Anda di halaman 1dari 18

CASE REPORT

STRUMA

Disusun oleh:
Ayuvy Monzalitza
1102013051

Pembimbing:
dr. Hadiyana Suryadi, SpB

Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Juli 2017
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. X
Nomor CM :
Umur :
Alamat :
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Status Pernikahan :
Tanggal Masuk :
Tanggal Operasi :
Tanggal Pulang :
Ruangan : Marjan Bawah

II. Anamnesis
Auto-anamnesis dilakukan pada:
Tanggal :
Pukul :
Tempat :

A. Keluhan Utama :
Keluhan Tambahan :

B. Riwayat Penyakit Sekarang


C. Riwayat Penyakit Dahulu
D. Riwayat Penyakit Keluarga
E. Riwayat Alergi
F. Riwayat Kebiasaam
G. Keadaan Sosial-ekonomi
H. Anamnesis Sistem
a. Kulit
b. Kepala
c. Mata
d. Telinga
e. Hidung
f. Mulut
g. Leher
h. Toraks
i. Abdomen
j. Saluran Kemih/Kelamin
k. Saraf dan otot
l. Ekskremitas
I. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
b. Kesadaran
c. Tekanan Darah
d. Nadi
e. Respirasi
f. Suhu
g. Keadaan Gizi
h. Sianosis
i. Edema
j. Cara Berjalan
k. Aspek Kejiwaan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Defenisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.

II. Embriologi
Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang pertama kali tampak pada fetus,
kelenjar ini berkembang sejak minggu ke-3 sampai minggu ke-4 dan berasal dari
penebalan entoderm dasar faring, yang kemudian akan berkembang memanjang ke
kaudal dan disebut divertikulum tiroid. Akibat bertambah panjangnya embrio dan
pertumbuhan lidah maka divertikulum ini akan mengalami desensus sehingga berada di
bagian depan leher dan bakal faring. Divertikulum ini dihubungkan dengan lidah oleh
suatu saluran yang sempit yaitu duktus tiroglosus yang muaranya pada lidah yaitu
foramen cecum.
Divertikulum ini berkembang cepat membentuk 2 lobus yang tumbuh ke lateral
sehingga terbentuk kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus lateralis dengan bagian tengahnya
disebut ismus. Pada minggu ke-7 perkembangan embrional kelenjar tiroid ini mencapai
posisinya yang terakhir pada ventral dari trakea yaitu setinggi vertebra servikalis V, VI,
VII dan vertebra torakalis I, dan secara bersamaan duktus tiroglosus akan hilang.
Perkembangan selanjutnya tiroid bergabung dengan jaringan ultimobranchial body
yang berasal dari branchial pouch V, dan membentuk C-cell atau sel parafolikuler dari
kelenjar tiroid.
Sekitar 75 % pada kelenjar tiroid ditemukan lobus piramidalis yang menonjol
dari ismus ke kranial, ini merupakan sisa dari duktus tiroglosus bagian kaudal. Pada
akhir minggu ke 7 – 10 kelenjar tiroid sudah mulai berfungsi, folikel pertama akan
terisi koloid. Sejak saat itu fetus mulai mensekresikan Thyrotropin Stimulating
Hormone (TSH), dan sel parafolikuler pada fetus sementara belum aktif.

III. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fasia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah
besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrakealis dan
melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat
kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi
letak dan jumlah kelenjar ini dapat bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis
interna dan nervus vagus terletak bersama dalam suatu sarung tertutup di latero dorsal
tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus
dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan
prevertebralis.

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3.Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya
kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah
suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak .
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara lain arteri
karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan
kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala
dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena terdiri
atas vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di
sebelah lateral dan vena tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi
laring dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus
laringeus superior. Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus,
dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting
untuk menduga penyebaran keganasan.

