya, HSP terutama HSP 70 mempunyai respon inflamasi saat

bertemu dengan sel efektor imun di lingkungan lokal ekstrasel.Matzinger (2002)

menyatakan bahwa HSP sebagai sinyal bahaya untuk sistim imun, HSP sebagai

molekul co-stimulator untuk pengenalan imun. Pelepasan HSP 70 ke lingkungan

ekstrasel dapat melalui proses sekresi aktif dan proses pasif dari cedera, nekrosis

atau sel terinfeksi virus.Pada kenyataanya, beberapa sel tumor manusia

mengekspresi HSP 70 di membrane plasmanya.

Imunohistokimia (IHC) merupakan proses untuk mendeteksi antigen

(protein, karbohidrat,dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antibody
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

yang berikatan terhadap antigen pada jaringan, Imunohistokimia ini juga sering

digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi karakteristik dari even seluler

seperti proses proliferasi sel, Apoptosis sel (Ramos –Varra 2005).

IHC dilakukan untuk memeriksa HSP 70 dan HLA -A ekspresi dalam

jaringan karsinoma nasofaring, dengan menggunakan antibodi primer terhadap

HSP 70 . Hasil IHC dievaluasi dan dinilai secara independen oleh ahli patologi

sebagai 0 (negatif), 1 (positif lemah), 2 (cukup positif) atau 3 (sangat positif).

IHC merupakan proses untuk mendeteksi antigen(protein, karbohidrat,

dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antigen antibody pada jaringan.

IHC ini merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur derajat imunitas atau

kadar antibody atau antigen dalam sediaan jaringan (Rantam, 2003).

Protein-protein HSP telah terbukti dapat memblokir Apoptosis dengan

mengganggu aktivasi Caspase. Overekspresi dari HSP 70 dapat menginhibisi

Apoptosis dan mencegah aktivasi Caspase dalam berbagai model seluler melalui

berbagai stres seluler, termasuk akumulasi dari protein yang gagal melipat,

reactive oxygen species (ROS) atau kerusakan DNA (Mosser et al.,2000,

Yamashita et al.,2004).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.4. Pola ekspresi yang berbeda dari HSP 70 pada jaringan KNF. A:
tingkat ekspresi HSP 70 membran dan sitoplasma, B: pada inti
dalam pembesaran rendah dan tinggi. Bar skala, 100
pM.(dikutip dari Cai et al.,2012).

D. Cystein Aspartate Specific Proteases-9 ( Caspase-9 )

Pada dasarnya kanker terjadi setelah sel kanker memiliki kemampuan

untuk 1) menghindari proses Apoptosis, 2) mampu menciptakan sinyal

pertumbuhan sendiri 3) tidak sensitif terhadap sinyal anti-pertumbuhan, 4)

kemampuan untuk tumbuh tanpa batas, 5) menciptakan angiogenesis, 6) invasif

dan metastase.

Cystein Aspartate Specific Proteases (Caspase) mempunyai substrat alami

antara lain: Poly-ADP-ribose polymerase (PARP), gelsolin, sitokeratin dan DNA

fragmentation factor 45 kDa (DFF45). Caspase merupakan pemegang peran

penting Apoptosis. Apoptosis dapat terjadi dengan mekanisme yang beragam,

diantaranya adalah:

(1) Apoptosis yang dipicu oleh sinyal dari dalam sel, biasanya melalui aktivasi

Caspase-9.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

(2) Apoptosis yang dipicu oleh sinyal dari luar sel, biasanya melalui aktivasi

Caspase-8

(3) Apoptosis yang dipicu oleh Apoptosis-Inducing Factor.

Caspases (sisteinil protease-aspartat spesifik) adalah komponen penting

dari signal molekuler dengan berbagai tugas tergantung pada subtipe dan organ

terlibat. Aktivasi Caspases ini merupakan penanda untuk kerusakan sel dalam

penyakit seperti stroke dan infark miokard. Keterlibatan sebagai indikator sendiri

ini potensial untuk penelitian obat (Lavrik et al.,2005).

Bentuk aktif Caspase-9 merupakan penanda penting titik masuk sel ke

jalur sinyal Apoptosis, dimana aktivasi Caspases ini merupakan penanda untuk

kerusakan sel, keterlibatan sebagai indikator sendiri ini potensial untuk penelitian

obat (Lavrik et al.,2005).

Caspase-3 diaktifkan oleh Caspase-8 (ekstrinsik) dan Caspase-9 (intrinsik),

sehingga sangat cocok sebagai read-out dalam Apoptosis. Deteksi aktif Caspase-

3 dapat digunakan dalam sel yang berbeda garis atau sel primer, tidak

memerlukan penggunaan teknik transfeksi, dan dapat multiplexing dengan probe

lain untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang sinyal acara dengan

resolusi sel-by-sel. Karena ada laporan bahwa sel semakin mengalami Apoptosis

bila terkena staurosporine dari waktu ke waktu, ketergantungan waktu Apoptosis

yang diukur dengan aktivasi Caspase-3.