IV. Fisiologi Hormon Tyroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).


Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tyroid. Kelenjar ini tersusun dari zat hasil sekresi bernama koloid yang
tersimpan dalam folikel tertutup yang dibatasi oleh sel epitel kuboid. Koloid ini
tersusun atas tiroglobulin yang akan dipecah menjadi hormon tiroid (T3 dan T4) oleh
enzim endopeptidase. Kemudian hormon ini akan disekresikan ke sirkulasi darah
untuk kemudian dapat berefek pada organ target.
Mekanisme sekresi hormon tiroid sendiri diatur oleh suatu axis
hipothalamushipofisis-tiroid. Hipotalamus akan mensekresikan Thyroid Releasing
Hormon (TRH) yang akan merangsang hipofisis untuk mengeluarkan Thyroid
Stimulating Hormon (TSH). Kemudian TSH merangsang kelenjar tiroid untuk
memproduksi hormon tiroid. Hormon tiroid terutama dalam bentuk T3 dan T4.
Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid Ada 7 tahap, yaitu:
1. Trapping
Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada bagian
basal sel folikel. Dimana dalam keadaan basal, sel tetap berhubungan dengan
pompa Na/K tetapi belum dalam keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifat energy
dependent dan membutuhkan ATP. Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh
pompa ini dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam serum darah. Pompa Na/K
yang menjadi perantara dalam transport aktif iodida ini dirangsang oleh TSH.
2. Oksidasi
Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut harus
dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim peroksidase.
Bentuk aktif ini adalah iodium. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan
residu tirosin membentuk monoiodotirosin yang telah ada dan terikat pada
molekul tiroglobulin (proses iodinasi). Iodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi oleh
kadar iodium dalam plasma. Sehingga makin tinggi kadar iodium intrasel maka
akan makin banyak pula iodium yang terikat sebaliknya makin sedikit iodium di
intra sel, iodium yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3 akan
lebih banyak daripada T4.
3. Coupling
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT)
yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling) sehingga
akan membentuk triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin
beserta tirosin dan iodium ini disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan
kondensasi molekul tirosin yang terikat pada ikatan di dalam tiroglobulin.
Tiroglobulin dibentuk oleh sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke dalam koloid melalui
proses eksositosis granula.
4. Penimbunan (storage)
Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian akan
disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya mengandung T3
dan T4), baru akan dikeluarkan apabila ada stimulasi TSH.
5. Deiodinasi
Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu ini
kemudian akan mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan residu tirosin
serta iodida. Deiodinasi ini dimaksudkan untuk lebih menghemat pemakaian
iodium.
6. Proteolisis
TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang pembentukan
vesikel yang di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas pengaruh TSH, lisosom
akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan enzim protease yang
menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta deiodinasi MIT dan DIT.
7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing)
Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal dan
kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di sirkulasi darah
yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid Binding Pre Albumin (TBPA).
Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25% dari T3 total yang berada dalam keadaan
bebas. Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat daripada ikatan T4 dengan TBP. Pada
keadaan normal kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar hormon bebas.
Namun dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada
seorang lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu penyakit
kronik cenderung mengalami penurunan kadar T3 dan T4 bebas karena jumlah
protein pembawa yang meningkat. Sebaliknya pada seorang lansia yang
menderita pemyakit ginjal dan hati yang kronik maka kadar protein binding akan
berkurang sehingga kadar T3 dan T4 bebas akan meningkat.

V. Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4
endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3.
Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati,
ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed
T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme
pada tingkat seluler.

VI. Klasifikasi Struma


Menurut American society for Study of Goiter membagi:
1. Struma Non Toxic Diffusa: dapat disebabkan oleh defisiensi Iodium, Autoimmun
thyroiditis (Hashimoto atau postpartum thyroiditis), kelebihan iodium (efek
Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid,
stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin,
Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid, terpapar radiasi, penyakit deposisi, resistensi hormon tiroid,
Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis), Silent thyroiditis, agen-agen infeksi,
Suppuratif Akut (bacterial), Kronik (mycobacteria, fungal, dan penyakit
granulomatosa parasite), keganasan Tiroid.
2. Struma Non Toxic Nodusa: pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas
tanpa gejala-gejala hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic
adalah kekurangan iodium.
3. Stuma Toxic Diffusa: Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave
desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui
penyebab pastinya.
4. Struma Toxic Nodusa: Disebabkan oleh defisiensi iodium yang mengakibatkan
penurunan level T4, aktivasi reseptor TSH, mutasi somatik reseptor TSH dan
Protein G, mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1),
insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth
factor.

VII. Struma Nodusa Non Toxic


Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid,
tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri
atau nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa
terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid
sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada
saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang
terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan
penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme
atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi
multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau
adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi
besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak
mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat
menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan
bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang).
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi
dispnea dengan stridor inspirator.

Etiologi
Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi
pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.
Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada defisiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
3. Goitrogen:
a. Obat: Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
b. Agen lingkungan: Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
c. Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher: Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

Patofisiologi
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan
produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel
kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus,
akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error
sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen. Struma mungkin bisa
diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor
TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon
tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang
memproduksi human chorionic gonadotropin.
Klasifikasi
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :
1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif: nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya: nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.

Manifestasi klinis
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma
nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus
(disfagia) atau trakea (sesak napas). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis
kronis karena konsistensinya yang keras. Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali
bila timbul perdarahan di dalam nodul. Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus
rekurens menyebabkan terjadinya suara parau.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah
lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah
bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita
datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada
kranium.

Diagnosis
Anamnesa dilakukan untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari struma
nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis
dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah
sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai
peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat
penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler).

Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai:


A. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada
pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika
terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu
lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada
saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
hiperemis, adanya gambaran seperti kulit jeruk, ulserasi.
B. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher
dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid
dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita. Yang
diperiksa adalah jumlah nodul, konsistensi, nyeri pada penekanan : ada atau tidak,
pembesaran gelenjar getah bening, ukuran (diameter terbesar dari benjolan,
nyatakan dalam sentimeter), mobilitas, infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar,
apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal)

Pemeriksaan penunjang meliputi :


1. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin
dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum
mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH
plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif
dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien
hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien
peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal
penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium
radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam
menangkap dan mengubah yodida.
2. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas).
3. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan
yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi
Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium
radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk:
a. nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
b. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG: kista, adenoma,
kemungkinan karsinoma, tiroiditis
5. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul . Dilakukan khusus pada keadaan
yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri,
hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian
pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang
tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
6. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus
pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas
apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila <>o C.
Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas.
Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan
lain.
7. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323
ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

Diagnosis Banding
1. Follicular Thyroid Carcinoma
2. Hashimoto Thyroiditis
3. Medullary Thyroid Carcinoma
4. Papillary Thyroid Carcinoma
5. Riedel Thyroiditis
6. Subacute Thyroiditis
7. Thyroid Lymphoma
8. Thyroid Nodule

Penatalaksanaan
1. Operasi
Sebagian besar gejala pasien ini disebabkan oleh gondok membesar tanpa bukti
hipertiroidisme biokimia. Pada pasien usia lanjut dengan struma nodusa non
toksik, observasi tanpa pengobatan adalah salah satu pilihan yang diterima.
Namun, dalam kasus riwayat gondok yang semakin membesar, perhatian dan
perlakuan khusus perlu dilakukan. Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung
jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal
lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila
terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi
kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung
ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.
Tiroidektomi aman, cepat mengurangi gejala penekanan, dan meningkatkan
fungsi pernafasan. Komplikasi tiroidektomi seperti cedera saraf laring atau
hipoparatiroidisme yang sangat rendah. Hipotiroidisme pasca operasi dapat
dengan mudah dikelola dengan penggantian T4. Namun, pasien orang tua dengan
beberapa kondisi komorbiditas berisiko tinggi untuk dilakukan pembedahan dan
harus dipertimbangkan alternatif non-bedah.

2. Radioiodida
Pengobatan yodium radioaktif (RAI) pada pasien dengan struma nodusa non
toksik telah menunjukkan gejala membaik serta perbaikan fungsi paru karena
pengurangan volume substansial gondok. RAI paling efektif untuk gondok
ukuran kecil - moderat dan alternatif yang baik selain tiroidektomi pada pasien
yang sebelumnya dirawat dengan operasi, bagi mereka yang menolak operasi,
atau pasien dengan kondisi yang meningkatkan risiko untuk perawatan bedah.
RAI sering mengakibatkan pengurangan signifikan volume tiroid dalam satu
tahun, dengan sekitar 60% penurunan volume dalam 5 tahun. Tingkat respon bisa
sangat bervariasi, dan 20% mungkin tidak merespon sama sekali. Tampaknya
gondok yang sangat besar (> 100mL) tidak merespon. Efek samping awal RAI
termasuk peningkatan akut dalam ukuran gondok, tiroiditis radiasi, atau
hipertiroidisme.

3. Tiroksin (T4)
Terapi penekanan T4 tidak dianjurkan untuk struma nodusa non toksik berukuran
besar. Tampaknya tidak efektif dalam pengurangan gondok yang signifikan pada
kebanyakan pasien serta menyebabkan efek samping. Dampak buruk yang
disebabkan oleh penekanan TSH termasuk kehilangan tulang dan fibrilasi atrium.
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga
sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah
karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga
ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada
karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet
Dosis : 3x75 Ug/hari p.o

Komplikasi
Komplikasi dari penyakit struma nodusa non toksik terjadi karena pertumbuhan dan kompresi
struktur leher dan tirotoksikosis.

Prognosis
Prognosis baik, biasanya struma nodusa non toksik tumbuh sangat lambat selama bertahun-
tahun. Jika pertumbuhan cepat harus dievaluasi baik untuk degenerasi atau perdarahan dari
nodul atau untuk pertumbuhan neoplasma. Seringkali, pada pasien yang dengan pertumbuhan
gondok progresif, yang mengalami disfagia signifikan atau dyspnea harus dievaluasi untuk
tiroidektomi subtotal. Pada beberapa pasien, terapi yodium radioaktif dapat dipertimbangkan,
terutama jika pasien yang lebih tua.
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta
2. Sudoyo AW, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V. Interna
Publishing. Jakarta
3. Lee, Stephanie L., 2013. Non Toxic Goiter.
http://emedicine.medscape.com/article/120392-overview
4. Mansjoer A et al (editor). 2001. Struma Nodusa Non Toksik. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 1, Edisi III. Media Esculapius. FKUI: Jakarta
5. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and
Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed.,
McGraw-Hill., Newyork.
6. Smyth, Peter et al. 2011. Guidelines for the Diagnosis and Management of Thyroid
Nodules. Merck KGaA, Darmstadt: Germany

Anda mungkin juga menyukai