Caspase - 3 diaktifkan dalam sel Apoptosis baik oleh jalur ekstrinsik (

ligan kematian) dan intrinsik (mitokondria). Fitur zymogen Caspase 3 diperlukan

karena jika tidak diatur , aktivitas Caspase akan membunuh sel-sel tanpa pandang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

bulu . Caspase-3 zymogen memiliki hampir tidak ada aktivitas sampai dibelah

oleh Caspase inisiator setelah peristiwa sinyal Apoptosis telah terjadi . Salah satu

acara sinyal tersebut adalah pengenalan granzim B , yang dapat mengaktifkan

Caspases inisiator, ke dalam sel yang ditargetkan untuk Apoptosis oleh sel T.

aktivasi ekstrinsik ini kemudian memicu karakteristik kaskade ciri Caspase dari

jalur Apoptosis.

Proses transduksi sinyal menuju Apoptosis pada umumnya tergantung

pada aktivitas Caspase (Cysteine Aspartic Acid-specific Protease) atau Caspase-

dependent Apoptosis. Adapun Caspase (Cystein Aspartate Specific Proteases)

merupakan enzim yang bertanggungjawab terhadap perusakan (disasembly) sel

secara sengaja menjadi bentuk apoptotik. Peran Caspase dalam Apoptosis

sebagai berikut: sebagai Initiator adalah Caspase8 dan Caspase9, dan sebagai

eksekutor adalah Caspase3,Caspase 6 dan Caspase7.

Menurut Grubisic (2005), mitokondria merupakan sentral kordinasi

peristiwa apoptotik. Berbagai jalur Apoptosis dan sinyal transduksiakan

menginduksi permeabilitas membran. Ruptur outer membrane dan formasi mega-

channel, permeability transition pore (PTP) sebagai peristiwa awal.Adenine

nucleotide translocator di membraninternal mitokondria dan voltage-dependent

anion channel di membran luar merupakan komponen PTP utama. Protein

bertanggungjawab untuk kerusakan membrane mitokondria, reaksi tersebut diatur

oleh Bcl-2.Sebagai anti apoptotic Bcl-2 juga mencegah diproduksinya ROS,

sehingga dapat terhindar dari Apoptosis karena up-regulation reseptor Fas death.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Bcl-2 beserta HSP 70 dapatmenghambat translokasi AIF (Apoptosis Inducing

Factor) sebuah mediator Caspase independent Apoptosis.

Gambar 2.5. Peran Caspase pada Apoptosis (dikutip dari Mads et al., 2005 ).

Dari gambar diatas tampak bahwa Caspase-8 mengawali proses perusakan

sebagai respon terhadap ligan ekstraseluler yang mengaktivasi death domains

pada reseptor sitoplasma. Caspase-9 mengawali perusakan sebagai respon

terhadap zat yang memacu pelepasan sitokrom C dari mitokondria, sedangkan

Caspase3 mengamplifikasi sinyal dari Caspase-8 atau Caspase-9 menuju

Apoptosis (Mads et al., 2005).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

E. KERANGKA TEORI

EBV
KNF WHO TIPE 3

DNA damage

Bax
HSP 70

Mitokondria

HSP 70

Cytochrome-
c Pro-Caspase-9

Apaf-1
HSP 70

Apoptosome

Active Caspase-9

Pro-Caspase- Active Caspase-3


3

HSP 70

Apoptosis
Death Substrates(ICAD)

KET:
: Efek memacu
: Efek menghambat
: Variabel penelitian

:Fokus penelitian

: Variabel penelitian commit to user


perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

Keterangan kerangka teori:

HSP 70 menghambat pembentukan kompleks apoptosome dalam proses

Apoptosis, melalui interaksi langsung dengan Apaf-1. HSP 70 (tak tergantung

aktivitas cheperonnya) dapat menghambat JNK yang dapat memediasi kematian

sel, dengan menekan fosforilasi JNK, HSP 70 meregulasi aktivasi Bid ini tanpa

tergantung fungsi cheperonnya.HSP 70 berperan sebagai anti Apoptosis di

independent Caspase pathway, melalui keterikatannya dengan Apoptosis Inducing

Factor (AIF) yang dilepas dari mitokondria setelah death-inducing stimuli. HSP

70 mencegah late Caspase dependent event, juga melindungi sel dari ekspresi

kuat dari Caspase-3.

F. KERANGKA KONSEP

Citokrom C

KET:
: Efek memacu
: Efek menghambat
: Variabel penelitian
commit to user
: Variabel penelitian
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

Keterangan kerangka konsep:

DNA rusak pada pasien KNF Undifferentiated/ WHO tipe 3 mengaktivasi

ekspresi HSP 70, dan juga memacu pembentukan apoptosome dari sitokrom C

yang mengaktivasi proCaspase-9 menjadi Caspase-9 dalam Apoptosis jalur

intrinsik, akan tetapi terpacunya ekspresi HSP 70 juga menghambat pembentukan

kompleks apoptosome (anti Apoptosis).

G. Hipotesis

Terdapat korelasi negatif antara ekspresi HSP 70 dengan ekspresi Caspase-

9 pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai